Minggu, 24 Januari 2016

Niat

Sulthan Awliya Maulana Syaikh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani 

Grandsyaikh Syah Baha’ud-Din Naqsyband  berkata bahwa niat sangat penting.  Niat (niyyah) terdiri dari huruf ‘Nun’, yang melambangkan ‘Nur Allah’, Cahaya Allah , ‘Ya’, melambangkan ‘Yad Allah’, Tangan Allah , dan ‘Ha’, yang melambangkan ‘Hidayatullah’, bimbingan Allah .  Niat adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa, datang dari alam ghaib dan bukan dari dunia material. 

Di jalan kebenaran, Thariq-i-Haqq, ada dua metode yang digunakan, yaitu jalan yang mengikuti Thariq-i-Nafsani, jalan di mana pertama kali Nafs atau ego dididik agar jiwanya selamat, dan mereka yang mengikuti Thariq-i-Ruhani, jalan di mana Ruh atau jiwa dimurnikan.

Thariq-i-Nafsani sangat berat karena kalian harus selalu melakukan hal yang berlawanan dengan apa yang diinginkan oleh ego.  Itu adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Thariq-i-Ruhani lebih mudah.  Syaikh berkata bahwa dalam thariqat kita, kalian dapat menggunakan yang terbaik di antara keduanya dengan syarat kalian juga harus melakukan hal terbaik dalam beribadah kepada Allah .  Dalam thariqat ini pertama kali Ruh dalam jiwa kita dimurnikan tanpa menghiraukan ego.  Kemudian setelah Ruh menemukan atribut asli dari ego, suka atau tidak, dia (ego) harus mengikuti Ruh dan mematuhi perintahnya. 

Syaikh membukakan hatinya kepada hati murid dan memberi berkah Ilahi (Faiz), yang berasal dari Samudra Faiz Ilahi.  Beliau mempertebal kecintaan terhadap Allah   dalam hati murid-muridnya dan dalam kobaran api kecintaan Ilahi ini, semua yang berbau dunia materialistik akan terbakar.  Lewat Faiz itu hati kita dibersihkan.  Kemudian murid akan mengalami perubahan.  Karena berkah dan kekuatan spiritual dari Syaikhnya, murid dapat mengalami peningkatan dari level kejiwaan yang terendah ke level tertinggi.

Dalam diri anak-anak Adam selalu terdapat dua hal yang saling bertentangan.  Ruh-u-Hawwaniya, yang selalu menentang Allah  dan bersifat memberontak, dan Ruh-u-Sulthaniya yang selalu patuh kepada Allah  dan menemukan kebahagiaan dalam beribadah kepada-Nya.  Jika jiwa terendah selalu memegang kendali, karakteristik seseorang bisa lebih buruk daripada seekor binatang buas.  Sebaliknya jika jiwa tertinggi yang memegang kontrol, karakteristik seseorang bisa lebih baik daripada para malaikat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar