Minggu, 10 Januari 2016

Sang Ruh

Seorang wali sufi besar, Ibrahim Hakki Erzurumi (1703-1780; Turki; Marifetname/ Kitab Pengetahuan, 1756), menuturkan bahwa ketika ruh diturunkan dari alam ruh untuk dilahirkan dalam tubuh manusia, ia diselimuti unsur-unsur dunia material. Pertama-tama, ruh diselubungi tanah, lalu air, dan tanah pun berubah menjadi lumpur. Udara mengeringkan lumpur itu dan kemudian api membakarnya. Setelah itu, ruh seakan-akan ditutupi pot tanah liat. Ruh tersembunyi dalam wadah lahiriah tubuh kita. Karenanya, tugas penting yang harus kita lakukan adalah menemukan ruh yang tersembunyi dalam diri kita.

Ruh dalam diri kita laksana udara dalam sebuah wadah. Ketika sebuah wadah dibuat, udara secara otomatis masuk ke dalamnya. Tidak ada seorang pun yang menaruhnya di situ. Akibatnya, terjadi pemilahan atmosfir antara udara di dalam dan udara di luar wadah. Keadaan ruh kita mirip seperti itu. Ketika janin manusia tumbuh dan berkembang, ia mengundang Ruh untuk menempatinya. Ruh kita tampak terpisah, tetapi kenyataannya ada persatuan yang mendasari keterpisahan yang tampak nyata itu.

Jika kita semprotkan parfum beraroma mawar ke dalam sebuah wadah, udara di dalamnya akan tercium wangi mawar. Jika kita taruh sesuatu yang busuk maka udara di dalamnya pun akan beraroma busuk. Dari kedua tindakan itu, oksigen yang menyangga kehidupan dalam udara tetaplah sama. Demikian pula keadaan ruh kita. Ia tidak berubah meskipun tindakan dan pengalaman hidup kita bisa saja membuat kepribadian kita menjadi “wangi” atau “busuk”. Ruh kita tidak dipengaruhi berbagai hal yang terjadi dalam hidup kita, sebagaimana oksigen dalam wadah yang tidak berubah oleh parfum atau bau busuk apa pun. Ruh kita murni dan sempurna, percikan ruh Tuhan yang tak terbatas. Al-Qur’an mengatakan,”Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya ruh (ciptaan) -Nya…”(QS As-Sajdah [32]:9)

Karena ruh tersembunyi, kita tidak bisa melihat atau mengindra keindahan dan cahayanya. Maka, tugas kita adalah membiarkan cahaya ruh kita memancar melalui diri kita. Tatkala kita mendirikan shalat dan berdzikir, kedua ibadah itu bagaikan upaya mengebor “pot tanah liat” yang membungkus dan menutupi ruh kita.

Dalam tradisi sufi, ruh kita terletak dalam hati. Seorang sufi besar, al-Hakim al-Tirmizi menulis bahwa ada 4 tingkatan hati. Tingkat pertama adalah dada, hati yang paling luar. Tingkatan ini merupakan perbatasan hati, tempat kita berinteraksi dengan dunia. Tingkat-tingkat berikutnya adalah hati yang laik, hati yang di dalam, dan hati yang paling dalam, hatinya hati.

Al-Tirmizi menjelaskan tingkatan-tingkatan itu dengan menggunakan metafora rumah. Hati paling luar bagaikan tanah yang mengelilingi rumah. Orang-orang dan hewan-hewan dapat memasukinya dengan mudah meski tanah itu dikelilingi pagar. Tingkatan berikutnya adalah hati yang laik, yang dianalogikan dengan rumah itu sendiri. Hewan tidak bisa masuk dan seorang tamu harus minta izin lebih dulu untuk memasukinya. Keadaannya lebih aman dan lebih rahasia daripada hati paling luar. Lalu, tingkatan berikutnya, hati yang paling dalam, adalah ruang tempat penyimpanan harta, atau ruangan besi, yang terletak di pusat rumah. Barang-barang berharga milik keluarga disimpan di ruangan itu, termasuk barang pusaka yang tak ternilai. Pintu ruangan besi selalu terkunci. Hanya tuan dan puan pemilik rumah yang memiliki kuncinya. Hati yang paling dalam adalah ruang penyimpanan benda paling berharga di ruangan harta. Untuk memasuki ruangan harta, kita harus melewati gerbang hati yang paling luar, lalu memasuki pintu hati yang laik, dan kemudian membuka ruangan besi hati yang paling dalam.

Mursyid saya sering mengatakan bahwa hati yang paling dalam adalah kuil yang dibangun Tuhan sebagai persemayaman-Nya. Ruh kita adalah percik cahaya Ilahi yang keluasannya melebihi seluruh semesta. Percik agung dalam diri kita ini dapat menyalakan semesta dalam sekejap. Sebagai darwis, kita harus selalu ingat bahwa Tuhan telah menempatkan ruh Ilahi dalam hati setiap manusia. Jika kita ingat ini, kita akan memperlakukan semua orang dengan penuh rasa hormat dan sadar bahwa kita diberi kehormatan untuk melayani Tuhan dengan cara melayani orang lain.

Jika kita menggali sebuah sumur dan kemudian air terpancar, kita dapat mengubah gurun pasir yang kering kerontang menjadi oase yang hijau subur. Ketika ruh kita tersembunyi, hidup bagaikan gurun tandus: tanpa cinta dan kasih sayang. Yang muncul hanyalah cinta narsistik yang hanya mementingkan diri sendiri.

Sayangnya, menemukan air hanya sekali tidaklah cukup. Kita semua sudah terilhami (atau “diairi”) zikir, shalat, dan kehadiran mursyid. Namun, bantuan dan pertolongan awal ini perlahan-lahan akan lenyap jika kita tidak terus berupaya menyingkapkan ruh kita. Amal kebaikan dan laku tarekat yang istikamah dijalankan akan menjadikan hubungan kita dengan ruh tetap hidup dan membuatnya semakin kokoh, akrab, dan dalam. Namun, jika kita gagal menjaga kehidupan sehari-hari sesuai dengan hubungan itu, setiap tindakan yang tak acuh atau egois akan memutuskan hubungan yang telah kita ciptakan. Tindakan dan perilaku yang melukai orang lain akan mempertebal selubung yang menutupi ruh kita.

Psikolog terkenal Wilhelm Reich menulis bahwa kita melapisi diri kita sendiri untuk melindunginya dari dunia bagaikan kesatria yang mengenakan baju zirah untuk melindungi tubuhnya di medan perang. Tanpa disadari kita semua mengembangkan mekanisme pertahanan diri karena merasa kesepian dan rapuh. Ketika orang-orang mengkritik, mencela, atau merendahkan, kita merasa terluka, kemudian kita membela diri melawan serangan itu. Padahal, pembelaan diri semacam itu hanya akan menyebabkan kita lebih banyak mendapatkan luka.

Lebih lanjut Reich mengatakan bahwa kita mengenakan baju zirah yang begitu ketat sehingga menghambat pernapasan. Terhambatnya pernapasan mengurangi kemampuan kita untuk merasakan atau mengungkapkan perasaan. Pada gilirannya, berbagai kemampuan kita yang lainnya pun mengalami penurunan. Kita semakin tidak mampu mempersepsi semua perasaan. Pertahanan dan pembelaan diri yang berlebih-lebihan itu tidak hanya mengurangi kemampuan untuk mempersepsi rasa sakit, tetapi juga kemampuan untuk mempersepsi kegembiraan. Ketika ruh melapisi hati dengan baju besi pertahanan, kita kehilangan sentuhan dan hubungan dengan ruh kita.

Karenanya, melepaskan baju besi itu merupakan bagian penting perjalanan tasawuf. Dengan metafora lain, baju zirah kita itu laksana lapisan batu yang menutupi akuifer, danau bawah tanah yang besar yang dipenuhi jutaan galon air, yang murni. Air yang sangat berlimpah itu tidak dapat dimanfaatkan karena kita tidak dapat mengambilnya.

Kita semua memiliki air di kedalaman ruh yang memberi kita kehidupan. Kita harus mengebor lapisan penutupnya agar bisa mengambil air itu dan memanfaatkannya. Kita harus menyingkapkan semua lapisan baju besi yang menyelubungi ruh. Jika lapisan penutup telah tersingkap, ruh kita akan mengairi dan menyuburkan kehidupan kita. Kemudian air spiritual yang tak ternilai itu akan menghidupkan orang lain. Ia akan mengilhami orang lain untuk mencari air yang tersembunyi dalam diri mereka.

Ruh kita dapat menghidupkan kita dan semua yang kita cintai, tetapi menyingkapkan selubung ruh merupakan pekerjaan berat. Sudah berapa banyak waktu yang kita luangkan untuk pekerjaan ini? Saya khawatir, kita tidak meluangkan waktu sebanyak para atlet sekolah menengah yang melatih olahraga kegemaran mereka.

Kemajuan dan perkembangan spiritual merupakan buah dari waktu dan energi yang kita luangkan. Kebanyakan kita tidak menggali cukup dalam, tidak berupaya cukup keras. Kesalahan umum yang dilakukan banyak orang adalah mulai menggali dengan harapan akan mendapatkan langsung hasilnya. Setelah menggali beberapa lama dan air tak juga menyembur keluar, mereka memutuskan menggali di tempat lain. Para murid mendatangi seorang mursyid dan mengikuti disiplin baru selama beberapa minggu atau bulan. Kemudian mereka mencari dan mengikuti mursyid lain serta menjalankan pelatihan dan amal-amal yang baru. Dengan cara itu, kita tidak akan pernah sukses mendapatkan air yang kita harapkan dapat menyuburkan kehidupan kita. Membuat lusinan lubang yang kedalamannya hanya beberapa sentimeter tidak akan memberi kita apa-apa. Galilah lubang dengan cukup dalam sehingga air yang kita inginkan menyembur keluar.

Di sinilah dibutuhkan kesabaran untuk menjalani pelatihan dan laku ruhani secara istikamah, layaknya kesabaran penggali sumur hingga mendapatkan air. Kita kerap tergoda untuk mencoba laku dan praktik ibadah baru daripada terus menggeluti lebih dalam apa yang telah diajarkan kepada kita. Sebagai contoh nyata, sebetulnya kita tidak perlu mencari buku paling mutakhir tentang tasawuf (termasuk juga buku ini), lalu mempraktikkan apa pun yang diajarkan buku tersebut. Lebih baik kita membaca berulang-ulang buku-buku lama kita dan mempraktikkan apa yang sudah kita baca. Saya bisa menjamin, jika kita menjalani dan mempraktikkan secara istikamah ajaran dan nasihat yang disampaikan mursiyd, kita semua akan menemukan kedalaman dan pencerahan baru. Sama halnya, jika kita membaca ulang buku-buku lama secara lebih saksama, kita akan menemukan makna-makna baru yang lebih dalam dan lebih mencerahkan.

Meniti perjalanan ruhani dan mempraktikkan semua yang diajarkan mursyid membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Kita mesti terus berusaha menggali lebih dalam meskipun kelihatannya tidak terjadi apa-apa pada diri kita sampai akhirnya kita menembus lapisan akuifer. Seseorang mungkin harus menggali sedalam 300 meter atau lebih hingga air menyembur. Sering kali kita tergoda untuk diam dan beristirahat setelah baru sebentar menggali. Sebenarnya, istirahat dan bersantai tidak berbahaya jika tujuannya untuk menghimpun tenaga. Namun, jika kita rehat terlalu lama, lubang yang sudah digali mungkin akan tertutup lagi dan kita terpaksa menggali lagi dari awal.

Di awal perjalanan tasawuf, Tuhan sering melimpahkan perasaan telah mencapai tujuan dengan maksud untuk membangkitkan semangat. Ini sedikit mirip preview film yang akan ditayangkan. Kita merasa semakin cinta dan ringan ketika mulai mempraktikkan zikir, tetapi semakin lama mengamalkannya, kita merasa tidak terjadi apa pun sehingga kita meninggalkannya. Semestinya, kita istikamah menjalaninya, menggali lebih dalam agar menemukan hubungan yang sejati dan dalam dengan ruh kita.

Apa yang terjadi ketika sebuah bejana pecah? Udara di dalam bejana itu kembali ke atmosfir yang meliputinya dan menjadi sumbernya. Ini terjadi saat kematian menjemput–kita semua kembali kepada Tuhan seperti yang Allah katakan dalam Al-Qur’anul Karim : “…kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu…”(QS Luqman [31]:15). Ada sebagian orang yang tetap hidup setelah memecahkan sendiri bejana lahiriahnya. Mereka adalah para wali yang telah menyingkirkan perintang material dan bersatu dengan Ruh Ilahi. Dalam tasawuf, kita menyebut peristiwa itu “meninggal sebelum wafat”. Dengan memecahkan sendiri bejana lahiriah itu, para wali besar mencapai tingkatan fana, keadaan sirna dari diri yang terpisah.

Keterpisahan kita dari Tuhan yang kelihatannya nyata sebenarnya hanya ilusi. Udara dalam bejana tampaknya terpisah dari udara yang ada di luar, tetapi sesungguhnya tidak demikian. Bejana itu tidak kedap udara secara sempurna sehingga udara di dalam bejana, tetap bisa menyatu dengan udara di luarnya. Lagi pula, jika kita benar-benar terpisah dari Tuhan, tentu kita tak ada lagi ada. Eksistensi kita langsung terhenti.

Kita selalu berada dalam Kehadiran Tuhan. Itulah sebabnya Allah berfirman,”…Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.”(QS Qaaf [50]:16). Kita bertanya, di manakah Tuhan? Padahal setiap saat kita dikelilingi Tuhan.

Kita tidak pernah dan tidak akan terpisah. Sayangnya, kita hidup dalam ilusi keterpisahan. Kita bisa mengetahui dari kisah perjalanan hidup para wali bahwa sesungguhnya kita dapat menggali dan berhubungan dengan ruh kita sendiri. Kita bisa membuat hubungan dengan ruh kita sehingga hidup kita lebih subur, hijau, dan lebih bermakna…..

Kita tidak boleh menggali secara sembarangan dan serampangan. Kita menggali sesuai dengan arahan dan petunjuk yang diajarkan mursyid.

Proses pencarian dan perjalanan ini membutuhkan kesabaran dan kewaspadaan yang besar. Sebab, banyak halangan, rintangan, dan godaan yang akan mengalihkan perhatian kita dari pencarian. Karenanya, kita mesti terus bekerja dengan optimis, seraya meyakini bahwa Tuhan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri.

Sama seperti sedang menggali sumur, keberhasilan bisa datang kapan saja. Bisa jadi seseorang baru menggali beberapa meter, dan ia sudah mendapatkan air. Begitu pun dengan pencarian yang kita lakukan. Kita sama sekali tidak tahu, seberapa dekat kita dengan keberhasilan. Kita tidak tahu, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menggapai tujuan…..

Kita tidak dapat mencapai apa pun hanya dengan kehendak dan upaya kita sendiri. Apa pun yang kita alami dalam perjalanan spiritual ini merupakan karunia Allah. Kita semua mencari Tuhan dan untuk mencapai-Nya, kita harus menghadapi rintangan dan berbagai keterbatasan kita. Dalam proses ini kita mengetahui betapa kita sangat membutuhkan ridha dan pertolongan Allah…[]

(* Dikutip dari : “Sufi Talks: Teachings of an American Sufi Sheikh“; 2012/ “Obrolan Sufi, Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh”; Syekh Ragip Frager (Robert Frager, Ph.D); 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar