Senin, 11 November 2013

SURAT CINTA MUALLAF AMERIKA UNTUK AL-HABIB MUNDZIR AL-MUSAWA


“Catatan seorang muallaf Amerika, Syaikh Khalil,
untuk Sulthanul Qulub al-Habib Mundzir bin Fuad
al-Musawa”
Segala puji kepada Allah Swt. Tuhan semesta
alam. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad Saw., keluarga dan sahabat.
Saya ingat pertama kali saya memandang Habib
Mundzir al -Musawa. Saat itu sekitar 3 tahun yang
lalu. Saya baru saja belajar tentang habaib dari
seorang teman dan saya menghabiskan waktuku
untuk mencari gambar Habib Umar dan Habib
Kadzim di internet.
Aku ingat melihat Habib Mundzir, senyum berseri-
seri sambil memegang rida. Saya jatuh hati
kepadanya sebagai orang yang memancarkan
keindahan dan cinta. Hatiku sangat ingin bertemu
dengannya suatu hari nanti.
Pada bulan Desember 2012, Habib Umar
mengundang saya untuk pergi ke Indonesia
dengannya. Sebagai seorang Amerika, saya
membutuhkan waktu yang lama untuk
menyesuaikan kehidupan baru saya di Tarim dan
saya pikir Habib Umar ingin aku melihat lebih
banyak dari umat dan menghabiskan waktu
bersamanya. Saya sangat bersemangat untuk
melihat Indonesia dan Jakarta. Aku bertanya-tanya
apakah mungkin aku bisa bisa bertemu Habib
Mundzir?
Perjalanan ke Indonesia akan menjadi pengalaman
hidup mengubah hidup. Setelah hari kedua saya di
Indonesia, aku bangun untuk shalat Shubuh di
rumah Sayyid Muhsin al-Hamid (Cidodol). Setelah
fajar, beberapa orang tinggal di sekitar. Diantara
mereka adalah Habib Mundzir bin Fuad al-
Musawa. Hatiku gembira kegirangan. Aku berlari
ke arahnya dan menyapa dia dan mengatakan
kepadanya betapa bahagianya aku akhirnya
bertemu dengannya.
Senyumnya lebih besar daripada kehidupan itu
sendiri. Saat aku membungkuk untuk mencium
tangannya, ia mengejutkan saya dengan meraih
tanganku dan menciumnya terlebih dahulu. Aku
ingat bau Attar (harum)nya begitu manis. Aku tahu
dia istimewa, aku hanya tidak tahu bagaimana
benar-benar khusus beliau pada saat itu.
Bulan Maulid Rasulullah Saw. adalah minggu itu ,
dan saya kagum untuk melihat lebih
100.000-200.000 orang berkumpul untuk Nabi kita
tercinta, Nabi Muhammad Saw. Saat di Amerika,
mendapatkan kunjungan 50-100 orang bahkan
dianggap sebagai Maulid besar. Mataku penuh
dengan kejutan dan hati saya kewalahan.
Saat aku duduk di panggung dengan syaikh dan
habaib , merasa benar-benar tidak pantas. Teman
saya datang kepada saya dan berkata: “Habib
ingin Anda untuk berbicara.” Aku bertanya habib
yang mana, katanya: “Keduanya.”
Saya menduga mereka berarti menginginkan saya
ceramah minggu depan setelah shalat Jum’at, jadi
aku santai bertanya: “Kapan?”
Saya shock dan ketakutan, teman saya Khalid
mengatakan: “Sekarang, sehingga Anda lebih baik
memikirkan sesuatu yang cepat, dalam 5 menit.”
Aku sangat gugup, aku berkata: “Apakah Anda
yakin!?” Ia kemudian memberi isyarat dengan
kepala mengangguk. Aku membungkuk dan
melihat Habib Umar dan Habib Mundzir dengan
senyum terbesar menganggukkan kepala mereka
pada saya. Saya pikir saya akan pingsan.
Ketika tiba saatnya bagi saya untuk berbicara,
Habib Mundzir memperkenalkan saya sebagai
Syaikh Khalil dari Amerika. Saya berpikir: “Oh
tidak, dia pikir saya orang terpelajar!” Aku sangat
malu.
Melihat sekerumunan orang banyak, mereka
berpikir saya adalah seorang syaikh. Saya hanya
seorang santri yang baru belajar. Kembali ke
rumah, saya adalah seorang guru sekolah dari
Dunia dan Sejarah Amerika, tentu bukan salah
satu yang akan diberikan gelar Syaikh. Berbicara
di depan 20 siswa dibandingkan dengan 100.000
orang lebih akan menjadi tantangan besar, saya
berpikir.
Aku melihat wajah saya di monitor dalam tampilan
yang besar dan juga bahwa Habib Umar serta
Habib Mundzir tersenyum seperti ayah yang
bangga. Aku merasa tenang, tapi itu tidak lama
sebelum saya mulai kehabisan kata-kata, saya
mencoba untuk mengungkapkan apa yang ada di
hati saya pada sensasi luar biasa berada di
sebuah pertemuan yang diberkahi.
Saya ingat pernah mengatakan bahwa Habib
Umar, Habib Ali al-Jufri dan Habib Kadzim
Assegaf, semua pernah mengunjungi Amerika dan
Kanada dan saya katakan bahwa: “Insya Allah,
Habib Mundzir, Anda akan mengunjungi juga.”
Reaksi lebih dari 100.000 orang bersukacita dalam
diriku menginginkan Habib Mundzir untuk
mengunjungi dan membuat dakwah di Amerika
membuat saya tersenyum karena saya melihat
cinta yang sangat besar yang mereka punya untuk
Habib Mundzir.
Saya ingat wajah Habib Umar pada saat itu. Aku
ingat pula wajah Habib Mundzir. Bagaimana
mungkin aku bisa melupakan wajah yang sangat
mulia.
Kemudian seminggu setelah Habib Umar kembali
ke Tarim, saya masih memiliki tiga hari yang
tersisa di Jakarta. Saya sangat bersemangat untuk
berbicara dengan Habib Mundzir di kantornya. Dia
mengatakan kepada saya betapa bahagianya dia
aku datang dan ingin saya untuk tinggal selama 6
bulan dan belajar di Majelis Rasulullah. Dia akan
menelepon Habib Umar di Tarim untuk minta izin.
Saat Habib Umar ditelpon, Habib Mundzir beranjak
dari kursinya dan jatuh berlutut dengan tangan di
udara dan berkata: “Ya Maulana, bagaimana saya
bisa melayani Anda.”
Aku tertegun pada adab Habib Mundzir kepada
guru. Dia menyebut Habib Umar, Maulana, Tuan.
Dia menelepon untuk minta izin tapi pertama
bertanya bagaimana dia bisa melayani Habib
Umar. Aku tidak akan pernah melupakan saat itu
selama aku hidup. Aku belum pernah melihat cinta
dan pengabdian tersebut. Itu Habib Mundzir.
Seorang pria yang penuh cinta murni dan
pengabdian kepada gurunya.
Habib Umar berkata saya mungkin melakukannya
tapi saya akan melewatkan belajar bahasa Arab di
Darul Musthafa. Habib Mundzir segera berkata
bahwa saya tidak bisa melewatkan mendalami
bahasa Arab dan bertanya apakah saya dapat
kembali pada bulan Januari untuk Maulid Nabi.
Izin diberikan dan saya akan kembali ke Tarim
untuk waktu yang pendek, sepuluh hari atau lebih
sebelum kembali ke Jakarta.
Hari-hari di Tarim yerasa begitu lama, aku rindu
kembali berjumpa Habib Mundzir, Habib
Muhammad al-Junayd dan semua yang saya telah
temui.
Kembali ke Jakarta selama 5 minggu hanya
meningkatkan cinta saya untuk Habib Mundzir.
Sementara saya tidak melihat dia setiap hari, saya
merasa kehadirannya ke manapun aku pergi. Aku
melihat baliho dan tanda-tanda untuk Majelis
Rasulullah, aku melihat wajahnya di manapun aku
pergi.
Ketika kami bepergian aku melihat wajahnya di
pikiran saya. Ia bersama saya di manapun aku
pergi. Ketika aku bersamanya , ia akan selalu
membuat saya duduk di sampingnya. Aku sangat
malu. Inilah aku, seorang muallaf Amerika yang
baru menganut agama Islam, usia 32 tahun,
bukanlah sarjana, bukan seorang syaikh, namun
Habib Mundzir selalu membuat saya duduk di
sampingnya, dan juga untuk berbicara di maulid-
maulid.
Saya ingat menanggalkan imamah saya di satu
hari dan Habib Mundzir bertanya mengapa saya
melakukannya, dan saya mengatakan kepadanya
bahwa saya merasa saya tidak layak memakai
imamah, bukanlah seorang syaikh dan hanya
seorang santri yang baru belajar. Dia bilang aku
harus memakainya, itu adalah sunnah dan ketika
Indonesia melihat orang Barat, khususnya orang
Amerika, memakai imamah, itu adalah pengingat
Nabi Muhammad Saw. dan mengikuti jalannya,
dan bukan dari dunia.
Aku memakainya kembali untuk sisa perjalanan
saya, dan melakukannya dengan perasaan
mewakili Sang Nabi tercinta Saw. Saya melakukan
perjalanan ke Pulau Sulawesi dengan Habib
Muhammad al-Junayd dan Sayyid Hilmi al-Kaf
untuk dakwah. Aku rindu Habib Mundzir dan ingin
berada di Jakarta, tapi dia ingin aku bertemu
orang-orang dan memanggil mereka kembali ke
Islam. Bahwa perjalanan dakwah adalah unik dan
indah dalam banyak cara.
Akhirnya, ketika tiba saatnya bagi saya untuk
kembali ke Tarim, saya bertemu dengan dia di
kantornya. Aku ingat kesedihan di wajahnya. Di
hadapan ku adalah seorang pria, cucu dari Nabi
Saw., yang bukan hanya Jakarta, tetapi berat
seluruh Indonesia di pundaknya.
Meskipun ada begitu banyak organisasi dan
habaib di Indonesia, tidak ada yang memiliki
seperti dampak dan pengaruh Habib Mundzir,
terutama ketika datang untuk pemuda. Melihat
begitu banyak pria dan wanita muda, anak-anak
berkumpul di bawah bendera Majelis Rasulullah,
senyum dan cinta di wajah mereka. Pemuda
Jakarta lagi-lagi memanggil-manggil kepada Allah
dan RasulNya. Di manapun Habib Mundzir pergi,
senyum dan kebahagiaan ada di sana. Itulah yang
Habib Mundzir selalu membawa bersamanya;
senyum dan cinta.
Mengucapkan selamat tinggal adalah saat yang
sangat sulit bagi saya. Aku ingat bagaimana dia
akan selalu mencium tanganku saat aku
menciumnya setiap kali kita melihat satu sama
lain. Aku ingat pelukan hangat yang diberikan
kepada saya. Aku ingat setiap kali aku berbicara
dia selalu menatapku dengan sukacita. Itu adalah
tampilan ayah memberi ketika dia bangga akan
anaknya.
Saya menyaksikan bagaimana dia dengan orang-
orang, begitu lembut, begitu perhatian. Pelukan ini
adalah jauh lebih lama dan intens. Aku ingat
perjumpaan mata kita, aku ingat untuk tidak
pernah ingin pernah membiarkan pergi. Aku
melihat ke Habib Mundzir dengan begitu banyak
cinta dan kekaguman. Dia hanya 8 tahun lebih tua
dariku, tapi aku melihat dia seperti sosok ayah. Itu
bagaimana dia membawa diri, jauh lebih tua,
hikmat dan cerdas.
Pengabdian masyarakat untuk dia begitu kuat. Di
mana saja Habib pergi, orang-orang menghargai
dan menghormatinya. Cara dia membawa emosi
jamaahnya, kekuatan doa saat mereka berseru
bagi Allah. Saya tidak pernah merasa sangat kuat,
kekuatan positif . Ini memberi saya harapan bagi
umat. Orang-orang seperti Habib Mundzir adalah
apa yang umat ini rindukan.
Orang-orang Indonesia memiliki ikatan yang unik
dan mendalam untuk habaib tersebut. Mereka
mencintai habaib dengan cara yang tidak ada
orang lain di dunia lakukan, tapi Habib Mundzir
adalah Habib mereka. Putra asli mereka,
pendakwah Islam di Indonesia.
Berada di sekitar mereka, saya merasa bahwa
terikat batin kepadanya. Dalam waktu singkat,
cinta saya untuk Habib Mundzir seperti itu dari
masyarakat Jakarta dan Indonesia. Aku merasa dia
adalah “Habib saya.”
Kembali di Tarim saya merasa terjebak dan hilang.
Saya telah menghabiskan tahun sebelumnya tanpa
kelas bahasa Arab karena tingkat bahasa Arab
saya terlalu rendah untuk dimasukkan ke dalam
kelas.
Aku punya guru untuk mempersiapkan saya untuk
tahun mendatang. Tapi aku tidak punya dorongan
atau ambisi. Aku merasa begitu kehilangan dan
putus asa. Waktu belajar baru dimulai hanya
beberapa minggu yang lalu, dan aku merasa
terisolasi. Motivasi saya hilang dari sangat sedikit
untuk benar-benar padam. Aku telah kehilangan
semua motivasi pada belajar dan belajar. Himmah
saya hilang. Namun, saya selalu teringat Habib
Mundzir dalam semua doa saya. Setiap malam
sebelum aku pergi ke tempat tidur saya akan
membuat doa untuk Habib Mundzir, untuk sukses
dan pemulihan sehatnya.
Ketika saya diberitahu Habib Mundzir wafat, saya
tidak akan percaya, seperti sahabat Umar Ra.
setelah mendengar meninggalnya Nabi Muhammad
Saw. Aku segera mengirim pesan teks kepada
keluarga Habib Mundzir dan mereka segera
menelepon saya kembali. Saat aku mendengar
mereka menangis melalui telepon, aku tahu itu
benar. Hatiku hancur berkeping-keping. Dunia
saya runtuh di sekitar saya. Itu perasaan yang
sama saya rasakan ketika ayahku sendiri
meninggal beberapa tahun yang lalu ketika saya
berusia 17 tahun.
Aku berlari keluar dari Darul Musthafa dan
menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu apa yang
harus kupikirkan atau merasa apa. Habib Mundzir
telah pergi...
Saat pergantian hari, air mata saya hanya terus
meningkat dan aku merasa sangat kehilangan. Aku
tidak bisa pergi ke kelas. Aku tidak bisa makan
atau minum. Aku menangis dalam shalat. Saya
tidak bisa berlama-lama dalam beberapa menit
tanpa rasa kehilangannya masuk ke dalam hati
dan pikiran saya. Teman menghibur saya tapi
tidak bisa menghentikan air mata dan rasa sakit.
Saya menulis ini sehari setelah Habib Mundzir
meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Allah
Swt. Seperti yang saya katakan sebelumnya,
hanya beberapa minggu yang lalu semester baru
dimulai dan aku merasa kehilangan dengan tidak
ada motivasi untuk belajar dan belajar. Saya
menulis ini hari ini dengan semangat baru untuk
belajar . Hal ini karena berlalunya Habib Mundzir,
dimana himmah saya telah kembali ke saya,
motivasi dan ambisi telah kembali. Saya percaya
Habib Munzir mengawasi saya, dan saya ingin
membuatnya bahagia .
Aku berniat dalam waktu dekat untuk memenuhi
harapan saya itu belajar di Majelis Rasulullah.
Habib Mundzir adalah saudaraku dalam Islam,
serta sesama murid dari Habib Umar. Dia adalah
syaikh saya, dan dia adalah teman saya.
Sementara berurusan dengan kematiannya
kemarin, seorang teman saya mengatakan kepada
saya tentang hadits yang diriwayatkan oleh ibu kita
Sayyidatuna Aisyah Ra. jiwa tertentu yang
terhubung erat sebelum penciptaan. Aku
merasakan kenyamanan besar dalam mempelajari
hadits ini. Sementara aku hanya menghabiskan
enam minggu di Jakarta, saya merasa seolah-olah
saya telah tumbuh di bawah tatapan penuh kasih
Habib Mundzir ini.
Habib Mundzir memiliki senyum yang berseri-seri,
menerangi setiap ruangan dia masuk. Suaranya
yang berat itu begitu kuat dan siapa mendengar
dia berbicara atau membuat doa terpesona
olehnya.
Dia baik hati dan lembut dengan orang-orang.
Ketika datang kepada Rasulullah kakeknya Saw.,
ia tidak pernah ragu-ragu dalam menyebarkan
pesannya. Semua yang Habib Mundzir lakukan
adalah untuk Allah dan RasulNya, dan syaikh
kami.
Dalam maulid, Habib Mundzir begitu terfokus, jadi
terharu. Dia merasa dan melihat Rasulullah Saw.
di setiap pertemuan. Masyarakat Jakarta
mencintainya. Mereka mengagumi dia, mereka
akan mati untuknya. Saya juga merasakan
kekaguman yang mendalam dan cinta yang kuat
untuknya, dan aku akan mati tanpa ragu-ragu
untuk dia.
Pikiran saya selalu kembali ke pemikiran
bagaimana jika saya telah belajar di sana selama
enam bulan, bukan kembali ke Tarim. Dan Allah
adalah yang terbaik dari Perencana.
Kita semua telah membaca cerita dari orang-orang
yang hanya menghabiskan beberapa saat dengan
Habib Mundzir, dan hati mereka terbuka dan
mereka merasa perubahan dalam hati, bukaan dan
rahasia. Saya seperti melihat cerita yang mustahil
di zaman sekarang ini. Tidak sampai saya bertemu
Habib Mundzir al-Musawa, saya menyadari betapa
saat-saat yang sejati. Hanya sesaat, tapi lebih dari
semua yang diperlukan. Sebuah tatapan dari salah
satu auliya’ mengubah segalanya. Tatapan ini
dapat terjadi dalam hidup mereka, atau di akhirat.
Aku merasa tatapan Habib Mundzir itu pada saya
dan saya merasa sekarang dan lebih intim dan
intens setelah kematiannya.
Saya tidak pernah berpikir saya bisa sangat
mencintai seseorang sebanyak Habib Umar bin
Hafidz. Saya melihat Habib Umar sebagai ayah
angkat saya. Ketika saya melihat Habib Umar, aku
merasa seperti Sayyidina Zaid Ra. kepada Rasul
Saw. Saya tidak pernah berpikir siapapun bisa
memiliki dampak pada kehidupan saya seperti
Habib Umar.
Ketika saya bertemu Habib Mundzir, seluruh dunia
saya berubah. Tidak ada yang bisa memiliki cinta
dan pengabdian untuk syaikh (guru) mereka
dengan cara Habib Mundzir untuk Habib Umar.
Aku belum pernah melihat penyerahan dan
kepercayaan tersebu. Itu seolah-olah saya berada
di antara Rumi dan Syams . Itu adalah kekuatan
dan cinta di balik hubungan antara Habib Umar
dan Habib Mundzir.
Di sana ada ikatan khusus yang tidak ada orang
yang benar-benar bisa mengerti. Tanpa
pertanyaan, Habib Mundzir adalah salah satu yang
paling dicintai Habib Umar, dan untuk Allah Swt.
dan Nabi Saw.
Sejak kepergiannya, begitu banyak telah datang
kepada saya menanyakan saya tentang Habib
Mundzir. Seperti apa dia, cerita, kenangan. Itu
hanya sehari sejak ia meninggalkan kami, namun
rasanya seperti bertahun-tahun. Saya merasa
beruntung telah mengenalnya.
Meskipun waktu yang terbatas saya habiskan
bersamanya, saya merasa lebih terhubung ke dia
sebagian. Saya mengatakan tanpa kesombongan
atau keangkuhan. Allah Swt. memberkati saya
untuk dihubungkan ke Habib Mundzir. Aku tahu
jiwaku terhubung kepadanya . Itulah salah satu
karunia terbesar yang pernah saya terima. Habib
Umar dan Habib Mundzir adalah belahan jiwaku,
dan suatu hari saya berharap untuk berjalan dalam
bayangan mereka. Insya Allah ar-Rahman.
Kepergian Habib disimpan tidak hanya dalam iman
saya kepada Allah dan Islam, itu menyelamatkan
hidup saya. Saya berdoa Habib Mundzir diberikan
surga firdaus dan hubungan dekat dengan
kakeknya Rasulullah Saw. Saya berdoa untuk kita
semua berduka karena kehilangan seseorang yang
kita cintai begitu banyak dan begitu saying.
Saya berdoa untuk anak-anaknya menjadi
perwujudan dan kesejukan ibu mereka di mata
ayahnya. Saya berdoa untuk keluarga dan orang-
orang yang mencintainya untuk melanjutkan
warisannya. Saya berharap dan saya berdoa.
Saya berdoa agar saya diberikan tawwasul
(persambungan) Habib Mundzir di yaumul
qiyamah. Saya berdoa untuk harapan, untuk niat
yang kuat dan iman. Karena kau, ya Maulana,
saya berharap…”
Syaikh Khalil, Tarim
Disadur ulang dari: http://banahsan.blogspo
t.com/2013/10/catatan-syeikh-khalil-amerika-u
ntuk.html
Pesan beliau (Syaikh Khalil dari Florida Amerika
Serikat) di Majelis Rasulullah Saw. Jakarta saat
bertaushiyah dalam acara Dzikir Akbar Majelis
Rasulullah Saw. 3 Desember 2012 silakan baca di
sini: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4
10545482369463
Videonya bisa didownload di sini: http://
www.youtube.com/watch?v=-rcy9z1lc7w
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap 12 Nopember
2013
http://www.muslimedianews.com/2013/11/surat-
cinta-muallaf-amerika-untuk-al.html
http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/11/
surat-cinta-muallaf-amerika-untuk-al.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar