Senin, 22 Desember 2014

Sayyid ,Syarif ,Habib ,Alawiyyin dan kiai

Antara Sayyid, Syarif, Habib, Alawiyin dan Kyai 
(dibahas tuntas disini) ^^

Sayyid berasal dari bahasa Arab yang berarti Tuan atau junjungan. Kaum Sayyid dianggap sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw melalui putrinya Fatimah Az Zahra. Kaum Sayyid adalah keturunan dari Husein ( Cucu Nabi Muhammad Saw ). Sayyid adalah sebutan untuk laki- laki dan Sayyidah untuk sebutan perempuan.

Adapun keturunan yang melalui jalur Hasan ( cucu Nabi Muhammad Saw ) disebut dengan Syarif ( untuk laki - laki ) dan Syarifah ( untuk perempuan).

Kata Sayyid / Syarif dan Sayyidah atau Syarifah digunakan sebagai keterangan saja bukan untuk gelar. Gelar bagi mereka adalah Habib ( kekasih ) untuk laki- laki dan Habibah untuk perempuan.

Mereka terbagi dalam kabilah -kabilah / keluarga / marga yang biasanya terdapat di akhir nama mereka misal Al Habsy, Al Hadad dan lain – lain. Diantara kabilah - kabilah tersebut banyak yang mempunyai pimpinan secara turun temurun yang bergelar Munsib. Para Munsib berdiam di lingkungan keluarga yang paling besar atau di tempat asal keluarga.
Ada sejumlah keluarga Sayyid yang dianggap suci dan setara dengan wali, sedangkan golongan lain dianggap sebagai golongan Awas ( ahl al Kasyf ).

Tradisi cium tangan oleh orang yang bukan Sayyid / Syarif kepada kaum Sayyid / Syarif sebagai penghormatan disebut dengan Taqbil.

Gelar habib juga dipakai oleh keturunan Abas bin Abdul Mutallib ( Abbasiyyin ) dan Abi Talib bin Mutallib ( Talbiyyin ).

Allawiyyin adalah sebutan bagi keturunan dari Ahmad bin Isa yang merupakan merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah az-Zahra.

Mereka yang membatasi gelar sayyid hanya untuk keturunan Nabi Muhammad Saw melalui Fatimah az-Zahra, tidak akan memasukkan Allawi/Alavis dari jalur Ali bin Abu Thalib dengan istri yang lain ( Selain Fatimah Az Zahra ) kedalam sayyid.

Jauh sebelum itu, pada abad - abad pertama Hijriyah, julukan Alawiyin ( Alawi ) digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Ali bin Abi Thalib, baik nasab secara keturunan ataupun karena persahabatan akrab. Kemudian sebutan Alawi itu dikhususkan untuk keturunan Hasan dan Husein. Seiring berjalannya waktu, akhirnya Alawi hanya berlaku bagi keturunan Alwi bin Ubaidullah. Alwi adalah anak pertama dari cucu Ahmad bin Isa.

Kaum Arab yang bukan Sayyid / Syarif disebut Qabili.

Kaum Sayyid yang pertama masuk di Indonesia adalah marga Basyaiban dan Azmathkhan yang hingga kini keturunannya banyak yang sudah berbaur dengan masyarakat jawa bahkan sudah agak sulit dikenali secara Fisik dan nama yang kebanyakan sejak pertama masuk ke Indonesia memang sudah menyesuaikan diri dengan mengganti nama mereka dengan nama Jawa agar mudah diterima dalam dakwahnya serta membuka diri dengan menikahi kaum yang bukan Sayyid ( Pribumi ). Berbeda dengan kaum sayyid yang lain yang kedatangannya jauh sesudah kedua marga tersebut yang masih membatasi hubungan dan perkawinannya hanya dengan kelompoknya saja, sehingga masih mudah dikenali dari bentuk fisiknya sebagai etnis arab dan nama marga yang biasanya disebutkan di belakang namanya seperti Al Habsy, Al Hadad dan lain - lain. Hal ini sesuai dengan penelitian L.W.C Van Den Berg dalam bukunya Le Hadramawt et Les Colonies Arabes dans l’Archipel Indien (1886) mengatakan:”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar diantara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramawt (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (yakni kaum Sayyid Syarif Hadramaut) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
Dalam buku yang sama hal 192-204, Van Den Berg menulis:”Pada abad XV, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).
Orang-orang Arab Hadramawt membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab mengikuti jejak nenek moyangnya." Perhatikanlah tulisan Van Den Berg ini yang spesifik menyebut abad XV, yang merupakan abad spesifik kedatangan dan / atau kelahiran sebagian besar Wali Songo di pulau Jawa. Abad XV ini jauh lebih awal dari abad XVIII yang merupakan kedatangan kaum Hadramawt gelombang berikutnya yaitu mereka yang sekarang kita kenal bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga hadramawt lainnya.

Marga Hadramawt yang termasuk sayyid antara lain :
Afiff, Alatas, Alaydrus, Albar, Algadrie, Alhabsyi, AlHamid, AlHadar, AlHadad, AlJufri, Assegaff, Attamimi, AlMuhazir, Baaqil, Baraja (Syekh), Basyaiban, Baridwan, Bawazier, BinSechbubakar, Jamalullail, Maula Dawileh, Maula Heleh /Maula Helah, Shahab, Shihab dll.

Adapun Marga Hadramawt yang termasuk Qabili antara lain : Abud, AbdulAzis, Addibani, Alkatiri, Ba’asyir , Bachrak, Badjubier, Bafadhal, Bahasuan, Basyaib, Baswedan, Haneman,Kawilah, Thalib, bahafdullah dll.

Marga keturunan Hasan antara lain :

Syambar (Syanabirah) : Keturunan Sayyid Syambar bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Bersambung pada Sayyid Qatadah bin Idris bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.

Barakat : Keturunan Barakat bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if. merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ghaits, Nasir, Aal-Muflih dll.

Al-Jazan : Keturunan Sayyid Jazan bin Qaytabay bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Tha’if dan sekitarnya.

Al-Harits : Keturunan Sayyid Muhammad Al-Harits bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Mekkah, Tha’if dan sekitarnya.

Hamud : Bersambung pada Hasan Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah dan sekitarnya.

Al-Hazim : Keturunan Sayyid Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah, Jeddah dll. Sebagian mereka dikenal dengan julukan Barakat.

Zaid : Keturunan Sayyid Zaid bin Muhsin bin Husain bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Kekuasaan kota Makkah ada pada keluarga mereka selama lebih dari dua abad sebelum keluarga ‘Aun. Dari mereka banyak yang dikenal dengan julukan lain, seperti marga Yahya, Abdullah, Ghalib, Musa’id dll.

Al-Amir : Keturunan Al-Amir Khalid Quthbuddin bin Muhammad bin Hasyim bin Wahhas bin Muhammad bin Hasyim bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.

Ats-Tsa’labi (Tsa’alibi) : Keturunan Tsa’lab bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai Laut Merah di Jeddah.

Al-Ja’fari : Keturunan Sayyid Ja’far bin Ni’matullah Al-Akbar bin Ali bin Dawud bin Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun. Tersebar di Yaman dll.

Al-Jailani : Keturunan Sayyid Asy-Syehk Abdulqadir Al-Jailani. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Tersebar di Iraq, Siria, Maroko dll. Di Maroko mereka lebih dikenal dengan julukan Al-Kailani dan Al-Qadiri.

Az-Za’bi : Keturunan Sayyid Abdul Aziz Az-Za’bi bin Abudulqadir Al-Jailani. Tersebar di Palestina, Jordan, Siria, Beirut dll

Al-Khawaji : Keturunan Sayyid Ali Al-Khawaji bin Sulaiman bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.

Asy-Syammakhi : Keturunan Sayyid Syammakh bin Yahya bin Dawud bin Abi Ath-Thayyib. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Adz-Dzarwi : Keturunan Sayyid Dzarwah bin Hasan bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.

Al-Anbari : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Thayyib : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Al-Musaawi : Bersambung pada Adz-Dzarwi.

Al-Jauhari (Jawahirah) : Keturunan Asy-Syarif Syaiban bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.

Al-Idrisi Al-Maghribi : Keturunan Sayyid Idris bin yang bersambung padan Sayyidina Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Leluhur mereka adalah pendiri Kerajaan Maroko, kerajaan ini berjaya sampai kini dan secara turun temurun dikuasai oleh keluarga Al-Idrisi atau Adarisah.

Al-Idrisi Al-Ifriqi : Keturunan Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Abi Thalib. Tersebar di Afrika Utara.

Al-Maliki Al-Hasani : Bersambung pada Al-Idrisi.

Al-Masyhur Al-Hasani : Marga ini sebenarnya adalah “Bin Masyhur”, namun, pada masa kolonial Belanda, orang-orang Belanda menyebut “Al-Masyhur” untuk memukul rata marga-marga Arab dengan awalan “al”

Marga keturunan Al-Husain antara lain :

Ar-Rifa’i : Keturunan Sayyid Hasan Rifa’ah bin Ali Al-Mahdi bin Al-Qasim bin Husain bin Ahmad bin Musa bin Abi Sabhah bin Ibrahim Al-Murtadha Al-Ashghar bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Ash-Shadiq. Mereka tersebar di Bashrah, Kuwait, Palestina, Jordan dan lain-lain.

Al-Kayali : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ash-Shayyadi : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

An-Naqib : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ar-Rawi : Keturunan Sayyid Yahya bin Hasun bersambung pada Ar-Rifa’i. Julukan Ar-Rawi berasal dari kota Rawah yang terletak di wilayah Anbar, Iraq. Tersebar di berbagai tempat di Iraq dan Siria, merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ubaid, Sawahik dll.

An-Na’im : Bersambung pada Ar-Rifa’i.

Ar-Rajih : Keturunan Sayyid Rajih bin Abi Numai Al-Awwal. Bersambung Al-Imam Musa Al-Kazhim. Tersebar di Hijaz, termasuk Tha’if dan sebagainya.

Al-Alawi (Ba’alawi) : Keturunan Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Abi Thalib. Tersesebar di hampir seluruh negeri Islam, termasuk Indonesia berpusat di Hadhramaut-Yaman. Lebih dari tiga ratus marga bersambung pada Sayyid Alawi ini, dan masing-masing bersambung melalui Assayyia Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qisam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath memiliki dua putra, Sayyid Ali dan Sayyid Alawi. Sayyid Ali mempunyai satu putra yaitu Muhammad Al-Faqih, dan beliau banyak memiliki keturunan. Sedangkan Sayyid Alawi dikenal dengan sebutan Ammil-faqih dan beliau juga memiliki banyak keturunan.

Marga keturunan Ammil-faqih antara lain :

Diantara mereka adalah keluarga Azmatkhan, Al-Haddad, Bin Semith, Ba’abud Maghfun, Bahasan Thawil, Babathinah, Bin Thahir, Bin Hasyim, Bashurrah, Ali Lala, ‘Aidid, Bafagih, Basakutah, Bafaraj, ‘Auhaj, An-Nadhir dan Qullatain.

Keturunan Ammil-faqih tidak begitu banyak memiliki pecahan marga sebagaimana keturunan Al-faqih, namun bukan berarti keturunan Ammil-faqih lebih sedikit dari keturunan Al-Faqih, karena banyak dari keturunan Ammil-faqih yang tidak terdaftar, yaitu keturunan Abdullah bin Ammil-faqih yang dulu hijrah ke Filipina dan berbaur dengan pribumi untuk berda’wah, juga keluarga Azmatkhan yang tersebar di India, Indonesia dan sebagainya. Di Indonesia, keluarga dan keturunan Azmatkhan lebih banyak dari Ba’alawi yang lain, hanya saja mereka sudah njawani, mereka sudah seperti orang Jawa biasa.

Pada saat Sayyid Husain Jamaluddin (kakek kebanyakan keluarga Azmatkhan Indonesia) meninggalkan India, beliau pergi bersama tiga orang saudara beliau, yaitu Sayyyid Qamaruddin, Sayyid Majiduddin dan Sayyid Tsana’uddin, mereka memasuki daratan Cina dan negeri-negeri lain di Asia. Nah, bisa jadi mereka juga memeliki banyak keturunan di Cina dan lainnya, sebagaimana Sayyid Husain Jamaluddin di Indonesia. Kemudian ditemukan pula saudara Sayyid Husain Jamaluddin yang berna Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, beliau menjadi Sultan di Tailand dan sebagian keturunan beliau hijrah ke Indonesia.

Marga Keturunan Al-Faqih antar lain :

Diantara mereka adalah keluarga Mauladawilah, As-Saqqaf atau Assegaf, Al-Idrus atau Alaydrus, Bin Syehk Abibakar (biasa disingkat BSA), Al-Atthas atau Alatas, Bin-syihab atau Shahab, Al-Habsyi, Asy-Syathiri, Maulakhelah, Baharun, Bafagih, Bilfagih, Ba’agil, Bin’agil, Al-Jufri, Al-Bahar, Bin Jindan, Al-Munawwar, Al-Hamid, Hamid, Al-Bar atau Albar, Al-Kaf, Al-Muhdhar, Al-Musawa, Al-Masyhur, Al-Muqaibil, Bin Hadun, Al-Haddar, Al-Hinduan, Bin Yahya, Mudhar, Al-Baiti, Al-Qadri, Basyaiban, Basyumailah, Bin Syaikhan, Ash-Shafi, Ba’umar, Al-Ghamri, Bafaraj, Baraqba, Al-Musawa, Fad’aq, Barum, Bajahdab, Jamalullail, Assirri, Bin Sahl, Hamdun, Kharid atau Khirid, Khunaiman, Khamur dan masih banyak lagi yang lainnya.
Keluarga Al-Alawi atau Ba’alawi berpusat di Hadhramaut, Yaman, kemudian berpencar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, mereka dikenal dengan sebutan “Habib”, kecuali keluarga “Azmatkhan” dan “Basyaiban” yang telah lama berbaur dengan masyarakat Jawa, maka merekapun -yang menjadi tokoh agama- lebih dikenal dengan julukan semisal Kiai.

Gelar sebutan para Sayyid/ Syarif berdasarkan periode abad
Rabithah Alawiyah :: dalam artikel onlinenya, menyatakan bahwa menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :

1. IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.

2. SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.

3. HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.

4. SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.

Kebanyakan dari Masyarakat umum dan bahkan kaum Sayyid / Syarif di Indonesia menganggap keturunan yang sah apabila para sayyid / syarif tersebut mempunyai nasab yang tak terputus dari jalur laki - laki, sehingga bila para Syayyid san Syarif tersebut telah memiliki jalur perempuan kemudian dianggapnya tidak sah. Hal ini adalah budaya Arab Jahiliyah yang dapat dibuktikan secara otentik dengan melihat turunnya surat al Quran yang sebelumnya didasarkan pada kejadian yang dialami Nabi Muhammad Saw yakni ketika Al-Qasim, putra Rasulullah, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliu, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

“Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.”

Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah memberi banyak keturunan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’.

Sedangkan Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..

إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ

“Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”

Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.

Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah sepakat untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Maka bila ada orang yang membeda-bedakan geris laki-laki dan perempuan maka berarti orang itu bukan penganut paham Islam dan bukan pula penganut “budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak berpendidikan” lagi orang yang mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan terputus dari ayah si perempuan.

Semoga Allah Swt selalu merahmati kita semua fil Jasad, wal batin ngindarRUH amin

Wallau'alam

Wassalam... ^^

Minggu, 21 Desember 2014

Muallif Shalawat Wahidiyah

YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH 

KISAH DAN PETUAH

Catatan Kecil 134 : "KESAKSIAN" SEBAGAI PERSONAL (PENGAMAL) APA YG KAMI KETAHUI, RASAKAN DAN ALAMI DALAM PERJUANGAN WAHIDIYAH TTG : "QUTHBUR - ROBBANI".

SETELAH SHOLAWAT WAHIDIYAH TERCIPTA TAHUN 1963 DAN JUGA TELAH DIUJI COBA KEAMPUHANNYA SEPERTI DALAM SEJARAH LAHIRNYA SHOLAWAT WAHIDIYAH, BELIAU HADROTUL MUKARROM MBAH YAHI MU'ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA AL-GHOUTS FII ZAMANIHI KEMUDIAN BELIAU MENGADAKAN ASRAMA WAHIDIYAH (UP GRADING DA'I WAHIDIYAH) PERTAMA KALI PADA TAHUN 1964 SETELAH MUJAHADAH KUBRO, DAN JUGA BELIAU MENGADAKAN ASRAMA WAHIDIYAH (UP GRADING DA'I WAHIDIYAH) YANG KEDUA PADA AWAL TAHUN 1965, BERTEMPAT DI SERAMBI MASJID PONDOK PESANTREN KEDUNGLO KEDIRI.

ASRAMA WAHIDIYAH (UP GRADING DA'I WAHIDIYAH) PERTAMA INI DIIKUTI OLEH SEKITAR 36 ORANG YANG TERDIRI DARI PARA TOKOH WAHIDIYAH (PERSONIL PSW PUSAT), PARA KYAI DAN BEBERAPA PENGAMAL WAHIIDIYAH DARI DAERAH YANG DISAMPAIKAN LANGSUNG OLEH MBAH KH. ABDUL MADJID MA'ROEF MU'ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA. BEGITU PULA UP GRADING DA'I WAHIDIYAH YANG KEDUA KALI, DIIKUTI LEBIH BANYAK LAGI, JUGA MATERI KULIAH-KULIAH WAHIDIYAH LANGSUNG DISAMPAIKAN OLEH BELIAU SENDIRI.

KETIKA PEMBAHASAN MATERI UP GRADING SAMPAI BAB "GHOUTSIYYAH" (Asrama Wahiidiyah yang kedua), MBAH YAHI QS WA RA SETELAH MENJELASKAN BAB AL-GHOUTS SEMPAT BERTANYA KEPADA PARA PESERTA UP GRADING : "SIAPA YANG PERNAH BERJUMPA DENGAN GHOUTSU HADZAZ ZAMAN ?". TANYA MBAH YAHI QS WA RA.
TAK SATUPUN DIANTARA PESERTA ASRAMA WAHIDIYAH/UP GRADING YANG MENJAWAB PERTANYAAN MBAH YAHI QS WA RA TERSEBUT. SETELAH MBAH YAHI QS WA RA MENYELESAIKAN MATERI TENTANG "GHOUTSIYYAH" PAGI ITU, BELIAUPUN KEMBALI KE NDALEM.

SETELAH ITU KYAI MAHMUD MISBACH SALAH SEORANG PESERTA UP GRADING DARI KEPANJEN MALANG MENCERITAKAN KEPADA REKAN-REKAN PESERTA YANG LAIN, PERIHAL MIMPINYA SEMALAM KALAU DI DAHI MBAH YAHI MU'ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA TERTULIS KALIMAT "QUTHBUR ROBBANI".
NAMUN KARENA KYAI MAHMUD MISBACH TIDAK MENGERTI ATAU MUNGKIN LUPA BAHWA "QUTHBUR ROBBANI" ADALAH NAMA LAIN DARI "AL-GHOUTS", MAKA BELIAU BENGONG DIAM SAJA, GAK MENJAWAB KETIKA MBAH YAHI QS WA RA MENANYAKAN KEPADA PARA PESERTA UP GRADING, SIAPA YANG PERNAH BERJUMPA DENGAN "GHOUTSU HADZAZ ZAMAN RA ???".

"YA, BELIAU MBAH YAHI QS WA RA ITULAH "GHOUTSU HADZAZ ZAMAN RA". TERIAK REKAN-REKAN PESERTA UP GRADING YANG LAIN SECARA SERENTAK 
DAN SELANJUTNYA MEREKA BERAMAI-RAMAI MEMBOPONG KYAI MAHMUD MISBACH.

ALFAATIHAH 3X,

YAA AYYUHAL-GHOUTSU SALAAMULLOOH " ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAAH WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH " MUUSHILATIL LIL-HADLROTIL'ALIYYAH....... (3x)

Duhai Ghoutsu Hadhaz Zaman, kepangkuan-MU salam Alloh kuhaturkan Bimbing dan didiklah diriku dengan izin Alloh dan arahkan pancaran sinar Nadroh-MU kepadaku Duhai Yaa Sayyidii radiasi batin yang mewusulkan aku sadar kehadirat Maha Luhur Tuhanku

YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS 7x !.
Duhai Pemimpin Kami Duhai Kekasih Alloh !.

KETERANGAN :

Pada tahun 1964 sesudah peringatan Ulang Tahun Shalawat Wahidiyah yang pertama, diadakan Asrama Wahidiyah (UP GRADING) di Kedunglo dan diikuti tokoh-tokoh dan para Kyai yang sudah menerima Shalawat Wahidiyah, dari personil Pusat dan pengamal daerah Kediri, Madiun, Tulungagung, Blitar, Malang, Jombang, Mojokerto dan Surabaya. Asrama diadakan selama tujuh hari tujuh malam, dan kuliah-kuliah Wahidiyah langsung diberikan oleh Hadrotul Mukarrom Mbah KH. Abdul Madjid Qs wa Ra - Mu’allif Shalawat Wahidiyah Al-Ghouts Fii Zamanihi sendiri. Didalam asrama itulah lahirnya kahimat nida’ “YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH”.

Sebagai pelengkap untuk menyempurnakan dan meningkatkan amalan Shalawat Wahidiyah yang sudah ada, maka didalam lembaran Shalawat Wahidiyahpun kemudian ditambahkan kalimat tersebut. (periksa terlampir “Lembaran Shalawat Wahidiyah” yang ditulis pada tahun 1964).

Pada kira-kira awal tahun 1965, beliau menerangkan hal-hal mengenai Ghoutsu Hadzaz Zaman Ra. Didalam fatwanya tersebut (dalam suatu asrama Wahidiyah yang kedua) di Kedunglo, lahirlah dari kandungan fatwanya : 

# YAA AYYUHAL - GHOUTSU SALAAMULLOH, 
# ‘ALAIKA ROBBINII BI-IDZNILLAH. 
# WANDHUR ILAYYA SAYYIDII BINADHROH,
# MUUSHILATIL - LILHADLROTIL ‘ALIYYAH.

Aurod ini, merupakan suatu jembatan emas yang menghubungkan tepi jurang pertahanan nafsu disuatu fihak dan tepi kebahagiaan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW, dilain fihak. Sebagian pengamal Shalawat Wahidiyah menyebutnya “ISTIGHOTSAH” dalam Wahidiyah. 

Istighotsah ini tidak langsung dicantumkan kedalam rangkaian Shalawat Wahidiyah dalam lembaran-lembaran yang diedarkan kepada masyarakat, tetapi dianjurkan banyak diamalkan oleh mereka yang sudah agak lama mengamalkan Shalawat Wahidiyah, terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus. Begitu juga kalimah nida’ “FAFIRRUU ILALLAH” pada waktu itu belum dicantumkan dalam rangkaian pengamalan Shalawat Wahidiyah, tetapi dibaca bersama-sama oleh imam dan makmum pada akhir tiap-tiap do’a. Dan pada waktu itu “WAQUL JAA-AL HAQQU WA ZAHAQOL BAATHIL INNAL BAATHILA KAANA ZAHUUQOO” juga belum dijadikan rangkaian dengan “FAFIRRIUU ILALLAH” seperti sekarang. 

Tentulah ini suatu kebijaksanaan yang mengandung berbagai macam hikmah dan sirri-sirri yang kita tidak mampu menguraikannya atau tegasnya tidak mengetahuinya. Demikianlah dalam masa-masa sesudah tahun 1965, beberapa waktu lamanya “LEMBARAN SHALAWAT WAHIDIYAH” yang diedarkan kepada masyarakat tetap seperti semula yaitu sampai pada “YAA SAYYIDII YAA RASUULALLAH”.

Perhatian masyarakat makin hari makin terus bertambah-tambah terhadap Shalawat Wahidiyah. Permintaan-permintaan lembaran Shalawat Wahidiyah makin bertambah-tambah, sekalipun disana sini ada sebagian masyarakat yang tidak mau menerimanya dan bahkan memberikan reaksi terhadap Shalawat Wahidiyah. Kontras-kontras terhadap Shalawat Wahidiyah tersebut, ternyata dikemudian hari mengandung hikmah dari Allah SWT. Yakni merupakan saluran tarbiyah Allah SWT bagi peningkatan kesadaran kepada Allah wa Rasulihi SAW


Pembagian Wali


YAA SAYYIDII YAA AYYUHAL GHOUTS !
Gelar Bagi Al-Ghauts Ra

Berbagai macam gelar dan sebutan yang diberikan oleh para kaum sufi dan para auliyaillah kepada al Ghautsu Ra. Gelar dan sebutan tersebut disesuailan dengan tugas dan fungsi Beliau Ra. Sedangkan gelar al-Ghauts, diberikan kepada Beliau Ra karena fungsinya sebagai penolong bagi seluruh ummat tanpa pandang bulu.
Banyak sekali gelar dan panggilan yang sesuai dengan tugas batinyah dan yang diberikan kepada al-Ghauts Ra. Dan disini hanya diterangkan sebagian saja, antara lain :

1. Insan Kamil. (Manusia Sempurna).

Dalam kitab Misykat al-Anwar pada bahasan “al-Quthbu” Imam al-Ghazali menyebut al-Ghauts Ra dengan al-Insan al-Kamil (manusia sempurna dalam iman, taqwa dan akhlaknya) :

فَاِنَّ مَنْ يَجْمَعُ بَيْنَ الظَّاهِرُ والبَاطٍنُ جَمِيْعًا فَهَذَا هُوَ الكَامِلُ

Barang siapa dapat mengumpulkan (pemahaman) alam lahir dan alam batin secara menyeluruh, dialah manusia sempurna.

Gelar ini diberikan kepada Beliau al-Ghauts, karena kesempurnaan ahlaknya seperti akhlak Rasulullah Saw (sebagai fotocopy pribadi Rasululllah Saw) .

Sebagaimana penjelasan Imam Sofyan Tsaury Ra (ulama sufi yang ahli hadis) – yang berdasar pendapat para tabi’in - membagi ulama kedalam 3 (tiga) bagian :

العُلَمَاءُ ثَلاَثَةٌ :عَالِمُ بِاللهِ يَخْشَى اللهَ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِأَمْرِ اللهِ, عَالِمٌ بِاللهِ وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ يَخْشَى اللهَ فَذَاكَ العَالِمُ الكَامِلُ, وَعَالِمٌ بِأَمْرِ اللهِ وَلَيْسَ بِعَالِمٍ بِاللهِ فَذَاكَ العَالِمُ الفَاجِرُ

Ulama ada tiga kelompok; Ulama yang memahami tentang ilmu BILLAH, serta takut kepada Allah, namun ia tidak alim tentang hukum-hukum Allah. Dan, Ulama yang memahami BILLAH serta alim tentang hukum-hukum Allah, dan ia takut kepada Allah. Dan dialah orang alim yang sempurna. Dan, Ulama yang memahami hukum-hukum Allah, tapi tidak alim tentang ilmu BILLAH. Dan dialah ulama yang durhaka.

2. Al-Quthbu (wali quthub) atau Quthbul Wujud (Poros Wujud).

Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena tanggung jawabnya dalam alam – sebagai penjaga dan pelestari alam semesta.

اِعْلَمْ حَفَظَكَ اللهُ اِنَّ الاِنْسَانَ الكَامِلَ وَهُوَالقُطْبُ الذِي تَدُوْرُ عَلَيْهِ أَفْلاَكُ الوُجُودِ مِنْ اَوَّلِهِ اِلَى اَخِرِهِ وَهُوَ وَاحِدٌ مُنْذُ كَانَ الوُجُودُ اِلَى اَبَدِ الاَبَدِيْنَ ثُمَّ لَهُ تَنَوُّعٌ فِي مَلاَبِس وَيَظْهَرُ فِي كَنَائِس وَاسْمُهُ الاَصْلِيُ الَذِي هُوَ لَهُ مُحَمَّدٌ وَلَه فِي كُلِّ زَمَاٍن اِسٌم مَايَلِيْقُ بِلِبَاسِهِ

Ketahuilah, semoga Allah menjagamu. Sesungguhnya manusia paripurna itu adalah al-Quthbu, yang mana seluruh wujud dari awal sampai akhir senantiasa mengitarinya. Beliau itu hanya satu selama wujud ini masih ada. Beliau menampakkan diri dengan berbagai macam baju dan sangkar. Sedangkan asalnya nama al-Quthbu adalah untuk Nabi Muhammad Saw. Beliau Saw dalam setiap zaman bersama umat manusia dengan baju al-‘Arif tersebut, dengan menyesuaikan keadaan zaman.

Dan didalam kitab al-Yawaqit wal-Jawahir, oleh Sayyid Abdul Wahhab As-Sya’rani, halaman 82, menerangkan :

اِعْلَمْ اِنَّ بِالقُطْبِ يَحْفَظُ اللهُ دَائِرَةَ الوُجُودِ كُلَهُ فمَنْ عَلِمِ هَذاَ الامْرَ عَلِمَ كَيْفَ يَحْفَظُ اللهَ الوُجُودَ عَلَى عَالَمِ الدُ نْيَا

Ketahuilah, sesungguhnya melalui al-Quthbu (al-Ghauts), Allah menjaga alam wujud ini secara keseluruhan. Barang siapa yang mengerti (rahasia) perkara ini, maka ia mengerti bagaimana Allah menjaga wujud alam.

Dalam Kitab at-Ta’rifaat-nya Syeh Ali Ibn Muhammad al-Jurjani, dan dalam kitab Jami’ al-Ushul Syeh Kamsykhanawi, bab “wawu” dan bab “qaf”, dijelaskan :

القُطْبُ وَقَدْ يُسَمَى غَوثًا وَهُوَ مَوضِعُ نَظْرِ اللهِ فِي كُلّ زَمَانٍ أَعْطَاه الطَلسم الآَعْظَمُ, يُفِيْضُ رُوحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الآَعْلَى وَالآَسْفَلَ

Wali Quthub, kadang dinamakan Ghauts. Beliau sebagai tempat memancarnya pandangan Allah. Beliau juga mengalirkan cahaya kehidupan kepada alam baik bawah maupun atas.

القَطْبِيَةُ الكُبْرَى: هِيَ مَرْتَبَةُ قُطْبِ الآَقْطَابِ وَهُوَ بَاطِنُ نُبُوَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَيْهِ السلاَمُ, فَلاَ يَكُونُ إِلاَّ لَوَرَثَتِهِ لاحْتِصَاصِهِ عَلَيْهِ بِالآَكْمَلِيَةِ. فَلاَ يَكُونُ خَاتِمُ الوِلاَيَةِ وَقُطْبُ الآَقْطَابِ إِلاَّ عَلَى بَاطِنُ خَاتَمِ النُبُوَّةِ

Wali Quthub yang besar adalah martabat Qutubnya quthub. Beliau adalah sirri nubuwwah Muhammad Saw. Tidak ada wali quthub, kecuali kepada ulama pewaris Muhammad Saw. Hal ini memang khusus kepada mereka. Tidak ada penutup kewalian dan pusat para wali quthub, kecuali pada jiwa penutup para Nabi.

Dalam kitab Ghayatul Qashdi wal Murad juz I halaman 123, diterangkan tentang kaidah yang mashur dalam kalangan kaum sufi. Bahwa para ulama muhaqqiqin membagi kedudukan quthub kedalam 3 bagian. Pertama, quthbul ilmi, seperti Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra. Kedua, quthbul ahwal, seperti Syeh Abu Yazid al-Bushthami Ra. Ketiga, quthbul maqaamat, seperti Syeh Abdul Qadir al-Jailani.
Dan – sebagai tahaddus binni’mah -, diantara pengamal Wahidiyah mimpi bertemu Rasulullah Saw yang memberitahukan, bahwa Hadlratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’ruf Qs wa Ra Muallif Shalawat Wahidiyah memiliki ketiga-tiganya. Beliau Qs wa Ra mendapat warisan ilmu dan makrifat dari seluruh Ghauts sebelumnya. Hingga Beliau Qs wa Ra mencapai derajat mujtahid dalam bidang tasawuf dan tarekat.

3 Wahiduz Zaman (satu-satunya hamba Allah pada zaman itu).

Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena hanya Beliaulah yang menguasai suluruh sari ilmu agama dan kitab Allah yang diturunkan kedunia. Dan dalam hadis, Rasulullah Saw, juga menggunakan al-Wahid, ketika memaksudkan al-Ghauts Ra.
Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, dalam kitabnya Lawaqih al-Anwar wa Thabaqah al-Ahyar jilid II, dalam bab “Muhammad Wafaa”, menukil fatwa Muhammad Wafa :

لِكُلِّ زَمَانٍ وَاحِدٌ لاَمِثْلَ لَهُ فِي عِلْمِهِ وَحِكْمَتِهِ مِنْ أَهْلِ زَمَانِهِ وَلاَ مِمَّنْ هُوَ فِي زَمَانٍ سَابِقٍ وَلِسَانُ هَذَا الوَاحِدُ فِي زَمَانِهِ لِتَلاَمِيْذِهِ : كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَاسِ

Untuk setiap zaman terdapat satu hamba Allah yang tiada bandingannya dalam ilmunya dan hikmahnya, dan tiada yang membandinginya hamba-hamba (pewaris) masa lalu. Dan bahasa dari hamba satu ini dalam setiap zaman kepada muridnya : Engkau adalah ummat manusia terbaik yang diturunkan kedunia.
Syeh Amin Al Kurdi Ra menjelakan :

لاَبَنْبَغِي لِلْعَالِمِ وَلَوْتَبَحَّرَ فِي العِلْمِ حَتّى صَاَر وَاحِدَ اَهْلِ زَمَانِهِ اَنْ يَقْنَعَ بِمَاعَلَّمَهُ وَاِنَّمَا الوَاجِبُ عَلَيْهِ الاجْتِمَاعُ بِاَهْلِ الطَرِيْقِ لِيَدُلُّوهُ عَلَى صِرَاطِ المُسْتَقِيْمِ. وَلاَ يَتَيَّسَّرُ ذَاِلَك (كُدُورَاتِ الهَوَى وَحُظُوظُ نَفْسِهِ الاَمَّارَةِ بِالسُوءِ( عَادَةً اِلاَّ عَلَى يَدِ شَيْخٍ كَامِلٍ عَالِمٍ فَاِنْ لَمْ يَجِدْ فِي بِلاَدِهِ اَوْاِقْلِيْمِهِ وَجَبَ عَلْيْهِ السَفَرُ اِلَيْهِ

Tidak patut bagi orang alim, meskipun ilmunya seluas lautan, sudah merasa puas dengan ilmunya. Kecuali ia telah menjadi Wahiduz Zaman pada waktu itu. Bahkan ia wajib bagi mereka berkumpul dengan para ahli tarekat, agar ia ditunjukkan kearah jalan yang lurus. Karena tidak mudah menghilangkan kotoran dan keinginan serta lembutnya nafsu yang mengajak kepada kejelekan, kecuali ia dibawah kekuasaan dan bimbingan Syeh Yang Kamil dan Alim dalam hal tersebut. Dan apabila didaerahnya atau dilingkungannya tidak ada guru Syeh Kamil, maka ia wajib pergi menuju daerah dimana Syeh Mursyid Yang Kamil berada.

4. Sulthanul Auliya’ (Raja Waliyullah) dan Ru’usul ‘Arifin.

Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts, disamping sebagai penolong ummat dari belenggu kemusyrikan, juga sebagai pimpinan para waliyullah Ra dan para ulama Arif Billah wa Rasulihi Saw.

5. Al-Mujaddid = Pembaharu / Reformer .

Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts Ra, karena banyak diantara al-Ghauts yang sekaligus sebagai pembaharu dalam agama Islam, agar asas agama kembali seperti semula. Gelar Mujaddid ini diberikan kepada al-Ghauts dengan tambahan sebutan as-Shamadani/ atau al-Murabbi (Mujaddid al-Murabbi/ al-Mujaddid as-Shamadani). Dikandung maksud untuk membedakan dengan para mujaddid lain yang tidak berpangkat al-Ghaus Ra. Diantara al-Ghauts yang sekaligus seorang mujaddid :

1). Syeh Abu Thalib al-Makky (w. 385 H).

Beliau Ra adalah penulis kitab Quut al-Quluub. Kitab ini menjadi rujukan kaidah
tasawuf oleh para pembesar sufi pada masa berikutnya. Dan banyak ulama yang mengatakan, bahwa kitab inilah yang mengilhami Imam Qusyairi menulis kitab Risyalah al-Qusyiriyah, dan Imam Ghazali menulis kitab Ihya’ Ulumuddin.

2). Hujjatul Islam Imam al-Ghazaliy (w- 1111 M).

Dalam kitab al-Munqid min al-Dlalal (jalan keluar dari kesesatan) -nya, Imam Ghazali menceritakan pengalaman batinnya. Ketika itu, Beliau mengoreksi kemurnian batinnya dalam beribadah dan berjuang. Ditemukannya, ketika berjuang dan mengajar, ternyata niatan hati tidak untuk mengabdi kepada Allah Swt, melainkan untuk kepentingan kehormatan dan ketenaran diri, dan ini berarti bukan menyembah Allah Swt, akan tetapi menyembah nafsunya, dan ini pula yang dinamakan syirik dosa yang paling dimurkai oleh Allah Swt. Akhirnya ditinggalkannya tugas sebagai dosen dan kepala perguruan tinggi “Nidlamiyah”.

Beliau mengasingkan diri. Namun, ditengah-tengah pengasingannya itu, hatinya berbisik : kasihan ummat dididik oleh orang-orang yang tidak mengerti agama. Dan kembalilah Imam kebangku perkuliahan. Demikian pula ketika sudah berjuang dan mengajar, dikoreksinya niatan dalam hati, dan ditemukannya kembali, bahwa dirinya berjuang bukan karena Allah, akan tetapi tetap karena kehormatan dan ketenaran diri. Merasa usianya sudah tua yang tidak lama lagi pulang kerahmatullah, Imam mengasingkan diri kembali untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh untuk memohon hidayah-Nya.

3). Syeh Bahauddin an-Naqsyabandi (w. 896 H).
Ketika kurang 1 minngu dari hari kelahirannya, Syeh Baba as-Samasi Ra al-Ghauts pada waktu itu, berkata : sebentar lagi ada bayi yang akan lahir. Ketika sudah dewasa, nantinya dia menjadi waliyullah yang basar. Tepat 1 minggu, lahirlah bayi kecil yang diberi nama Bahauddin. Oleh bapaknya, bayi ini disowankan kepada Syeh Baba untuk dimohonkan doa restu. Kepada para murid yang juga ikut sowan, Syeh berfatwa : Ini adalah anakku juga, jika kamu hidup pada masa anak ini, ikutilah dia.

4). Syeh Abdullah Umar al-Ahdali as-Sirhindi (w. 1035 H).
Dalam syarahnya kitab “Faraidul Bahyah”, yang sering disertakan oleh para penerbit, dalam kitab “al-Asybah wa an-Ndzair”-nya Syeh Jalaludin Suyuthi, sebagai catatan luar/ hamisy, dalam bab “muqaddimah”, dijelaskan bahwa Syeh Umar al-Ahdali adalah waliyullah yang mencapai derajat al-Ghauts Ra.

5). Syeh Abdullah Alwi al-Haddad (w. 1132 H). Pemilik “ratibul haddad” dan pendiri tarekat Haddadiyah.
Beliau Ra ini mengalami buta sejak usia 4 tahun gara-gara penyaki katarak. Sejak kecil dia tekun menuntu ilmu, riyadlah dan mujahadah. Jika ingin mengetahui isi salah satu kitab, ia memintan kawannya yntuk membacakannya. Karena memiliki pemikiran cerdas, pandangan yang jauh, banyak para ulama yang bersedia membacakan kitab disampingnya. Banyak kitab tasawuf yang telah ditulisnya, antara lain : ad-Da’wah at-Tammah wa at-Tadzkirah lil-“Ammah Risaalah al-Mu’awanah, Adab Sulukil Murid, Nashaih ad-Diniyah wa al-Washaya al-Imaniyah dan an-Nafais al-Uluwiyah fi al-Masail as-Shufiyah. Dalam kitab yang pertama, Beliau menjelaskan bahwa tarekat terbagi kedalam ‘ammah (untuk mukmin dari kalangan bawah) dan khasshah (untuk para auliyaillah dan kaum arifin). Sedangkan kitab yang terakhir mengulas tentang derajat kewalian; abdal, autad, al-quthbu al-Ghauts, syaikhut thariqah. Banyak ulama pada masanya yang mengatakan bahwa Beliau adalah seseorang yang mampu mencapai derajat al-Quthbu al-Ghauts.

6). Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra).
Mbah KH. Muhammad Ma’ruf Ra, Ramanda dari Mbah KH. Abdul Majid Ma’ruf Qs wa Ra, pernah mimpi mengitari dunia sambil kencing. Dan tanah yang dikencingi menjadi subur, padahal sebelumnya tampak gersang. Mimpi ini ditanyakan kepada Mbah KH. Khalil Bangkalan Madura. Sampeyan nanti akan memiliki keturunan yang ilmunya dapat menyadarkan ummat manusia jami’al alamin, jawab Mbah Khalil. Baliau Qs wa Ra tidak meninggalkan sebuah kitab. Dan yang ditinggalkan dan diwariskan hanyalah Shalawat Wahidiyah, yang jika mau memandang dengan hati yang jernih, bebas darirasa iri, dengki dan ambisi - didalamnya terdapat ajaran yang merupakan inti dari kesempurnaan keimanan, keislaman dan keihsanan. Lain itu pula didalam shalawat Wahidiyah mengajarkan tentang keberadaan al-Ghauts Ra, dan sekaligus memberikan jalan untuk pembuktiannya, yang mana hal ini belum dilakanakan oleh para al-Ghauts sebelumnya. Disamping memiliki karamah mudah menyelesaikan permasalahan keluarga, shalawat Wahidiyah juga dapat membawa pengamalnya mudah bertemu Rasulullah Saw baik dalam mimpi maupun jaga.

* * Catatan Penting.

Diantara al-Ghauts Ra ada juga yang berpangkat mujaddid, dan juga yang tidak. Begitu pula, belum tentu seorang mujaddid, berpangkat al-Ghauts. Misalnya, sebagaimana keterangan dalam kitab Yawaqit diterangkan, bahwa Imam Syafi’i (w. 204 H) adalah mujaddid dalam bidang ushulil fiqih dan Abul Hasan al Asy’ari (w. 324 H) adalah mujaddid dalam biang penyusunan pemahaman aqidah, namun dalam kewaliannya bukan al-Ghauts, melainkan wali Abdal. Dan dalam kitab Bugyah al Mustarsyidin bab “khatimah”, diterangkan bahwa Imam Syafi’i adalah mujaddid abad ke 2 H dan Imam Abul Hasan al-Asy’ari beliau adalah mujaddid pada abad ke 3 H. Dan pada masa Syaf’i’i ini yang menjabat al-Ghauts Ra, adalah Syeh Syaiban ar Ra’i. (kitab Risyalah al Qusyairiyah, Imam Qusyairi w. 465 H, bab “washiyah ‘alal murid”). Dan pada masa Imam Al Asy’ari, yamng menjabat al-Ghauts Ra adalah Syeh Abu Bakar Sibliy Dallaf w. 327 H. ( kitab al-Insan al Kamil juz II bab “insan kamil” Syeh Abdul Karim Jilly w. 826 H)). Sedangkan al-Ghauts Ra yang tidak berpangkat mujaddid banyak sekali, antara lain, Syeh Abal Khair Hammad Ad-Dibas, Syeh Abdul Qadir Jailani, Imam Nawawi, Syeh Muhammad Wafa, Syeh Suhrawardi, Syeh Samsuddin al-Hanafi, Syeh Abdul Aziz ad-Dabbag, Imam badawiy, Syeh Abdullah as-Samani al-Madani.

7. Khatmul Auliya .

Al-Ghauts berkedudukan sebagai Khatmul Auliya’ sebagaimana Rasulullah Saw berkedudukan Khatmul Anbiya’. Dalam bahasa arab, kata al-Khatam dapat diartikan penutup dan setempel/ cap. Dalam kitab al-Insan al-Kamil nya Syeh al-Jilliy, bab “khatimatun”, juga diterangkan bahwa maqam makrifat tertinggi yang dapat dicapai oleh setiap salik disebut maqam al-Khitam, yang hanya dapat diraih oleh satu hamba Allah Swt dalam setiap zaman.

8. Murabby al-Qudsi = Pembimbing jiwa yang Suci.

Imam al-Ghazali Ra dalam kitabnya Misykatul-Anwar, dalam pasal I pada pembahasan “Nurul-Muthlaq”, menjelaskan :

وَهَذِهِ الخَاصَّة تُوجَدُ لِلرُوْحِ القُدْسِي النَبَوِي أِذْ تُفِيْضُ بِوَاسِطَتِهِ أَ نْوَارُ المَعَارِفِ عَلَى الخَلْقِ وَبِهِ تُفْهَمُ تَسْمِيَةُ اللهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِرَاجًا مُنِيْرًا, وَالاَنْبِيَاءُ كُلُّهُمْ سِرَاجٌ, وَكذَالِك العُلَمَاءُ

Dan “Nur al-Mutlah” ini diwujudkan khusus untuk ruh Nabi yang qudus (suci). Sebab dari Ruh Qudus ini mengalirlah seluruh nur makrifat kepada seluruh mahluk. Dan sebab Ruh Qudus ini pula dapat dipahami pemberian nama oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw, dengan nama Sirajan Muniran (pelita yang menerangi alam semesta). Dan semua Nabi adalah pelita, demikian pula ulama (al-Ghauts).

9. Al-Jami’ul Khalqi. Gelar ini diberikan kepada al-Ghauts karena kedudukannya sebagai tempat sandaran mahluk secara batiniyah.

اِعْلَمْ اِنَّ القُطْبَ وَقَدْ يُسَمَّى غَوْثًا بِاعْتِبَارِ اِلْتِجَاءِ المَلْهُوفِ اِلَيْهِ هُوَعِبَارَةٌ عَنِ الفَرْدِ الجَامِع الوَاحِدِ الذِي هُوَ مَوْضِع نَظْرِاللهِ فِي كُلِّ زَمَانٍ. وَمِنْ لَدُنْهُ يَسْرِي فِي الكَوْنِ وَالاَعْيَانِ البَاطِنَةِ وَالظَاهِرَةِ سِرْيَانُ الرُوْحِ فِي الجَسَدِ. بِيَدِهِ قِسْطَاسُ الفَيْضِ الاَعَمّ. هُوَ يُفِيْضُ رُوْحُ الحَيَاةِ عَلَى الكَوْنِ الاَعْلَى وَالاَسْفلِ. فَهُوَ بَاطِنُ نُبُوّةِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم

Ketahuilah sesungguhnya wali Quthub (Ghauts) itu, sebagai tempat pengungsian mahluk. Beliau adalah hamba yang satu dan sekaligus sebagai pengumpul mahluk. Beliau juga sebagai tempat pandangan Allah dalam setiap zaman. Dari diri Beliau mengalir rahasia-rahasia kehidupan batin dan lahir sebagaimana mengalirnya ruh kedalam seluruh jasad. Dari diri Beliau, Allah menumpahkan ruh kehidupan baik kepada mahluk alam atas maupun alam bawah. Beliau itu secara esensi batiniyahnya sebagai (fotocopy) Nabi Muhammad Saw.

10. Abdul Warits (hamba dari Dzat Yang Mewariskan).

Dalam kitabnya Jami’ al-Ussul fii al-Auliya’, al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Ahmad Kamasykhanawi, menjelaskan bahwa al-Ghauts Ra dapat dinamakan Abdul Warits. Karena kepada al-Ghauts Ra Allah Swt mewariskan sari makna kandungan al-Quran dan kitab-kitab yang diturunkan kebumi dan sirri Rasulullah Saw.

لآَنَّهُ إِذَا كَانَ بَقِيًا بِبَقَاَءِ الحَقِّ بَعْدَ فَنَائِهِ عَنْ نَفْسِهِ لَزِمَ أَنْ يَرِثَ مَا يَرِثُهُ الحَقُّ مِنَ الكُلِّ وَهُوَ يَرِثُ الآَنْبِيَاءَ عُلُومَهُمْ وَمَعَارِفَهُمْ وَهِدَايَتَهُمْ لِدُخُولِهِمْ فِي الكُلِّ

Karena al-Ghauts ketika sudah berada pada maqam baqa’ (billah) setelah keluar dari maqam fana’ dari dirinya, maka Allah mewariskan jiwa kulliyat/ universal. Dan Beliau mewarisi ilmu, makrifat, dan hidayah para Nabi. Semua itu diperolehnya setelah memasuki maqam jiwa kulliyat.

Dalm kitab Syawahidul Haq-nya Syeh an-Nabhani Ra, halaman 414 diterangkan, setelah Nabi Muhammad Saw dipanggil kerahmatullah, sirri Rasulullah Saw diwariskan kepada al-Ghauts Ra. Sebagaimana yang diterima al-Ghuats fii Zamanih Imam Abul Hasan As-Syadzali Ra (pendiri tarekat syadzaliyah)

وَارثٌ ِلأَ سرَاِر سَيَّدِالمرْسَلِيْنَ الأَ عْظمُ القُطبُ الغَوْثُ

Pewaris sirri pimpinan rasul yang paling agung adalah al-Qutub al-Ghauts.

11. Mursyid Kamil Mikammil (Pemandu Ruhani Yang Sempurna Dan Menyempurnakan).

Dalam kitabnya Khulashah at-Tashanif fit Tashawuf dalam “khutbatul kitab”, (Majmu’ah Rasail lil Ghazali, Darul Fikri, Bairut – Libanon, cet. I, hlm : 173), Imam al-Ghazali menerangkan tentang keharusan setiap salik mencari guru mursyid yang kamil mukammil.

اِنَّهُ لآَ بُدَّ لِلسَّالِكِ مِنْ مُرْشِدٍ مُرَبٍّي أَلْبَتَةً, لاَنَّ اللهَ تَعَالَى أَرْسَلَ الرُّسُلَ عَلَيْهِمْ الصَلاَةُ وَالسَلاَمُ للِخَلْقِ لَيَكُونُ دَليْلاً لَهُمْ وَيُرْشِدُهُمْ اِلَى الطَرِيْقِ المُسْتَقِيْمِ. وَقَبْلَ اِنْتِقَالِ المُصْطَفَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم اِلَى الدَارِ الاَخِرَةِ قَدْ جَعَل خُلَفَاء الرَشِدِيْنَ نَوَّابًا عَنْهُ لِيَدُلُّوا الخَلْقِ عَلَى طَرِيْقِ اللهِ. وَهَكَذَا اِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ فَالسَّالِكُ لاَ يَسْتَغْنَى عَنِ المُرْشِدِ

Sesungguhnya bagi setiap salik harus adanya mursyid yang membimbingnya. Kerena Allah Swt mengutus para rasul As kepada mahluk, sebagai bukti (keberadaan Tuhan) dan sebagai penunjuk kejalan yang lurus. Sebelum kepindahan Rasulullah Saw kealam akhirat, Rasulullah Saw telah mempersiapkan khalifah ar-Rasyidin sebagai penggantinya, agar mereka menunjukkan mahluk kejalan Allah.
Hal ini berlaku sampai hari kiamat. Maka, setiap salik wajib memiliki seorang mursyid.

Dan Imam Ghazali menjelaskan bahwa mursyid yang hakiki, mendapat limpahan cahaya dari Nabi Muhammad Saw secara langsung.

وَاقْتَبَسَ نُورًامِنْ أَنْواَر سَيِّدِنَا ٍمُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلّم فَإِنْ تَحَصَّلَ أَحَدٌ عَلَى مِثْلِ هَذَاالمُرْشِدِ وَجَبَ عَلَيْهِ اِحْتِرَامُهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا

Dan (mursyid) menerima pancaran langsung dari Nur Nabi Muhammad Saw. Jika seseorang berhasil mendapatkan mursyid yang seperti ini, wajib baginya menghormatnya secara lahir dan batin.

Orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt, masih diperintahkan senantiasa bersama dengan orang-orang yang benar (dalam lahiriyah maupun batiniyah, dalam iman, islam maupun ihsan). Sebagaimana keterangan dalam firman Allah Swt :

يَأَيُّهَا الذِيْنَ أَمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan beradalah kalian bersama dengan orang-orang yang benar. (Qs. at-Taubah : 119).

Seseorang bila dapat bertemu ulama yang shadiq (guru ruhani yang benar) sebagaimana keterangan dalam ayat 119 surat at-taubah, dan kemudian ia terus bersamanya, maka ia akan diantar dekat kepada Allah Swt secara benar dan lurus. Sebagaiman tercermin dalam sabda Rasulullah Saw :

كُنْ مَعَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَكُنْ مَعَ مَنْ مَعَ اللهِ فَإِنَّهُ يُوصِلُكَ إِلَى اللهِ إِنْ كُنْتَ مَعَهُ.

kamu semua dengan Allah. Jika tidak mampu, bersamalah dengan orang yang mampu bersama Allah. Sesungguhya orang itu akan mengantarmu kepada Allah, jika kamu bersamanya.

Rasa jenuh sering timbul, setelah seseorang berada dalam suatu keadaan secara terus menerus. Rasa jenuh ini merupakan sesuatu yang manusiawi. Demikikian pula, seseorang meskipun sudah bertemu dan bersama Guru Ruhani Yang Kamil, setan/ nafsu tetap menggoda melalui rasa junuh ini. Dibisikkan kejenuhan dalam hati murid, ketika dirinya atau keinginannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu guru. Dan kemudian malas melaksanakan rabithah (sowan secara ruhani) kepadanya. Dan bahkan, rela keluar dari barisan GURU RUHANI tersebut. Dalam hal ini Allah Swt wa Rasulihi Saw benar-benar mewanti-waNti mukmin agar tetap dan sabar bermakmum kepada Guru Kamil Mukammil. Firman Allah Swt, Qs. al-Kahfi : 28 :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدوآةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الحَيَاةِ الدُنْيَا, وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا.

Sabarlah kamu semua (tetap) bersama orang-orang yang memanggil Tuhan mereka diwaktu pagi dan petang. Dan yang mengharapkan Dzat-Nya. Dan janganlah kamu memalingkan pandanganmu dari mereka, hanya karena engkau menginginkan keindahan dunia. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang Kami lupakan hatinya dari dzikir kepada-Ku, mereka mengikuti hawa nafsunya, dan memanglah melampaui batas.

Dan ayat diatas diperjelas lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibn Abbas, yang menerangkan; wajib tetap bersabar bersama guru, meskipun merasa kurang senang terhadap sikap gurunya (misalnya dirinya atau keinginanannya tidak segera mendapat perhatian atau doa restu). Rasulullah Saw bersabda :

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصبِرْ,فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa yang kurang senang terhadap sesuatu yang datang dari Amirnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Amirnya sejengkal saja, maka dapat mengakibatkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.
Bersabar dalam bermakmum dan mengikuti Guru Ruhani yang Kamil Mukammil merupakan hal pokok untuk meluruskan keimanan. Jika seseorang keluar dari barisan al-Ghauts Ra dapat menyebabkan mati sebagaimana matinya orang kafir jahiliyah.

Dalam mengulas makna hadis Bukhari dan Muslim diatas, al-Ghauts fii Zamanihi Syeh Daud Ibnu Makhala Ra (guru dari Syeh Muhammad Wafa Ra), mengatakan :

مَنْ دَخَلَ الدُنْيَا وَلَمْ يُصَادِفْ رَجُلاً كَامِلاً يُرَبِّيْهِ خَرَجَ عَنِ الدُنْيَا مُتَلَوِّثًا بِالكَبَائِرِ وَلَوكَانَ لَهُ عِبَادَةُ الثَقَلَيْنِ

Barang siapa yang memasuki dunia sedangkan ia belum bertemu dengan lelaki sempurna yang membimbingnya, maka ia keluar dari dunia dengan berlumuran dosa besar (syirik), walaupun ia memiliki ibadah sebanyak ibadahnya seluruh mahluk dari kelompok jin dan manusia.

Para ulama yang Arif Billah, mengatakan : Qalbu tidak dapat bersih kecuali dengan nadzrah (radiasi batin) Nabi Muhammad Saw atau waliyullah yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut dan yang telah teruji.

لاَيُذْهَبُ كَدْرُ القَلْبِ إِلاَّ بِنَظْرِ نَبِيٍّ أَوْ وَلِيٍّ ذِي تَجْرِبَةٍ فِي هَذَا الشَأْنِ.

Kotoran hati tidak akan hilang kecuali, kecuali dengan nadzrah nabi atau wali yang memiliki keahlian yang teruji dalam bidang ini.

Dan jika hati belum terbebas dari belenggu kemusyrikan, persowanan seseorang kepada Allah Swt akan ditolak-Nya. Dan dipadang mahsyar ia akan dicampakkan dengan penderitaan yang sangat pedih. Seluruh hartanya (harta lahir maupun harta batin), anak-anak serta keluarganya tidak mampu menolongnya dari lembah kemusyrikan dan kemurkaan Allah Swt.

يَوْمَ لاَيَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنٌ. إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

Pada hari itu (kiamat) tidak dapat memberi manfaat, harta dan anak. Kecuali orang-orrang yang datang (menghadap) kepada Allah dengan hati yang selamat (bersih).
Sebagai pengamal dan khadimul Wahidiyah, mari kita tingkatkan kesabaran dalam bermakmum kepada Beliau Hadratul Mukarrom Kanjeng Romo KH. Abdul Latif Majid Ra. Pengasuh Perjuangan Wahidiyah Dan Pondok Pesantren Kedunglo, serta senantiasa memohon kepada Allah Swt agar dapat beristiqamah bersama Guru ruhani yang kamil mukammil.

Sirri dan kemampuan Mursyid Yang Kamil tersebut, sebagaimana tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda :

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَطْعَمَ نَبِيًّا فَقَبَضَهُ رِزَقَهُ مَنْ يَقُومُ بَعْدَهُ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, jika memberi rizki kepada seorang nabi, kemudian dipanggilnya kealam baka, maka rizki tersebut akan diberikan kepada seseorang yamg menduduki jababatan sesudahnya.

Rizki yang Allah Swt berikan kepada Rasulullah Saw akan diberikan kepada hamba-Nya yang diberi kedudukan sebagai pewaris nabi. Makna hadis diatas diperkuat lagi oleh hadis riwayat Imam Bukhari. Rasulullah Saw Bersabda :

زُوِيَتْ لِيَ الأرْضُ حَتَّى رَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مَلِكُ أُمَّتِي مَا زُوِيَ لِي

Telah dilipat bumi untuk Aku, hingga aku melihat ujung timur dan ujung baratnya. Demikian pula raja ummatku akan mendapatkan sebagaimana bumi dilipat untuk-ku.

Hadits riwayat Imam Ahmad, Thabrani dan Abu Nuaim dari sahabat ‘Ubadah Ibn As Shamit, Rasulullah Saw bersabda :

لاَ يَزَالُ فِي أُمَّتِي ثَلاَثُوْنَ بِهِمْ تَقُومُ الاَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُونَ

Tidak sepi didalam ummat-Ku, dari tigapuluh orang. Sebab mereka bumi tetap tegak, dan sebab mereka manusia diberi hujan, dan sebab mereka manusia tertolong.

Dengan demikian, mengetahui pribadi hamba yang dijadikan sebagai pintu menuju Hadratullah, merupakan sesuatu yang amat penting dalam meluruskan iman dan ihsan. Tanpa menjadikan Beliau Ra sebagai guru dan imam ruhani, maka setan/ nafsu yang akan mengantikannya sebagai guru dan imam ruhani. Dan tidak ada jalan untuk mengetahuinya, kecuali hanya melalui ryadlah dan mujahadah untuk memohon hidayah dan rahmat-Nya. Dan alhamdullah, sebagai tahaddus binni’mah, atas karunia Allah Swt dan syafaat Rasulullah Saw, shalawat WAHIDIYAH terbukti dapat mengantarkan pengamlanya menuju kepada jalan tersebut.

1. Sebagai manusia, Beliau Ra adalah manusia biasa seperti umumnya manusia. Namun Beliau Ra diberi kekuatan oleh Allah Swt sebagaimana keterangan tersebut diatas. Oleh karennaya, al-Ghauts fii Zamanihi Imam al-Ghazali Ra (w. 501 H), dalam kitabnya Kimya’as-Sa’adah, pasal “ajaib al-qalbi”, menjelaskan :

وَالطَلَبُ (طَلْبُ شَيْخٍ بَالِغٍ عَارِفٍ) لاَيَحْصُلُ اِلاَّ بالمُجَاهَدةِ

Pencarian Syeh Yang Sempurna dan lagi Arif tidak akan berhasil, kecuali dengan mujahadah.

Kesimpulan Imam al-Ghazali ra ini, dapat dipahami sebagai ulasan dari firman Allah Swt, Qs. al-Isra’ : 70 -71 :

رَبِّي أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا. وَقُلْ جَاءَ الحَقُّ وَزَهَقَ البَاطِلُ إِنَّ البَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا.

Ya Tuhan masukkanlan aku (dalam kebenaran) dengan cara yang benar. Dan keluarkan aku (dari kesalahan) dengan cara yang benar. Dan jadikan untuk kami pimpinan yang menolong. Katakanlah, telah datang kebenaran dan akan hancur kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti hancur.

Dengan demikian, ayat 70 surat al-Isra’ ini dapat dipahami atau memberikan gambaran/isyarah, bahwa melalui kekuatan doa yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, seseorang akan mendapatkan anugrah serta fadlal dari Allah Swt yang membawanya dapat memahami dan sekaligus mengharapkan kehadiran dan pertemuan seseorang dengan Sultan (guru/ pimpinan) ruhani yang akan menolong manusia dalam urusan baik duniawi maupun ukhrawi.

AL-FAATIHAH (MUJAHADAH

Sabtu, 06 Desember 2014

Hidayah Allah dekat dengan Orang yang dekat dengan Allah

(Al-Habib Munzir Al-Musawa)
Pernah seorang pemabuk dan preman yang menjadi biang
kriminal bahkan konon sering menyiksa dan membunuh,
orang tidak melihat ia memiliki sifat baik sedikitpun. Namun
ketika saya diadukan tentangnya, pasalnya adalah ketika
pemuda sekitar wilayah tersebut ingin mengadakan majelis,
namun takut pada orang itu. Mereka akan didamprat dan
diteror oleh si jahat itu. Ia adalah kepala kejahatan yang
konon kebal dan penuh ilmu jahat.
Saya datangi kerumahnya, saya ucapkan salam dan ia tidak
menjawab, ia hanya mendelik dengan bengis sambil melihat
saya dari atas kebawah, seraya berkata, “Mau apa?”
Saya mengulurkan tangan dan ia mengulurkan tangannya dan
saya mencium tangannya, lalu saya pandangi wajahnya
dengan lembut dan penuh keramahan. Saya berkata dengan
suara rendah dan lembut, “Saya mau mewakili pemuda sini,
untuk mohon restu dan izin pada Bapak, agar mereka
diizinkan membuat majelis di musholla dekat sini.”
Ia terdiam… roboh terduduk di kursinya dan menunduk. Ia
menutup kedua matanya. Saat ia mengangkat kepalanya
saya tersentak, saya kira ia akan menghardik dan mengusir,
ternyata wajahnya merah dan matanya sudah penuh airmata
yang banyak. Ia tersedu sedu berkata, “Seumur hidup saya
belum pernah ada kyai datang kerumah saya… Lalu kini… Pak
Ustadz datang kerumah saya, mencium tangan saya… tangan
ini belum pernah dicium siapapun. Bahkan anak-anak
sayapun jijik pada saya dan tak pernah mencium tangan
saya, semua tamu saya adalah penjahat, mengadukan
musuhnya untuk dibantai, menghamburkan uangnya pada
saya agar saya mau berbuat jahat lagi dan lagi…. Kini datang
tamu minta izin pengajian pada saya. Saya ini bajingan,
kenapa minta izin pengajian suci pada bajingan seperti saya.”
Ia menciumi tangan dan kaki saya sambil menangis, ia
bertobat, ia sholat, dan meninggalkan minuman keras dan
criminal.
Konon dia ini sering mabuk, jika sudah mabuk maka tak ada
di kampung itu yang berani keluar rumah. Namun kini
terbalik, ia menjadi pengaman di sana, tak ada orang mabuk
berani keluar rumah jika ada dia.
Dia menjadi kordinator musholla, ia mengatur teman
temannya para preman untuk membersihkan musholla,
dipaksanya para anak buahnya harus hadir majelis, dan
demikianlah keadaanya. Ia bertempat di Legoa, Priok, tempat
yang sangat rawan dengan kriminal. Orang di wilayah itu jika
saya datang mereka berbisik bisik, “Jagoan selatan lagi
ketemu jagoan utara!” Mereka kira saya mengalahkannya
dengan ilmu, padahal hanya kelembutan Muhammad saw
yang saya gunakan.
Hingga kini jika saya jumpa dengan beliau ia pasti menangis
memeluk saya. Saya pernah bercanda dengan meneleponnya,
saya katakana, “Tolong saya, tolong datang ke sini, saya
dalam keadaan genting!”
Ia datang dengan Jaket Jeans, celana jeans, dan dari
wajahnya sudah siap tempur. Ia berkata, “Saya siap mati
Habib, siapapun yang berani mengganggu habib sudah bukan
urusan habib lagi, biar saya yang urus dan saya janji akan
memotong kupingnya dan membawakannya pada habib!”
Saya berkata, “Naik saja ke mobil Pak!”
Ia pun naik, saya masuk ke majelis dan mengajaknya hadir, ia
berkata, “Mana orangnya Habib?”
Saya katakana, “Tidak… (saya tertawa) cuma mau mengajak
bapak ke majelis saya, kangen aja.”
Ia pun lemas dan tertunduk malu. Saya menganggapnya ayah
angkat saya hingga kini.
Kejadian lain adalah ketika paman saya mengadakan
perjalanan dari Lampung ke Jakarta. Ia bersama anak-
anaknya. Ketika masuk pelabuhan Bakauhuni Lampung, ia
melihat seorang berwajah bengis dan menakutkan sedang
duduk di pintu pelabuhan. Paman saya bersalam padanya
dengan lembut. Si garang itu tidak menjawab dan wajahnya
tanpa ekspresi sedikitpun dan acuh saja. Maka lalu paman
saya membeli tiket kapal yang ternyata dipalsu oleh calo. Ia
terjebak dalam penipuan. Maka ketika paman saya
kebingungan dan mulai dikerubuti orang yang menonton,
maka si garang itu muncul. Semua orang mundur melihat ia
datang, lalu ia berkata, “Ada apa Pak?” Paman saya bercerita
akan penipu itu.
Si Garang berkata, “Bagaimana cirri-ciri orang itu?”
Paman saya menceritakannya….
Si Garang pergi beberapa menit dan kembali sambil menyeret
orang itu yang sudah babak belur dihajarnya. Ia berkata
kepada penipu itu, “Kamu sudah menipu keluarga saya! Ini
keluarga saya!” sambil menunjuk pada paman saya.
Rupanya si garang ini preman penguasa pelabuhan itu.
Bagaimana ia bisa mengakui paman saya sebagai
saudaranya? kenalpun tidak, cuma hanya karena paman saya
mengucap salam padanya dengan ramah. Walau wajahnya
tidak berekspresi saat itu, tapi ternyata hatinya hancur, ia
malu dan haru. Mungkin seumur hidupnya belum pernah ada
orang mengucap salam padanya dengan hormat.
Inilah beberapa contoh.
Contoh lainnya adalah ketika saya di suatu masjid, yang
memang sudah kebiasaan saya jika jumpa siapapun yang
lebih tua jika menjabat tangan saya maka saya mencium
tangannya, apakah ia ulama atau bukan. Selesai acara maka
terdengar kabar, seorang muadzin masjid itu ternyata adalah
pencuri kotak amal masjid. Ia bertobat dan mengakui
dosanya kepada sesepuh masjid. Ia menangis dan berkata,
“Tangan saya kotor dengan dosa, hati saya hancur ketika
tangan saya ini dicium oleh habib itu. Saya menyesal, saya
haru, saya terpukul, tangan ini selalu mencuri, tidak pantas
dicium oleh seorang tokoh agama.” Ia pun bertobat.
Di lain kesempatan ketika saya di suatu negeri timur tengah,
saya lihat di bandara para tentara berwajah bengis dengan
senjata laras panjang di pundaknya menjaga di sana sini.
Saya bersalam pada seorang yang tampak bengis sekali.
Saya menunduk hormat dan senyum lembut. Ia tak
menggubrisnya, hanya mendelik dan pergi. Tak lama saya
terkena sedikit masalah di pintu imigrasi, hanya pertanyaan
pertanyaan iseng yang sering dilancarkan petugas imigrasi di
pelbagai Negara. Maka tiba-tiba ada yang membentak di
belakang saya. Ia memerintahkan agar orang itu segera
melewatkan saya. Ketika saya berpaling ternyata tentara tadi.
Ia menarik baju saya untuk segera lewat pintu detektor
pengaman bersamanya dan menghardik petugas pengaman
untuk minggir seraya berkata dengan bahasa arab, “Silahkan
Tuan!”
Saya mengucap terimakasih, ia hanya mengangguk dan pergi.
Subhanallah….
Demikian indahnya akhlak… demikian senjata yang lebih
tajam dari pedang dan lebih mengalahkan dari peluru… ia
mengalahkan musuh dan membuat musuh berbalik menjadi
penolong dan pembela….
Jika mereka yang gelap dan penjahat sedemikian mudahnya
lebur, apalagi orang yang berilmu saudaraku.
Demikian saudaraku yang ku muliakan, semoga dalam
kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita