Jumat, 29 November 2013

Pembuka Pesantren di Lawang

As-Sayyid Al-Ustadz Muhammad bin Husayn bin
‘Ali Ba’abud Al-’Alawiy Al-Husayni
Pembuka Pesantren di Lawang
Habib Muhammad, begitu ia biasa disapa, dikenal
sebagai guru para Habib di daerah Malang dan
sekitarnya. Beliaulah yang yang mendirikan
pesantren Darun Nasyiien pada tahun 1940.
Semua orang pasti mengenal Pesantren Darun
Nasyiien yang didirikannya di Lawang, Malang.
Pondok Pesantren ini adalah pesantren kaum
habaib yang pertama di Indonesia. Kalaupun
sudah banyak lembaga pendidikan para habib
yang berdiri sebelumnya, biasanya hanya
berbentuk madrasah, bukan pesantren.
Sudah tak terhitung lagi banyaknya alumnus Darun
Nasyiien yang menjadi ulama di seluruh Indonesia.
Rata-rata mereka selalu mengibarkan bendera
Ahlussunnah Wal Jamaah ala Thariqah Alawiyin di
tempat mereka berada.
Nama Habib Muhammad bin Husein bin Ali
Ba’abud juga tak pernah hilang dari hati kaum
muslimin kota Malang sampai saat ini. Masa Kecil
di Surabaya Habib Muhammad bin Husein
dilahirkan di daerah Ampel Masjid Surabaya.
Tepatnya di sebuah rumah keluarga, sekitar 20
meter dari Masjid Ampel, pada malam Rabu 9
Dzulhijjah 1327 H.
Menurut cerita ayahandanya (Habib Husein), saat
akan melahirkan, ibunda beliau (Syarifah Ni’mah)
mengalami kesukaran hingga membuatnya
pingsan. Habib Husein bergegas mendatangi
rumah Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya.
Habib Abu Bakar lalu memberikan air untuk
diminumkan pada istrinya. Tak lama sesudah
diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan
Allah, Syarifah Ni’mah melahirkan dengan selamat.
Habib Abu Bakar berpesan untuk dilaksanakan
aqiqah dengan dua ekor kambing, diiringi pesan
agar tidak usah mengundang seseorang pada
waktu walimah, kecuali sanak keluarga Syarifah
Ni’mah.Acara walimah tersebut dihadiri Habib Abu
Bakar. Beliau pulalah yang memberi nama
Muhammad, disertai pembacaan do’a-do’a dan
Fatihah.
Saat berumur 7 tahun, Habib Muhammad
berkhitan. Setelah dikhitan, Habib Husein
memasukkan putranya itu ke Madrasah al-Mu’allim
Abdullah al-Maskati al-Kabir, sesuai dengan
isyarat dari Habib Abu Bakar. Akan tetapi anaknya
merasa tidak mendapat banyak dari madrasah
tersebut. Tidak lama setelah belajar, Habib Husein
memasukkannya ke Madrasah Al-Khairiyah, juga
di kawasan Ampel.
Pelajaran di Madrasah Al-Khoiriyah waktu itu juga
tidak seperti yang diharapkan, disebabkan tidak
adanya kemampuan yang cukup dari para
pengajarnya. Habib Muhammad pun merasa
kurang mendapat pelajaran. Tapi setelah berada di
kelas empat, terbukalah mata hatinya, terutama
setelah datangnya para tenaga pengajar dari
Tarim-Hadramaut.
Di antara para guru itu adalah Habib Abdul Qodir
bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Hasan bin Abdulloh
al-Kaf. Juga terdapat guru-guru lain yang
mempunyai kemampuan cukup, seperti Habib
Abdurrohman bin Nahsan bin Syahab, Habib
Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor. Habib
Muhammad merasakan futuh, barakah dan
manfaat dari do’a-do’a Habib Muhammad al-
Muhdlor di dalam majelis rouhah (pengajian)-nya.
Di tengah masa belajar itu beliau seringkali
menggantikan para gurunya mengajar, bilamana
mereka berudzur datang. Sampai akhirnya nasib
baik itu datang padanya setelah menempuh
pendidikan hampir enam tahun lamanya. Pada
akhir tahun pendidikan, para pelajar yang lulus
menerima ijazah kelulusan. Ijazah itu dibagikan
langsung oleh Habib Muhammad al-Muhdlor.
Ternyata Habib Muhammad menempati peringkat
pertama, dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu.
Bersamaan dengan itu, Habib Muhammad al-
Muhdlor menghadiahkan sebuah jam kantong merk
Sima kepadanya. Kebahagiaan semakin bertambah
ketika Habib Muhammad al-Muhdlor mengusap-
usap kepala dan dadanya sambil terus
mendo’akannya.
Dalam waktu bersamaan, Habib Agil bin Ahmad
bin Agil (pengurus madrasah) memberitahukan
bahwa Habib Muhammad pada tahun itu akan
diangkat menjadi guru di Madrasah Al-Khoiriyah,
tempatnya belajar selama ini. Disamping mengajar
pagi dan sore di Madrasah Al-Khoiriyah, Habib
Muhammad juga banyak memberikan ceramah
agama di berbagai tempat. Ia juga rajin
menerjemahkan ceramah-ceramah para mubaligh
Islam yang datang dari luar negeri, seperti Syeikh
Abdul Alim ash-Shiddiqi dari India, dsb.
Adapun guru-gurunya yang lain di Madrasah
Khairiyah adalah Habib Husein bin Ali Ba’abud,
Habib Ali bin Ahmad Babgey, Syekh Abdullah bin
Muhammad Ba-Mazru, Sayid Abdurrahman
Binahsan bin Syihab, Habib Hasan bin Abdullah
Al-Kaf, Sayid Jafar bin Zeid Aidid dan lain-lain.
Pada tahun 1348 H, tepatnya Kamis sore 22
Robi’utsani, ayahanda beliau menikahkannya
dengan Syarifah Aisyah binti Sayid Husein bin
Muhammad Bilfaqih. Bertindak sebagai wali nikah
adalah saudara kandung istrinya, Saiyid Syeikh bin
Husein Bilfaqih yang telah mewakilkan aqad
kepada Qodli Arab di Surabaya masa itu, yaitu
Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Walimatul ursy
di rumah istrinya, Nyamplungan Gg IV Surabaya.
Pernikahannya dengan Syarifah Aisyah
mengaruniainya enam putra dan delapan putri.
Mereka adalah Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah,
Sidah, Hasyim, Fathimah, Abdulloh, Abdurrahman,
Alwi, Maryam, Alwiyah, Nur dan Ibrahim.
Pada bulan Jumadil Akhir 1359 H bertepatan
dengan Juli 1940, Habib Muhammad beserta
keluarganya pindah ke Lawang, Malang. Di kota
kecamatan inilah beliau mendirikan madrasah dan
pondok pesantren Darun Nasyiien, yang
pembukaan resminya jatuh pada bulan Rojab 1359
H (5 Agustus 1940 M). Pembukaan pondok
pertama kali itupun mendapat perhatian yang luar
biasa dari masyarakat dan ulama tanah Jawa.
Bahkan sebagian sengaja datang dari luar Jawa.
Setelah beberapa bulan setelah tinggal di Lawang,
ayahanda dari Surabaya (Habib Husein) turut
pindah ke Lawang dan tinggal bersamanya. Ketika
penjajah Jepang datang, Habib Muhammad
sempat berpindah-pindah tinggal. Mulai dari
Karangploso, Simping, hingga Bambangan, yang
kesemuanya masih di sekitar Lawang.
Kegiatan mengajarnya juga sempat berhenti sekitar
17 hari, karena Jepang pada waktu itu
memerintahkan untuk menutup seluruh madrasah
dan sekolah di seluruh daerah jajahannya. Ketika
Belanda datang kembali untuk menjajah yang
kedua kalinya, terpaksa madrasah ditutup lagi
selama tiga bulan, mengingat keamanan yang
dirasa membahayakan pada waktu itu.
Barulah sejak 1 April 1951, Habib Muhammad
sekeluarga kembali ke Jl. Pandowo sampai akhir
hayatnya. Tepatnya di rumah nomor 20, yang di
belakangnya terdapat pondok pesantren, beserta
kamar-kamar santri, musholla Baitur Rohmah dan
ruang-ruang kelas yang cukup baik. Saat itu yang
dipercaya sebagai panitia pembangunan sekaligus
arsitekturnya adalah putra sulung beliau, Habib Ali
bin Muhammad Ba’abud.
Banyak orang shalih yang telah berkunjung ke
rumah dan Pondok Darun Nasyiien, diantara
mereka adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-
Habsyi, Habib Salim bin Ahmad bin Jindan
(Jakarta), Habib Zein bin Abdillah bin Muhsin
Alattas (Bogor), Habib Sholeh bin Muhsin Al-
Hamid (Tanggul), Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi
(Solo), Habib Alwi bin Abdillah Al-Habsyi
(Kalimantan), Habib Husein bin Abdillah Al-Hamid
(Tuban), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid
(Probolinggo), Habib Abdullah bin Umar Alaydrus
(Surabaya), Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf
(Jeddah), Habib Salim bin Abdillah Assyathiri
(Tarim), Sayid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-
Maliki (Mekkah) dan masih banyak lagi habaib
serta ulama dari berbagai daerah untuk
bersilaturahim.
Habib Muhammad berpulang ke rahmatullah pada
hari Rabu pukul 10.20 tanggal 18 Dzulhijjah 1413
h, bertepatan dengan 9 Juni 1993. Jenazah
almarhum diantar oleh banyak orang ke
pemakaman Bambangan, Lawang dan
dimakamkan berdampingan dengan sang ayahanda
dan kakak beliau. Rohimahullohu rohmatal abror.
Wa askannahul jannata darul qoror. Tajri min
tahtihal anhar. Aamiin ya Allohu ya Ghofuru ya
Ghoffar.
Posted By Kisah Teladan Islami
http://sayyidfajar.blogspot.com/2013/10/al-habib-
muhammad-bin-husein-baabud.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar