Minggu, 31 Januari 2016

Bismillaah

Basmalah 5

Meneladani Sang Kiai Istiqamah 'KH Shodiq Damanhuri' Blitar

KH Shodiq Damanhuri adalah pendiri Pondok Pesantren APIS(Asrama Perguruan Islam Salafiyah) atau juga dikenal sebagai Pondok Sanan karena pondok ini berada di desa Sanan Gondang Kabupaten Blitar Jawa Timur, dalam Manaqibnya banyak sekali keistimewaan beliau dan berikut kami tampilkan 5 sifat istimewa KH Shodiq Damanhuri:

Al-muru’ah

Pada suatu hari musim hujan, KH. Shodiq Damanhuri Pergi ke Daerah Garum diantar oleh seorang santrinya, Moh. Thoha(Alm. Ky Thoha) lalu dalam perjalanan hujan turun, takut kpyahnya basah, Moh. Toha melepaskan kopyah tersebut dan otomatis kepala Moh. Toha terbuka. Melihat keadaan itu KH. Shodiq Damanhuri langsung menegur Moh. Thoha agar segera menutup kepala(perlu pembaca ketahui bahwa dikalangan pesantren(sebagaimana yang diwariskan para Ulama salaf), membuka kepala termasuk melanggar Muru’ah, walaupun bukan aurat

Al-Wara’ wal ‘iffah

Masih pada musim hujan KH. Shodiq Damanhuri pergi bersama seorang santrinya, Nasihan(Ky. Nasihan) ditangah perjalanan turun hujan secara tiba-tiba, lalu secara kurang sadar Nasihan mengambil daun pisang ditepi jalan itu untuk melindungi diri beliau dari terpaan air hujan yang secara bertubi-tubi menimpanya, namun demikian beliau masih menegur Nasihan, Ee! Kan! Iki godonge sopo?(ini daun Milik siapa?) jawab Nasihan: Duko (tidak tahu kyai) Lalu beliau dengan tegas memerintahkan: buangen, haram(buanglah, Haram) dan mereka berjalan tanpa pelindung

Tauri’ul auqot

Pada waktu sholat (Dzuhur misalnya), walaupun tamu di rumah beliau banyak seperti pada hari raya idul fitri, beliau dengan tepat waktu pasti pergi ke mushola untuk mengimami sholat setelah memberi tahukan tamunya. Begitu pula kalau ada salah seorang santrinya datang kepada beliau untuk suatu keperluan, beliau pasti bertanya kepadanya: Kowe mau mrene ono opo?, ndang omongo(kamu kesini tadi ada apa, segeralah berbicara!) selak ono gawean utowo dayoh liyo(keburu ada keperluan atau tamu lain)

As-Sakhowah wal Ikhlas

Dalam kehidupan sehari-hari KH. Shodiq Damanhuri dikenal sebagai orang yang paling gemar bershodaqoh terutama pada bulan puasa, beliau selalu memberi buka puasa kepada santrinya secara bergilir, terutama santri yang kurang mampu, bahkan beliau selalu menampung santri-santri miskin di rumah beliau sebagai anak asuh, begitulah sifat pemurah(as-Sakhowah) beliau mendarah daging pada pribadinya, dan sampai saat-saat terakhir masa hayatnya beliau selalu mengutamakan orang lain(itsar lil-ghoir) dan menganggap bahwa dirinya dan keluarganya sendiri sudah berkecukupan, meskipun sebenarnya masih amat memerlukan(walu kaana bihim khososoh) sampai-sampai pada seminggu terakhir masa hidupnya, beliau masih menanyakan apa makanan dan minuman santri-santri yang jaga(piket) sudah dikirimkan, bahkan untuk mereka kini beliau sering membeli sendiri ke warung.

Al-Istiqomah

Dalam kehidupannya KH. Shodiq Damanhuri tidak mudah terpengaruholeh gejolak-gejolak situasi dan keadaan yang mengelilinginya, beliau selalu disiplin terhadapn program yang telah beliau jadwalkan konsisten terhadap segala rencana, terutama yng ada hubungannya dengan banyak orang, seperti jamaah, mengaji, dan lain-lain selalu beliau tepati dan beliau selalu bisa menghindari kendala yang menjadi perintangnya, semboyan beliau: repot itu akan hilang apabila ditinggalkan, sehingga semua yang beliau amalkan selau berjalan ajeg(tepat/tepat waktu), tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan-kepentingan lain.
_____________________________

Sumber: http://www.muslimoderat.com/

Daftar Para Wali Kediri

DAFTAR NAMA PARA WALI KEDIRI

1.      Syaikh Abdul Qodir al-Khairi (Tambak Ngadi Kediri)
2.      Syaikh Abdullah Sholeh (Tambak Ngadi Kediri)
3.      Syaikh Muhammad Hirman (Tambak Ngadi Kediri)
4.      Syaikh Hamim Jazuli (Tambak Ngadi Kediri)
5.      Mbah Kyai Anis Ibrahim (Tambak ngadi Kediri)
6.      Mbah Kyai Ahmad Shiddiq (Tambak Ngadi Kediri)
7.      Syaikh Utsman (Temayan Kediri)
8.      Al-Habib Muhammad bin Thohir Ba’abud (Pelem Ploso Kediri)
9.      Mbah Kyai Jazuli Utsman (Ploso Kediri)
10.  Kyai Munif Jazuli (Ploso Kediri)
11.  Mbah Kyai Jamaludin (Bathokan Kediri)
12.  Mbah Kyai Fadhil (Bathokan Kediri)
13.  Mbah Kyai Jauhari (Bathokan Kediri)
14.  Mbah Kyai Anwar, (Pethuk Kediri)
15.  Mbah Kyai Abdul Karim (Lirboyo Kediri)
16.  Mbah Kyai Marzuki (Lirboyo Kediri)
17.  Mbah Kyai Makhrus ‘Ali (Lirboyo Kediri)
18.  Mbah Kyai Ma’ruf (Kedunglo Kediri)
19.  Mbah Kyai Jalil Salafiyah (Bandar Kidul Kediri)
20.  Mbah Kyai Thoha al-Ishlah (Bandar Kidul Kediri)
21.  Mbah Kyai Abdullah Mu’thi al-Hafidz al-Quran (Mojokudi Kediri)
22.  Mbah Kyai Hasan Mubarak (Mojokudi Kediri)
23.  Mbah Kyai Abu Khair (Mojokudi Kediri)
24.  Mbah Kyai Ridwan Isra'il (Gunting Kediri)
25.  Mbah Kyai Ma’ruf al-Hafidz al-Quran (Klodran Kediri)
26.  Mbah Kyai Ridwan Abdul Razaq al-Hafidz al-Quran (Klodran Kediri)
27.  Mbah Kyai Ihsan Bajuri (Mberan Kediri)
28.  Mbah Kyai Imam Yahya (Ngampel Kediri)
29.  Mbah Kyai Mubasyir Mundzir (Ma’unahsari Kediri)
30.  Syaikh Sholeh (Banjar Melati Kediri)
31.  Mbah Kyai Anbiya
32.  Mbah Kyai Ali Maklum
33.  Mbah Kyai Zainal Abidin
34.  Mbah Kyai Syafi’i
35.  Mbah Kyai Abror
36.  Mbah Kyai Muhammad
37.  Mbah Kyai Ya’qub
38.  Mbah Kyai Ibrohim
39.  Mbah Kyai Abdul Hayyi (Banjar Melati Kediri)
40.  Syaikh Hasan Besari (Kauman Kediri)
41.  Syaikh Syamsuddin Mbah Washil (Sentono Gedong Kediri)
42.  Syaikh Abdullah Mursyad (Sentono Landeyan Kediri)
43.  Syaikh Ihsan Jampes (Mutih Kediri)
44.  Mbah Kyai Dahlan (Mutih Kediri)
45.  Mbah Kyai Mishbah (Mojoroto Kediri)
46.  Mbah Kyai Hasan Munshorif (Adan adan Kediri)
47.  Kyai Kyai Zamroji (Kencong Kediri)
48.  Mbah Kyai Faqih (Sumbersari Kediri)
49.  Mbah Kyai Asmuni (Pethuk Kediri)
50.  Mbah Kyai Abubakar (Pethuk Kediri)
51.  Mbah Kyai Imam Nawawi (Pethuk Kediri)
52.  Mbah Kyai Nur Wahid (Plongko Pare Kediri)
53.  Syaikh Syaifullah (Menang Pagu Kediri)
54.  Mbah Kyai Abdullah (Pagu Wates kediri)
55.  Mbah Kiai M. Shadiq (Kapurejo Pagu Kediri)
56.  Mbah Kyai Said boponya Gus Lik Jamsaren (Jamsaren Kediri)
57.  Mbah Kyai Jamak Sari (Jamsaren Kediri)
58.  Mbah Kyai Ahmad Sa’i (Sagi Plosoklaten Kediri)
59.  Mbah Kyai Majid Mbadal Abdurrahim
60.  Mbah Kyai Abubakar
61.  Mbah Kyai Asy’ari
62.  Mbah Kyai Imam Nawawi (Ringinagung Kediri)
63.  Mbah Kyai Abu Hamid (Cangkring Kediri)
64.  Mbah Kyai Jufri Mursyid Thariqah (Jemekan Kediri)
65.  Mbah Kyai Basthomi Umar Sufyan Mursyid Thariqah (Pondok Baran Mojo Kediri)
66.  Mbah Syeikh Zainal Abidin (Ds. Toyoresmi Kediri)

Al Faatihah...

http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2013/07/daftar-nama-para-wali-kediri_5870.html?m=1

Kisah wali ketemu Wali

Hubungan Al Imam Al Quthbul Wujud Asy-Syahir Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi(Shahibul Simthud Durror) Dengan Al Allamah Al Arifbillah KH Hasan Sepuh Genggong,Probolinggo
-------------------------------------
Ada sebuah kisah menarik. Diceritakan ketika zaman alhabib Ali bin Muhammad bin Husain al habsyi seiwun (pengarang maulid simthuddurar). Ada seorang Auliya Allah bernama al habib Abdul qadir bin Quthban assegaf.
Habib Abdul qadir bin Quthban adalah seorang 'alim yang sangat gemar bersilaturrahim kepada para 'alim ulama' para waliyullah yang masih hidup dizaman tersebut.
Kegemaran Beliau bersilaturrahim bukan hanya terbatas di wilayah hadramaut yaman saja. Tapi juga sampai ke pulau jawa indonesia. Bahkan juga sampai ke kediaman hadratul jad KH. Mohammad Hasan sepuh genggong probolinggo.
Ketika tiba dikediaman kiai Hasan sepuh genggong, habib Abdul qadir disambut dengan ramah. Beliau berdua pun berbincang bincang. Tentunya dengan bahasa arab.
Sampai pada akhirnya kiai Hasan sepuh bertanya. Yang kalau diterjemahkan :
"Habib, bagaimana kabarnya habib Ali habsyi seiwun (pengarang simtudhurar)??". Ditanya seperti itu, habib Abdul qadir terkejut dan terheran-heran. Bagaimana bisa kiai Hasan sepuh genggong mengenali habib Ali habsyi seiwun. Sedangkan kiai Hasan secara dzahir tidak pernah ke hadramaut yaman, dan habib Ali habsyi seiwun juga tidak pernah ke indonesia.
Seolah mengetahui apa yg ada dihati habib Abdul qadir, kiai Hasan kembali berkata :
"Habi Ali al habsyi seiwun itu kulitnya seperti ini ... (menyebutkan), wajahnya begini... (menyebutkan), kalau duduk seperti ini... (disebutkan), jalannya seperti ini... (disebutkan) di kediaman habib Ali rumahnya seperti ini... (menyebutkan), didepannya ada masjid bernama masjid riyadh dan tiangnya ada... (menyebutkan)". Dan bertambah kagumlah habib Abdul qadir bin Quthban. Takjub oleh kiai Hasan sepuh genggong yg menyebutkan secara detail seolah-olah Beliau sangat akrab dg habib Ali habsyi dan mengetahui keadaan rumahnya di kota seiwun hadramawt yaman. Padahal Kiai Hasan tidak pernah sampai ke sana.
Lalu tak lama kemudian, habib Abdul qadir bin qithban pun berpamitan pulang.
------------------------------
--------------
Ketika sekembalinya dari tanah jawa ke yaman. Habib Abdul qadir bin Quthban mengunjungikota seiwun, untuk bertemu dg al imam al 'arifbillah al habib Ali al habsyi seiwun.
Ketika sudah sampai di kediaman habib Ali habsyi dan berhadapan dengan Beliau, ditengah-tengah perbincangan, habib Ali al habsyi bertanya :
"Wahai sayyid Abdul qadir, apakah di jawa engkau bertemu dengan seorang syekh bernama Hasan jawi (jawa maksudnya)". Habib Abdul qadir teringat pertemuannya dg Kiai Hasan sepuh genggong. Beliau mengangguk meng-iyakan.
Lalu habib Ali alhabsyi berkata :
"Syekh Hasan itu kulitnya seperti ini... (menyebutkan), wajahnya seperti ini... (menyebutkan), duduknya begini... (mencontohkan), jalannya seperti ini... (menceritakan), dan dirumahnya begini... (menjelaskan)". Hingga habib Abdul qadir takjub dengan detailnya penjelasan habib Ali seiwu tentang Kiai Hasan seolah keduanya adalah sahabat karib yg akrab. Padahal habib ali seiwun tidak pernah ke indonesia.
Subhanallah... Jika seseorang telah diangkat derajatnya oleh Allah. Maka dunia tidak lebih hanyalah barang mainan saja. Meski dahulu tidak ada alat komunikasi seperti handphone ataupun tv, namun berkat karomah dari Allah, Beliau berdua telah saling mengenal dalam dunia bathiniyah.
------------------------------
---------------
Ketika haul al'arifbillah al habib Ali habsyi seiwun shahib simutuddurardi kota solo. Salah satu dari cucu kiai Hasan sepuh genggong sowan ke habib Anis bin Alwi bin al imam Ali al habsyi seiwun. Cucu dari habib Ali simtudhurar.
Saat habib Anis tau bahwa yg sowan adalah cucu kiai Hasan genggong. Habib Anis tersenyum sambil berkata "kakekku dan kakekkmu mempunyai ta'aluq bathin". (Wallahu a'lam)
Semoga kita yang penuh dengan dosa ini diampuni oleh Allah. Dan dengan rahmat Allah semoga kita dilayakkan untuk dimasukkan kedalam rombongan Beliau para guru-guru kita auliya' washalihin.
==================

Keramat Haul Solo

"KERAMAT HAUL SOLO"

Kesaksian jamaah Madiun,
Adalh seorang hafidzul qur'an bercerita ttg istrinya yg  memiliki kelebihan mukasyafah/mampu melihat yg tdk terlihat oleh kebanyakan org,
Cerita ini sewaktu menghadiri haul Hbb.Ali th lalu,sang istri yg kasyaf ini sesampainya di Palur Solo / 7 km dr lokasi haul,tiba2 sang istri menengadah kelangit seolah ada sesuatu yg menakjubkan "Dimanakah soko-nya (Tiang) ?" Kalimat tsb terulang berkali2,
"Apa yg kau lihat?" Tanya suami,
"Subhaanallah ini terop betapa indah&megah, aku blum pernah melihat didunia ini terop semegah ini,dimanakah tiangnya?" Kata istri,
Rupanya sang istri yg kasyaf ini oleh Allah diperlihatkan keaguangan haul/karomah Hbb.Ali, bahwa sepanjang 7 km mengelilingi lokasi haul terbentang terop tinggi megah yg tiangnya ternyata tpt berada di maqom auliya' samping msjd arriyadh,
Sesampainya di maqom saat rombongan dr Madiun ini berdoa, lagi2 sang istri yg kasyaf ini bercakap sendiri, "Ya.....Ya...Ya..Ya....Ya Benar..." terulang berkali2 dg kata yg sama,
Setelah ditanya ternyata sewaktu berdoa td Hbb.Ali menghampirinya dan menanyakan dan mencatat satu persatu identitas nama lengkap peziarah,
Subhaanalloh...
Smoga kehadiran kita bsk tercatat di buku Guru kita Hbb.Alie Alhabsyie,
Amin...(Shohibl Hikayat Bpk Watono)

Sabtu, 30 Januari 2016

Kisah sejarah NU

INGAT PESAN GUS DUR....
KH.As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU,Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?

Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.

Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.

Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”

Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”

“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:

(يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.

Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.

Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”

Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.

Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”

Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”

Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”

“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”

Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”

“Sudah Kyai.”

“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”

“Tahu.”

“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”

“Tidak. Pernah sowan.”

“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”

“Ya, kyai.”

“Kamu punya uang?”

“Tidak punya, kyai.”

“Ini.”

Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”

“Ada kyai.”

“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”

Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”

Ada yang lain bilang: “Ini wali.”

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.

Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.

Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”

“Saya, Kyai.”

“Anak mana?”

“Dari Madura, Kyai.”

“Siapa namanya?”

“As'ad.”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”

“Anaknya Maimunah kamu?”

“Ya, Kyai”

“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”

“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”

“Tongkat apa?”

“Ini, Kyai.”

“Sebentar, sebentar…”

Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”

Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum adaNahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”

“Ya, Kyai.”

“Cukup uang sakunya?”

“Cukup, Kyai.”

“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”

“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”

Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”

“Tidak, Kyai.”

“Hasyim Asy'ari?”

“Ya, Kyai.”

“Di mana rumahnya.”

“Tebuireng.”

“Dari mana asalnya?”

“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”

“Ya, benar. Di mana Keras?”

“Di baratnya Seblak.”

“Ya, kok tahu kamu?”

“Ya, Kyai.”

“Ini tasbih antarkan.”

“Ya, Kyai.”

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!”

“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”

“Dari mana kamu dapat?”

“Saya beli di jalan, Kyai”

“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”

“Ya, Kyai.”

Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”

“Cukup, Kyai.”

“Tidak!”

Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.

“Ini.”

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”

“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”

“Ya, kalau begitu.”

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.

Ada yang narik: “Karcis! karcis!”

Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?”

“Saya mengantarkan tasbih.”

“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”

“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).

“Lho?”

“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”

Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”

“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal.

Jumat, 29 Januari 2016

Kisah Gis Miek

Suatu hari, Gus Miek (Kyai Hamim Djazuli Kediri) dengan diikuti Gus Farid (kerabatnya) bertandang ke sebuah diskotek. Di sana, Gus Farid mencoba menutupi identitas Gus Miek agar tidak dilihat dan dikenali pengunjung diskotek itu.

“Gus, apakah jama’ah sampeyan kurang banyak? Apakah sampeyan kurang kaya? Kok mau masuk tempat seperti ini?” Tanya Gus Farid kemudian.

Gus Miek terlihat emosi mendengar pertanyaan orang terdekatnya, yang telah puluhan tahun mengikutinya.

“Biar nama saya CEMAR di MATA MANUSIA, tapi TENAR di MATA ALLAH. Apalah arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata umat.
Semua orang yang di tempat ini, di diskotik ini, juga menginginkan surga, bukan hanya jamaah (kaum santri dan bersarung) saja yang menginginkan surga. Tetapi, siapa yang berani masuk ke tempat seperti ini? Kyai mana yang mau masuk ke tempat-tempat seperti ini?!” Sergah Gus Miek.

Gus Farid terdiam. Tak lama setelah itu, Gus Miek pun kembali ceria seolah lupa dengan pertanyaan Gus Farid barusan.

Memang, setiap kali Gus Miek masuk bar, lobi hotel ataupun tempat-tempat 'hiburan pelepas penat' bagi orang-orang tertentu seperti ini, ada saja orang-orang yang mengerubunginya, masing-masing mengadukan permasalahan kehidupannya..

(ya pantes, Gus Miek kan ibarat “air dua kolah, bisa mensucikan najis”, lha gue?? Gak coba-coba deh)

***

Di Semarang, pernah ada surga perjudian yang dikenal sebagai NIAC, yang kemudian menjadi neraka perjudian setelah “dihancurkan” oleh Gus Miek. Begitu pula dengan BONANSA dan THR, yang terkenal memiliki bandar dan backing yang kuat.

Pada masa itu, sekitar 1970-1972, orang-orang dari massa PPP (Partai Persatuan Pembangunan) gencar menggelar aksinya memberantas kemaksiatan di tempat-tempat ini, tapi selalu gagal, karena memang, tempat seperti NIAC memiliki backing yang tak bisa dianggap remah, baik backing fisik maupun politik.

Lalu bagaimana jika seorang Kyai atau “Santri Pesantren” turut masuk ke dalam tempat seperti ini? Apalagi ikut permainan-permainan judi? Gus Miek kerap menyambangi NIAC maupun THR, di sana ia turut bermain, dengan segala kelebihannya, ia mampu memenangkan hampir di setiap permainan sehingga membuat cukong-cukong itu menanggung kekalahan yang sangat besar.

Mungkin para Bandar ini tak takut dosa, apalagi ancaman-ancaman ayat Al-Quran, namun tak dapat dipungkiri, yang mereka takutkan adalah kerugian, kebangkrutan dan akhirnya kapok. Pada akhirnya, tempat perjudian ini pun hancur dengan sendirinya, hancur dari dalam, hancur sebab para pelakunya kapok dengan judi, “dihancurkan” oleh Gus Miek.

Namun seperti biasa, uang hasil kemenangan perjudian tak pernah dinikmatinya.

Pernah suatu ketika, setelah menang banyak sambil membawa satu kantong terigu penuh dengan uang, Gus Miek berkata kepada Shodiq, salah satu ‘santrinya’ dari Pakunden-Blitar, “Kamu jangan ikut menikmati. Uang ini tidak bisa kita makan. Uang ini sudah ada yang berhak.”

Kemudian Gus Miek berkeliling naik becak, uang itu disebar di sepanjang jalan untuk para tukang becak dan penjual kopi di pinggir jalan.

Memang, walaupun Gus Miek banyak bertingkah 'khariqul-adah' (di luar kebiasaan), ia sangat keras melarang pengikutnya untuk menirukan tingkah lakunya, seperti bergaul dengan orang-orang 'dunia hitam'. Ia tetap memerintahkan santrinya untuk shalat dan menghindari maksiat.

(Gus, di mana sih belajar “maen”? ada kitabnya? hehehe)

***

Suatu pagi di kota Kediri, Gus Miek beserta Miftah (Garum, Blitar) berjalan-jalan dengan menaiki sepeda. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Gus Miek mengajak berhenti.

“Miftah, kamu nanti ikut bersalaman dengan orang itu,” katanya sambil menunjuk seorang pengemis yang sedang meminta-minta. Keduanya lalu menunggu. Setelah ada orang yang memberi, pengemis itu berdiri dan beranjak pergi.

Gus Miek kemudian mengucapkan salam, pengemis itu pun membalasnya.

“Lho, kok kamu, Gus?!” kata pengemis itu.

“Iya, Mbah,” Sahut Gus Miek.

“Di sana lho, Gus, ada warung murah, tetapi masih ada yang lebih murah lagi.” Kata pengemis itu.

“Iya, Mbah. Hanya itu saja Mbah?” Tanya Gus Miek.

“Iya, Gus” jawab pengemis itu sambil berlalu.

Setelah pengemis itu pergi, Gus Miek berkata kepada Miftah, “Tah, orang itu adalah orang yang terbalik.”

“Terbalik bagaimana, Gus?” Tanya Miftah keheranan.

“Maksudnya, kelak di akhiratnya dia tidak seperti itu. Dia kalau tidur seenaknya sendiri, di emperan toko juga sudah biasa. Kyai Mahrus Ali (Lirboyo-Kediri) mencari orang itu dalam dua tahun tidak ketemu, kalau aku sering sekali bertemu dengan dia.” Kata Gus Miek.

“Kok menunjukkan warung murah, Gus?” Tanya Miftah lagi.

“Ya, itu tadi mencemooh aku. Maksudnya, aku DILARANG TAKABUR. Tapi, aku kan masih muda, ya tidak
bisa kalau tidak takabur. Sedangkan dia sudah tua, ya pasti bisa untuk tidak takabur.” Jawab Gus Miek.

(bener juga Gus, emang susah jadi anak muda, hehehe)

***

Akhirnya, Gus Miek pernah berpesan kepada Amar Mujib (santri Ploso-Kediri yang sering mengikutinya),

“Jangan sekali-kali kamu SU’U-DZANN (buruk sangka) dengan siapa saja. Apabila ada orang yang meminta sumbangan, anggaplah ia bagian dari orang shalih (MIN AS-SHALIHIN). Bila ada pengemis meminta-minta, anggaplah ia bagian dari orang arif dan bijaksana (MIN AL-‘ARIFIN). Bila ada seorang kyai yang meminta sumbangan, anggaplah dia bagian dari orang-orang yang berpengetahuan sangat luas (MIN AL-‘ALIMIN). Kalau sudah begitu, mintalah doa restu.”

***

dari buku biografi Perjalanan dan Ajaran Kyai Hamim Djazuli, “Gus Miek”,
susunan M. Nurul Ibad.

Rabu, 27 Januari 2016

Wafat Di Hadapan Auliya dan Terkabulnya Doa Sang Sufi

Seorang waliyullah bernama Syekh Abu Jahir. Beliau bersama istri dan keluarganya hijrah meninggalkan kampung halamannya. Di tempat baru ini, beliau mendirikan sebuah masjid dan majlis ta'lim. Bersama dengan keluarganya beliau tekun beribadah dan mengajarkan agama Islam. Hampir setiap hari beliau dikunjungi orang dari berbagai daerah yang ingin belajar mendalami agama Islam kepadanya. Pada suatu hari seorang waliyullah bernama Syekh Sholeh Al-Mari Al-Mari bermaksud ziarah untuk ngalap berkah (mengharapkan keberkahan) kepada beliau. Sampai hari yang telah ditentukannya, Syekh Sholeh Al-Mari menuju negeri tempat tinggal Syekh Abu Jahir. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan Syekh Muhammad bin Wasi’ salah satu sahabatnya. “Assalamu'alaikum,” salam Syekh Sholeh Al-Mari. “Wa'alaikum salam warahmatullah,” jawab Syekh Muhammad. Kemudian mereka saling berpelukan dan bertanya kabar masing-masing serta berbincang-bincang melepas kerinduan, karena lama tidak berjumpa. “Engkau hendak pergi ke mana?,” tanya Syekh Muhammad. “Saya hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” jawabnya. “Ke kediaman Syekh Abu Jahir?,” tanyanya heran. “Ya, betul,” jawabnya tegas. “Masyaallah, saya juga hendak pergi kesana,” tanggapnya. Keduanya pun berangkat menuju ke tempat tinggal Syekh Abu Jahir. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang Syekh Hubaib al-Ajami. Mereka saling bersalaman dan juga bertanya kabar masing-masing. “Hendak ke mana anda berdua ini?,” tanya Syekh Hubaib Al-Ajami. “Kami hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir” “Saya juga dalam perjalanan ke sana,” sahut Syekh Hubaib. “Kalau begitu mari kita pergi bersama,” ajak mereka berdua. Mereka bertiga meneruskan perjalanan dengan penuh kegembiraan karena perjalanan mereka bertambah ramai. Setelah menempuh perjalanan yang agak lama, tiba-tiba mereka berjumpa dengan Syekh Malik bin Dinar, seorang waliyullah yang masyhur pada waktu itu. Mereka kemudian saling bersalaman pula seperti biasanya ketika para waliyullah bertemu. “Kalian hendak pergi ke mana?,” tanya Syekh Malik bin Dinar. “Kami bertiga hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” jawab mereka bertiga. “Subhanallah, saya juga sedang menuju ke sana,” lanjut Syekh Malik bin Dinar. “Kalau begitu, mari kita pergi bersama-sama,” pinta salah satu dari mereka bertiga. Perjalanan lebih mengasyikkan karena jumlah mereka bertambah yakni menjadi empat orang dengan tujuan yang sama yaitu hendak ziarah kepada Syekh Abu Jahir. Dengan kuasa Allah swt, sebelum sampai di kediaman Syekh Abu Jahir, mereka berempat berjumpa dengan waliyullah yang bernama Syekh Thabit Al-Bannani. Seperti biasanya mereka pun bersalaman dan berpelukan kemudian saling bertanya kabar masing-masing. “Kalian hendak ke mana?,” tanya Syekh Thabit. “Kami hendak ziarah ke kediaman Syekh Abu Jahir,” jawabnya bersamaan. “Masyaallah, saya juga hendak ke sana,” sahut Syekh Thabit. “Kalau begitu, mari kita pergi bersama,” ajak Syekh Sholeh Al-Mari. “Segala puji bagi Allah swt. yang telah mempertemukan kita dan pergi bersama-sama walaupun tanpa perjanjian untuk ziarah kepada Syekh Abu Jahir,” kata Syekh Thabit Al-Bannani. Kemudian mereka bersama meneruskan perjalanan menuju kediaman Syekh Abu Jahir. Sepanjang perjalanan, mereka tidak henti-hentinya memuji dan bersyukur kepada Allah swt. yang memberikan kesempatan berjalan untuk ziarah kepada Syekh Abu Jahir yang terkenal sebagai waliyullah. Setelah berjalan begitu lama, mereka beristirahat untuk menunaikan shalat. “Marilah kita istirahat dulu dan shalat dua rakaat di sini, agar tempat ini menjadi saksi di hadapan Allah swt. kelak di hari kiamat,” kata Syekh Thabit Al-Bannani. “Satu amal kebajikan sangat besar sekali pahalanya, ” sahut yang lain. Lalu mereka mengerjakan shalat bersama-sama dengan khusyu' dan tawadu'. Seusai shalat, mereka berdoa untuk kebaikan umat Islam di dunia dan di akhirat. Kemudian mereka meneruskan perjalanan dan akhirnya tiba di kediaman Syekh Abu Jahir. Sesampainya di sana, mereka tidak terburu-buru mengetuk pintu untuk masuk tetapi mereka menunggu Syekh Abu Jahir sampai keluar untuk menunaikan shalat. Tidak lama kemudian waktu dhuhur tiba. Maka keluarlah Syekh Abu Jahir dari dalam kediamannya dengan tanpa bercakap apa-apa langsung masuk ke masjid dan shalat bersama para muridnya. Kelima tamunya pun ikut shalat berjamaah dengan beliau. Selepas shalat, mereka menemui Syekh Abu Jahir satu persatu. Pertama kali yang masuk adalah Syekh Muhammad bin Wasi’. “Assalamu'alaikum,” salam Syekh Muhammad. “Wa'alaikum salam,” jawab Syekh Abu Jahir “Anda ini siapa?,” tanyanya menyambung. “Saya saudaramu, Muhammad bin Wasi’,“ jelasnya. “Masyaallah, Kalau begitu anda orang Basrah yang terkenal paling bagus shalatnya itu kan?,” tegasnya sambil tercengang. Syekh Muhammad diam tanpa berkata apa-apa. Selanjutnya disusul Syekh Thabit Al-Bannani masuk. “Siapakah anda ini?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Thabit Al-Bannani”. “Masyaallah, kalau begitu anda yang dikatakan orang Basrah yang paling banyak shalatnya itu kan?,” Tanya Syekh Abu jahir. Syekh Thabit juga diam tanpa berkata apa-apa. Tiba giliran Syekh Malik bin Dinar. Syekh Abu jahir bertanya kepadanya. “Siapakah anda ini?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Malik bin Dinar,” jawabnya. “Masyaallah, jadi kamulah yang termasyhur sebagai orang yang paling zuhud di kalangan penduduk Basrah, bukan?,” Syekh Malik juga tidak berkata apa-apa. Kemudian Syekh Hubaib Al-Ajami menghadap Syekh Abu jahir. Beliau pun sama bertanya dengannya. “Anda ini siapa?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Hubaib Al-Ajami,” jawabnya. “Masyaallah, kalau begitu anda yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai orang yang mustajab do'anya,” kata Syekh Abu Jahir. Seperti yang lain, Syekh Hubaib diam. Akhirnya tiba giliran Syekh Sholeh Al-Mari maju menghadap kepada Syekh Abu jahir. Beliaupun bertanya. “Anda siapa?,” tanya Syekh Abu Jahir. “Saya saudaramu, Sholeh Al-Mari,” jawabnya. “Subhanallah, kalau begitu anda yang terkenal di kalangan penduduk Basrah sebagai qari' yang fasih dan bagus suaranya,” kata Syekh Abu jahir. Syekh Sholeh Al-Mari juga tidak menjawab. Syekh Abu jahir bertafsayar sebentar seperti mengenangkan sesuatu. “Saya sebenarnya sangat rindu dan ingin mendengar suaramu wahai saudaraku,” kata Syekh Abu Jahir kepada Syekh Sholeh Al-Mari. “untuk itu, bacakan empat atau lima ayat dari Al-Qur'an sebagai pengobat rinduku,” lanjtnya sambil memohon. Syekh Sholeh Al-Mari memenui permintaannya, lalu beliau membuka Al-Qur'an dan membaca surat Al-Furqan ayat 22-23 yang berbunyi: ﻳَﻮْﻡَ ﻳَﺮَﻭْﻥَ ﺍﻟْﻤَﻼﺋِﻜَﺔَ ﻻﺑُﺸْﺮَﻯ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻟِﻠْﻤُﺠْﺮِﻣِﻴْﻦَ ﻭَﻳَﻘُﻮْﻟُﻮْﻥَ ﺣِﺠْﺮًﺍ ﻣَﺤْﺠُﻮْﺭًﺍ , ﻭَﻗَﺪِﻣْﻨَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺎﻋَﻤِﻠُﻮْﺍ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞٍ ﻓَﺠَﻌَﻠْﻨَﺎﻩُ ﻫَﺒَﺎﺀً ﻣَﻨْﺜُﻮْﺭًﺍ Artinya: “Pada hari mereka melihat malaikat di hari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa, dan mereka berkata “Hijran mahjuuraa”. Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan,” (Al-Furqan; 22-23). Ketika Syekh Abu Jahir mendengar bacaan yang artinya; 'debu yang berterbangan’, maka beliau berteriak sangat kuat, sehingga pingsan di tempat sujudnya yang disebabkan rasa ketsayatan yang teramat kepada Allah swt. ketika sadar dari pingsannya, beliau berkata, “ulangi bacaan ayat tadi”. Maka Syekh Sholeh Al-Mari mengulanginya, dan ketika sampai ayat yang sama Syekh Abu Jahir berteriak sangat kuat lagi, sehingga terjatuh untuk yang kedua kalinya dan wafat seketika itu juga. Syekh Sholeh Al-Mari dan teman-teman sangat terkejut menyaksikan kejadian tersebut. Yaitu wafat dalam keadaan amat ketsayatan mendengar kalam ilahi. Tidak lama kemudian istri Syekh Abu Jahir muncul dan bertanya. “Siapakah kalian ini?,” tanya istri Syekh Abu Jahir. “Kami datang dari Basrah, beliau Malik bin Dinar, Hubaib Al-Ajami, Muhammad bin Wasi’, Thabit Al-Bannani sedangkan saya sendiri adalah Sholeh Al-Mari,” jawab Sholeh sambil memperkenalkan satu-persatu kepada istri Syekh Abu Jahir. Tiba-tiba perempuan itu berkata, “Innaa lillaahi wainnaa ilaihi raaji'uun... Syekh Abu Jahir telah wafat”. Mendengar itu Syekh Sholeh Al-Mari dan sahabat-sahabatnya merasa heran terhadap istri beliau itu, karena tiba-tiba mengerti bahwa suaminya telah wafat. Padahal beliau tidak menyaksikannya dan mereka juga belum memberitahu apa yang telah terjadi. “Dari mana kamu tahu bahwa Syekh Abu Jahir telah wafat?,” tanya mereka keheranan. “Saya sering mendengar doanya, bahwa beliau sering mengucapkan, “Ya… Allah, kumpulkanlah para Aulia-Mu pada saat ajalku,” jelasnya. “Jadi, tidaklah kalian berkumpul di sini, melainkan untuk menyaksikan Syekh Abu Jahir wafat?,” sambungnya. Ternyata doa Syekh Abu Jahir telah dikabulkan Allah swt. Wallahua’lam bisshowab

Cara menjadi Wali

[Alhabib Ali al-Habsyie: Inilah cara menjadi kekasihnya Allah ...]

Alhabib Ali ibn Muhammad ibn Husein al-Habsyie (Penyusun Maulid Simtud Duror) mengatakan dalam sebuah qasidahnya, "Wahai orang-orang yang berkeinginan untuk menyambung para Saadahnya yang terdahulu (yakni, para kekasih Allahu subhanahu wa ta'ala), kita semua berkeinginan untuk meniru mereka (para Waliyullah), untuk menjadi kekasih Allah sebagaimana mereka." Maka Alhabib Ali pun melanjutkan perkataannya, "Jika kalian memang benar-benar berkeinginan untuk mendapatkan hubungan yang kuat atau menyambung sebagaimana yang telah diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang besar tersebut (para Waliyullah), maka hendaknya kalian meninggalkan adab-adab (kebiasaan-kebiasaan) yang kurang baik atau kebiasaan manusia biasa yang ada di antara kehidupan kita."

Kita semua pasti memiliki kebiasaan dalam beraktifitas, seperti kebiasaan dalam tidur, dalam makan, atau kebiasaan lainnya yang kita lakukan dalam sehari-hari. Namun, jika kalian benar-benar ingin menjadi para kekasih Allah, maka hendaknya kalian menjadi orang yang lebih khusus daripada hal itu. Beralihlah, menjadi orang-orang yang istimewa di dalam hubungannya dengan Allahu subhanahu wa ta'ala, dan tinggalkanlah kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan orang biasa lalu masuk kepada kebiasaan orang-orang yang agung untuk mendekat kepada Allahu subhanahu wa ta'ala. Nah, jika kebiasaan orang-orang yang agung tersebut telah kita ikuti –di dalam bagaimana hubungannya kepada Allah, di dalam bagaimana mereka meninggalkan tidurnya untuk dekat kepada Allah–  maka Allahu ta'ala akan membukakan pintu hakikatNya, sehingga hati kita pun terbuka dan selalu mengingat keagungan Allahu subhanahu wa ta'ala. Wallahu A'lam.

follow twitter @muhsinbsy/@penerbitlayar
16 Rabi'uts Tsaani 1437 H/ 27 Januari 2016 M

Habib salim

Habib Salim: Orang Mati Butuh Orang Hidup Doakan Dan Ziarahi Kuburnya

As-Sayyidi Al Murrabiruhina Al Habib Salim Ibn Abdullah Ibn Umar Asy Syathiry adalah seorang pemuka para ulama’ di Negeri Para Wali dan Sholihin, Tarim Hadlarmaut Yaman. Kedalaman dan kepakaran beliau dalam segala ilmu telah disepakati banyak ulama’, hingga sebuah gelar prestisius diberikan kepada beliau, yakni, Sulthonul ‘Ilmi.

Nasehat-nasehat yang beliau berikan sangat dahsyat, menggugah hati-hati yang terlelap, dan menyinarinya dengan cahaya Nabawi, khas seorang pewaris Nabi. Kerugian yang besar jika nasehat hebat ini kita lewatkan. Mari menyantap hidangan rohani dari seorang pewaris para Nabi. Selamat membaca!

من عزّ مصابا كأنّ له مثله أجره

Siapa yang bertakziyah kepada orang yang tertimpa musibah, dia akan mendapat pahala seperti orang yang terkena musibah tersebut. Orang yang bernasab pada orang sholeh akan mendapat manfaat dari keturunannya tersebut.

والذين آمنوا واتبعتم ذريتهم بإيمانهم ألحقنابهم ذرياتهم

Dan orang-orang yang beriman, yang keturunan-keturunan mereka mengikuti keimanan mereka, akan KAMI golongakan bersama mereka. Sebagaimana seperti yang diceritakan dalam surat Kahfi, yang mana Nabi Musa AS diperintahkan oleh Nabi Khidir AS untuk membangun sebuah rumah, yang mana orang tua dari anak yang rumahnya dibangun tersebut adalah orang soleh.

Ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud orang soleh yang disebut orang tua anak-anak kecil itu dari nasab ke-7 diatas mereka.
Ada orang yang menganggap bahwa tahlilan adalah bid’ah, mereka adalah orang-orang yang salah tapi merasa benar. Mereka tidak melaksanakan apa yang dikerjakan oleh kakek-kakek meraka.

Mereka membaca fatihah ketika sholat jenazah tapi menentang pembacaan fatihah untuk mayit.Apa yg dilakukan pada waktu sholat jenazah bertentangan dengan dikatakannya. Misal pembacaan fatihah untuk mayit adalah sesuatu yang dilarang, pasti ALLAH akan melarang pembacaan fatihah pada saat sholat jenazah!

Dikisahkan seorang sahabat bernama Sa’ad berkata, ” Ya Rosulallah, aku mempunyai ibu yang sudah meninggal, seandainya dia hidup pasti dia akan bersedekah. ”Rasullullah SAW berkata, “Bersedekahlah untuknya!” Sa’ad mempunyai sumur , dan sumur tersebut disedekahkan untuk kaum muslimin (atas nama ibunya).

Shodaqoh & membaca Al Qur’an untuk orang yang sudah meninggal adalah sesuatu yang disepakati para ulama bahwa hal itu akan bermanfaat untuk si mayit.

Berziarah kuburlah

لو لا أهل الدنيالهلك أهل القبور

Bila tidak ada penghuni dunia maka akan celaka penghuni kubur.
Hendaknya bertakziyah kepada saudaramu, karena,

كما تدين تدان

Semua orang juga butuh di ziarahi suatu saat nanti.
Tulislah wasiat…!!! Dalam hadits dikatakan bahwa orang yang meninggal dan tidak menulis wasiat maka diumpamakan meninggal dalam keadaan jahiliyah, cacat di mata ALLAH dan bisu.

Orang-orang yang meninggal saling mengunjungi, tapi orang yang tidak menulis wasiat tidak bisa berbicara dengan yang lain. Perbaikilah keadaan kita, agar di akhir hidup kita dikenang dengan baik.
Ijazah dari Habib Salim, Untuk pembebasan dari api neraka. Pembebasan yang kecil dan besar.

1. Membaca سبحنان الله بحمده سبحان الله العظيم 1000 x
2.Membaca لاإله إلاالله محمد الرسول الله صلى الله عليه وسلم
70.000 x.

Lalu hadiahkan pada mayit maka insyaaALLAH akan terbebas dari api neraka.
Ketika ingin menyampaikan pahala utk mayit, maka bacalah:

1. اللَّهُم اجعل و أوصل إلى….
2.اللهم تقبل ما تصدقت أو ما قرأت و أوصله إلى….

Yaa ALLAH aku minta kabulkan (disebutkan apa yg disedekahkan atau di baca dan sampaikanlah pada si mayit). Bila menyebut hal tersebut maka akan mendapat pahala buat kita dan buat mayit.
Hal ini disebutkan oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad al-Masyhur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.

Waallahu'alam. Sumber: Habib Ali Abdurahman Al Habsyi
#DiariSangGadisSufi2016
#KalamSufi
#NurulHalawatulIman_MinhatulMaula
#InsyaAllahFirdausiAhla

Selasa, 26 Januari 2016

KISAH SEEKOR KUCING DAN WALI ALLAH

Ada satu kisah yang mana seorang wali Allah dari Mesir iaitu Al Arifbillah Syeikh Soleh Al Jaafari rahimahullah pernah terjumpa dengan seekor kucing, kemudian beliau membawa balik kucing itu ke rumahnya untuk dibela. Jadi, setiap hari beliau membeli daging atau ikan untuk memberi makan kepada kucing itu.

Satu hari, beliau tidak mempunyai duit, apabila beliau balik ke rumahnya kucing itu datang dekat kepada kakinya dan sambil kucing itu berbunyi. Kemudian, beliau duduk di atas kerusi dan berkata kepada kucing itu. " Mintak maaf, hari ini aku tidak ada duit untuk membeli makanan untukmu, aku tidak boleh memberi makanan untuk kamu hari ini".

Kemudian, kucing itu berhenti berbunyi dan senyap sambil melihat syeikh. Selepas itu, kucing itu keluar dari rumah dan tidak lama kemudian kucing itu membawa balik seekor tikus dan meletak di hadapan syeikh. Kemudian, syeikh berkata: "Aku mintak maaf, aku tahu bukan aku yang memberi rezeki, aku silap sebut tadi".

Maknanya, kucing itu nak memberitahu bahawa bukan syeikh atau manusia yang memberi rezeki tapi Allah yang memberi rezeki.

Wali Allah, Al Imam Al Azhari Al Arifbillah As Sayyid Syeikh Soleh Al Jaafari rahimahullah. Keturunan rasulullah dari sebelah Sayyidina Husein.

Jangan suudzon dengan wali Allah

Kisah hikmah…..
Jangan suudzon dengan wali Allah…..

Suatu waktu ada seorang yang ingin bertamu ke rumah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani,
saat mendekati kediaman Beliau, orang itu melihat 40 ekor kuda yang semuanya memiliki pelana terbuat dari emas dan memakai kelambu surta,
karena melihat hal tersebut orang tersebut tidak jadi bertamu ke rumah Syeikh Abdul Qadir AlJailani karena dalam pikirannya menganggap Beliau cinta dunia, lalu pindah haluan kerumah tentangga Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang merupakan seorang Ulama.

Keesokan hari orang tersebut pulang ke rumahnya dan selang beberapa bulan orang tersebut menderita penyakit,
setelah ke para tabib atau Ulama hikmah, obatnya adalah hati kuda yang ciri cirinya menunjukan kuda kepunyaan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang dia lihat waktu lalu.

Orang tersebut malu untuk bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani karena sempat berfikiran buruk keapda Beliau, para ulama yang lain mengetahui bahwa Syaikh Abdul Qadir Aljailani memiliki sifat dermawan dan penyayang.
Atas saran tersebut maka para Tabib berserta orang tersebut menuju ke rumah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.

Saat sampai orang tersebut ke kediaman sebelum terucap satu patah katapun secara langsung Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani berkata: “Saya sengaja memelihara 40 kuda itu untuk obat mu dan pelana kuda yang terbuat dari emas tersebut untuk bayaran para tabib” ”

Akhirnya setiap harinya disemblihlah kuda tersebut dan hatinya diambil sebagai obat bagi orang tersebut, dan terus berlanjut sampai 40 kudanya habis dan orang tersebut sembuh total.”

pelajaran :
Jangan suudzon kepada wali Allah, karena para Wali Allah tersebut memiliki hati yang bersih dan rasa kasih sayang yang kuat (bebas dari semua prasangka buruk) Wallahu a’lam Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa’ala alihi washobihi wasalim…..

#smoga_manfaat

PROFIL KH. MANSHUR PENYUSUN KITAB SULLAM AN-NAYRAIN

Guru Manshur berasal dari Kampung Sawah, Jembatan Lima, bernama lengkap M. Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri al-Batawi. Beliau satu generasi dengan Guru Mughni dari kampung Kuningan. Kedua tokoh ini pada zamannya disebut orang Betawi sebagai Paku Jakarta. Generasi Guru Manshur merupakan pelanjut ulama Betawi generasi Guru Mujtaba dari kampung Mester. Guru Mujtaba Mester adalah syaikhul masyaikh, guru dari segala guru.

Guru Manshur masih mempunyai hubungan biologis dengan trah Mataram dari garis ayah, yakni M. Manshur putera Imam Abdul Hamid putera Imam Muhammad Damiri putera Imam Habib putera Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo Tumenggung Mataram.

Pada 1894 saat usianya 16 tahun, Guru Manshur berangkat ke Mekkah bersama ibunya. Beliau tinggal di Mekkah selama 4 tahun untuk menuntut ilmu. Diantara gurunya di sana adalah Tuan Guru Umar Sumbawa, Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syaikh Muhammad Hayyath, Sayyid Muhammad Hamid, Syaikh Said Yamani, Syaikh Umar al-Hadhrami dan Syaikh Ali al-Muqri.

Setelah 4 tahun mukim di Mekkah, Guru Manshur lalu beberapa saat singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura, kemudian kembali tanah air. Sesampainya di kampung halaman, Guru Manshur membantu sang ayah mengajar di madrasah Kampung Sawah. Sejak tahun 1907, beliau mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah beliau mulai mengenal tokoh-tooh Islam seperti Syaikh Ahmad Surkati dan KH. Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.

Guru Manshur termasuk salah satu tokoh penggerak kemerdekaan Indonesia. Beliau bahkan menyerukan agar bangsa Indonesia memasang atau mengibarkan bendera merah putih, menyerukan persatuan umat dengan slogannya yang terkenal, "Rempuk!" yang artinya musyawarah. Beliau juga meminta agar hari Jum’at dinyatakan sebagai hari libur bagi umat Islam.

Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama), Guru Manshur merupakan diantara ulama yang melakukan protes keras. Dan protes tersebut akhirnya berbuah hasil, pembongkaran masjid dibatalkan.

Pada tahun 1948 tatkala kota Jakarta berada dalam kekuasaan de facto Belanda, Guru Manshur sering berurusan dengan Hoofd Bureau kepolisian di Gambir karena beliau memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah. Meski berhadapan dengan ancaman bedil NICA/Belanda, Guru Manshur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih berkibar di menara masjid.

Guru Manshur pernah dibujuk kaki tangan Belanda agar mengubah sikapnya yang konfrontatif terhadap Belanda. Sebaliknya beliau diminta agar menurut saja apa yang dikehendaki Belanda seraya disodorkan setumpuk uang kepadanya. Namun bujukan itu ditolak mentah-mentah oleh Guru Manshur. “Islam tidak mau ditindas. Saya enggak mau ngelonin kebatilan!" Tuturnya dengan suara lantang.

Guru Manshur adalah idola masyarakat Betawi pada masanya. Masyarakat sangat menghormatinya, bahkan tokoh-tokoh Betawi seperti M. Natsir dan KH. Isa Anshari sering sekali berkunjung ke kediaman Guru Manshur. Baik M. Natsir maupun KH. Isa Anshari bila berkunjung ke kediaman Guru Manshur ditemani oleh Lurah Tanah Sereal M. Ramdhan.

Guru Manshur adalah ulama yang produktif, diantara karya tulisnya adalah; Sullam an-Nayrain, Khulasah al-Jadawil, Kaifiyat al-'Amal Ijtima', Khusuf wa al-Kusuf, Mizan al-I’tidal, Washilah ath-Thullab, Jadwal Dawair al-Falakiyah, Majmu’ Arba' Rasail fi Mas-alat al-Hilal, Rub’ al-Mujayyab, Mukhtashar Iktima' an-Nayrain, Tadzkirat an-Nafi’ah fi Shihhat ‘Amal ash-Shaum wa al-Fithr, Tudhul Adillah fi Shihhat ash-Shaum wa al-Fithr, Jadwal Faraid, al-Lu’lu al-Mankhum fi Khulashah Mabahits Sittah Ulum
I’rab al-Jurumiyah an-Nafi’ li al-Mubtadi, Silsilat as-Sanat fi ad-Din wa Ittishaluha Sayyid al-Mursalin, Tashrif al-Abwal li Matn bina Jidwal Qiblat, Jidwal Auqat ash-Shalah dan Tathbiq 'Amal al-Ijtima’ wa al-Khusuf wa al-Kusuf.

Guru Manshur wafat pada hari Jum’at tanggal 12 Mei 1967 pukul 16.40 WIB. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Al-Mansuriah Kampung Sawah Jembatan Lima.

Shalawat mbah Kholil bangkalan

solawat sakdurunge ngisi ngaji , di woco bareng2 karo santrine.....,

ijazahe sowan piyambak atau lewat santri beliau, tapi untuk sementara nggandol kanjeng Nabi langsung mawon

Senin, 25 Januari 2016

Meninggalkan rokok kata mbah Maimun Zubair

Dawuh guru Kami (KH. Maimoen Zubair): kowe mandek rokok luweh apik timbang sholat sunnah nanging sek rokok an..
"kamu berhenti merokok lebih baik daripada istiqomah sholat sunnah tapi masih merokok".
seperti maqolah seorang kiyai pekalongan:
لا خيرَ خيرٌ لا يدوم، ولا شرّ شرُّ لا يدوم. والشر لايدوم  خيرٌ من خير لايدوم.
"tak ada kebaikan dalam kebaikan yg tidak continue, dan tdak bisa dikatakan buruk dalam keburukan yg tidak continue. keburukan yg tdak continue, lebih baik drpd kebaikan yg tidak continue.

Suatu ketika KH. Abdul Hamid ingin sowan kepada Habib Jakfar bin Syaikhon As seggaf pasuruan yg menjadi guru beliau. tetapi mbah Hamid menunggu lama sekali dan tidak kunjung di temui. kemudian Habib Jakfar berkata kpd slah satu khodimnya" aku tdak mau menemui karena bau rokok". akhirnya mbah Hamid seketika menuju masjid dan ber iqrar dihadapan Alloh untuk meninggalkan rokok seketika itu. stlah itu beliau kmbali menuju ndalem sang Habib, tak sampai didepan pintu, mbah Hamid sudah di "papak" didepan pintu rumah Habib Jakfar. sjak itu mbah Hamid brhenti merokok. hingga beliau menjadi Waliyyulloh dan mendapat derajat yg tinggi di sisi Alloh SWT.

والله أعلم بالصواب.(انتهى بتصرف).

Waridat kita sesuai amalan

Sayyidina Al-Habib Umar bin Hafidz:"Waridat yang kita peroleh adalah sesuai dengan amal yang kita kerjakan. Karena itulah, orang-orang yang memiliki waridat tersebut menyatakan bahwa waridat yang tiba ke dalam hati adalah sesuai dengan macam wirid yang kita amalkan"

dikisahkan:

Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Seggaf ayah dari al-Qutb al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Seggaf, suatu ketika menunaikan shalat Shubuh. Di waktu tasyahhud beliau mengalami fana (suatu keadaan yang membuat beliau lupa keadaan sekitarnya). Beliau tetap dalam keadaan duduk tasyahhud menikmati ma'iyyatulloh (kebersamaan dengan Alloh) selama kurang lebih sebulan lamanya. Ketika akhirnya mengakhiri sholatnya dengan mengucap salam, beliau berkata; "Duhai alangkah lamanya aku sholat. Apakah kini telah masuk waktu Dhuha?" Anak-anak beliau menjawab; "Wahai Abah!! Engkau telah Istighraq billah selama satu bulan." Beliau spontan berseru; "Astaghfirulaah" dan segera mengqodlo semua sholatnya.

ABAH GURU SEKUMPUL MENURUT PANDANGAN PARA AULIA’’

Al Habib Muhammad Bin Husein Ba'bud (lawang malang) berkata"Siapa yang hendak melihat Rasulullah Saw,maka pandanglah Guru Zaini"
Al Habib Ahmad AlHabsyi (banjarmasin) berkata "bila ingin melihat sunnahnya Rasulullah SAW dengan jelas maka lihatlah perilaku Abah Guru Sekumpul kerena setiap sunnah Rasulullah yang beliau ketahui selalu dikerjakannya.
Al Habib Ahmad Baraqbah (bangil) sewaktu bertemu dengan Abah Guru berkata "ente min Aulia Allah hingga ucapan berulang-ulang 3 kali.
Al Habib Ahmad bin Muhammad Assegaf (semarang) seorang wali majzub saat bersalaman pada Waktu Abah Guru Sekumpul waktu muda ,beliau berseru kepada ulama yang ada "Cium tangan Zaini," "ini qhutub cilik" ini qhutub cilik".
Tuan Guru Zainal Ilmi(dalam pagar-Martapura)berkata kepada nenek abah guru Sekumpul yaitu Salbiyah pada waktu abah Guru masih kecil "Pelihara puun.(pelihara yang baik) dengan ber ulang-ulang drumah ada seorang wali besar ..
K.H. Hamid (pasuruan) sewaktu menyambut kedangan Abah Guru Sekumpul yang showan kepada K.H Hamid berkata "Gebernur kalimantan-Gebernur kalimantan" dengan berteriak kegirangan artinya waliyullah dari kalimantan.
Abah Anom sang waliyullah berkata sewaktu pesuruh Abah Anom datang kerumah Abah Guru kata Abah Guru Sekumpul "Abah Anom adalah lautan ilmu tariqat"lalu diceritakan oleh pesuruh Abah Anom perkataan Abah Guru Sekumpul kepada abah Anom dan Abah anom berkata "Guru Zaini Adalah lautan ilmu".
Al Habib Ahmad bin Abu Bakar AlHabsyi (basirih-banjarmasin) seorang wali majzub berkata " ente Waliyullah ente Waliyullah ente Waliyullah "sambil mengguncang2 pundak Guru Sekumpul yang disaksikan oleh Guru Asmuni (guru Danau dan H.Khurdi.
KH.Syarwani Abdan Albanjari (Bangil)salah satu Gurunya Abah Guru Sekumpul berkata Zaini ini sekarang pada berada dalam tingkatan kewalian sebagaimana yang disebutkan dalam kitab tasawuf.
Al Habib Ahmad Assegaf (Hadralmaut)pernah berkata"sir dan madad Tarim berpindah ke Sekumpul".
Di Tarim sana, Hadramaut, kota para Habaib dan banyak melahirkan para Quthub, ada seorang Habib Sepuh yang bernama Habib Ahmad Assegaf r.a yang mengarang qasidah "Baina katipaihi 'alaamah", sehingga di Martapura Beliau terkenal dengan sebutan Habib Baina Katipai. Beliau ini seumuran dengan Habib Abdul Qadir Bin Ahmad Jeddah r.a (kalau saya tidak khilaf). Beliau ini mempunyai kelebihan, malam-malam Beliau terbiasa bermimpi dengan Baginda Rasulullah Saw.
Habib-Habib zaman dulu walau sering bermimpi dengan Baginda Rasulullah Saw, masih sakit hati kalau belum bertemu secara jaga/yaqozhotan dengan baginda Saw. (Semoga kita mendapat mimpi bertemu Rasulullah Saw)
Akhirnya Beliau mendapat isyarat dari Rasulullah Saw dalam mimpi, "Ahmad, kalau kamu ingin bertemu Saya (Saw), maka temuilah Zaini orang Martapura, Banjarmasin".
Maka bergegaslah Beliau menuju Indonesia, sesampainya di Jakarta, Beliau dihalang-halangi oleh orang yang dengki dengan Guru Sekumpul r.a, namun Beliau mampu menerobosnya, karena ingat dengan isyarat dari Baginda Rosulullah Saw.
Akhirnya bertemulah Beliau dengan Guru kita Sekumpul r.a. Beliau utarakanlah maksud kedatangan Beliau, kemudian oleh Guru Sekumpul r.a diberi amaliah-amaliah yang kemudian Beliau amalkan. Tidak berapa lama setelah itu, Rosulullah Saw menemui Beliau di pagi hari.
Segera setelah pertemuan yaqozhotan itu, Beliau melapor kepada Guru Sekumpul r.a. Oleh Guru Sekumpul r.a dijawab "sebelum ketempat Sampean, Rasulullah Saw menemui saya terlebih dahulu". Langsung seketika Habib Ahmad memeluk Guru Sekumpul r.a.
Ya, Guru Sekumpul itu adalah Syeikh Futuhnya atau Guru Murobbi Mursyidnya Habib Ahmad Assegaf.
Habib Ahmad Assegaf r.a ini pernah berucap : "Sir dan madad Tarim berpindah ke Sekumpul".
Syukur yang tak terhingga ya Allah engkau memberikan nikmat hidup yang sejaman dengan salah satu wali mu yang kami pun banyak mengambil manfaat darinya.
jangan putus nikmat ini ya Rab sehingga kami bisa berkumpul kembali dengan Walimu yaitu Guru Sekumpul dan salah seorang kecintaanmu dan kekasihmu Rasulillah Muhammad Rasulullah saw.
Murabbi ruhina wa mursyidina bahr ilm wa fahm quthubul fardani wa alim shamadani Syeikh Muhammad Zaini Abdul Ghani di surgamu kelak. Ya arhamar rahimin ..Ya Mujibas sa'ilin... Amiin

Sumber
http://rindurasul2.blogspot.com/2012/09/tersingkapnya-kewalian-abah-guru.html

Minggu, 24 Januari 2016

Niat seperti niat nabi Allah

bila kita  beribadah bacalah :Yâ  Rabbî  nawayna  mitsla mâ nawa Mawlana Syaykh Muhammad,’  ‘Ya  Allah, sebagaimana  Mawlana  Syekh Muhammad membuat niat,  kami  membuat  niat yang  sama dengan  beliau!"  . 
Itulah  cara yang paling  mudah,  yaitu  dengan mengatakan, "Sebagaimana Mawlana Syaikh Muhammad mempunyai  niat, kami  membuat  niat yang  sama,’  dan ini adalah  jalannya  para  awliyaullah!

Niat

Sulthan Awliya Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani 

Grandsyaikh Syah Baha’ud-Din Naqsyband  berkata bahwa niat sangat penting.  Niat (niyyah) terdiri dari huruf ‘Nun’, yang melambangkan ‘Nur Allah’, Cahaya Allah , ‘Ya’, melambangkan ‘Yad Allah’, Tangan Allah , dan ‘Ha’, yang melambangkan ‘Hidayatullah’, bimbingan Allah .  Niat adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa, datang dari alam ghaib dan bukan dari dunia material. 

Di jalan kebenaran, Thariq-i-Haqq, ada dua metode yang digunakan, yaitu jalan yang mengikuti Thariq-i-Nafsani, jalan di mana pertama kali Nafs atau ego dididik agar jiwanya selamat, dan mereka yang mengikuti Thariq-i-Ruhani, jalan di mana Ruh atau jiwa dimurnikan.

Thariq-i-Nafsani sangat berat karena kalian harus selalu melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang diinginkan oleh ego.  Itu adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Thariq-i-Ruhani lebih mudah.  Syaikh berkata bahwa dalam thariqat kita, kalian dapat menggunakan yang terbaik di antara keduanya dengan syarat kalian juga harus melakukan hal terbaik dalam beribadah kepada Allah .  Dalam thariqat ini pertama kali Ruh dalam jiwa kita dimurnikan tanpa menghiraukan ego.  Kemudian setelah Ruh menemukan atribut asli dari ego, suka atau tidak, dia (ego) harus mengikuti Ruh dan mematuhi perintahnya. 

Syaikh membukakan hatinya kepada hati murid dan memberi berkah Ilahi (Faiz), yang berasal dari Samudra Faiz Ilahi.  Beliau mempertebal kecintaan terhadap Allah   dalam hati murid-muridnya dan dalam kobaran api kecintaan Ilahi ini, semua yang berbau dunia materialistik akan terbakar.  Lewat Faiz itu hati kita dibersihkan.  Kemudian murid akan mengalami perubahan.  Karena berkah dan kekuatan spiritual dari Syaikhnya, murid dapat mengalami peningkatan dari level kejiwaan yang terendah ke level tertinggi.

Dalam diri anak-anak Adam selalu terdapat dua hal yang saling bertentangan.  Ruh-u-Hawwaniya, yang selalu menentang Allah  dan bersifat memberontak, dan Ruh-u-Sulthaniya yang selalu patuh kepada Allah  dan menemukan kebahagiaan dalam beribadah kepada-Nya.  Jika jiwa terendah selalu memegang kendali, karakteristik seseorang bisa lebih buruk daripada seekor binatang buas.  Sebaliknya jika jiwa tertinggi yang memegang kontrol, karakteristik seseorang bisa lebih baik daripada para malaikat.

Cara mendekati Allah dengan cepat

Grandsyaikh Abdullah Fa’iz Dhagestani berkata,”Aku
akan mengajarimu suatu cara untuk mendekati Alloh
dengan sangat cepat seperti roket. Kapanpun kalian
datang dan duduk dalam suatu asosiasi perkumpulan
(koneksi spiritual kpd ruhani spiritual seorang wali),
atau ketika sholat malam, dzikir, membaca Al-Qur’an, Hadist, maka ketika kalian duduk bacalah kalimah ini :
“Nawaitul arbain, nawaitu al uzlah, nawaitu al khalwat,
nawaitul I’tikaf, nawaitul siyam, nawaitur riyadhah,
lillahi ta’ala, fi hadzaal jaami lilahi ta’ala. Illahi anta
maqshudi wa ridhaaka mathlubi”

Rasulullah saw biasa membaca niat yang sama, ketika
beliau mengasingkan diri ke gua Hira, sebelum datang
suatu rahasia kepadanya. Ketika kalian membaca niat
ini untuk pertemuan yang berlangsung selama 1 jam,
maka waktu ini akan diambilkan dari khalwat selama
40 hari. Jika kalian telah menyelesaikan masa 40 hari itu, kalian akan merasakan cahaya yang diberikan
Allah kepadamu menjadi terbuka dan cahaya itulah
yang akan membuka mata hatimu.

Jumat, 22 Januari 2016

Rahasia Huruf Hijaiyyah

Seorang Yahudi mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم seraya bertanya, “Apa makna huruf hijaiyah?”.
Rasulullah صلى الله عليه وسلمberkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Jawablah pertanyaannya, wahai Ali!”. Kemudian Rasulullah saw berdoa, “Ya Allah, jadikanlah dia berhasil dan bantulah dia.”
Ali berkata, “Setiap huruf hijaiyah adalah nama-nama Allah.” Ia melanjutkan:
Alif (ا): Ismullah (nama Allah), yang tiada Tuhan selain-Nya. Dia selalu hidup, Maha Mandiri dan Mahakuasa.
Ba’ (ﺏ): al Baqi’ (Mahakekal), setelah musnahnya makhluk.
Ta (ﺕ): al Tawwab (Maha Penerima Taubat) dari hamba-hamba-Nya.
Tsa’ (ﺙ): al Tsabit (Yang Menetapkan) keimanan hamba-hamba-Nya.
Jim (ﺝ) : Jalla Tsanauhu (Yang Mahatinggi Pujian-Nya), kesucian-Nya, dan nama-nama-Nya yang tiada berbatas.
Ha’ (ﺡ): al Haq, al Hayyu, wa al Halim (Yang Mahabenar, Mahahidup, dan Mahabijak).
Kha (ﺥ): al Khabir (Yang Mahatahu) dan Mahalihat. Sesungguhnya Allah Mahatahu apa yang kalian kerjakan.
Dal (ﺩ): Dayyanu yaumi al din (Yang Mahakuasa di Hari Pembalasan).
Dzal (ﺫ): Dzu al Jalal wa al Ikram (Pemilik Keagungan dan Kemuliaan).
Ra (ﺭ): al Rauf (Mahasayang).
Zay (ﺯ): Zainul Ma’budin (Kebanggaan Para Hamba).
Sin (ﺱ): al Sami al Bashir (Mahadengar dan Mahalihat).
Syin (ﺵ): Syakur (Maha Penerima ungkapan terima kasih dari hamba-hamba-Nya).
Shad (ﺹ) : al Shadiq (Mahajujur) dalam menepati janji. Sesungguhnya Allah tidak mengingkari janji-Nya.
Dhad (ﺽ): al Dhar wa al Nafi (Yang Menangkal Bahaya dan Mendatangkan Manfaat).
Tha (ﻁ): al Thahir wal al Muthahir (Yang Mahasuci dan Menyucikan).
Zha (ظ): Zhahir (Yang Tampak dan Menampakkan Kebesaran-Nya).
‘Ain (ﻉ): al ’Alim (Yang Mahatahu) atas segala sesuatu.
Ghain (ﻍ): Ghiyats al Mustaghitsin (Penolong bagi yang memohon pertolongan) dan Pemberi Perlindungan.
Fa (ف): Yang Menumbuhkan biji-bijian dan tumbuhan.
Qaf (ﻕ): Yang Mahakuasa atas makhluk-Nya.
Kaf (ﻙ): al Kafi (Yang Memberikan Kecukupan) bagi semua makhluk, tiada yang serupa dan sebanding dengan-Nya.
Lam (ﻝ): Lathif (Mahalembut) terhadap hamba-hamba-Nya dengan kelembutan khusus dan tersembunyi.
Mim (ﻡ): Malik ad dunya wal akhirah (Pemilik dunia dan akhirat).
Nun (ن): Nur (Cahaya) langit, cahaya bumi, dan cahaya hati orang-orang beriman.
Waw (ﻭ): al Wahid (Yang Mahaesa) dan tempat bergantung segala sesuatu.
Haa (ه): al Hadi (Maha Pemberi Petunjuk) bagi makhluk-Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu dan memberikan petunjuk.
Lam alif (لآ): lam tasydid dalam lafadz Allah untuk menekankan keesaan Allah, yang tiada sekutu bagi-Nya.
Ya (ﻱ): Yadullahbasithun lil khalqi (Tangan Allah terbuka bagi makhluk). Kekuasaan dan kekuatan-Nya meliputi semua tempat dan semua keberadaan.
Rasulullah saw bersabda, ”Wahai Ali, ini adalah perkataan yang Allah rela terhadapnya.” Dalam riwayat dijelaskan bahwa Yahudi itu masuk Islam setelah mendengar penjelasan Sayyidina Ali.