Senin, 28 Oktober 2013

Nur Muhammad

Istilah Nur Muhammad pada dasarnya sudah
muncul dalam tafsir Ibnu Abbas “Tanwir Al-
Miqbas”. Tepatnya pada surah An-Nur ayat 36
saat menjelaskan “Nur ‘ala nur”. [1] Sebagaimana
kita ketahui Ibnu Abbas adalah sahabat Nabi SAW
yang meninggal tahun 68 H dan “Tanwir Al-
Miqbas” ini adalah karya monumentalnya karena
menjadi satu-satunya karya Tafsir dari kalangan
Sahabat.
Sebagai sahabat Nabi SAW, tentu saja beliau
menjadi rujukan ulama yang hidup setelahnya,
termasuk dalam peristilahan Nur Muhammad ini.
Tapi, sebenarnya tidak hanya Ibnu Abbas saja
Sahabat yang berbicara tentang Nur Muhammad
karena Abu Darda’—sebagaimana dikutip Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani dari Musnad Asy-Syamiyin
karya Imam Ath-Thabrani [2] dalam kitabnya “Ta’jil
Al-Manfa’ah”—juga menjelaskan Nur Muhammad
saat menjelaskan Sibrah ibn Fatik Al-Asadi.[3]
Artinya secara istilah Nur Muhammad sudah
beredar di masa Sahabat dan bukan sebagai
istilah baru yang dimunculkan ulama tasawuf.
Bahkan, ada 8 kitab tafsir—yakni An-Nukat wa
Al-‘Uyun, Marah Labid, Tafsir Al-Munir (Wahbah
Az-Zuhaily), Latha’if Al-Isyarat, Tafsir Ibnu Abdi
As-Salam, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Lubab li
Ibni Adil, dan Tafsir As-Siraj Al-Munir—yang
mengutip riwayat dari Ibnu Abbas terkait dengan
istilah Nur Muhammad. Teks riwayat ini
merupakan bagian dari sabab nuzul-nya ayat ke-8
surah Ash-Shaff, sebagai berikut:
ﺣﻜﺎﻩ ﻋﻄﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺑﻄﺄ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻮﺣﻲ
ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎً، ﻓﻘﺎﻝ ﻛﻌﺐ ﺑﻦ ﺍﻷﺷﺮﻑ ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﺍﺑﺸﺮﻭﺍ ﻓﻘﺪ ﺃﻃﻔﺄ
ﺍﻟﻠﻪ ﻧﻮﺭ ﻣﺤﻤﺪ ﻓﻴﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻳﻨﺰﻝ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻴﺘﻢ ﺃﻣﺮﻩ
Atha’ menceritakan dari Ibnu Abbas,
“Sesungguhnya wahyu terlambat datang pada
Nabi SAW selama 40 hari. Maka, Ka’b ibn Al-
Asyraf berkata, ‘Wahai orang-orang Yahudi!
Berikanlah kabar gembira bahwa Allah telah
mematikan Nur Muhammad (Cahaya Muhammad)
terkait wahyu yang Dia turunkan padanya. Dan,
Allah tidak menyempurnakan perkaranya.’”[4]
Mendengar itu, Rasulullah SAW bersedih lalu
turunlah ayat ke-8 dari surah Ash-Shaff yang
artinya berdasarkan sabab nuzul di atas, “Mereka
hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap
menyempurnakan Nur Muhammad meskipun
orang-orang kafir membencinya.”
Memang di dalam hadis tidak disebutkan secara
eksplisit tentang Nur Muhammad karena Nur
Muhammad adalah penafsiran atau takwil yang
dilakukan ulama tasawuf bersumber dari
penafsiran para pendahulunya yang salah satunya
adalah Ibnu Abbas di atas. Kenapa harus
ditakwilkan? Sebab beberapa hadis sahih di
bawah ini akan sulit dipahami bila tidak
ditakwilkan dengan Nur Muhammad atau Ruh
Muhammad.
Apalagi, dalam menakwilkannya pun ulama
tasawuf tidak asal-asalan karena terbukti secara
istilah, kata Nur Muhammad sudah ada dalam
tafsir Ibnu Abbas. Berikut ini hadis-hadis yang
mau tidak mau melahirkan takwil Nur Muhammad
atau Ruh Muhammad,
ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﻭَّﻝُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻴِّﻴْﻦَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨَﻠْﻖِ ﻭَﺁﺧِﺮُﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﻌْﺚِ
“Aku adalah nabi yang paling pertama dalam
penciptaan dan paling akhir dalam pengutusan.”
Hadis di atas adalah ucapan Rasulullah SAW.
Pertanyaannya, bagaimana kita tidak menakwilkan
bahwa maksud dari hadis di atas yang diciptakan
pertama dari Nabi Muhammad SAW adalah Nur
atau Ruh beliau? Sedang kenyataannya jasad
beliau baru ada belakangan atau sekitar 14 abad
yang lalu. Justru akan fatal kesalahannya jika kita
tidak menakwilkan hadis di atas dengan
memahami secara literlek bahwa memang Nabi
Muhammad SAW jasadnya diciptakan sebelum
Adam. Ini akan melahirkan pertanyaan, selama
kenabian 24 nabi itu jasad Muhammad SAW di
mana? Lalu, siapa yang dilahirkan Aminah di
Mekkah itu? Dan seterusnya, dan seterusnya.
Hadis di atas diriwayatkan oleh sekian banyak
mukharrij al-hadits seperti Tamam dalam “Al-
Fawa’id”, Ath-Thabrani dalam “Musnad Asy-
Syamiyin”, Abu Nu’aim dalam “Ad-Dala’il, Ad-
Dailami dalam “Al-Firdaus”, dan Ats-Tsa’alabi
dalam tafsirnya. Tapi kemudian didhaifkan oleh Al-
Albani karena kedhaifan seorang rawi bernama
Sa’id ibn Bisyr. Anehnya, di dalam hadis-hadis
lain, Al-Albani justru menghukumi sahih sekian
banyak hadis dalam kitab Sunan meskipun di
dalam sanadnya ada rawi yang bernama Sa’id ibn
Bisyr. Itu artinya ada subyektivitas Al-Albani
sebagai tokoh yang menyemboyankan, “Al-
Mutashawwifah a’da’u as-sunnah (orang-orang
tasawuf musuhnya sunah).”




Lupakan sejenak kesimpulan Al-Albani, yang jelas
hadis di atas meskipun telah kuat dan
diriwayatkan oleh banyak mukharrij al-hadits,
tetapi masih memiliki syahid yang memperkuatnya
lagi. Berikut ini adalah syahid terhadap hadis
tersebut,
ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﺒِﻴًّﺎ ﻭَﺁﺩَﻡُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮُّﻭْﺡِ ﻭَﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ
“Aku sudah menjadi nabi pada saat Adam masih
antara ruh dan jasad.”
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai
redaksi oleh Al-Bukhari dalam kitab “At-Tarikh”,
Ahmad, Al-Baghawi, Ibn As-Sakan, Abu Nu’aim
dan Al-Hakim. Adapun riwayat lengkapnya dalam
“Al-Mustadrak ‘ala Shahihain” adalah sebagai
berikut,
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﺍﻟﻨَّﻀْﺮِ ﺍﻟْﻔَﻘِﻴﻪُ، ﻭَﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺍﻟْﻌَﻨَﺰِﻱُّ، ﻗَﺎﻟَﺎ ﺛﻨﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ
ﺑْﻦُ ﺳَﻌِﻴﺪٍ ﺍﻟﺪَّﺍﺭِﻣِﻲُّ، ﻭَﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﺳِﻨَﺎﻥٍ ﺍﻟْﻌَﻮَﻗِﻲُّ، ﺛﻨﺎ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﺑْﻦُ ﻃَﻬْﻤَﺎﻥَ، ﻋَﻦْ
ﺑُﺪَﻳْﻞِ ﺑْﻦِ ﻣَﻴْﺴَﺮَﺓَ، ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦِ ﺷَﻘِﻴﻖٍ، ﻋَﻦْ ﻣَﻴْﺴَﺮَﺓَ ﺍﻟْﻔَﺨْﺮِ، ﻗَﺎﻝَ ﻗُﻠْﺖُ
ﻟِﺮَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻣَﺘَﻰ ﻛُﻨْﺖُ ﻧَﺒِﻴًّﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﺁﺩَﻡُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮُّﻭﺡِ
ﻭَﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ .
Menurut Al-Hakim hadis ini diperkuat lagi dengan
hadis berikut,
ﻣَﺘَﻰ ﻭَﺟَﺒَﺖْ ﻟَﻚَ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓُ؟ ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻖِ ﺁﺩَﻡَ ﻭَﻧَﻔْﺦِ ﺍﻟﺮُّﻭﺡِ ﻓِﻴﻪِ
“Kapan engkau mendapat mandat kenabian,
(wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab, “Saat
antara (jasad) Adam diciptakan dan peniupan ruh
ke dalamnya.” (HR. Al-Hakim)
Satu lagi, dalam kitabnya, “Dala’il An-Nubuwwah”
Al-Baihaqi meriwayatkan Hadis Qudsi yang
panjang yang di dalamnya disebutkan bahwa Allah
SWT berkata kepada Nabi SAW,
ﻭَﺟَﻌَﻠْﺘُﻚَ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻴِّﻴْﻦَ ﺧَﻠْﻘًﺎ ﻭَﺁﺧِﺮُﻫُﻢْ ﻣَﺒْﻌَﺜًﺎ
“Dan telah Kuciptakan engkau sebagai nabi yang
paling pertama dalam penciptaan dan paling akhir
di antara mereka dalam pengutusan.” (HR. Al-
Baihaqi)
Atas dasar hadis-hadis tersebut dan masih ada
beberapa hadis lain yang senada, ulama tasawuf
tidak gegabah dengan menafsirkan secara literlek
lalu hadis menjadi tidak dapat dipahami dan tidak
memiliki makna. Ulama tasawuf, saya kira telah
selangkah lebih maju dari ulama ahli hadis,
khususnya dalam melakukan penelitian terhadap
hadis-hadis yang mengharuskan adanya
penakwilan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad
ini.
Ulama tasawuf bukanlah ulama yang tidak melek
terhadap hadis. Sungguh tidak sopan, diluar nalar
dan tidak masuk akal jika sebagian orang
mengatakan ulama tasawuf “semuanya” adalah
orang-orang yang tidak mengerti hadis. Mereka
tidak melakukan amal melainkan sesuai dengan
hadis. Mereka tidak bertauhid kecuali atas
petunjuk Rasulullah SAW.
Lalu, apa alasan ulama tasawuf mengartikan “al-
qalam” dalam hadis sahih ini, “Sesungguhnya
yang paling pertama diciptakan Allah adalah Al-
Qalam,” dengan Nur Muhammad atau Ruh
Muhammad? Jawabannya tersirat dalam Hadis
Marfu’ riwayat Ibnu Abbas di bawah ini
ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣُﺤَﻤَّﺪُ ﺑْﻦُ ﻳَﻌْﻘُﻮﺏَ ﺍﻟْﺤَﺎﻓِﻆُ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻣُﺤَﻤَّﺪِ ﺑْﻦِ ﻳَﺤْﻴَﻰ
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﻣُﺴَﺪَّﺩٌ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤِﺮُ ﺑْﻦُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ ﻋَﻦْ ﻋَﻄَﺎﺀِ ﺑْﻦِ ﺍﻟﺴَّﺎﺋِﺐِ ﻋَﻦْ ﻣِﻘْﺴَﻢٍ ﻋَﻦِ
ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻭَّﻝُ ﻣَﺎ ﺧَﻠَﻖَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻘَﻠَﻢَ ﺧَﻠَﻘَﻪُ ﻣِﻦْ ﻫَﺠَﺎ ﻗَﺒْﻞَ
ﺍﻷَﻟْﻒِ ﻭَﺍﻟﻼَّﻡِ ﻓَﺘَﺼَﻮَّﺭَ ﻗَﻠَﻤًﺎ ﻣِﻦْ ﻧُﻮﺭٍ ﻓَﻘِﻴﻞَ ﻟَﻪُ ﺍﺟْﺮِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠَّﻮْﺡِ ﺍﻟْﻤَﺤْﻔُﻮﻅِ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺎ
ﺭَﺏِّ ﺑِﻤَﺎﺫَﺍ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ … ﻫَﺬَﺍ ﺣَﺪِﻳﺚٌ ﺻَﺤِﻴﺢُ ﺍﻹِﺳْﻨَﺎﺩِ ﻭَﻟَﻢْ
ﻳُﺨَﺮِّﺟَﺎﻩُ . ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ )
Atau dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi
yang berbeda sebagai berikut,
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻼﺀ ﻭﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻣﺤﻤﻮﺩ ﺍﻟﺴﺮﺍﺝ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ
ﺃﺑﻮ ﺍﻷﺷﻌﺚ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﻡ ﺍﻟﻌﺠﻠﻲ ﻗﺎﻝ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺮ ﺑﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﻗﺎﻝ
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺼﻤﺔ ﺃﺑﻮ ﻋﺎﺻﻢ ﻋﻦ ﻋﻄﺎﺀ ﺑﻦ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﻋﻦ ﻣﻘﺴﻢ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻗﺎﻝ
ﺇﻥ ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ ﺍﻟﻘﻠﻢ ﻓﺨﻠﻘﻪ ﻋﻦ ﻫﺠﺎﺀ ﻓﻘﺎﻝ ﻗﻠﻢ ﻓﺘﺼﻮﺭ ﻗﻠﻤﺎ
ﻣﻦ ﻧﻮﺭ ﻇﻠﻪ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﺍﻷﺭﺽ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﺟﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻠﻮﺡ ﺍﻟﻤﺤﻔﻮﻅ ) ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻵﺟﺮﻱ )
Para ulama tasawuf adalah Ahl Al-Basha’ir yang
mampu menakwilkan hadis sesuai dengan
tuntunan syariat sekaligus sesuai dengan ajaran
hakikat. Wallahu A’lam.
Foot Note
[1] Ibnu Abbas, Tanwir Al-Miqbas, (Libanon: Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt) Hal. 296.
[2] Sulaiman ibn Ahmad Ath-Thabrani, Musnad
Asy-Syamiyin, (Beirut: Muassasah Ar-Risalah,
1984) Jil. III, hal. 385.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ta’jil Al-Manfa’ah
Bizawa’id Rijal Al-‘imah Al-Arba’ah, (Beirut: Dar
Al-Basya’ir, 1996) Jil. I, hal. 568.
[4] Abu Al-Hasan Al-Mawardi Al-Bashri, An-Nukat
wa Al-‘Uyun, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tt)
Jil. V, hal. 530.
Semoga bermanfaat!
--Yusni Amru Ghazali,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar