Suatu hari, Gus Miek (Kyai Hamim Djazuli Kediri) dengan diikuti Gus Farid (kerabatnya) bertandang ke sebuah diskotek. Di sana, Gus Farid mencoba menutupi identitas Gus Miek agar tidak dilihat dan dikenali pengunjung diskotek itu.
“Gus, apakah jama’ah sampeyan kurang banyak? Apakah sampeyan kurang kaya? Kok mau masuk tempat seperti ini?” Tanya Gus Farid kemudian.
Gus Miek terlihat emosi mendengar pertanyaan orang terdekatnya, yang telah puluhan tahun mengikutinya.
“Biar nama saya CEMAR di MATA MANUSIA, tapi TENAR di MATA ALLAH. Apalah arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata umat.
Semua orang yang di tempat ini, di diskotik ini, juga menginginkan surga, bukan hanya jamaah (kaum santri dan bersarung) saja yang menginginkan surga. Tetapi, siapa yang berani masuk ke tempat seperti ini? Kyai mana yang mau masuk ke tempat-tempat seperti ini?!” Sergah Gus Miek.
Gus Farid terdiam. Tak lama setelah itu, Gus Miek pun kembali ceria seolah lupa dengan pertanyaan Gus Farid barusan.
Memang, setiap kali Gus Miek masuk bar, lobi hotel ataupun tempat-tempat 'hiburan pelepas penat' bagi orang-orang tertentu seperti ini, ada saja orang-orang yang mengerubunginya, masing-masing mengadukan permasalahan kehidupannya..
(ya pantes, Gus Miek kan ibarat “air dua kolah, bisa mensucikan najis”, lha gue?? Gak coba-coba deh)
***
Di Semarang, pernah ada surga perjudian yang dikenal sebagai NIAC, yang kemudian menjadi neraka perjudian setelah “dihancurkan” oleh Gus Miek. Begitu pula dengan BONANSA dan THR, yang terkenal memiliki bandar dan backing yang kuat.
Pada masa itu, sekitar 1970-1972, orang-orang dari massa PPP (Partai Persatuan Pembangunan) gencar menggelar aksinya memberantas kemaksiatan di tempat-tempat ini, tapi selalu gagal, karena memang, tempat seperti NIAC memiliki backing yang tak bisa dianggap remah, baik backing fisik maupun politik.
Lalu bagaimana jika seorang Kyai atau “Santri Pesantren” turut masuk ke dalam tempat seperti ini? Apalagi ikut permainan-permainan judi? Gus Miek kerap menyambangi NIAC maupun THR, di sana ia turut bermain, dengan segala kelebihannya, ia mampu memenangkan hampir di setiap permainan sehingga membuat cukong-cukong itu menanggung kekalahan yang sangat besar.
Mungkin para Bandar ini tak takut dosa, apalagi ancaman-ancaman ayat Al-Quran, namun tak dapat dipungkiri, yang mereka takutkan adalah kerugian, kebangkrutan dan akhirnya kapok. Pada akhirnya, tempat perjudian ini pun hancur dengan sendirinya, hancur dari dalam, hancur sebab para pelakunya kapok dengan judi, “dihancurkan” oleh Gus Miek.
Namun seperti biasa, uang hasil kemenangan perjudian tak pernah dinikmatinya.
Pernah suatu ketika, setelah menang banyak sambil membawa satu kantong terigu penuh dengan uang, Gus Miek berkata kepada Shodiq, salah satu ‘santrinya’ dari Pakunden-Blitar, “Kamu jangan ikut menikmati. Uang ini tidak bisa kita makan. Uang ini sudah ada yang berhak.”
Kemudian Gus Miek berkeliling naik becak, uang itu disebar di sepanjang jalan untuk para tukang becak dan penjual kopi di pinggir jalan.
Memang, walaupun Gus Miek banyak bertingkah 'khariqul-adah' (di luar kebiasaan), ia sangat keras melarang pengikutnya untuk menirukan tingkah lakunya, seperti bergaul dengan orang-orang 'dunia hitam'. Ia tetap memerintahkan santrinya untuk shalat dan menghindari maksiat.
(Gus, di mana sih belajar “maen”? ada kitabnya? hehehe)
***
Suatu pagi di kota Kediri, Gus Miek beserta Miftah (Garum, Blitar) berjalan-jalan dengan menaiki sepeda. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Gus Miek mengajak berhenti.
“Miftah, kamu nanti ikut bersalaman dengan orang itu,” katanya sambil menunjuk seorang pengemis yang sedang meminta-minta. Keduanya lalu menunggu. Setelah ada orang yang memberi, pengemis itu berdiri dan beranjak pergi.
Gus Miek kemudian mengucapkan salam, pengemis itu pun membalasnya.
“Lho, kok kamu, Gus?!” kata pengemis itu.
“Iya, Mbah,” Sahut Gus Miek.
“Di sana lho, Gus, ada warung murah, tetapi masih ada yang lebih murah lagi.” Kata pengemis itu.
“Iya, Mbah. Hanya itu saja Mbah?” Tanya Gus Miek.
“Iya, Gus” jawab pengemis itu sambil berlalu.
Setelah pengemis itu pergi, Gus Miek berkata kepada Miftah, “Tah, orang itu adalah orang yang terbalik.”
“Terbalik bagaimana, Gus?” Tanya Miftah keheranan.
“Maksudnya, kelak di akhiratnya dia tidak seperti itu. Dia kalau tidur seenaknya sendiri, di emperan toko juga sudah biasa. Kyai Mahrus Ali (Lirboyo-Kediri) mencari orang itu dalam dua tahun tidak ketemu, kalau aku sering sekali bertemu dengan dia.” Kata Gus Miek.
“Kok menunjukkan warung murah, Gus?” Tanya Miftah lagi.
“Ya, itu tadi mencemooh aku. Maksudnya, aku DILARANG TAKABUR. Tapi, aku kan masih muda, ya tidak
bisa kalau tidak takabur. Sedangkan dia sudah tua, ya pasti bisa untuk tidak takabur.” Jawab Gus Miek.
(bener juga Gus, emang susah jadi anak muda, hehehe)
***
Akhirnya, Gus Miek pernah berpesan kepada Amar Mujib (santri Ploso-Kediri yang sering mengikutinya),
“Jangan sekali-kali kamu SU’U-DZANN (buruk sangka) dengan siapa saja. Apabila ada orang yang meminta sumbangan, anggaplah ia bagian dari orang shalih (MIN AS-SHALIHIN). Bila ada pengemis meminta-minta, anggaplah ia bagian dari orang arif dan bijaksana (MIN AL-‘ARIFIN). Bila ada seorang kyai yang meminta sumbangan, anggaplah dia bagian dari orang-orang yang berpengetahuan sangat luas (MIN AL-‘ALIMIN). Kalau sudah begitu, mintalah doa restu.”
***
dari buku biografi Perjalanan dan Ajaran Kyai Hamim Djazuli, “Gus Miek”,
susunan M. Nurul Ibad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar