Kamis, 07 Januari 2016

KARPET SAJADAH DAN SEMPAK

Belum lama ini kita saksikan peristiwa dilangsungkannya tarian di atas sajadah pada acara Hari Amal Bahkti Kemenag ke-70 di Kanwil Kemenag DKI Jakarta, Minggu (3/1) lalu menuai beragam tanggapan. Banyak netizen, menyayangkan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengecam dengan nada provokatif. Mendapati reaksi itu, Menteri Agama melalui surat resmi menyampaikan permohonan maafnya. Kanwil Kementerian agama DKI Jakarta sebagai penyelenggara juga telah meminta maaf sembari menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi di lokasi penyenggaraan HAB Ke-70 tersebut.

Menyinggung peristiwa ‘gaduh’ ini, Katib Syuriah PBNU KH. Sa’dun Affandi berpendapat, meskipun karpet bermotif sajadah adalah produk budaya, namun yang lebih penting untuk diperhatikan adalah dimensi etis dan tatakrama. Sajadah bagaimanapun telah menjadi instrumen ibadah dalam arti kebudayaan. "Secara fikih memang tidak ada masalah, tapi yang secara etis, ditinjau dari sisi moralitas, tentu saja hal itu tidak bisa dibenarkan. Kanwil Kemenag seharusnya lebih berhati-hati. Apalagi peristiwa “Sajadah” ini menyangkut sesuatu yang memang sangat sensitif bagi umat Islam."

Biar tidak terulang lagi, Menteri Agama harus mengusut tuntas motif di balik peristiwa ini. Yang penting kita umat Islam jangan sampai terprovokasi. Bahasa sederhananya menurut Kiai Sa'dun, "Menari di atas alas sajadah menyalahi tatakrama budaya."

Alkisah, ketika kuliah di Kairo, Gus Dur suka memlonco (nggojlok: bahasa Kediri) pendatang baru dari tanah air. Partnernya dalam panitia perploncoan biasanya adalah Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri) dari Rembang. Suatu hari KH. Syukri Zarkasyi yang ketika itu pastinya belum Kiai Haji dan menurut Gus Dur "pekerjaannya di Kairo hanya main band tapi pulang-pulang jadi kiai"—bertamu ke tempat kos Gus Dur. Tentu saja disambut dengan penuh keramahtamahan, dipersilakan duduk, saling menanyakan keselamatan, di-godog-kan (rebus) air untuk membuatkan minuman teh dan seterusnya.

Hanya saja karena namanya juga tempat kos: kamar, dapur dan ruang belajar ya jadi satu. Maka Gus Syukri Zarkasyi pun melihat segala yang dilakukan oleh tuan rumahnya. Gus Mus mempersiapkan cangkir dan lepek sambil bertanya kepada Gus Dur, "Di mana lapnya tadi?"

Gus Dur berjalan ke sisi almari, mengambil "lap" yang ternyata adalah celana dalam alias sempak. Lalu diberikannya kepada Gus Mus yang diterima dengan wajah dingin, kemudian langsung dipakai untuk ngelap cangkir sambil mengobrol dengan Gus Syukri. Merah-padamlah wajah calon kiai Gontor ini, sekaligus pucat-pasi. Ketika teh sudah tersuguhkan, mau tak mau ia meminumnya, meskipun perasaan dan lidahnya bercampur-aduk.

Sekian lama kemudian baru mereka bertiga tertawa cekakakan. "Cangkir harus dilap dengan kain istimewa yang paling bersih, diantara kain-kain yang ada. Dan kain itu betul-betul gress dari toko, belum pernah dipakai sebagai sempak. Karena itu belum bisa disebut sempak," kata Gus Dur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar