Minggu, 27 Oktober 2013

BERBEDA TIDAK HARUS BERMUSUHAN, TAPIJADIKAN IA SEBUAH KEINDAHAN


“Kisah Tokoh Muhammadiyyah yang Membaca
Qunut Shubuh dan Tokoh NU yang Tidak
Membaca Qunut Shubuh”
Keakraban dan keharmonisan para tokoh
pendahulu dari kalangan NU dan Muhammadiyyah
sudah terjalin semenjak dahulu, hanya saja kita
kurang mengetahui tentangnya. Walau berbeda
organisasi hingga berbeda dalam tata cara
amaliah ibadahnya, kedua organisasi itu mampu
menunjukkan eksistensinya sehingga sekarang.
Kisah berikut begitu menginspirasi kita semua
tentang arti sebuah perbedaan, persaudaraan dan
penghormatan. Kisah yang dialami oleh dua tokoh
utama Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyyah, KH. DR. Idham Chalid dengan
Buya Hamka (Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah).
Syahdan, dulu KH. Idham Chalid (Pimpinan PBNU)
pernah satu kapal dengan Buya Hamka (tokoh
Muhammadiyah) dengan tujuan yang sama menuju
tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah
haji. Tidak ada kisah istimewa dari kedua tokoh
berbeda paham tersebut hingga waktu shalat
Shubuh menjelang.
Di saat hendak melakukan shalat Shubuh
berjamaah, KH. Idham Chalid dipersilakan maju
untuk mengimami. Secara tiba-tiba, pada rakaat
kedua, KH. Idham Chalid meninggalkan praktek
Qunut Shubuh, padahal Qunut Shubuh bagi
kalangan NU seperti suatu kewajiban. Semua
makmun mengikutinya dengan patuh. Tak ada
nada protes yang keluar walau ada yang
mengganjal di hati.
Sehingga seusai salat Buya Hamka bertanya:
“Mengapa Pak Kyai Idham Chalid tidak membaca
Qunut.”
Jawab KH. Idham Chalid: “Saya tidak membaca
doa Qunut karena yang menjadi makmum adalah
Pak Hamka. Saya tak mau memaksa orang yang
tak berqunut agar ikut berqunut.”
Keesokan harinya, pada hari kedua, Buya Hamka
yang giliran mengimami shalat Shubuh berjamaah.
Ketika rakaat kedua, mendadak Buya Hamka
mengangkat kedua tangannya, beliau membaca
doa Qunut Shubuh yang panjang dan fasih.
Padahal bagi kalangan Muhammadiyah Qunut
Shubuh hampir tidak pernah diamalkan.
Seusai shalat, KH. Idham Chalid pun bertanya:
“Mengapa Pak Hamka tadi membaca doa Qunut
Shubuh saat mengimami salat?”
“Karena saya mengimami Pak Kyai Idham Chalid,
tokoh NU yang biasa berqunut saat shalat Shubuh.
Saya tak mau memaksa orang yang berqunut
untuk tidak berqunut,” jawab Buya Hamka
merendah.
Akhirnya kedua ulama tersebut saling berpelukan
mesra. Jamaah pun menjadi berkaca-kaca
menyaksikan kejadian yang mengharukan, air mata
tak dapat mereka tahan.
Lihatlah, betapa kebesaran jiwa mereka terbukti
melalui kisah ini, betapa besar jiwa kedua
pemimpin umat Islam Indonesia itu. Coba kita
bandingkan dengan saat ini, dimana masing-
masing pengikutnya merasa dirinya yang paling
benar dan kadang memaksakan pendapatnya atas
yang lain.
Di masa sekarang, sering terjadi pertengkaran
bahkan permusuhan hanya karena soal-soal kecil
antara orang-orang NU dan orang-orang
Muhammadiyah seperti soal Qunut, melafalkan niat
shalat dengan ushalli, tahlilan, ziarah kubur,
maulidan, manaqiban dan lainnya. Padahal itu
semua sama sekali tidak menyangkut ihwal prinsip
dalam akidah, tapi hanya menyangkut ihwal yang
sunnah, mubah atau makruh, bukan terkait hal
yang diharamkan.
(Kisah ini juga tertulis dalam buku “99 Detik
Menunggang Harimau Lapar”, pada bab kedua
tentang silaturahim dan persaudaraan).
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 28 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar