Sabtu, 16 November 2013

Habib Ali Al-Jufri: Benar dan Dusta dalam Menjaga Penampilan


Habib Ali Aljufri
Ada kisah tentang Maula Nashruddin Juha. Bila seseorang mendengar nama
Juha, pasti ia akan tertawa, karena yang dia tahu hanyalah bahwa Juha
adalah seorang humoris. Padahal sesungguhnya ia adalah seorang
cendekiawan, pemikir, filosof, dan juga seorang dai. Akan tetapi memang ia
sangat pandai membuat lelucon dan dagelan yang mengisyaratkan pada
maksud dan makna dari pesan yang ia ingin sampaikan.
Pada suatu ketika Nashruddin diundang ke sebuah acara perjamuan. Ia pun
hadir ke pertemuan itu dengan mengenakan pakaian sederhana, ala
kadarnya. Oleh penjaga, Nashruddin didudukkan di pojok ruangan yang jauh
dari meja hidangan yang telah dipenuhi beraneka makanan dan minuman
yang lezat.
Mengalami perlakuan seperti itu, Nashruddin merangsek ke arah pintu dan
segera pergi meninggalkan ruangan kembali ke rumahnya. Ia pun menyewa
sebuah jubah yang mahal dan mewah.
Setelah kembali ke tempat perjamuan semula, orang-orang segera menyam­
butnya dan sangat menghormatinya. Ia pun diantar untuk duduk di tengah
sofa-sofa tamu khusus yang dipasang berhadapan persis di depan meja
hidangan.
Nashruddin pun mengambil beberapa potong daging kambing guling yang
ada di hadapannya. Ia hanya menyantap sedikit dari daging panggang yang
ada di tangannya, sedang sisanya yang lain ia letakkan di jubah mewahnya
seraya berkata, “Makanlah! Penghormatan ini sesungguhnya untukmu,
bukan untuk diriku.”
Jangan pernah ridha kadar nilaimu terletak pada selembar kain yang engkau
kenakan. Jangan pernah ridha nilaimu terletak pada mesin tak bernyawa
yang engkau kendarai. Jangan pernah rela derajatmu berada pada rumah,
pada kayu-kayu yang engkau gunakan untuk memperindah tempat
tinggalmu. Jangan pernah ridha nilai dan derajatmu berada pada profesi
atau pada restoran yang menjadi tempatmu menyantap makanan atau
memesannya. Nilai dan derajatmu adalah bahwa engkau memiliki hati yang
Allah senantiasa memandangnya. Jangan pernah sekali-kali engkau rela
dan ridha untuk turun dan jatuh dari derajat kemuliaan itu.
Banyak di antara para pembesar arifin, mereka dalam kondisi lusuh dan
dekil, yang, bila seseorang bertemu mereka, niscaya tidak akan menoleh ke
arah mereka. Apakah kita katakan, mereka salah dengan berpenampilan se­
perti itu?
Tidak! Karena demikianlah kemampuan mereka. Mereka tidak dapat mem­
beli pakaian layak yang semestinya. Mereka sangat mengetahui bahwa nilai
mereka terletak pada hati, dan bukan pada selembar pakaian yang mereka
kenakan.
Apakah orang-orang seperti mereka mendapatkan keistimewaan dari Allah
SWT?
Benar. Tidakkah engkau mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Berapa ba­
nyak orang yang berambut lusuh, berpakaian usang, tidak dipedulikan dan
kehadirannya ditolak orang, bila hendak menikahi, niscaya tidak dinikahkan,
dan bila meminta bantuan, niscaya tidak dibantu, tapi, apabila ia
bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan melaksanakan sumpahnya.”
Misalkan, ia berkata “Wahai Tuhanku, aku bersumpah kepada-Mu agar Eng­
kau membalik tanah yang subur ini menjadi tanah gersang berdebu”, nis­
caya Allah akan melakukan hal itu.
Jadi, sangat mungkin bahwa orang yang berpenampilan lusuh dan dekil itu
adalah dari kalangan muqarrabin.
Memang benar, sebagian orang menyikapi persoalan penampilan ini dengan
cara yang salah. Mereka mengatakan, agama kita adalah agama kebersihan.
Tidak pernah ada dalam agama ini kedekilan dan kelusuhan.
Sesungguhnya agama tidak pernah mengajarkan penghambaan kepada hal-
hal lahir dan yang dapat terlihat kasatmata. Agama telah memerdekakan
kita dari penyembahan kepada yang terlihat kepada penyembahan Yang
Maha Tersembunyi (Al-Bathin) dan Yang Maha-Nyata, Allah SWT.
Jadi, sejauh mana kita dapat berpenampilan dengan penampilan yang baik
dan terindah, selama tidak sampai pada batas memaksakan diri, hal itu
adalah utama. Namun, bila hal itu di luar kemampuan, berpenampilanlah
sesuai kemampuan yang ada. Dan bahkan, untuk waktu-waktu tertentu,
seorang murid perlu berpenampilan yang lusuh dan kumal untuk dapat
mengalahkan nafsunya. Untuk mengobati penyakit menoleh kepada
pandangan manusia. Akan tetapi tentu hal itu dilakukan dengan kadar yang
benar dan kembali kepada bimbingan para guru mursyid.
Di samping itu, banyak pula orang yang berpenampilan lusuh dan dekil itu
sesungguhnya adalah para pembesar ahli dunia. Ia menduga, dirinya adalah
bagian dari orang-orang yang zuhud terhadap dunia, tapi sesungguhnya ia
adalah salah seorang pembesar ahli dunia yang hatinya melekat padanya.
Mengapa? Karena penampilannya seperti penampilan orang-orang faqir
yang zuhud sedangkan hatinya sangat dekat dan melekat pada dunia. Ia
selalu menanti dan menunggu-nunggu kapan datangnya dunia dan kapan
meraupnya.
Salah seorang shalihin mempunyai murid yang selalu berada di bawah pen­
didikan dan bimbingannya. Murid ini adalah seorang pedagang yang selalu
berniaga ke berbagai negara untuk menjual barang dagangannya. Suatu
ketika ia menghadap sang guru untuk meminta restu dan doa hendak
melakukan perjalanan niaga ke negeri Fulan. Ia berkata kepada gurunya,
“Wahai Guru, berikanlah nasihat kepada kami.”
“Baiklah. Di negeri yang hendak engkau tuju itu terdapat Syaikh Fulan.
Beliau adalah salah seorang pembesar awliya shalihin. Datanglah
kepadanya dan mintalah doa untukmu dan juga untukku. Sampaikan
padanya, ‘Wahai Syaikh, guruku, Fulan, menyampaikan salam kepadamu
dan mohon doa’.”
Beberapa waktu kemudian sampailah murid itu ke negeri yang dituju. Ia pun
segera bertanya kepada orang yang dijumpainya, di mana gerangan majelis
Syaikh Fulan berada. Orang yang ditanya pun tertawa dan menjelaskan bah­
wa Syaikh Fulan yang dimaksud tinggal di dalam istana.
Terperanjatlah ia mendengar penjelasan orang yang ditanyainya bahwa
Syaikh Fulan yang dikatakan sebagai pembesar para wali oleh gurunya ter­
nyata tinggal di dalam istana. Namun, tidak ingin berlama-lama dalam
keheranannya, tanpa berpikir panjang, ia kembali menanyakan di mana
istana yang dimaksud itu.
Ia pun diantar oleh beberapa orang menuju istana. Ia mengetuk pintu dan
menyampaikan bahwa ia bermaksud untuk menjumpai Syaikh Fulan untuk
menyampaikan amanah dari sang guru.
“Syaikh sedang diundang jamuan makan malam bersama Raja,” beberapa
pelayan menjelaskan.
Hatinya semakin bertanya-tanya, “Bagaimana mungkin?? Syaikh Fulan
tinggal di istana bersama Raja, sedang guruku menyuruhku untuk meminta
doa darinya??”
Meski dipenuhi keheranan dan kebingungan, ia tetap berusaha sabar demi
menjalankan amanah gurunya. Ia mulai membayangkan apa yang ada
dalam benaknya tentang gambaran orang shalih.
“Orang shalih seharusnya adalah orang yang tidak memiliki harta, tidak
memiliki tempat tinggal yang layak, tidak bercampur dengan manusia dan
menjauhi dunia…. Bila tidak demikian adanya, bukanlah ia orang shalih.”
Kala itu datanglah Syaikh bersama rombongan dengan para pengawal yang
berada di setiap sisinya. Ia pun meminta izin untuk masuk dan menemui
Syaikh. Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi setitik husnuzhan kepada
sang Syaikh. Namun ia memaksakan masuk menemuinya, sekali lagi demi
melaksanakan amanah dari sang guru.
“Wahai Syaikh, guruku, Fulan, mengirim salam kepadamu dan meminta ke­
padamu agar tidak lupa mendoakannya,” kata pemuda itu kepada Syaikh.
“Apakah benar gurumu Syaikh Fulan?”
“Benar, Tuan Syaikh.”
“Kalau begitu, sampaikan kepadanya bahwa saudaranya, Fulan, menyam­
paikan salam dan katakan kepadanya, ‘Sampai kapan hatimu bergantung
kepada dunia? Belumkah datang waktunya untuk memutuskan
kebergantungan hatimu dari dunia?.”
Alangkah terkejutnya pemuda tadi mendengar apa yang diucapkan oleh
Syaikh, bahkan terlintas dalam hatinya untuk mengangkat tangan dan
memukul wajah sang Syaikh, kalau saja tidak mengingat pesan gurunya
agar menjaga adab terhadapnya, karena beliau adalah seorang shalihin.
“Guruku yang hidup apa adanya, makan hanya sekali dalam sehari, senan­
tiasa berpuasa, dan tidak memiliki apa pun dari harta benda dunia, lalu dia
yang tinggal di istana, diiringi para pengawal, ingin mengajari guruku??”
Tak ada sesuatu yang mencegahnya untuk berbuat yang tidak patut
dilakukan terhadap Syaikh, kecuali adab terhadap pesan sang guru bahwa
yang dihadapannya saat itu adalah salah seorang shalihin.
Setelah selesai urusannya di negeri itu, sang pemuda pun kembali ke negeri­
nya dan segera mengunjungi sang guru. Di hadapan sang guru ia langsung
mengadukan apa yang dipesankan oleh Syaikh untuk disampaikan
kepadanya.
“Wahai Guru, bagaimana mungkin Syaikh Fulan adalah seorang arif billah,
seorang waliyullah, sedangkan dia tinggal di dalam istana, makan malam
bersama Raja, sedang dia berkata kepadaku, ‘Sampaikan salamku kepada
saudaraku, Fulan, dan katakan padanya, ‘Sampai kapan hatimu selalu
bergantung kepada dunia??’.”
Mendengar hal itu sang guru pun menangis sejadi-jadinya.
“Apa benar ia mengatakan itu kepadamu untukku?”
“Benar, wahai Guru.”
Mendadak sang guru pun pingsan, tak sadarkan diri.
Setelah siuman, sang guru menangis lagi sepanjang hari.
Keesokannya si pemuda kembali mengunjungi gurunya. Ia pun bertanya
kepada sang guru, “Wahai Guru, jelaskanlah kepadaku apa yang sesungguh­
nya terjadi?”
“Baiklah. Ketahuilah, Syaikh Fulan yang engkau lihat bergelimang dunia itu
sesungguhnya tidak ada sedikit pun di hatinya tolehan kepada dunia. Tak
ada dunia sedikit pun di dalam hatinya. Sedangkan diriku, terkadang datang
lintasan-lintasan ke dalam hatiku, kapan aku memiliki sesuatu dari dunia.
Saudaraku, Syaikh Fulan, yang arif billah, yang mengirim pesan ini untukku,
telah diberi firasat oleh Allah SWT untuk mengingatkanku terhadap adanya
aib yang ada di dalam diriku.”
Dari pelajaran ini kita dapat mengetahui bahwa persoalan sesungguhnya bu­
kanlah terletak pada bentuk dan penampilan, dan jangan sampai kita diper­
daya oleh nafsu kita karenanya. Karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada keburukan.
Jangan pernah engkau katakan, “Penampilanku baik, tapi sungguh hatiku
tidak bergantung kepadanya.”
Ketahuilah, awal mula pengakuan yang engkau nyatakan itu menunjukkan
bahwa engkau tidaklah demikian adanya. Karena mengaku-ngaku bukanlah
tanda kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar