Laman
- Beranda
- al ilmu
- al kisah
- Allah dan Jalan menuju Allah
- Cahaya
- Do'a Doa
- Futuhat Al Makiyyah
- Hadits Qudsy
- Kalam Kalam Hikmah
- Kata Hati
- Kebenaran Hakiki
- Kitab Tauhid
- Mahkota Aulia Illaita'ala
- Mutiara Kalam Habaib
- My notes
- Qitab Sirr Al Asrar
- Shalawat
- Syaikh Abdul Qadir Al Jailani
- Syar'i
- Syarh Al Hikam
- Taddabur Ayat Ayat
- Tokoh dan Biografi
Rabu, 23 Oktober 2013
IBNU AL ARABI
Muhyiddin ibnu al-Arabi adalah salah seorang Sufi
di Abad pertengahan, kehidupan dan tulisan-
tulisannya sekarang banyak mempengaruhi
pemikiran di Timur maupun Barat. Oleh
masyarakat Arab, ia dikenal sebagai Syeikh al
Akbar, ‘Syeikh Agung’, sedang orang-orang
Kristen Barat melalui terjemahan langsung
mengenalnya; ‘Doktor Maksinius’. Ia wafat pada
abad ketigabelas.
DARI MANA DATANGNYA GELAR?
Ja’far ibnuYahya dari Lisabon memutuskan
menjumpai Guru Agung Sufi, ia pun melakukan
perjalanan dari Mekkah sebagaimana pemuda
lainnya. Di sana ia bertemu dengan orang asing
misterius, seorang laki-laki mengenakan jubah
hijau, yang berkata kepadanya sebelum ia
berbicara apa pun:
“Engkau mencari Syeikh Agung, Guru yang sangat
masyhur. Tetapi engkau mencarinya di Timur
ketika ia berada di Barat. Dan ada sesuatu hal
yang tidak benar dalam pencarianmu.”
Ia mengirim Ja’far kembali ke Andalusia, untuk
menjumpai seseorang bernama Muhyiddin ibnu al-
Arabi dari suku Hatim-Tai.
“Dia itulah Guru Agung.”
Tanpa mengatakan kepada siapa pun mengapa ia
mencarinya, Ja’far menemukan keluarga Tai di
Murcia dan bertanya kepada putranya. Ja’far tahu
bahwa sesungguhnya ia (Guru Agung) berada di
Lisabon ketika dirinya berangkat pergi. Akhirnya ia
menemukannya di Seville.
“Di sana,” ujar seorang pendeta, “Itulah
Muhyiddin.” Ia menunjuk kepada seorang pelajar
muda, membawa sebuah kitab mengenai Tradisi
(Hadis), tampak tergesa-gesa keluar dari ruang
kuliah.
Ja’far sangat bingung, tetapi dihentikannya
pemuda tersebut dan bertanya, “Siapakah Guru
Agung?”
“Aku membutuhkan waktu untuk menjawab
pertanyaan itu,” jawabnya.
“Apakah engkau Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku
Tai?” tanya Ja’far sedikit meremehkan.
“Benar.”
“Jika demikian aku tidak membutuhkanmu.”
Tigapuluh tahun kemudian di Aleppo, ia melihat
Ja’far memasuki ruang kuliah Syeikh Agung,
Muhyiddin ibnu al-Arabi dari suku Tai. Muhyiddin
melihatnya ketika masuk, dan berkata:
“Sekarang aku siap menjawab pertanyaanmu dulu,
sebenarnya tidak perlu ada pertanyaan itu.
Tigapuluh tahun lalu Ja’far, engkau tidak
membutuhkan aku. Apakah engkau masih tidak
membutuhkan diriku? Orang Berjubah Hijau
mengatakan ada sesuatu yang salah dalam
pencarianmu. Yaitu waktu dan tempat.”
Ja’far ibnu Yahya lantas menjadi salah seorang
murid al-Arabi yang terkemuka.
IMPIAN DI MOSUL
Seorang pencari ayat suci yang memberi
pengalaman batiniah yang penting, masih
menderita karena kesulitan menafsirkannya secara
konstruktif Ia minta petunjuk kepada Syeikh Agung
Ibnu al-Arabi tentang mimpi yang sangat
mengganggunya ketika berada di Mosul, Iraq.
Ia melihat Guru Ma’ruf yang luhur dari Karkh
seolah duduk di tengah-tengah api Neraka.
Bagaimana mungkin Ma’ruf yang agung berada
dalam Neraka?
Apa yang kurang dari daya permahamannya,
adalah keadaannya sendiri. Ibnu al-Arabi, dari
permahamannya terhadap si Pencari jati diri dan
kemanusiaannya, menyadari bahwa intisarinya
adalah melihat Ma’ruf dikelilingi api. Api
merupakan penjelasan tentang bagian jiwa yang
belum dikembangkan, sebagai sesuatu dimana
Ma’ruf yang agung terperangkap. Makna
sesungguhnya adalah rintangan antara keberadaan
Ma’ruf dan keberadaan si Pencari jati diri.
Jika si Pencari (jati diri) ingin mencapai suatu
keadaan yang setara dengan Ma’ruf, pencapaian
yang ditandai dengan sosok Ma’ruf, maka ia harus
melalui satu tahap yang dalam mimpinya
digambarkan dengan lingkaran api. Dengan
penafsiran ini si Pencari dapat memahami
situasinya, dan menunjukkan pada dirinya apa
yang masih perlu dilakukan.
Kesalahannya adalah menganggap gambaran
Ma’ruf adalah Ma’ruf, dan api adalah api Neraka.
Bukan sekadar kesan (Naqsy) tetapi
penggambaran yang benar terhadap kesan
tersebut, seni yang disebut Tasvir (pemberian
makna terhadap gambaran) itulah fungsi seorang
Pembimbing yang Benar.
TIGA BENTUK PENGETAHUAN
Ibnu al-Arabi dari Spanyol, menginstruksikan para
pengikutnya dalam keputusannya yang paling kuno
ini:
Ada tiga bentuk pengetahuan. Pertama,
pengetahuan kecerdasan otak, yang sesungguhnya
hanyalah keterangan dan kumpulan kenyataan,
dan pemanfaatan sampai pada pengertian-peng
ertian atau rencana para cendekiawan lebih jauh.
Ini disebut ajaran kecendekiawanan (intelektualism
e).
Kedua, pengetahuan tentang keberadaan, meliputi
perasaan yang emosional (renjana) dan
kejanggalan, dimana manusia menganggap bahwa
ia merasakan sesuatu tetapi tidak dapat
memanfaatkannya. Ini disebut (emosionalisme).
Ketiga, pengetahuan sejati yang disebut
Pengetahuan atas Realitas. Pada bentuk ini,
manusia dapat merasakan apa yang benar, sejati,
melampaui batas-batas pemikiran dan perasaan.
Para sarjana dan ilmuwan terpusat pada bentuk
pertama pengetahuan. Kaum emosionalis dan
eksperimentalis menggunakan bentuk kedua.
Lainnya memadukan keduanya, atau
memanfaatkan salah satu sebagai pilihan.
Tetapi mereka yang mencapai kebenaran, adalah
mereka yang tahu bagaimana menghubungkan
dirinya sendiri dengan realitas berada di dua
bentuk pengetahuan tersebut. Mereka inilah kaum
Sufi sejati, kaum Darwis dan mengalami
Pencapaian.
KEBENARAN
Ia telah membingungkan semua orang yang belajar
Islam,
Setiap orang yang mempelajari Mazmur,
Setiap Rabbi Yahudi,
Setiap pendeta Kristen.
CINTA YANG LEBIH TINGGI
Pecinta awam memuja gejala kedua.
Aku mencintai Yang Sejati.
CINTA YANG KHUSUS
Ketika bulan penuh muncul pada malam hari,
menampakkan wajahnya di tengah rambut.
Dari penderitaan muncul gambaran dirinya; tangis
air mata di pipi; seperti bunga bakung hitam
menumpahkan air mata di atas mawar
Kecantikan hanyalah kesunyian: sifatnya lah yang
berlimpah.
Bahkan memikirkan bahaya kehalusannya (kendati
terlalu kasar merasakan dirinya). Jika demikian,
Bagaimana bisa ia terlihat dengan benar oleh alat
tubuh yang janggal seperti mata?
Keajaibannya tak tertangkap nalar. Ia melampaui
aneka penglihatan.
Ketika penjelasan mencoba menjabarkan dirinya,
ia menguasainya.
Kapan pun berupaya, penjelasan menjadi terusir
Karena hal itu seperti mencoba untuk membatasi.
Jika seseorang mencari cita-citanya yang lebih
rendah (untuk merasakan cinta seperti pada
umumnya), selalu ada orang lain yang tidak akan
melakukannya.
PENCAPAIAN SEORANG GURU
Orang berpikir bahwa seorang Syeikh mestinya
menunjukkan keajaiban-keajaiban dan
menunjukkan pencerahan. Syarat seorang guru,
betapapun, hanyalah bahwa ia harus memiliki
semua yang dibutuhkan murid.
WAJAH AGAMA
Sekarang aku disebut rusa di padang pasir,
Sekarang seorang pendeta Kristen,
Sekarang seorang Zoroaster
Kekasih ada Tiga, tetapi Satu:
Yakni tiga dalam kenyataannya satu.
HATIKU DAPAT MENERIMA SEGALA RUPA
Hatiku dapat menerima segala rupa. Hati berubah-
ubah sesuai kesadaran yang paling dalam. Bisa
jadi berbentuk seperti rusa padang rumput, biara
para rahib, patung pemujaan, pengunjung
(peziarah) Ka’bah, Lembaran Taurat untuk ilmu
pengetahuan tertentu, lembaran-lembaran al-
Qur’an.
Tugasku adalah hutang terhadap Cinta. Dengan
bebas dan sukarela aku menerima apa pun yang
terlarang untukku. Cinta seperti cinta seorang
kekasih, kecuali sebagai pengganti mencintai
gejala, aku mencintai yang Hakiki. Agama,
kewajiban, adalah milik dan keyakinanku. Tujuan
cinta manusia adalah menunjukkan yang terakhir,
cinta sejati. Inilah cinta yang sadar.
Lainnya adalah jenis yang membuat manusia tidak
menyadari dirinya sendiri.
BELAJAR DENGAN ANALOGI
Ada alasan bahwa Ibnu al-Arabi menolak
berbicara dalam bahasa filosofis dengan setiap
orang, bodoh maupun terpelajar. Dan tampaknya
orang-orang beruntung tetap berteman dengannya.
Ia mengajak bepergian, memberi mereka makan,
menghibur mereka dengan bercerita ratusan pokok
pembicaraan.
Seseorang bertanya kepadanya, “Bagaimana Anda
mengajar apabila Anda tampaknya tidak pernah
memberi pengajaran?”
Ibnu al-Arabi menjawab, “Dengan kias.” Dan ia
menceritakan perumpamaan ini.
Suatu ketika ada seorang laki-laki memendam
uangnya di bawah beberapa pohon demi
keamanan. Ketika ia datang kembali, uangnya
hilang. Seseorang telah membongkar akar dan
membawa emasnya.
Ia kemudian menemui orang bijak dan
menceritakan masalahnya.
“Saya yakin tidak ada harapan lagi menemukan
kembali harta itu.” Orang bijak tersebut
menyarankan agar ia kembali lagi setelah
beberapa hari. Sementara itu, si orang bijak
memanggil semua tabib yang ada di kota, dan
bertanya kepada mereka, apakah pernah memberi
resep obat akar-akaran kepada seseorang. Salah
seorang mengaku telah memberikannya kepada
seorang pasien. Maka dipanggillah pasien
tersebut, dan ternyata ia adalah pemilik uang itu
sendiri. Ia mengambil barang tersebut dan
mengembalikannya kepada pemilik sebenarnya.
“Dengan cara yang sama,” ujar Ibnu al-Arabi,
“Kutemukan apa keinginan murid yang
sesungguhnya, dan bagaimana ia dapat belajar.
Dan kuajarkan.”
ORANG YANG MENGETAHUI
Seorang Sufi yang mengetahui Kebenaran Abadi,
bertindak dan berbicara dengan
mempertimbangkan pemahaman, keterbatasan
dan prasangka dominan yang tersembunyi pada
pendengarnya. Bagi Sufi, beribadat berarti
pengetahuan. Melalui pengetahuan ia memperoleh
penglihatan.
Sufi meninggalkan tiga ‘aku’. Ia tidak mengatakan
‘untukku’, ‘denganku’ atau ‘milikku’. Ia tidak boleh
menghubungkan segala sesuatu dengan dirinya.
Sesuatu yang tersembunyi dalam tempurung tak
berguna. Kita sekadar mencari sasaran yang
kurang layak, dengan tidak memperhatikan nilai
tak terbatas yang sangat berharga.
Makna kemampuan menafsir adalah, bahwa
seseorang dapat dengan mudah membaca sesuatu
yang dikatakan oleh orang bijak dalam dua cara
yang amat berlainan.
MENYIMPANG DARI JALAN BENAR
Siapa pun yang menyimpang dari peraturan Sufi,
tidak akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat;
kendati ia mempunyai nama baik di mata
masyarakat yang menggema (hingga) ke firdaus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar