Selasa, 26 November 2013

MANAQIB AL-‘ARIF BILLAH HADHRATUSSYAIKH KH. MUHAMMAD UTSMAN AL-ISHAQI




MANAQIB AL-‘ARIF BILLAH HADHRATUS
SYAIKH KH. MUHAMMAD UTSMAN AL-
ISHAQI RA.
Keterangan foto: Al-Habib Sholeh bin Muhsin
Al-Hamid (Tanggul Jember), Hadhratus
Syaikh KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi
(Surabaya) dan Al-Habib Muhammad bin Ali
Al-Habsyi (Kwitang Jakarta)
Daftar Isi:
1. Muqaddimah
2. Nasab dan Kelahiran Hadhratus
Syaikh KH. Muhammad Utsman al-
Ishaqi
3. Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil
4. Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya
dengan Mengembara Mendalami Ilmu
Agama
5. Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid
Thariqat
6. Takluknya Sang Pengadu Ayam
Kawa’an di Hadapan Kyai Utsman
7. Pindahnya dari Jombang ke Ngawi
dan Berpulang ke Surabaya
8. Hubungan Erat Guru dan Murid
9. Penggagas Majelis Manaqib
10. Hidupnya Dilimpahi Kecintaan kepada
Auliya’ (Wali-wali Allah)
11. Ketinggian Derajatnya Dinyatakan oleh
Para Wali
12. Beberapa Karamah Hadhratus Syaikh
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
13. Silsilah Thariqat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah
14. Kewafatan Hadhratus Syaikh KH.
Muhammad Utsman al-Ishaqi
1. Muqaddimah
Dengan membaca
Bismillahirrahmanirrahim kami memulai
menyampaikan dan membacakan manaqib
(biografi) Hadhratus Syaikh KH. Muhammad
Utsman al-Ishaqi. Dengan harapan semoga
Allah turunkan rahmat dan keberkahan
untuk kita semuanya. Aamiin.
Dalam kitab al-Lu’lu’ wa al-Marjan
karya KH. Abdul Goffar menuliskan:
“Manaqib ini (Manaqib Kyai Utsman)
dikumpulkan dari pengakuan dan
pernyataan para habaib serta para ulama
yang mengenal Hadratus Syaikh baik secara
lahir maupun secara batin. Diantaranya
pengakuan dan pernyataan tersebut berasal
dari al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi
Kwitang Jakarta, al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta,
al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih
Malang, al-Habib Abdullah al-Haddad, al-
Habib Zain al-Jufri, Kyai Hamid Karang
Binangun Lamongan, Kyai Abdul Hamid
Pasuruan, Nyai Khadijah dan lain lain.
Juga dari Hadhratus Syaikh
Muhammad Utsman sendiri sebagai
Tahadduts bi an-Ni’mah berdasar firman Allah
Swt.: ﻭﺍﻣﺎ ﺑﻨﻌﻤﺔ ﺭﺑﻚ ﻓﺤﺪﺙ . Juga untuk menjaga
jangan sampai ada orang yang mengingkari
atau menentangnya atau mencelanya.
Juga terhadap masyayikh yang lain,
menyebut manaqib sendiri semacam ini
pernah dilakukan oleh ulama terdahulu
untuk memperkenalkan hal ihwal mereka
kepada orang lain agar ditiru, seperti Syaikh
Abdul Ghafir al-Farisi, Syaikh al-Asfahaniy,
Syaikh Yaqut al-Hamawy, Syaikh Abu ar-
Rabi’ al-Maliki, Syaikh Shafiyuddin al-
Manshur serta Syaikh Jalaluddin as-Suyuthiy.
Imam as-Suyuthiy umpamanya telah
menyebutkan manaqibnya sendiri dalam
kitab-kitab thabaqat yaitu Thabaqat al-
Fuqaha’, Thabaqat al-Muhadditsin, Thabaqat
al-Mufassirin, Thabaqat an-Nuhat, Thabaqat
ash-Shufiyah dan Thabaqat al-Muqrin.
Imam as-Suyuthiy mengatakan: “Saya
menyebutkan manaqibku sendiri hanyalah
mengikuti perbuatan orang-orang salaf yang
shaleh, dan untuk memperkenalkan hal ihwal
saya dalam bidang ilmu agar orang lain
menirunya, juga untuk Tahadduts bi an-
Ni’mah.”
Adapun manaqib Hadhratus Syaikh
yang terperinci dan mendetail ada di dalam
kitab “Syifa’ al-Qulub li Qaul al-Mahbub ” yang
disusun oleh KH. Abdullah Faqih Suci Gresik.
Dan kemudian disusun kembali ke dalam
bahasa Arab secara sistematis dan praktis
dalam kitab “ Al-Lu’lu’ wa al-Marjan fi Maniqib
asy-Syaikh Muhammad Utsman Ra.”
2. Nasab dan Kelahiran Hadhratus
Syaikh KH. Muhammad Utsman al-
Ishaqi
Menurut nasab yang sudah tersusun
rapi di dalam keluarga, Hadhratus Syaikh
KH. Utsman al-Ishaqi adalah seorang sayyid
dan seorang habib. Sebab beliau dari jalur
ibu adalah keturunan Maulana Muhammad
Ainul Yaqin atau yang biasa disebut sebagai
Sunan Giri bin Maulana Ishaq al-Husaini.
Sedangkan ayah beliau adalah keturunan
Sunan Gunung Jati yang juga bermarga al-
Husaini. Dengan demikian Hadhratus Syaikh
KH. M. Utsman al-Ishaqi adalah anak cucu
Rasulullah Saw. dengan urutan yang ke-37.
Nasab beliau adalah Muhammad
Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso –
Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki
Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran
Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido
Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadhlullah
Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro –
Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri –
Maulana Ishaq – Ibrahim al-Akbar – Ali Nurul
Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin al-
Akbar al-Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri –
Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi –
Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’
Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi –
Ubaidillah – Ahmad al-Muhajir – Isa an-Naqib
ar-Rumi – Muhammad an-Naqib – Ali al-
Uraidli – Ja’far ash-Shadiq – Muhammad al-
Baqir – Ali Zainal Abidin – Husain – Ali bin
Abi Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.
Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman al-
Ishaqi dilahirkan di Jatipurwo Surabaya pada
hari Rabu bulan Jumadil Akhir tahun 1334 H.
setelah beliau bertapa dalam rahim sang
ibunda selama 16 bulan. Dan selama di
dalam rahim ibunya beliau sering bersin,
dalam bahasa Arab disebut al-Atthas .
3. Keistimewaannya Nampak Sejak Kecil
Semenjak kecil keistimewaan dan
kekeramatan beliau sudah nampak tatkala
Utsman kecil sudah bisa berjalan. Beliau
selalu tidak ada di rumah setelah Maghrib,
dan baru pulang setelah jam 11 malam
dengan badan yang penuh berlumuran
lumpur. Kejadian itu menjadi pertanyaan
sendiri oleh keluarga. Setelah diselidiki,
ternyata beliau berada di sungai didekap
oleh seekor Buaya Putih.
Setiap malamnya Utsman kecil selalu
tidur di surau (langgar) bersama sang kakek,
Kyai Abdullah. Selain kakeknya, tak ada
seorangpun yang berani mendampingi
Utsman kecil tidur. Karena dari kedua mata
Utsman memancarkan sinar yang terang
seakan menembus Iangit bagaikan lampu
sorot.
Sejak beliau berumur 4 tahun setiap
pagi pada jam 3.00 waktu Istiwa’, beliau
keluar rumah menuju Masjid Jami’ Ampel
Surabaya dengan diantar oleh kakak
perempuan beliau yang bernama Nyai
Khadijah untuk membaca Tarhim (panggilan
shalat Fajar) sampai datang waktu Shubuh di
menara Masjid.
“Setiap kali beliau sampai di pintu
gerbang Ampel, beliau selalu disambut banyak
anak-anak kecil yang memakai kopyah
berwarna putih-putih. Sesampainya di masjid
anak-anak kecil tersebut hilang entah ke mana
dan baru muncul kembali sewaktu beliau
hendak pulang dari masjid pada jam 7.00 pagi
untuk mengantarkan beliau ke pintu gerbang.
Dan setelah itu mereka menghilang kembali.”
Ungkap Nyai Khadijah dan Kyai Anwar.
Ketika beliau berumur 6 atau 7
tahun, pada suatu malam nampak sang
rembulan atau bintang-gemintang turun dari
langit seraya memancarkan sinarnya menuju
Utsman kecil, dan mengitari beliau dari
segala arah.
Di umur 7 tahun, beliau sudah
mengkhatamkan al-Quran sebanyak 3 kali di
bawah asuhan sang kakek, Kyai Abdullah.
Kemudian di suia itu beliau dikhitan (sunat).
Setelah itu barulah beliau berpindah mengaji
kepada Kyai Adro’i Nyamplungan.
Semenjak mengaji kepada Kyai
Adro’i, setiap beliau pulang dari Ampel,
diteruskan menuju ke Nyamplungan untuk
mengaji al-Quran. Setelah itu beliau menuju
ke Madrasah Tashwirul Afkar di Gubbah
untuk mengaji ilmu agama. Dan baru pulang
setelah jam 10.00 pagi. Seharinya beliau
hanya mendapatkan sangu (uang saku)
sebesar 5 Sen yang berlobang tengahnya yang
beliau tempelkan di kancing baju.
Pernah selama 4 tahun, Utsman kecil
tidak memakan makanan kecuali hanya
daun-daunan dan buah-buahan. Pada waktu
itu beliau menentukan untuk kebutuhan
belanjanya hanya 1/2 Sen perhari. Beliau
mengatakan: “Pada waktu saya masih kecil,
suatu hari saya bernafsu sekali ingin makan.
Maka sayapun makan sekenyang-kenyangnya.
Tetapi sebagai dendanya saya harus
mengkhatamkan al-Quran sekali duduk.”
Dan beliau juga menceritakan: “Pada
suatu hari saya menangisi diri saya sendiri,
karena ketika saya shalat teringat layang-
layang, padahal saya sudah berumur 12 tahun.
Berarti 3 tahun lagi saya sudah baligh dan
mukallaf, bagaimana kalau saya masih ingat
pada layang-layang pada waktu sholat?!”
4. Menginjak Usia Dewasa Dilaluinya
dengan Mengembara Mendalami Ilmu
Agama
KH. Ahmad Asrori, putra sekaligus
pengganti KH. Utsman sepeninggalnya,
mengatakan bahwa ayah beliau pernah
mengatakan: “Ketika saya menginjak umur 13
tahun, mata saya melihat Ka’bah di Makkah
secara sadar dan nyata. Maka mata sayapun
saya usap berkali-kali, tetapi tetap saja yang
nampak hanyalah Ka’bah di Makkah.
Kemudian saya berpikir, mungkin mata saya
sudah rusak. Saya pun akhirnya minta
dibelikan kaca mata khusus untuk melihat.
Akan tetapi hasilnya tetap sama, Ka’bah di
Makkah tetap nampak di pelupuk mata saya.”
“Itulah awal kasyaf yang dialami oleh
Hadhratus Syaikh, dan sejak itu kata
Hadhratus Syaikh: “Saya melihat orang
dengan segala kepribadiannya, ada yang
menyerupai srigala, ada yang seperti truwelu,
ada yang seperti babi, seperti ayam, kucing
dan lain sebagainya menurut pembawaan
nafsunya masing-masing. Tetapi saya tidak
berani berkata terus terang, sebab itu adalah
rahasia seseorang.” Ujar KH. Ahmad Asrori
bin Utsman al-Ishaqi.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh
sampai larut malam tidak pulang dari
madrasah seperti biasanya pada jam 10.00
pagi, sehingga orang-orang tua
mengkhawatirkan keadaannya. Maka imam
Raudhah Kyai Nur, atas izin orang tua
beliau, berangkat mencari Kyai Utsman, dan
oleh karena diberitakan bahwa Hadhratus
Syaikh berada di pondok Kyai Khozin Panji,
maka Kyai Nur pun berangkat ke sana.
Tetapi sesampai Kyai Nur di Siwalan Panji,
Hadhratus Syaikh sudah pindah ke pondok
Kyai Munir Jambu Madura. Setelah orang tua
beliau mendengar kabar yang demikian itu,
beliau mengatakan: “Tidak usah mencari
Utsman, yang penting dia sehat.”
Setelah beberapa lama tinggal di
pondok, beliau sakit keras, maka terpaksa
beliau pulang ke rumah. Setelah berobat
beliau akhirnya sembuh kembali. Kemudian
Hadhratus Syaikh dipondokkan ke Hadhratus
Syaikh KH. Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng.
Selanjutnya beliau dipondokkan ke
Kyai Romli Peterongan Jombang. Pada waktu
itu Hadhratus Syaikh benar-benar terikat,
beliau mengatakan: “Sewaktu saya dikirim
oleh orang tua saya ke pondok, sarung saya
hanya satu lembar. Apabila najis maka saya
memakai tikar sebagai gantinya untuk shalat.
Dan selama saya di pondok, saya tidak
pernah pulang ke rumah kecuali badan saya
sudah kurus benar. Sebab apabila saya
pulang dan badan saya gemuk, saya dimarahi
oleh orang tua dan nenek. Pernah pada
suatu hari saya pulang badan saya gemuk,
spontan nenek saya mengatakan: “Kalau
kamu tinggal di pondok hanya untuk makan
dan minum, lebih baik tinggal di rumah saja!”
Suatu hari saat kepulangan
Hadhratus Syaikh dari pondok, beliau
menyaksikan adanya hubungan-hubungan
khusus yang diselenggarakan oleh tujuh
orang pemuda dan tujuh orang pemudi
setiap hari di samping musholla depan rumah
beliau.
Melihat hal yang tidak senonoh itu,
akhirnya beliau adukan kepada Kyai Romli
dengan mengatakan: “Kyai, saya melihat ada
mutiara di dalam air yang keruh dan najis,
apakah saya harus mengentasnya
(menyelamatkanya)?”
Kyai Romli menjawab: “Entaslah
wahai Utsman! Dengan syarat hatimu tidak
berpaling kepadanya. Kalau hatimu berpaling
kepadanya, maka kamu tidak akan berjumpa
denganku besok di Mahsyar.”
Maka beliaupun mengumpulkan
pemuda dan pemudi yang berjumlah 14
orang itu di rumah beliau setiap malam.
Beliau ikuti pembicaraan-pembicaraan
mereka yang intim itu sambil beliau masuki
urusan keagamaan mereka. Dan beliau
peringatkan kepada mereka akan siksa Allah
Swt. Sampai akhirnya mereka pun bertaubat
dengan taubat nasuha..
Kyai Utsman pernah diadukan oleh
seorang ulama kepada Kyai Romli karena
beliau diketahui telah mengadu ayam.
Mendengar pengaduan itu Kyai Romli
menjawab: “Saya tidak berani melarangnya
dan Kyai tidak usah menirunya mengadu
ayam.”
5. Awal Mula Diangkat Sebagai Mursyid
Thariqat
Kawan dekat Hadhratus Syaikh yang
bernama KH. Hasyim Bawean pernah
bercerita: “Hadhratus Syaikh dibaiat oleh Kyai
Romli pada hari Rabu tanggal 16 Sya’ban
tahun 1361 H/1941 M. Setelah beliau dibaiat
selama satu minggu beliau menyusun silsilah
Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah atas
perintah Kyai Romli yang diberi nama Tsamrat
al-Fikriyyah.”
Hadhratus Syaikh mengatakan: “Saya
dibaiat oleh Kyai Romli atas permintaan Kyai
Romli sendiri. Pada waktu itu saya dimasukkan
ke kamar Kyai dan didudukkan di atas Burdah
yang putih bersih di atas tempat tidur Kyai dan
dipinjami Tasbih. Padahal waktu itu kaki saya
berlumpur karena hujan. Karena sudah
menjadi tradisi, setiap kali saya masuk ke
rumah Kyai, kaki saya pasti telanjang tanpa
alas kaki. Dengan demikian sebelum saya jadi
Murid saya adalah Murad dan sebelum saya
menjadi Thalib saya adalah Mathlub.”
Dalam kesempatan lain Hadhratus
Syaikh mengatakan akan menghadiri majelis
khusus atau wirid khataman selama 4 tahun.
“Saya terus menerus berjalan kaki memakai
klompen dari Surabaya ke Paterongan.
Barulah kadang-kadang saya naik kendaraan
setelah ketahuan Kyai Hasyim Asy’ari di
Mojoagung dan beliau mengatakan: “Jangan
jalan kaki terus-menerus Utsman!”
Selanjutnya Kyai Hasyim Bawean
mengatakan: “Sewaktu terjadi Perang Dunia II
tahun 1942 M Hadhratus Syaikh sekeluarga
pindah sementara ke Peterongan. Kalau siang
hari berada di dalam pondok. Pada suatu hari,
yakni hari Selasa, beliau disuruh menghadap
Kyai Romli pada jam 2.00 malam untuk
diangkat menjadi mursyid Thariqat Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah. Hadhratus Syaikh waktu
itu mengatakan: “Tidak kuat Kyai.” Tetapi Kyai
Romli tetap melaksanakan perintah Allah,
kemudian mengusapkan tangannya di atas
kepala Kyai Utsman. Seketika itu pula
Hadhratus Syaikh jatuh pingsan tak sadarkan
diri dan langsung jadzab.”
Selama satu minggu Hadhratus
Syaikh mengalami jadzab, beliau tidak
makan, tidak minum, tidak tidur, tidak
buang air besar maupun kecil dan tidak
shalat. Wajah beliau cantik sekali bagaikan
bulan purnama. Tak seorang pun yang berani
melihat wajah beliau yang cantik itu.
Setelah Hadhratus Syaikh mengalami
jadzab satu minggu, beliau berkata kepada
Kyai Hasyim Bawean: “Nanti malam akan
datang tamu-tamu banyak sekali tidak perlu
suguhan makanan atau minuman.” Maka pada
jam 8.00 kurang sepuluh menit malam
Hadhratus Syaikh sudah siap menerima para
tamu di kamar, dan menghadap ke pintu.
Tidak lama kemudian beliau mengucapkan:
“Wa’alaikumussalam, Wa’alaikumussalam”,
selama kurang lebih lima menit dan nampak
seakan-akan Hadhratus Syaikh menjabat
tangan orang-orang sambil menundukkan
kepala.
Kemudian beliau mengatakan: “Mulai
hari ini saya ditetapkan sebagai mursyid
langsung oleh Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra.
dan Nabiyullah Khidhir As. serta oleh sejumlah
masyayikh Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dan
sejak sekarang saya diizinkan untuk
membaiat”, sambil menyerahkan sepucuk
kertas kepada Kyai Hasyim Bawean.
Kemudian Hadhratus Syaikh
menghadap ke barat sekali lagi dan
mengucapkan: “Na’am, na’am.” Tepat pada
jam 8.00 lebih 5 menit malam itu, Hadhratus
Syaikh berdiri menuju ke pintu. Setelah diam
sejenak, beliau mengucapkan:
“Wa’alaikumussalam, wa’alaikumussalam.”
Kemudian oleh Kyai Hasyim,
Hadhratus Syaikh disuruh mandi setelah satu
minggu tidak mandi. Dan ketika itulah Kyai
Hasyim cepat-cepat pergi ke Kyai Romli
untuk mengantarkan sepucuk kertas tadi.
Setelah menerima kertas itu, Kyai Romli
spontan menemuinya di luar rumah seraya
mengatakan: “Ada apa? Ada apa? Ada apa?”
Ketika Kyai Romli membaca sepucuk
kertas itu spontan Kyai mengatakan dengan
bahasa Madura yang maksudnya:
“Alhamdulillah sekarang saya punya anak
yang bisa menggantikan saya (sampai 3 kali).”
Orang tua Kyai Utsman juga pernah
menyatakan kepada salah seorang habib
bahwa Hadhratus Syaikh telah mendapatkan
ijazah dari Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra.,
untuk berdakwah dan diangkat sebagai
khalifahnya tanpa perantara. Pernyataan ini
disampaikan pada tahun 1947 M.
6. Takluknya Sang Pengadu Ayam
Kawa’an di Hadapan Kyai Utsman
Pada waktu Kyai Utsman tinggal di
Rejoso, ada seorang tukang adu ayam
kawa’an yang sangat populer di Jombang
bernama Wak Sud. Dia memiliki jago-jago
yang khusus untuk diadu. Hadhratus Syaikh
tertarik untuk menundukkan orang ini
melalui adu ayam. Maka beliau membawa
ayam ke Wak Sud dengan maksud untuk
mengajak bertanding adu ayam.
Atas ajakan Kyai Utsman itu Wak Sud
menjawab: “Apabila jagomu menang melawan
jagoku maka semua kekayaanku adalah
milikmu. Sebaliknya apabila jagomu kalah
saya tidak menuntut apa-apa darimu.”
Maka Hadhratus Syaikh menjawab:
“Apabila jagomu menang kemudian kau ambil
kekayaanku, memang saya tidak mempunyai
sesuatu yang patut disebut. Dan apabila
sebaliknya jagoku yang menang maka saya
sama sekali tidak butuh kepada kekayaanmu.
Pokoknya begini, apabila jagoku menang kamu
harus tunduk dan patuh di bawah perintahku.”
Akhirnya Wak Sud menyetujui tawaran itu.
Dengan kuasaan Allah Swt.,
menanglah Hadhratus Syaikh dalam
pertandingan itu sekalipun jago miliknya
kurus kecil dan lemah sekali. Berbeda jauh
dengan jago kepunyaan Wak Sud yang kekar
dan gagah itu. Alhasil Wak Sud pun harus
menerima kesepakatan bersama setelah
kekalahannya. Kini ia tunduk dan patuh
pada Hadhratus Syaikh KH. Utsman.
Maka saat Kyai Romli melihat Wak
Sud melakukan shalat, Kyai Romli memegang
pundak Kyai Utsman dari belakang seraya
mengatakan dengan nada heran: “Apa yang
kamu lakukan terhadap Wak Sud wahai
Utsman, sehingga dia mendatangi shalat
Jum’at. Padahal saya tidak mampu
menundukkannya?”
7. Pindahnya dari Jombang ke Ngawi
dan Berpulang ke Surabaya
Di Peterongan, Hadhratus Syaikh
tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari
Rejoso atas saran Kyai Romli dengan maksud
agar beliau menjadi imam di Ngelunggih.
Akibatnya murid-murid Kyai Romli banyak
yang pindah ke Ngelunggih untuk
mendapatkan barokah dari Kyai Utsman serta
ilmu dari beliau. Akhirnya Hadhratus Syaikh
disuruh pindah oleh Kyai Romli ke salah satu
desa dekat Gunung Lawu di Ngawi.
Ketika Hadhratus Syaikh sampai di
lereng Gunung Lawu, sangu (bekal) beliau
tinggal Rp. 1.70 (satu rupiah tujuh puluh
sen) tidak cukup untuk membeli beras 1 liter
sekalipun. Maka untuk mendapatkan rizki,
beliau setiap harinya mengunjungi pesarean
(ziarah kubur) yang paling dikenal oleh
orang di desa itu. Karena beliau cinta dan
hobi melakukan ziarah kubur, akhirnya atas
kemurahan Allah Swt. beliau sekeluarga
mendapatkan rizki yang tidak diduga-duga
sebelumnya.
Diantara orang kampung ada yang
mengundang beliau untuk mengikuti
tahlilan, adapula yang minta barokah doa,
ada yang meminta fatwa, sampai akhirnya
Hadhratus Syaikh menjadi populer di desa
itu dan kemudian menjadi imam di desa itu.
Di desa barunya itu, suatu hari
beliau bermimpi berjumpa dengan gurunya,
Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari Tebu
Ireng, berpamitan kepada beliau dengan
mengatakan: “Saya duluan Utsman.”
Mimpinya tersebut ternyata sebuah isyarat
akan berpulangnya sang guru ke
rahmatullah. Karena esok harinya beliau
mendengar berita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari
meninggal dunia.
Menjelang meletusnya Madiun Effer
(peristiwa Madiun pada tahun 1948 M) Kyai
Utsman berkali-kali menerima surat serta
saran agar beliau pulang saja ke Surabaya
karena situasi yang tidak aman lagi di daerah
itu.
Mendengar kabar pulangnya
Hadhratus Syaikh KH. Utsman ini, sebagian
besar penduduk di lereng Gunung Lawu itu
keberatan ditinggalkan oleh beliau. Karena
mereka masih amat memerlukan doa, ilmu
serta barokah dari beliau. Bahkan ada warga
yang berjanji memberikan 20 hektar kebun
kepada Hadhratus Syaikh agar beliau sudi
tetap tinggal di desa itu. Tetapi setelah beliau
melakukan istikharah akhirnya beliau
menetapkan kembali ke Surabaya.
8. Hubungan Erat Guru dan Murid
Ketika Hadhratus Syaikh menjadi
santri di pondok Rejoso, beliau masih muda
belia. Masa itu beliau sering dijumpai oleh
Nabi Khidhir As. sehingga beliau laporkan
kepada Kyai Romly dan dijawab oleh Kyai:
“Mengapa tidak kau minta datang kemari
wahai Utsman.”
Hadhratus Syaikh sejak kecil sampai
akan pulang ke rahmatullah selalu istiqamah
dalam segala perilaku, perbuatan serta
ucapan yang beliau tiru dari Rasulullah Saw.
Tak pernah terlihat beliau hadats dan semua
menyaksikan bahwa keseluruhan waktunya
hanyalah untuk mnemgabdi kepada Allah
Swt. Maka pantaslah kalau beliau dipilih oleh
Kyai Romly sebagai Khalifahnya. Dalam
hubungan ini Kyai Romly pernah bermimpi
bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik
besar yang terus menerus berproduksi di
bawah pimpinan Hadhratus Syaikh KH.
Muhammad Utsman. Itulah Thariqat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang beliau
asuh.
Sebelumnya Kyai Romly sering
menampakkan dan melahirkan ridhanya
kepada Kyai Utsman, sampai beliau
mengatakan: “Alangkah besar ridha saya
kepadamu wahai Utsman.” Dan Hadhratus
Syaikh meminta pendapat tentang Khalifah
Syaikh Abdul Qodir al-Jailani Ra. Kyai Romly
tersenyum-senyum sambil melihat dan
menunjuk pada Kyai Utsmn. Sebaliknya Kyai
Utsman kepada Kyai Romly juga fanatik dan
sering merindukannya apabila berpisah agak
lama.
Pada suatu hari putra beliau yang
bernama Abu Luqmanul Hakim sewaktu
masih kecil jatuh dan terbentur pada tepi
meja di rumahnya sehingga dari kepalanya
mengalir darah yang banyak sekali yang
cukup mengkhawatirkan keluarga beliau.
Maka oleh keluarga beliau supaya beliau
mengantarkan putranya ke rumah sakit
Karang Tembok dan kalau tidak berhasil
terus ke Simpang. Padahal Hadhratus Syaikh
ketika itu akan pergi ke Rejoso karena sangat
rindu kepada Kyai Romly, maka beliau
berkata dalam hatinya: “Saya harus pergi ke
Rejoso. Tentang nasib anak saya, saya
pasrahkan kepada Allah.”
Ketika beliau berjumpa dengan Kyai
Romly di Rejoso, sang guru mengatakan:
“Anakmu tidak apa-apa.” Dan benar kata Kyai
Romly bahwa anaknya, Abu Luqmanul
Hakim, dalam keadaan sehat wal afiyat,
bahkan sedang memakan nasi goreng
sekembalinya Kyai Utsman dari Rejoso berkat
ketaatan serta kecintaan beliau kepada
gurunya, Kyai Romly Tamim.
Juga pada suatu hari ketika akan
menyelenggarakan walimah di rumah setelah
Maghrib, beliau terlebih dahulu meminta
izin kepada Kyai Romly. Sesampainya di
Rejoso tepat pada waktu shalat Dzuhur,
sesudah shalat berjamaah di masjid, Kyai
Romly mengatakan kepadanya: “Sekiranya
kamu tinggal di pondok seperti yang lalu, maka
malam ini saya ajak memenuhi undangan
Manaqiban di Jombang.”
Maka Kyai Utsman menjadi bimbang,
antara mendampingi gurunya memenuhi
undangan Manaqiban di Jombang dan pulang
ke rumah untuk mengharapkan tamu-tamu
yang beliau undang ke rumah beliau pada
malam itu juga. Akhirnya beliau
memantapkan pendiriannya memilih
mendampingi sang guru seraya berkata
dalam hati: “Saya pasrah kepada Allah. Toh
nasi-nasi yang telah masak di rumah ada
orang-orang yang memakannya, sedangkan
menyertai guru adalah lebih utama.”
Ketika Kyai Romly mengetahui beliau
masih ada di masjid setelah shalat Ashar,
berkatalah beliau kepadanya: “Murid yang
terdekat kepada gurunya adalah murid yang
tahu akan rahasia-rahasia gurunya.”
9. Penggagas Majelis Manaqib
Kegemaran Hadhratus Syaikh adalah
berziarah kepada wali-wali Allah baik yang
masih hidup maupun yang sudah meninggal
dunia, dan beliau mengenal mereka secara
dekat. Bukan hanya nama-nama mereka
bahkan nasab mereka dan hubungan mereka
satu sama lain. Sampai-sampai beliau hidup-
hidupkan dan beliau semarakkan peringatan
hari wafat mereka, terutama wafatnya Syaikh
Abdul Qodir al-Jailani Ra. Sehingga hampir
tiada hari yang lewat di kota maupun desa
terutama di Jawa Timur, kecuali di situ
terdapat majelis manaqib.
Dalam hal ini Hadhratus Syaikh
mentafsirkan qalbun salim dalam ayat: ﻳﻮﻡ
ﻻﻳﻨﻔﻊ ﻣﺎﻝ ﻭﻻﺑﻨﻮﻥ ﺍﻻ ﻣﻦ ﺍﺗﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻘﻠﺐ ﺳﻠﻴﻢ , sebagai
hati yang selamat dari penyakit batin dan
penuh rasa cinta kepada Allah, RasulNya,
dan para wali-waliNya. Sebab, kata beliau,
tanpa wali-wali kita tidak mungkin dapat
mengabdi kepada Allah Swt. dengan benar.
Maka banyak-banyaklah tawassul kepada
Auliya’, insya Allah hati kita akan menjadi
khusu’.
Yang mula pertama kali
menyelenggarakan manaqiban adalah
Hadhratus Syaikh dan kemudian direstui
oleh Kyai Romly dengan menyatakan: “Baik
Man, teruskan Man!”
Mula-mula yang hadir pada majelis
manaqiban di Jatipurwo selama 4 tahun
hanyalah 7 orang, 3 orang diantaranya pada
musim panas udzur (tidak mampu hadir)
karena mengidap penyakit paru-paru.
Pada suatu hari di tengah-tengah
Hadhratus Syaikh memimpin istighatsah,
datanglah orang yang tidak dikenal secara
tiba-tiba dan langsung menelantangkan
beliau dan melingkarkan pedangnya pada
leher beliau yang terlentang di bawah itu.
Peristiwa yang tragis ini diceritakan kepada
Kyai Romly, dan beliau hanya menjawab:
“Teruskan apa yang telah kamu amalkan,
orang tersebut tidak berani menancapkan
pedangnya pada lehermu, bahkan dalam waktu
dekat ini tidak akan berpisah denganmu
sejengkalpun.” Dan kenyataannya seperti apa
yang dinyatakan oleh Kyai Romly.
Tentang keutamaan menaqiban ini,
Hadhratus Syaikh mengatakan: “Tidak ada
ibadah kepada Allah di muka bumi ini yang
lebih utama daripada mencintai wali-wali
Allah.”
Beliau juga mengatakan: “Mencintai
para wali termasuk ketaatan yang terbesar.
Dan mereka yang menghadiri majelis manaqib
adalah orang-orang yang cinta kepada mereka
dan mencintai mereka adalah bukti akan
adanya rasa cinta kepada Allah Swt.”
10. Hidupnya Dilimpahi Kecintaan kepada
Auliya’ (Wali-wali Allah)
Berkah cintanya kepada para Auliya’
maka beliau pun sangat dicintai oleh para
habaib dan para ulama, diantaranya adalah
al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi
Kwitang, al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas Bungur, al-Habib Abu
Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik.
Hadhratus Syaikh sering berziarah kepada
mereka dan menghadiri haul mereka.
Pada suatu hari Hadhratus Syaikh
bermaksud untuk sowan kepada al-Habib
Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di Gresik.
Beliau berjalan kaki dari Surabaya ke Gresik
di tengah-tengah hujan lebat ditambah suara
petir dan guruh yang saling sambar
menyambar di tengah malam yang gelap
gulita ditambah angin kencang yang dapat
menerbangkan atap rumah. Sehingga
sesampainya di Gresik waktu sudah larut
malam dan dalam keadaan basah kuyup.
Dengan mata batin al-Habib Abu Bakar yang
tajam sehingga tahu akan ada kunjungan
dari Kyai Utsman, nampak pintu rumahnya
masih terbuka lebar-lebar dan penjaga pintu
masih berdiri.
Ketika Hadhratus Syaikh melewati
pintu pagar, penjaga pintu mengatakan
bahwa sejak tadi sore Habib menunggu
kedatangan Kyai Utsman dengan penuh
kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika beliau
menghadap al-Habib Abu Bakar Assegaf,
semua jamaahnya yang mengelilingi habib
semua ta’dzim kepada beliau dan mengelu-
elukan kehadiran beliau.
Akhirnya al-Habib Abu Bakar
bertanya tentang apa yang beliau minta
kepada Allah dengan perantara Habib, yang
kemudian dijawab oleh Hadhratus Syaikh
KH. Muhammad Utsman Nadil al-Ishaqi:
“Minta husnul khatimah.” Al-Habib Abu Bakar
termenung lama memikirkan betapa
luhurnya permohonan Kyai Utsman.
Sebelumnya, Hadhratus Syaikh sudah
mempunyai hubungan khusus dengan al-
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi
Kwitang Jakarta, seperti pernyataan Habib
Hasyim bin Sholeh bin Abdurrahman al-
Habsyi bahwa: “ Hadhratus Syaikh Muhammad
Utsman telah mendapatkan futuh melalui al-
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi pada
suatu hari Kamis tahun 1964.”
Dan pernyataan Kyai Hasyim Bawean
bahwa dia pernah mengantarkan Hadhratus
Syaikh KH. Utsman ke al-Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi di Jakarta. Al-Habib
Ali menjabat tangan Hadhratus Syaikh seraya
mengatakan: “Kunci Quthb saya serahkan
kepadamu wahai Syaikh Utsman.”
Dan pernyataan putra al-Habib Ali
sendiri yaitu al-Habib Muhammad bin Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi pada waktu
memberikan sambutan atas wafatnya
Hadhratus Syaikh yang ke-40 hari: “Setiap
kali Hadhratus Syaikh menemui kesulitan apa
saja beliau selalu pergi ke Jakarta untuk
menjumpai al-Habib Ali al-Habsyi untuk
kemudian dapat herhubungan dengan
Rasulullah Saw. Akan tetapi karena jarak
Jakarta-Surabaya begitu jauh maka akhirnya
al-Hahib Ali al-Habsyi menyuruh menjumpai
al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf di
Gresik saja, yang sama-sama Wali Quthb.”
Selanjutnya al-Habib Muhammad bin
Ali al-Habsyi menyatakan dalam
sambutannya bahwa Hadhratus Syaikh
akhirnya berhubungan langsung sendiri
dengan Rasulullah Saw. tanpa perantara
sewaktu mengalami kesulitan.
11. Ketinggian Derajatnya Dinyatakan oleh
Para Wali
Hadhratus Syaikh juga sangat dekat
dengan al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas Bungur Besar Jakarta.
Sehingga sewaktu al-Habib Ali al-Atthas
membaca Khushushiyyah Wakalimatul Akha’
Syaikh Utsman yang disusun oleh al-Habib
Hasan al-Jufri Bangil, beliau menangis
terisak-isak, kemudian beliau gantungkan di
atas pintu rumah seraya mengatan: “Saya
letakkan nadzaman ini di sini agar saya dapat
melihat Syaikh Utsman setiap saat.”
Kemudian beliau mendoakan
Hadhratus Syaikh semoga panjang umur,
“kalau tidak (kata habib Ali al-Atthas) siapakah
yang menggantikan kedudukannya?” Demikian
pernyataan menantu Hadhratus Syaikh, Abu
Lu’lu’, sekembalinya dari Jakarta.
Dan al-Habib Ali bin Husain bin
Muhammad al-Atthas pernah menyatakan:
“Sesungguhnya Syaikh Utsman tiada duanya
pada masa sekarang.”
Dan pada waktu Hadhratus Syaikh
berziarah ke sana, di hadapan para hadirin
al-habib Ali al-Atthas menyatakan: “Wahai
Syaikh Utsman engkau dari keluarga Nabi.
Kekhalifahan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di
tanganmu wahai Utsman.”
Dan dalam kesempatan lain beliau
menyatakan: “Saya mendengar dengan kedua
telinga saya, paman saya Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi mengatakan:
“Sungguh Utsman di Mahsyar nanti sangat
dekat dengan Nabi Muhammad Saw.”
Al-Habib Ali al-Habsyi, al-Habib
Ahmad bin Khalid al-Hamid, al-Habib Umar
al-Aydrus dan lain-lainnya, menyatakan
bahwa Hadhratus Syaikh KH. Utsman al-
Ishaqi adalah tergolong Ahlul Bait Rasulullah
Saw.
Habib Ahmad bin Hamid al-Habsyi
pernah bertanya pada al-Habib Salim bin
Jindan: “Apa yang menyebabkan para habaib
senang pada Kyai Utsman?”
Al-Habib Salim bin Jindan menjawab:
“Syaikh Utsman termasuk keluarga Rasulullah
Saw. Darahnya adalah darah saya ini, maka
ciumlah tangannya apabila kau bertemu
dengannya. Walaupun banyak orang
mendengkinya, toh dia tidak pernah susah
akibat didengki orang. Mereka yang
mendengkinya hanyalah rumput-rumput,
sedangkan Syaikh Utsman adalah pohon besar
yang rindang.”
Ketika KH. Ahmad Asrori, salah satu
putra Syaikh Utsman, masih kecil, pernah
diajak oleh pengasuhnya yang bernama
Abdul Hakim Bawean untuk berkunjung ke
al-Habib Ali bin Muhummad bin Alwi ash-
Shadiq al-Habsyi cucunya al-Habib Syaikh
Bafaqih Boto Putih Surabaya bertepatan
dengan hari raya Idul Fitri. Dalam
kesempatan itu al-Habib Ali mengatakan
kepadanya: “Jangan kau risaukan haliyah
(keadaan) orang tuamu. Beliau bagaikan
matahari, apabila sangat dekat dengan kita
manusia banyak yang tidak tahan karena
saking panasnya. Tetapi ketika jauh dari kita
sinarnya akan membahagiakan kita semua.
Demikianlah keadaan orang tuammu Syaikh
Utsman Ra. Seorang Kyai belum dinamakan
Kyai sempurna sebelum ia diingkari oleh
orang-orang yang dekat kepadanya dan
sebaliknya dia dicintai oleh orang-orang yang
jauh dari padanya.”
Tentang hubungan Kyai Utsman
dengan Kyai Hamid Pasuruan, Hadhratus
Syaikh pernah bercerita setelah walimatul
haul al-Habib Syaikh Bafagih Boto Putih
Surabaya: “Saya keluar ke teras cungkup
didampingi oleh Kyai Abdul Hamid Pasuruan
duduk di tangga cungkup. Pada waktu itu Kyai
Abdul Hamid bercerita: “Tadi sebelum ke sini
saya tidur di rumah salah seorang teman di
Surabaya. Ketika saya bangun, di hadapan
saya terlihat foto Hadhratus Syaikh
Muhammad Utsman. Oleh karena saya tahu
bahwa yang meletakkan adalah Agus Mas’ud
Kedung Cangkring Sidoarjo, maka saya
bertanya kepadanya tentang maksudnya.
Jawabannya hanya Wallahu A’lam.”
Lanjut Kyai Utsman berkata: “Saya
pun diam mendengar cerita itu karera
menyangkut masalah maqam (martabat).”
Tiba-tiba Kyai Hamid menjawab sendiri:
“Untuk kepentingan hubungan di Mahsyar
nanti.”
Itulah sebabnya, maka dalam suatu
walimah Kyai Abdul Hamid Pasuruan
mengharap kepada Hadhratus Syaikh agar
ada hubungan yang dekat antara keduanya
di Mahsyar nanti. Dan Hadhratus Syaikh
menjawab: “Kyai nanti bersama kami di sisi
Allah Yang Maha Kuasa.”
Dan pada walimah yang lalu ada
orang meminta barokah doa kepada Kyai
Hamid, sedangkan di sisi beliau adalah
Hadhratus Syaikh KH.Utsman. Akhirnya Kyai
Hamid memegang lutut Hadhratus Syaikh
Utsman dengan tangan kiri dan berdoa untuk
orang yang meminta doa tadi dengan tangan
kanan.
Kyai Asfahani putra Kyai Abdullah
Faqih yang mengaji di pondok Kyai Hamid
Pasuruan mengatakan pada suatu ketika:
“Kami duduk bersama-sama Kyai Hamid di
ruang tamu, tiba-tiba Kyai Hamid
mengatakan kepada kami: “Di Pasuruan ini
hanya ada kayu gaharu, alangkah nikmatnya
kalau ada pohonnya Asfahani!” Tiba-tiba
Hadhratus Syaikh Muhammad Utsman datang
bertamu ke ruang tamu dan spontan Kyai
Hamid merangkulnya dan mergatakan: “Apa
ini pohon gaharunya!”
Inilah sebagian kecil yang nampak
tentang kedudukan Hadhratus Syaikh
Utsman Nadil Ishaqi Ra.
Ketika Haul Akbar Syaikh Abdul
Qodir al-Jailani Ra. tahun 1389 H, dalam
sambutannya al-Habib Muhammad bin Ali
bin Abdurrahman al-Habsyi menceritakan
tentang perjalanan orang tuanya ke tanah
suci dan bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani Ra. yang menyatakan pada al-Habib
Ali: “Khalifah saya adalah Utsman Surabaya.”
12. Beberapa Karamah Hadhratus Syaikh
KH. Muhammad Utsman al-Ishaqi
Diantara kekeramatan Hadhratus
Syaikh Utsman yang lain adalah kisah yang
diceritakan oleh Kyai Muhammad Faqih
Langitan yang berkata bahwa Kyai Maimoen
Sarang diceritakan oleh ayahnya, Kyai
Zubair, Bahwa al-Habib Abdul Qodir bin
Ahmad Bilfaqih bermimpi jumpa dengan
Rasulullah Saw. yang sedang menemui 2
orang lelaki. Dan Rasulullah menyatakan
kepadanya: “Keluargaku banyak tersebar di
tanah Jawa. Diantaranya adalah dua orang ini
yaitu Romly dan Utsman.”
Kyai Faqih Amin Praban Surabaya,
seorang ulama yang pernah menjadi guru
sekaligus kawan Kyai Utsman, beliau
mengatakan: “Pada suatu hari saya
berkunjung kepada Kyai Utsman, dan dia
meminta saya untuk menjadi muridnya di
bawah naungan Thariqat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah setelah bertukar pikiran
tentang thariqat sampai jam 2 malam. Saya
kalah dan mau menyerah kepada ajakannya
dengan syarat tiga burung perkutut yang di
dalam sangkar masing-masing berkicau secara
berturut-turut dengan komandonya. Setelah
dikomandoinya, tiba-tiba tiga ekor burung itu
berkicau berturut-turut dengan izin Allah.
Maka terasalah dalam diri saya akan
kebesaran Hadhratus Syaikh, dan sejak itu
saya memakai bahasa Jawa halus (kromo)
sebagai ganti bahasa Jawa kasar (ngoko). Tiga
bulan kemudian saya minta dibaiat.”
Diantara kekeramatan beliau yang
lain adalah tatkala salah satu muridnya
hendak menghadap Hadhratus Syaikh,
muridnya itu berkata dalam hati: “Mengapa
jauh-jauh kulangkahkan kakiku ke pondok anu.
Kemudian ke perguruan tinggi anu, sampai
akhirnya ke luar negeri untuk mencari
kebenaran dan keyakinan. Padahal di Surabaya
sini terdapat seorang mursyid yang
membimbing saya menempuh jalan akhirat
dengan selamat.”
Maka ketika santri itu duduk di
ruang tamu, keluarlah Hadhratus Syaikh dari
dalam sambil meletakkan tangan kanannya
di atas dada muridnya tersebut seraya
mengatakan: “Diantara guru saya juga ada
yang bukan dari jam’iyyah kita. Tetapi
Alhamdulillah saya belum pernah
mengingkarinya sama sekali.” Maka sang
murid itu pun merasa malu seraya
menundukkan kepalanya.
Pada tanggal 11 Syawal tahun 1392 H,
Hadhratus Syaikh menjamu para tamu yang
menghadiri majelis manaqib di pondok
Jatipurwo. Beliau mengatakan kepada salah
satu santrinya: “Wahai Abdul Ghoffar, ketika
kau tinggal di Mesir apakah kau pernah
ketemu dengan Syaikh Hasan Ridhwan seorang
wali di Mesir yang dimintai barokah oleh
orang Islam Mesir?”
“Ya, kami pernah menjumpainya pada
suatu hari dalam rangka kuliah umum tasawuf
oleh Ir. Abdul Halim Mahmud yang dihadiri
oleh para sufi di balai pertemuan al-Azhar.”
Jawab muridnya tersebut.
Kemudian Hadhratus Syaikh berkata
kepada para hadirin: “Ketika salah seorang
Habib Ampel berkunjung ke Mesir, dia
menjumpai Syaikh Hasan Ridhwan. Dia ditanya
tentang negerinya. Ketika ia menjawab dari
Ampel Indonesia, maka Syaikh Hasan Ridhwan
mengatakan: “Jadi rumahmu dekat dengan
Syaikh Utsman al-Ishaqi?” Habib menjawab:
“Ya.” Lalu Syaikh Hasan Ridhwan mengatakan
kepadanya: “Apabila kamu sampai di rumah,
berkunjunglah ke Syaikh Utsman, dan
sampaikanlah salamku kepadanya. Ketahuilah
bahwa saya sering berkunjung ke rumahnya.”
Diantara kekeramatan beliau yang
lain, pada suatu hari di bulan Maulud,
Hadhratus Syaikh pergi ke Jakarta naik
kereta api untuk menghadiri acara Maulid
Nabi Muhammad Saw. dan haulnya al-Habib
Ali al-Habsyi di Kwitang Jakarta. Ketika
kereta api berada di antara Cirebon-Jakarta,
karcis Kyai Utsman diperiksa oleh Polisi KA
dengan ketat sekali, termasuk kartu tanda
pengenal beliau yang akhirnya polisi
memaksanya untuk menemuinya di restorasi.
Haln itu sampai menimbulkan kemarahan
beliau, maka seketika itu pula datanglah hal
beliau dan mengatakan: “Perbuatan ini
menunda sampainya kereta api di Jakarta!”
Spontan kereta api itu berhenti tanpa
sebab yang nyata. Anehnya semua hubungan
interlokal maupun bukan interlokal terputus
sama sekali dengan stasiun. Saat itu di
belakang gerbong Kyai Utsman terdapat al-
Habib Abdul Hadi bin Abdullah al-Haddar
dari Banyuwangi. Maka setelah kereta api
macet selama 1 jam, dia mengirim utusan ke
Hadhratus Syaikh seraya mengatakan: “Jam
berapa sekarang! Pergilah ke Kyai Utsman,
dan mintalah barokah Fatihah kepadanya agar
kita tidak terlambat.”
Akhirnya setelah beliau membaca al-
Fatihah barulah beliau sadar akan diri
beliau, dan spontan kereta api berjalan
kembali seusai pembacaan al-Fatihah,
demikian pula hubungan yang menyangkut
perkerataapian sambung kembali.
Kyai Masduri Ngroto pernah
menceritakan tentang sejarah masuknya
Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di
Ngroto dan sekitarnya sebagai berikut:
“Sejak tahun 1936/1937 M banyak
guru-guru thariqat yang berusaha
memasukkan thariqat ke Ngroto. Bahkan ada
kyai yang sampai kawin di Ngroto kemudian
terpaksa firaq (pisah) karena tidak berhasil
memasukkan Thariqat. Pada bulan Muharram
tahun 1964 M Hadhratus Syaikh Utsman
datang ke Ngroto bersama Kyai Muslih
bertepatan dengan Haulnya Kyai Sirojuddin.
Itulah mula pertama beliau datang ke Ngroto.
Kemudian untuk kedua kalinya beliau datang
pada tahun 1966 M. Saya dipanggil ke rumah
paman, dan Hadhratus Syaikh menangis dan
saya dirangkul seraya mengatakan:
“Sabarlah!” Sejak sekarang Masduri menjadi
Kyai di desa sini maka doakanlah semoga
panjang umur.
Sepulangnya Hadhratus Syaikh
Utsman, selang 15 hari kemudian paman saya
meninggal, dan atas saran beliau saya kirim
surat kepada beliau tentang wafatnya sang
paman. Dan saya mendapatkan balasan agar
saya datang ke Surabaya. Di Surabaya saya
dibaiat dan diberi ijazah manaqib secara
muthlaq . Setelah itu banyak para ikhwan
yang menjadi murid Hadhratus Syaikh, maka
smenjak itu tersebarlah thariqat di Ngroto.
Pada suatu hari di bulan Muharram
Hadhratus Syaikh pergi ke Ngroto
menghadiri acara haul, tetapi kendaraan
beliau terhalang lumpur di Kemiri 4 km dari
Ngroto. Kalau mobil beliau diarahkan ke
Ngroto mogok, tapi kalau diarahkan ke
Surabaya mobil beliau bisa berjalan. Maka
Hadhratus Syaikh menetapkan untuk
kembali ke Surabaya. Yang menolong
mengentas mobil beliau dari lumpur adalah
masyarakat Kemiri, maka Hadhratus Syaikh
mengatakan: “Saya tidak dapat membalas
sama sekali. Hanya saya doakan mudah-
mudahan masyarakat di sini selamat semua.”
Maka barokah doa beliau setiap
kampung dari Kemiri sampai Ngroto pasti
ada manaqiban dan ada murid-murid beliau,
diantaranya desa Tembelingan yang asalnya
tidak ada yang shalat bahkan tidak ada
masjid dan mushalla. Tetapi berkat dilewati
oleh Hadhratus Syaikh, Islam tersebar di
Tembelingan dan sekitarnya. Masjid,
mushalla serta pemuka-pemuka agama mulai
bermunculan serta sebagian kaum musimin
di situ sudah menjadi murid beliau, sehingga
Kyai Muslih Mranggen mengatakan:
“Masuknya Hadhratus Syaikh ke Ngroto sudah
pas karena masyarakat Ngroto adalah
masyarakat Madura, cocok dengan kata-kata
Syaikh Utsman: “Ngroto adalah bau Madura.”
Dan Hadhratus Syaikh pernah mengatakan:
“Saya bermimpi di sebelah timur Semarang
ada cahaya. Apakah ada waliyyullah di sana?”
Ternyata benar itulah Kyai Sirojuddin.”
Selanjutnya Kyai Masduri
mengatakan: “Sekembalinya saya dari
Surabaya, pada suatu hari saya sakit mata.
Walaupun sudah berobat tetap tidak sembuh
kecuali di hari Kamis dan Jum’at saja. Maka
pada suatu malam Jum’at saya membaca al-
Fatihah kemudian membaca silsilah, maka
malam itu juga saya bermimpi berjumpa
dengan Hadhratus Syaikh, beliau
menanyakan kepada saya: “Apakah matamu
sakit? Apakah yang sakit sebelah kanan?”
Maka mataku diobati oleh Hadhratus Syaikh
dengan jari-jemarinya dan ternyata
Alhamdulillah sembuh betul-betul. Maka esok
harinya hari Sabtu saya pergi ke Surabaya
untuk menjumpai beliau. Beliau bertanya:
“Apakah matamu sudah sembuh?” Saya
menjawab: “Ya.” Kemudian beliau
menyatakan: “Ya saya obati dari sini.”
Selanjutnya Kyai Masduri
menceritakan lagi: “Pada suatu hari sewaktu
saya berkunjung ke Hadhratus Syaikh saya
disuruh ke Ampel seraya mengatakan:
“Pergilah ke Ampel, saya rindu Agus Mas’ud.”
Sesampai saya di Lawang Agung saya
bertemu dengan Agus Mas’ud, cepat-cepat
turun dan minta gendong saya.
Pernah Hadhratus Syaikh bercerita
kepada Kyai Masduri: “Pada suatu hari Jum’at
ada orang hendak menunaikan shalat Jum’at di
masjid Ampel. Kemudian saya panggil, saya
ajak shalat Jum’at di Baitul Ma’mur. Setelah
kita melangkah tiga langkah kita sudah sampai
di Baitul Ma’mur. Ini boleh kau ceritakan
setelah saya meninggal.”
Kyai Masduri melanjutkan ceritanya:
“Saya bermimpi shalat di mushalla yang
penuh dengan orang-orang yang sedang
shalat. Karena mereka shalat semuanya,
maka saya mengingkarinya dan Hadhratus
Syaikh yang iktu menjadi makmum tidak
tahu siapa yang menjadi imam. Beliau
mengatakan kepada saya: “Mereka adalah
wali-wali Allah.” Dan saya bermimpi
berjumpa dengan Nabi Khidir As. Beliau
mengajak saya ke tepi sungai. Di sana ada
mushalla yang bersinar terang, tahu-tahu di
situ ada Hadhratus Syaikh dan kita bertiga
menjadi makmum tetapi saya tidak tahu
siapa imamnya.”
Al-Habib Abdullah bin Umar al-
Haddar pernah mengatakan kepada Kyai
Abdul Ghoffar: “Pada suatu hari Kamis di
bulan Syawal al-Habib Abdul Hadi bin
Abdullah al-Haddar ingin berjumpa dengan
Hadhratus Syaikh Utsman sesudah masuk
waktu shalat Ashar. Tetapi sesampai di
pondok Jatipurwo beliau tidak menjumpai
Hadhratus Syaikh. Setelah lama menunggu di
pondok dan waktu sudah menjelang Maghrib
maka al-Habib Abdul Hadi pun cepat-cepat
meninggalkan pondok untuk menuju ke
Ketapang karena setelah shalat Maghrib ada
acara pembacaan Burdah di Ketapang.
Ketika sampai di Karang Tembok
becak beliau berpapasan dengan mobil
Hadhratus Syaikh, maka beliau pun kembali
lagi ke pondok Jatipurwo untuk menemui
Hadhratus Syaikh. Sesampai di pondok,
Hadhratus Syaikh sedang mengimami shalat
Ashar dalam waktu Ashar yang paling akhir.
Namun setelah Ashar sempat membaca
semua wirid seperti biasanya sampai tuntas,
kemudian Hadhratus Syaikh menjumpai al-
Habib Abdul Hadi bersama saya di ruang
tamu. Di ruang tamu al-Habib Abdul Hadi
membaca “Allahu Hu Iiy. Allahu Hu liy
Fani’mal Wali” .
Setelah dijamu secukupnya al-Habib
Abdul Hadi mohon pamit kepada Hadhratus
Syaikh untuk pergi ke Ketapang. Dalam
hatinya berkata bahwa waktu telah berlalu
untuk mengikuti pembacaan Burdah di
Ketapang, tetapi kenyataannya tidak
demikian. Kami sampai di Ketapang orang-
orang masih melakukan shalat Maghrib.”
Sopir pribadi Hadhratus Syaikh
pernah bercerita: “Pada suatu hari
sepulangnya Hadhratus Syaikh dari Rejoso,
mobil diistirahatkan di Jombang agar kami
makan minum dulu. Sedangkan Hadhratus
Syaikh menunggu di salah satu rumah dekat
warung tersebut. Seusai makan minum kami
menyatakan kepada Hadhratus Syaikh bahwa
bensin telah habis. Beliaupun terkejut dan
menanyakan mengapa tidak bilang dari tadi
sebelum semua uang yang ada di tangan
beliau diserahkan ke pondok Rejoso dan
beliau menanyakan sisa uang kami. Kami
menjawab hanya tinggal beberapa puluh
rupiah saja. Secara spontan beliau
menegaskan: “Kalau memang demikian
baiklah isilah tangki mobil itu dengan air teh
tanpa gula semampu uang yang ada padamu!”
Kami pun percaya sepenuhnya
kepada beliau dan membeli teh tawar
beberapa ceret dari warung dan langsung
kami isikan ke tangki mobil. Setelah itu kami
melapor untuk pulang ke Surabaya. Beliau
bertanya: “Sudah kau isi bensin?” Kami
menjawab bahwa mobil sudah diisi sesuai
dengan perintah Hadhratus Syaikh.
Selanjutnya beliau mengatakan: “Baiklah,
mari pulang ke Surabaya. Teh-teh juga bisa
menjadi bensin.” Akhirnya betul, mobil
berjalan terus sampai ke Surabaya memakai
bahan bakar teh.”
Sopir Hadhratus Syaikh yang terakhir
yaitu Abdus Syakur juga mengalami
peristiwa serupa yaitu dalam perjalanan
antara Pasuruan-Probolinggo. Mobil
Hadhratus Syaikh kehabisan bensin di
tengah malam dan dia disuruh mencari
warung untuk mendapatkan teh satu gelas.
Setelah didapatkan, teh itu didoakan oleh
Hadhratus Syaikh dan mengatakan:
“Sudahlah isilah dengan teh, sama saja.”
Akhirnya bensin teh tadi habis pas saat
mobil sampai di Probolinggo persis di garasi
mobil.
Cerita semacam ini terjadi pula pada
waktu Hadhratus Syaikh pulang dari Ngroto
Semarang, di tengah perjalanan yang jauh
dari keramaian. Pir mobil putus, tinggal satu
pir saja. Dan oli mobil juga habis kering
sama sekali. Ini terjadi di sekitar Caruban
menuju Surabaya. Dan Hadhratus Syaikh
menyuruh supirnya mencari teh untuk
menggantikan oli yang sudah habis. Setelah
diisi dengan teh mobilpun dapat distater
dengan hanya satu pir saja, dapat berjalan
terus sampai di Surabaya dengan selamat
biidznillah.
Hadhratus Syaikh pernah
menceritakan pengalaman beliau sewaktu ke
Singapura. Melihat banyaknya orang-orang
yang menjemput beliau di Airport, ketua
security yang seorang wanita berusaha ingin
menyelamatkan beliau dari intervio para
inteljen yang lain. Maka dia pura-pura
mengaku sebagai orang tuanya yang ada di
Pontianak. Dan langsung digandeng dari
Airport menuju mobil dan diantar sekalian
menuju ke tempat tujuan.
Besoknya dia kembali lagi membawa
2 handuk mandi Hadhratus Syaikh, tetapi
setelah satu hari dipakai mandi dia minta
kembali. Demikian pula handuk yang satu
lagi dan menyatakan bahwa handuk itu
untuk dia pakai mandi sehari-hari. Sedang
yang satu lagi untuk dia pakai kain kafan
sewaktu ia meninggal nanti. Dan seketika itu
dia minta dibaiat oleh Hadhratus Syaikh
sebagai murid Thariqat Qodriyah wa
Naqsyabandiyah. Sejak itu Hadhratus Syaikh
selalu dikawal oleh ketua security
perempuan itu pulang pergi ke Singapura.
Beliau mengatakan: “Inilah berkat saya tidak
pernah menyakitkan hati ibu saya selama
hidup beliau.”
13. Silsilah Thariqat Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah
Sepeninggal Kiyai Usman, tongkat
estafet mursyid Thariqah Qadiriyah wa
Naqsabandiyah al-Utsmaniyah diberikan
kepada salah satu putranya yakni alm. KH.
Ahmad Asrori al-Ishaqi. Berikut ini adalah
silsilah Thariqat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah Romo KH. Ahmad Asrori bin
Utsman al-Ishaqi:
41. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Ahmad
Asrori al-Ishaqi bertalqin dan berbai’at dari:
40. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Muhammad Utsman bin Nadiy al-Ishaqi
bertalqin dan berbai’at dari:
39. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abi
Ishamuddin Muhammad Romliy at-Tamimiy
bertalqin dan berbai’at dari:
38. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Kholil
Rejoso bertalqin dan berbai’at dari:
37. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Hasbullaah Madura bertalqin dan berbai’at
dari:
36. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Ahmad
Khothib as-Sambasi bertalqin dan berbai’at
dari:
35. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
34. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Murod
bertalqin dan berbai’at dari:
33. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul
Fattah bertalqin dan berbai’at dari:
32. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Kamaluddin bertalqin dan berbai’at dari:
31. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Utsman
bertalqin dan berbai’at dari:
30. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Abdurrahim bertalqin dan berbai’at dari:
29. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu
Bakar bertalqin dan berbai’at dari:
28. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Yahya
bertalqin dan berbai’at dari:
27. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Chisamuddin bertalqin dan berbai’at dari:
26. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Waliyuddin bertalqin dan berbai’at dari:
25. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Nuruddin bertalqin dan berbai’at dari:
24. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Zainuddin bertalqin dan berbai’at dari:
23. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Syarofuddin bertalqin dan berbai’at dari:
22. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Syamsuddin bertalqin dan berbai’at dari:
21. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh
Muhammad al-Hataki bertalqin dan berbai’at
dari:
20. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul
Aziz bertalqin dan berbai’at dari:
19. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul
Qodir al-Jailani bertalqin dan berbai’at dari:
18. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu
Sa’id al-Mubarrok bertalqin dan berbai’at
dari:
17. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu
Hasan Ali al-Hakari bertalqin dan berbai’at
dari:
16. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abul
Faraj ath-Thurthusiy bertalqin dan berbai’at
dari:
15. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abdul
Wahid at-Tamimi bertalqin dan berbai’at
dari:
14. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abu
Bakar as-Sibliy bertalqin dan berbai’at dari:
13. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Abul
Qosim Junaid al-Baghdadi bertalqin dan
berbai’at dari:
12. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Sari as-
Siqthi bertalqin dan berbai’at dari:
11. Al-‘Arif Billaah Hadhratus Syaikh Ma’ruf
al-Karkhi bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al-‘Arif Billaah Imam Abul Hasan Ali
Ridha bertalqin dan berbai’at dari:
9. Al-‘Arif Billaah Imam Musa al-Kadzim
bertalqin dan berbai’at dari:
8. Al-‘Arif Billaah Imam Ja’far ash-Shodiq
bertalqin dan berbai’at dari:
7. Al-‘Arif Billaah Imam Muhammad al-Baqir
bertalqin dan berbai’at dari:
6. Al-‘Arif Billaah Imam Ali Zainal Abidin
bertalqin dan berbai’at dari:
5. Al-‘Arif Billaah Sayyidina Husain Ra.
bertalqin dan berbai’at dari:
4. Al-‘Arif Billaah Sayyidina Ali Kw. bertalqin
dan berbai’at dari:
3. Sayyidil Mursalin wa Habibi Robbil
‘Alamin, Rasul Allah kepada sekalian
makhluk, Sayyidina Muhammad
Saw. bertalqin dan berbai’at dari:
2. Sayyidina Jibril As. bertalqin dan berbai’at
dari:
1. Allah Swt.
Wallahu A’lam
Sya’roni As-Samfuriy, Cibitung 23 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar