Minggu, 06 Oktober 2013

Hakikat Zuhud

bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan, tapi
justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh
menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun
hatinya tetap bisa terus berzikir memuja Allah
SWT.
Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As
Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS Salah
satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya
pernah menutup hutang-hutang kerajaan
Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar
dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000
ton gandum.
Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf
adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi
dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat
Allah SWT.
Iman Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat
tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus
merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan
menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu,
memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah
(rombongan) akan meninggalkan ia.
Dan ia akan mati di gurun pasir.
Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang
bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita
tenggelam didalamnya.
Imam Al-Ghazali bertanya ”apakah uang itu
membuat mu gelisah???? Orang yang terganggu
oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”.
Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh
mempunyai uang.
Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup,
tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu
dengan harta yang kita miliki.
Menurut Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita
diberi pelajaran dan harus menjalani ujian.
Ambillah yang kurang dari pada yang lebih
didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki,
betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada
yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia
ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam
didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti.
Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak,
dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan
untuk kehidupan akhirat.
Yang buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang
kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan
kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan
ambisi terhadap dunia.
Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti
keduniawian itu? Rasulullah menjawab :
, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu
mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”.
Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada
dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak pada
yang membuat lupa kepada Allah SWT.
Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang
hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal
mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah
Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar
karena perkerjaannya menjual minyak wangi.
Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri,
penjual barang pecah belah.
Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz, pemintal kapas:
dia mencari nafkah dengan memintal kapas.
Adalagi Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah.
Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya gambaran
bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.
Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang
sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam
perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang
menolak muamalat dengan orang lain.
Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di
masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka.
Membeli dan menjual di pasar. Mereka punya
peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT.
Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang
sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar