Kamis, 07 November 2013

Sifat 20


Bermula Mu’alim hamba [Buya Abdul Karim bin
Muhammad Nur – Kerinci Indonesia] menyusun
sebuah kitab yang menjadi pegangan seluruh
murid beliau yang ditulis menggunakan huruf jawi
(Arab Melayu), mudah-mudahan Allah meredhai
dan mengizinkan hamba mengutarakannya dalam
forum ini tanpa melanggar adab.
Bismillahirrahmanirrahiim…
Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:
1. Nama ilmu ini yaitu ilmu Tauhid, ilmu Kalam,
ilmu Sifat, ilmu Ussuluddin, ilmu ‘Aqidul Iman
2. Tempat ambilannya : yaitu diterbitkan daripada
Qur’an dan Hadits
3. Kandungannya yaitu mengandung
pengetahuan dari hal membahas ketetapan
pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan
kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa
simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala
dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin
(kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira
menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal
menurut bagaimana kepercayaan itu.
4. Tempat bahasannya atau Maudu’nya kepada
empat tempat:
a. Pada Zat Allah Ta’ala dari segi sifat-sifat yang
wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padaNya
dan sifat-sifat yang harus padaNya.
b. Pada zat rasul-rasul dari segi sifat-sifat yang
wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padanya
dan sifat-sifat yang harus padanya
c. Pada segala kejadian dari segi jirim dan jisim
dan aradh sekira-kira keadaannya itu jadi
petunjuknya dan dalil bagi wujud yang
menjadikan dia
d. Pada segala pegangan dan kepercayaan
dengan kenyataan yang didengar daripada
perkhabaran rasul-rasul Allah seperti hal-hal
surga dan neraka dan hari kiamat
5. Faedah ilmu ini yaitu dapat mengenal Tuhan
dan percaya akan rasul dan mendapat
kebahagian hidup didunia dan hidup di akhirat
yang kekal.
6. Nisbah ilmu ini dengan lain-lain ilmu, yaitu
ilmu ini ialah ilmu yang terbangsa kepada agama
islam dan yang paling utama sekali dalam agama
islam.
7. Orang yang menghantarkan ilmu ini atau
mengeluarkannya yaitu, yang pertama mereka
yang menghantarkan titisan ilmu tauhid dengan
mendirikan dalilnya untuk menolak perkataan
meraka yang menyalahi ialah dari pada ulama-
ulama yang mashur yaitu Imam Abu Al hasan Al
Asy’ari dan Imam Abu Mansur At Maturidi tetapi
mereka pertama yang menerima ilmu tauhid
daripada Allah Ta’ala ialah nabi Adam
alaihissalam, dan yang akhir sekali Nabi
Muhammad SAW.
8. Hukumnya, yaitu fardhu ‘ain bagi tiap-tiap
orang yang mukallaf laki-laki atau perempuan
mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil
dan yang harus pada Allah Ta’ala dengan jalan
Ijmal atau ringkasan begitu juga bagi rasul-rasul
Allah dan dengan jalan tafsil atau uraian
9. Kelebihannya yaitu semulia-mulia dan
setinggi-tinggi ilmu daripada ilmu yang lain-lain,
karena menurut haditsnya nabi: Inallahata’ala
lam yafrid syai’an afdola minattauhid wasshalati
walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘ala
malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu,
artinya, Tuhan tidak memfardukan sesuatu yang
terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan. Jika
ada sesuatu terlebih afdhol daripadanya niscaya
tetaplah telah difardhukan kepada malaikatnya
padahal setengah daripada malaikatnya itu ada
yang ruku’ selamanya dan setengah ada yang
sujud selamanya dan juga ilmu tauhid ini jadi
asal bagi segala ilmu yang lain yang wajib
diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan
dan rasul dan dari itu maka jadilah maudu’nya
semulia-mulia ilmu dalam agama islam.
10. Kesudahan ilmu ini yaitu dapat membedakan
antara I’tikad dan kepercayaan syah dengan
yang batil dan dapat pula membedakan antara
yang menjadikan dengan yang dijadikan atau
antara yang Qadim dengan yang muhadasNya
Ilmu Tauhid
Adapun pendahuluan masuk pada menjalankan
ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:
1. Khawas yang lima yaitu, Pendengar, Penglihat,
Pencium, Perasa lidah dan Penjabat
2. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang turun
menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua
bahagi:
a. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah
orang banyak
b. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah
rasul-rasul
3. Kandungannya yaitu mengandung
pengetahuan dari hal membahas ketetapan
pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan
kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa
simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala
dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin
(kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira
menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal
menurut bagaimana kepercayaan itu.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Aqal
Adapun ‘Aqal itu dua bahagi :
1. ‘Aqal Nazori, yaitu aqal yang berkehendak
kepada fikir dan keterangan.
2. ‘Aqal Doruri, yaitu aqal yang tiada
berkehendak kepada fikir dan keterangan.
Adapun Hukum ‘Aqal itu tiga bahagi:
1. Wajib ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima
oleh aqal akan tiadanya maka wajib adanya (Zat,
Sifat dan Af’al Allah)
2. Mustahil ‘Aqal, yaitu barang yang tiada
diterima oleh aqal akan adanya maka mustahil
adanya (Segala kebalikan daripada sifat yang
wajib, sekutu)
3. Harus ‘Aqal, yaitu barang yang diterima oleh
akal akan adanya atau tiadanya (Alam dan
segala isinya yang baharu/diciptakan)
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Mumkinun (Baharu Alam)
Adapun yang wajib bagi ‘Alam mengandung
empat perkara:
1. Jirim, yaitu barang yang beku bersamaan luar
dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga
2. Jisim, yaitu barang yang hidup memakai
nyawa tiada bersamaan luar dalam seperti
manusia dan binatang
3. Jauhar Farad, barang yang tiada boleh
dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu
dan kuman yang halus-halus
4. Jauhar Latief, yaitu Jisim yang halus seperti
ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur
Wajib bagi Jirim, Jisim, Jauhar Farad dan Jauhar
Latief bersifat dengan empat sifat:
1. Tempat, maka wajib baginya memakai tempat
seperti kiri atau kanan, atas atau bawah,
hadapan atau belakang
2. Jihat, maka wajib baginya memakai jihat
seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh
atau dekat
3. Berhimpun atau bercerai
4. Memakai ‘arad, yaitu gerak atau diam, besar
atau kecil, panjang atau pendek dan memakai
rasa seperti manis atau masam, masam atau
tawar dan memakai warna-warna seperti hitam
atau putih, merah atau hijau dan memakai bau-
bauan seperti harum atau busuk
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Hukum Adat Thobi’at
Adapun yang wajib bagi hukum adat Thobi’at
yang dilakukan didalam dunia ini sahaja, seperti
makan, apabila makan maka wajib kenyang
sekedar yang dimakan begitu juga api apabila
bersentuh dengan kayu yang kering maka wajib
terbakar, dan pada benda yang tajam yang
apabila dipotongkan maka wajib putus atau luka.
Dan begitu juga pada air apabila diminum maka
wajib hilang dahaga sekedar yang diminum.
Adapun yang mustahil pada adat Thobi’at itu
tiada sekali-kali seperti makan tiada kenyang,
minum tiada hilang dahaga, dipotong dengan
benda yang tajam tiada putus atau luka dan
dimasukkan didalam api tiada terbakar. Akan
tetapi yang mustahil pada adat itu sudah berlaku
pada nabi Ibrahim as di dalam api tiada terbakar
dan pada nabi Isma’il as dipotong dengan pisau
yang tajam diada putus atau luka .
Adapun yang mustahil pada adat itu jika berlaku
pada rasul-rasul dinamakan Mu’jizat, jika berlaku
pada nabi-nabi dinamakan Irhas, jika pada wali-
wali dinamakan Karamah, dan jika pada orang
yang ta’at dinamakan Ma’unah dan jika berlaku
pada orang kafir atau orang fasik yaitu ada
empat macam:
1. dinamakan Istidraj pada Johirnya bagus dan
hakikat menyalahi
2. dinamakan Kahanah yaitu pada tukang tenung
3. dinamakan Sa’uzah yaitu pada tukang sulap
mata
4. dinamakan Sihir yaitu pada tukang sihir
Mohon ampunan dan RedhaMu yaa Allah,…
Itulah yang telah terdahulu banyak hamba
ungkapkan (terlanjur) di topik-topik yang ada
dalam BSC ini, untuk selanjutnya hamba, Insya
Allah, akan memohon izin dahulu kepada
Mu’alim hamba, sebab ada beberapa huraian
penting yang hamba wajib meminta izin dahulu
pada beliau, diantaranya: Hukum Syara’, Hakikat
Makrifat beserta huraian dalil bagi Sifat-Sifat
yang wajib bagi ‘aqal tentang keTuhanan:
-Sifat Nafsiyah
-Sifat Salbiyah
-Sifat Ma’ani
-Sifat Ma’nawiyah
lalu dibahagi menjadi dua bahagi:
-Sifat Istighna (28 Aqa’id)
-Sifat Iftikhor (22 Aqa’id)
yang menghasilkan faham hakikat nafi
mengandung isbat, isbat mengandung nafi (50
Aqa’id), lalu berlanjut pada huraian Sifat-sifat
bagi Rasul, ditambah empat perkara rukun iman
(18 Aqa’id), menghasilkan penjelasan aqa’idul
iman yang 5 (lima jenis), aqa’idul iman 50,
aqa’idul iman 60, aqa’idul iman 64, aqa’idul
iman 66 dan aqa’idul iman 68.
Baharulah disimpulkan menjadi 4 rukun Syahadat
dan adab-adabnya, serta menjelaskan
penjelasan zikir, serta makna asma ALLAH
InsyaAllah….
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
MA’RIFAT
Adapun hakikat Ma’rifat itu berhimpun atas tiga
perkara:
1. ‘Itikad Jazam, yaitu ‘Itikad yang putus tiada
syak, dzon dan waham
2. Muwafikulilhaq, yaitu Muafakat dengan yang
sebenarnya mengikut Al Qur’an dan Hadits
3. Mu’addalil yaitu beserta dalil
Adapun Dalil itu dua bahagi:
1. Dalil naqal (naqli), yaitu Al Qur’an dan Hadits.
2. Dalil aqal (aqli), yaitu aqal kita
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Adapun dalil wujud Allah Ta’ala pada orang
awam yaitu Baharu alam seperti firman Allah
Ta’ala dalam Al Qur’an : Allahu khaliqu kullu
syai’in, artinya: Allah Ta’ala yang menjadikan
tiap-tiap sesuatu
Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawas :
1. ‘Itikat jazam, tiada syak, dzon dan waham
2. Muwafakat ilmunya, aqalnya dan hatinya
dengan jalan Ilham Ilahi
3. Dalil pada dirinya, seperti firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an: wa fii amfusikum afala
tubsiruun, artinya: pada diri kamu tiadakah kamu
lihat, dan juga Hadits Rasullullah, Man arofa
nafsahu faqod arofa Robbahu, artinya barang
siapa mengenal dirinya bahwasanya mengenal
Tuhannya.
Adapun Hakikat Ma’rifat orang yang Khawasul
khawas:
1. I’tikad jazam, tiada sak, dzon dan waham
2. Muwafakat Ilmunya, aqalnya dan hatinya
dengan jalan kasaf Ilahi terkaya ia daripada dalil
yakni tiada berkehendak lagi kepada dalil (Aqal
dhoruri) terus ia ma’rifat kepada Allah Ta’ala.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Adapun Ma’rifat itu tiga martabat:
1. Ilmul yaqin, yaitu segala Ulama
2. ‘Ainul yaqin, yaitu segala Aulia
3. Haqqul yaqin, yaitu segala Anbiya
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat
dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi
dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun,
‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan
Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan
secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi,
Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan
Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan
Wahdaniah
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat
dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi
dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun,
‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan
Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan
secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi,
Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan
Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan
Wahdaniah
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian I: Sifat Nafsiyah:
Wujud, artinya ada, yang ada itu dzat Allah
Ta’ala, lawannya ‘Adum, artinya tiada yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Allah Ta’ala itu tiada karena jikalau
Allah Ta’ala itu tiada niscaya tiadalah perobahan
pada alam ini. Alam ini jadilah statis (tak ada
masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika
semua itu (perobahan) terjadi dengan sendirinya.
Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya niscaya
jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau
berat salah satu maka sekarang alam ini telah
nyata adanya sebagaimana yang kita lihat
sekarang ini dan teratur tersusun segala
pekerjaannya maka menerimalah aqal kita wajib
adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya
tiada. Adapun dalilnya yaitu firmannya dalam Al
Qur’an:
Allahu kholiqu kullu syai’in
artinya, Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-
tiap sesuatu.
Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah
dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah
itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, artinya, sifat
inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya
yakni sifat pada lafadz dzat pada makna
Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul
wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru
mu’alalahi bi’illati, artinya: hal yang wajib bagi
dzat selama ada dzat itu tiada dikarenakan
dengan suatu karena yakni adanya yaitu tiada
karena jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi
dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan
dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.
Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah karena
wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat
tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud
itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.
Adapun Wujud itu tiga bahagi:
1. Wujud Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala maka
wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada
kesudahan maka wujud itu bersifat Qadimdan
Baqa’, inilah wujud sebenarnya
2. Wujud Mujazi, yaitu dzat segala makhluk maka
wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan
tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya
itu dinamakan wujud Mujazi karena wujudnya itu
bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala
3. Wujud ‘Ardy, yaitu dzat ‘Arodul wujud maka
wujudnya itu ada permulaan dan tiada
kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy,
Kursi dan lain-lain
Adapun yang Mawujud selain Allah Ta’ala dua
bahagi
1. Mawujud dalam ‘alam sahadah, yaitu yang di
dapat dengan khawas yang lima seperti langit,
bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain
2. Mawujud didalam ‘alam ghaib yang tiada
didapat dengan khawas yang lima tetapi didapat
dengan nur iman dan Kasaf kepada siapa-siapa
yang dikaruniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat,
Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.
Adapun segala yang Mawujud itu lima bahagi:
1. Mawujud pada Zihin yaitu ada pada ‘aqal
2. Mawujud pada Kharij yaitu ada kenyataan
bekas
3. Mawujud pada Khayal yaitu seperti bayang-
bayang dalam air atau yang didalam mimpi
4. Mawujud pada Dalil yaitu ada pada dalil
seperti asap tanda ada api
5. Mawujud pada Ma’rifat yaitu dengan
pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi
terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala
Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:
1. Dalil yang didapat dari Khawas yang lima
tiada dapat didustakan
2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada
dapat didustakan
3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat
didustakan
4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada
dapat didustakan
5. Dalil yang didapat daripada firman Allah
Ta’ala tiada dapat didustakan
SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat
dengan empat sifat:
1. Sifat Nafsiyah, yaitu Wujud
2. Sifat Salbiyah yaitu, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi
dan Wahdaniat
3. Sifat Ma’ani, yaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Sami’, Bashir dan Kalam
4. Sifat Ma’nawiyah, yaitu Qadirun, Muridun,
‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan
Muttaqalimuun
Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan
secara nafi dan isbat)
1. Sifat Istighna’ yaitu, Wujud, Qidam, Baqa,
Mukhalafatuhulilkhawadits, Qiyamuhu binafsihi,
Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan
Muttaqallimun
2. Sifat Iftikor, yaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat,
Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan
Wahdaniah
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Bahagian II: Sifat Salbiyah
Adapun hakikat sifat Salbiyah itu: wahiya dallat
‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla,
artinya barang yang menunjukkan atas menafikan
apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada
dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala yaitu
lima sifat:
1. QIDAM, artinya Sedia
2. BAQA’ artinya Kekal,
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITS artinya
Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang
baharu.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah
Ta’ala dengan sendiriNya.
5. WAHDANIAH, artinya Esa
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
1. QIDAM, artinya Sedia
Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada
permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada
permulaan, lawannya Hudusy artinya baharu
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia baharu karena jikalau Ia baharu
niscaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus,
tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah
terdahulu wajibal wujud baginya maka
menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat
Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun
dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal
awwalu, artinya Ia juga yang awal.
Adapun Qadim nisbah pada nama empat
perkara:
a. Qadim Haqiqi, yaitu dzat Allah Ta’ala
b. Qadim Sifati, yaitu sifat Allat Ta’ala
c. Qadim Idofi, yaitu Qadim yang bersandar
seperti dahulu bapa daripada anak
d. Qadim Zamani, yaitu masa yang telah lalu
sekurang-kurangnnya setahun
2. BAQA’ artinya Kekal
Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada
kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada
kesudahan, lawannya Fana’ artinya binasa yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah
Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia
baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang
telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim
maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya
bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom,
artinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai
Kebesaran dan Kemuliaan.
Adapun yang Kekal itu dua bahagi:
a. Kekal Haqiqi, yaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala
b. Kekal Ardy, yaitu kekal yang dikekalkan,
menerima hukum binasa jikalau dibinasakan
Allah Ta’ala, karena ia sebahagian daripada
mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka
kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal
‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh
mahfudh, surga, neraka, bidadari dan telaga
nabi.
3. MUKHALAFATUHULILKHAWADITSI artinya
Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang
baharu
Adapun Hakikat Mukhalafatuhulilhawadits itu
diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al
Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu,
yakni tiada bersamaan dengan segala yang
baharu, lawannya Mumassalatuhulilhawadits,
artinya bersamaan dengan segala sesuatu yang
baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah
Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan
af’al-Nya dengan segala yang baharu, karena
jikalau bersamaan dengan segala yang baharu
maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’,
sebab segala yang baharu menerima hukum
binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib
bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’,
maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah
Ta’ala bersifat mukhalafatuhulilhawadits, dan
mustahil lawannya Mumasalatu lilhawadits,
adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
laisa kamislihi syaiin wa huwassami’ul bashir,
artinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan
segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.
Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan
dzat yang baharu karena dzat Allah Ta’ala bukan
jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan
tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat,
tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada
beranak atau diperanakkan.
Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang
baharu karena sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum
takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada
segala yang mawujud.
Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan
tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada
setengah perkara jua seperti yang baharu
mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara
dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia
mendengar atau yang jauh atau yang
tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati
dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa
dengan sifat Allah Ta’ala.
Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala
dengan perbuatan yang baharu karena perbuatan
Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan
alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan
tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.
Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi
bekas dan dengan alat perkakas atau dengan
minta tolong dan mengambil faedah.
4. QIYAMUHU BINAFSIHI, artinya Berdiri Allah
Ta’ala dengan sendirinya
Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat
daripada menafikan berkehendak kepada tempat
berdiri dan berkehendak kepada yang
menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada
tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada
yang menjadikannya.
Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya,
karena Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka
berkehendak kepada tempat berdiri karena sifat
itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.
Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan
Ia karena Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia
kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia
baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat
Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhulilhawadits.
Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib
diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat
Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-
laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya
firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun
‘anil ‘alamiin, artinya Allah Ta’ala itu terkaya
daripada sekalian alam.
Adapun segala yang Mawujud menurut
berkehendak kepada tempat berdiri dan
berkehendak kepada yang menjadikan dia itu
empat bahagi:
a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan
Dia dan tiada berkehendak kepada tempat
berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala
b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada
berkehendak kepada yang menjadikan Dia, yaitu
sifat Allah Ta’ala
c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan
berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu
segala jirim yang baharu
d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan
berkehendak kepada yang menjadikan dia yaitu
segala ‘aradh yang baharu
5. WAHDANIAH, artinya Esa
Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan
kammuttasil (berbilang-bilang atau bersusun-
susun atau berhubung-hubung) dan kammumfasil
(bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat,
pada sifat, dan pada af’al.
Lawannya An-yakunu wahidan, artinya tiada ia
esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali
dikatakan tiada Ia Esa, karena jikalau tiada Ia
Esa tiadalah ada alam ini karena banyak yang
memberi bekas.
Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata
tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat,
dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari
timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan
dari utara atau selatan, karena tiga yang
memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu
mengeluarkan matahari itu dengan
sekehendakknya umpamanya disebelah barat,
tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan
mengadakan lagi menurut kehendaknya
umpamanya disebelah timur atau utara atau
selatan, karena tiga-tiga tuhan itu berkuasa
mengadakan dan meniadakan maka
kesudahannya matahari itu tiada keluar.
Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita
sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan
didalam alam ini semuanya teratur dengan
baiknya maka menerimalah aqal kita wajib
diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan
mustahil lawannya berbilang-bilang atau
bercerai-cerai.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul
huwallahu ahad, artinya katakanlah oleh mu
(Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat
dan Esa sifat dan Esa Af’al.
Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua
perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan
berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti
dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah,
berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat
Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang
empat.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan
bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau
serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain
seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali
seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil itulah yang
hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala,
apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini
maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni
Esa dzat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua
perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan
berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat,
seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua
Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada
sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan
bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau
serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain
atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah
Ta’ala.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang
hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala,
apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka
baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa
sifat Allah Ta’ala.
Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua
perkara:
a. Menafikan Kammuttasil, yaitu menafikan
berhubung atau minta tolong memperbuat suatu
perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan
kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada
air menghilangkan dahaga dan kuat pada api
membakar dan kuat pada tajam memutuskan
yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
b. Menafikan Kammumfasil, yaitu menafikan
bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi
bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain
memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala,
yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.
Maka Kammuttasil dan Kammumfasil inilah yang
hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala,
apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka
baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni
Esa perbuatan Allah Ta’ala.
Bahagian III: Sifat Ma’ani
Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu
sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun
aujabat lahu hukman, artinya tiap-tiap sifat yang
berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat
Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum
(yaitu Ma’nawiyah)
Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud
pula pada kharij, ada tujuh perkara:
1. QUDRAT artinya Kuasa, Takluk pada segala
mumkinun
2. IRADAT artinya Menentukan, takluk pada
segala mumkinun
3. ILMU artinya Mengetahui, takluk pada segala
yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.
4. HAYAT artinya Hidup, tiada takluk, tetapi
syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat
yang lain.
5. SAMA’ artinya Mendengar, takluk pada segala
yang maujud.
6. BASYAR artinya Melihat, takluk pada segala
yang maujud.
7. KALAM artinya Berkata-kata
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
1. Qudrat artinya Kuasa
Adapun hakikat Qudrat itu yaitu satu sifat yang
Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah
Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan
meniadakan bagi segala mumkin muafakat
dengan Iradat-Nya. Adapun arti mumkin itu
barang yang harus adanya atau tiadanya
Adapun mumkin itu empat bahagi:
a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, yaitu mumkin
yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti:
langit, bumi dan kita semuanya.
b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, yaitu mumkin
yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya
ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok
nenek kita yang sudah tiada.
c. Mumkin sayuzad, yaitu mumkin yang akan
datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.
d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, yaitu
mumkin yang didalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi
tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut
rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.
Lawannya ‘Ujdzun artinya lemah, yaitu mustahil
tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan
Allah Ta’ala itu lemah, karena jikalau Ia lemah
niscaya tiadalah ada alam ini karena yang lemah
itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan.
Maka sekarang alam ini telah nyata adanya
bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka
menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-
Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya
‘Ujdzun.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, artinya Allah Ta’ala
itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan lemah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil
faedah.
* Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
2. Iradat artinya Menentukan
Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim
lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala
maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin
adanya atau tiadanya,muafakat dengan Ilmu-Nya.
Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam
perkara:
a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya
b. Menentukan Tempat mumkin itu
c. Menentukan Jihat mumkin itu
d. Menentukan Sifat mumkin itu
e. Menentukan Qadar mumkin itu
f. Menentukan Masa mumkin itu
Lawannya Karahat artinya tiada menentukan atau
tiada berkehendak, yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu
tiada menentukan atau tiada berkehendak,
karena jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia
berkehendak mengadakan alam ini atau
meniadakan alam ini niscaya tiadalah baharu
(Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah
nyata adanya perubahan, ada siang ada malam,
ada yang datang ada yang pergi, seperti yang
telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri,
maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah
Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya
Karahat.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
fa’allu limaa yuriy d’, artinya berbuat Allah Ta’ala
dengan barang yang ditentukan-Nya.
Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada
berlazim karena:
Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki
seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala
pengikutnya.
Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti
Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain.
Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki
seperti kafir yang banyak.
Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki
seperti mengerjakan yang haram dan makruh
seperti Nabi Adam as dan Hawa.
Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan Karahat.
* Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal.
* Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil
faedah.
* Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
3. Ilmu artinya Mengetahui
Adapun hakikat Ilmu itu yaitu satu sifat yang
Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah
Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang
wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.
Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka
mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.
Adapun yang mustahil itu yaitu yang menyekutui
ketuhanannya atau yang kekurangan baginya
maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi
ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.
Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka
mengetahui Ia segala perkara yang ada pada
masa sekarang ini, segala perkara yang sudah
tiada dan segala perkara yang akan diadakan
lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya
sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya
dengan Ilmu-Nya yang Qadim
Lawannya Jahil, artinya bodoh, yaitu mustahil
tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia
Jahil atau bodoh karena jikalau ia Jahil atau
bodoh niscaya tiadalah teratur atau tersusun
segala pekerjaan didalam alam ini maka
sekarang alam ini telah teratur dan tersusun
dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita
wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil
lawannya Jahil atau bodoh.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
wallahu bikulli syai’in ‘alimun, artinya Allah
Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.
Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan
memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk
menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada
layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah
Ta’ala.
* Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan jahil.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits,
atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci
dari sekalian misal, dan tiada terdinding.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu.
* Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
4. Hayat artinya Hidup
Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim
lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala,
maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.
Lawannya maut artinya mati, yaitu mustahil tiada
diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati
karena jikalau Ia mati niscaya tiadalah ada sifat
yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka
menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala
bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.
Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:
huwal hayyuladzii laa yamuut, artinya Dia yang
Hidup yang tiada mati.
Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan maut.
* Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal.
* Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu.
* Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain)
5. Sami’ artinya Mendengar
Adapun hakikat Sami’ itu yaitu satu sifat yang
Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah
Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang
mawujud sama ada yang mawujud itu Qadim
atau Muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim yaitu dzat dan
Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya
yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang
muhadas yaitu sekalian alam ini maka
mendengar Ia akan segala perkara yang ada
pada masa sekarang ini, segala perkara yang
sudah tiada dan segala perkara yang akan
diadakan lagi, maka tiada terdinding
pendengarannya oleh sebab jauh atau
tersembunyi.
Lawannya Sumum, artinya pekak atau tuli yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia pekak atau tuli karena jikalau Ia
pekak atau tuli niscaya tiadalah dapat Ia
memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal
Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya
dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al
Qur’an: ud’uunii astajib lakum, artinya mintalah
olehmu kepadaKu niscaya Aku perkenankan.
Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah
Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya
Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-
Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun,
artinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang
mengetahui .
Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan pekak.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal, dan tiada
terdinding.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu.
* Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
6. Bashir artinya Melihat
Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim
lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala,
maka dengan Dia melihat segala yang mawujud
sama ada yang mawujud itu Qadim atau
muhadas.
Adapun mawujud yang Qadim itu dzat dan sifat-
Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada
berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang
kamalat.
Adapun mawujud yang muhadas itu sekalian
alam ini maka melihat Ia akan segala perkara
yang ada pada masa sekarang ini, segala
perkara yang sudah tiada dan segala perkara
yang lagi akan diadakan.
Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh
sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat
kelamnya.
Lawannya ‘Umyun, artinya buta, yaitu mustahil
tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia
buta karena jikalau Ia buta maka jadilah Ia
kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib
bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil
lawannya ‘Umyun atau buta
Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an:
wallahu bashirun bimaa ta’maluun, artinya Allah
Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.
Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan buta.
* Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal, dan tiada
terdinding.
* Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu.
* Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
7. Kalam artinya Berkata-kata
Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim
lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala,
maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib
seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah,
artinya ketahui oleh mu bahwasanya tiada tuhan
melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang
mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima
alihatun illallah lafasadatu, artinya jikalau ada
tuhan yang lain selain daripada Allah maka
binasalah segala-galanya. dan berkata pada
yang harus dengan firman-Nya: wallahu
holaqokum wamaa ta’maluun, artinya Allah
Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang
perbuatan kamu.
Lawannya Bukmum, artinya kelu atau bisu yaitu
mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
dikatakan Ia bisu atau kelu karena jikalau Ia bisu
atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau
mencegah dan menceritakan segala perkara
seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain.
Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada
kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah
kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita
wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan
mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu.
Adapun dalilnya friman-Nya dalam Al Qur’an: wa
kallamallaahu muusa taqlimaan, artinya berkata-
kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan
sempurna kata.
Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada
Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari
segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia
menunjukkan kepada suruh maka dinamakan
amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan
lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah
atau larangan maka dinamakan nahi seperti
cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia
menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar,
seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-
lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira
dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada
orang beriman dan ta’at dan lian-lain, jika Ia
menunjukkan pada khabar menakutkan maka
dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan
azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.
Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami
dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu
untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan
tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al
Allah Ta’ala.
* Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada
diawali dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada
diakhiri dengan kelu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil
hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu,
maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding
dan tiada berhuruf atau bersuara.
* Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau
berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta
tolong pada sesuatu.
* Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa,
tiada kamuttassil (Berhubung/bersusun) dan
tiada kamumfasil (tiada bercerai dengan sifat
yang lain).
Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyah
Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul
wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati
bi’illati, artinya hal yang wajib bagi dzat selama
ada dzat itu dikarenakan suatu karena yaitu
Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat
maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, artinya
Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat
Ma’nawiah maka berlazim-lazim antar sifat
Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh
bercerai yaitu tujuh sifat pula:
1. QADIRUN, artinya Yang Kuasa, melazimkan
Qudrat berdiri pada dzat
2. MURIIDUN, artinya Yang Menentukan maka
melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat
3. ‘ALIMUN, artinya Yang Mengetahui maka
melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat
4. HAYYUN, artinya Yang Hidup melazimkan
Hayyat yang berdiri pada dzat
5. SAMI’UN, artinya Yang Mendengar
melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat
6. BASIRUN, artinya Yang Melihat melazimkan
Basir yang berdiri pada dzat
7. MUTTAKALLIMUN, artinya Yang Berkata-kata
melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat
Bahagian V: Sifat Istighna
Artinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna:
mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, artinya
Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang
lain.
Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada
tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat
dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah
satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah
dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-
tiap yang lainnya.
Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:
Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil
khawaditsi, Kiyamuhubinafsihi, Sami’, Basir,
Kalam, Sami’un, Basirun dan Muttakalimun.
Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga
(3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada
sifat Istighna yaitu
1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada
perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya
mengambil faedah, yaitu mustahil tiada diterima
oleh aqal sekali-kali karena jikalau mengambil
faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang
lainnya karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia
pada menghasilkan hajat-Nya
2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya
wajib yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal
sekali-kali karena jikalau wajib Ia menjadikan
alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang
lainnya, karena lazim diwaktu itu berkehendak Ia
kepada yang menyempurnakan-Nya
3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-
Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
karena jikalau memberi sesuatu daripada kainat-
Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-
tiap yang lainnya karena lazim diwaktu itu
berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan
wasitoh
Bahagian VI: Sifat Ifthikhor
Artinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthikhor:
wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya
berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.
Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang
lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat
dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah
satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah
dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-
Nya,
Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:
1. Qudrat
2. Iradat
3. Ilmu
4. Hayat
5. Qodirun
6. Muridun
7. ‘Alimun
8. Hayyun
9. Wahdaniah
Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada
dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat
Ifthikhor:
1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim
yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali
karena jikalau alam ini Qodim tiadalah
berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya
karena lajim ketika itu bersamaan derejat-Nya
2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada
kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya
memberi bekas yaitu mustahil tiada diterima oleh
aqal sekali-kali karena jikalau memberi bekas
sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya
tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-
Nya karena lajim ketika itu terkaya sesuatu
daripadaNya.
Maka sekarang telah nyata pada kita bahwa
duapuluh delapan (28) sifat Istighna dan
duapuluh dua (22) sifat Ifthikhar maka jumlahnya
jadi limapuluh (50) ‘akaid yang terkandung
didalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah
makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa
mustaghniyun angkullu maasiwahu, artinya tiada
yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa
muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, artinya dan
berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.
Ini makna yang pertama maka daripada makna
yang dua itu maka jadi empat (4):
1. Wajibal wujud, yaitu yang wajib adanya.
2. Ishiqoqul ibadah, yaitu yang mustahak bagi-
Nya ibadah
3. Kholikul ‘alam, yaitu yang menjadikan sekalian
alam
4. Maghbudun bihaqqi, yaitu yang disembah
dengan sebenar-benarnya.
Ini makna yang kedua maka daripada makna
yang empat (4) itu jadi satu (1) yaitu:
Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, artinya
tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya
melainkan Allah.
Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah
kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi
dan isbat
Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat
Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan
mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat
Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat
Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah
Laa = nafi, Ilaha = menafi, ila = isbat, Allah =
meng-isbat
Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi
mengandung isbat dan isbat mengandung nafi
sepeti sabda nabi : laa yufarriqubainannafi wal-
isbati wamamfarroqu bainahumaa fahuwa
kaafirun, artinya Tiada bercerai antara nafi dan
isbat dan barang siapa menceraikan kafir.
Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan
asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap
dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan
ada api inilah artinya nafi mengandung isbat dan
isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada
bersekutu.
AQAI’DUL IMAN
Adapun Aqa’idul Iman itu lima bahagi:
1. Aqa’idul Iman 50, yaitu dengan ringkas untuk
mengesahkan iman kita dan wajib diketahui bagi
tiap-tiap orang islam yang baligh lagi beraqal
laki-laki atau perempuan yang mula hendak
mengerjakan ibadah kepada Allah Ta’ala, jikalau
tiada kita mengetahui Aqa’idul Iman yang ringkas
ini maka tiadalah syah ibadah kita kepada Allah
Ta’ala yaitu 20 sifat yang wajib dan 20 sifat yang
mustahil dan 1 sifat yang harus maka
dijumlahkan jadi 41 dan 4 sifat yang wajib bagi
rasul dn 4 sifat pula yang mustahil dan 1 sifat
yang harus pada rasul maka jadi 9, maka
dijumlahkan dengan 41, jadi 50 Aqa’id
2. Aqa’idul Iman 60
3. Aqa’idul Iman 64
4. Aqa’idul Iman 66
5. Aqa’idul Iman 68
Adapun Aqa’idul Iman yang empat (4) kemudian
ini untuk ma’rifat yaitu untuk membedakan dzat
Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu, dan
membedakan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang
baharu dan membedakan perbuatan Allah Ta’ala
dengan perbuatan yang baharu, maka
kesemuanya itu benar, hanya perselisihannya
pada Rukun Iman sahaja, setengahnya tiada
dimasukkan Rukun Iman yang 4 perkara, maka
jadi 60, setengahnya dimasukkan Rukun Iman
tetapi tiada dimasukkan lawannya, maka jadi 64,
dan setengahnya dimasukkan Rukun Iman yang 4
perkara dan lawannya , maka jadilah 68 dan
yang 66 tiada masyhur sebab tiada dimasukkan
satu (1) sifat yang wajib bagi Rasul dan lawannya
maka inilah sebab menjadi 66.
Maka baharulah jadi Syahadat itu dua (2) bahagi:
1. Syahadat Tauhid, yaitu Ashadu anllaa ilaha
ilallah
2. Syahadat Rasul, yaitu Ashadu ana
muhammadarrasuulullaah
Adapun Fardhu Syahadat itu dua perkara:
1. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
2. Ditasdiqkan makna itu kedalam hati
Syarat Syahadat itu empat perkara:
1. Diketahui apa isi didalam dua kalimah itu
2. Diikrarkan dua kalimah itu dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya itu kedalam hati
4. Diyakinkan sungguh-sungguh didalam hati
Rukun Syahadat itu empat perkara:
1. Mengisbatkan dzat Allah Ta’ala dzat yang
wajibal wujud
2. Mengisbatkan sifat Allah Ta’ala sifat yang
kamalat atau sifat yang kesempurnaan
3. Mengisbatkan af’al Allah Ta’ala memberi
bekas dan yang berlaku dalam alam ini semua
perbuatannya
4. Mengisbatkan kebenaran Rasulullah dan
Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah
Kesempurnaan Syahadat itu empat (4) perkara:
1. Diketahui
2. Diikrarkan dengan lidah
3. Ditasdiqkan maknanya didalam hati
4. Diamalkan dari dalam hati hingga melimpah
keseluruh anggota
Yang Membinasakan Syahadat itu empat (4)
perkara:
1. Syak hatinya pada Allah Ta’ala
2. Menduakan Allah Ta’ala
3. Menyangkal dirinya dijadikan Allah Ta’ala
4. Tiada mengisbatkan dzat, sifat dan af’al Allah
Ta’ala dan kebenaran Rasul
Adapun dzikir itu tiga (3) bahagian
1. Dzikir lidah yaitu: Laa ilaha ilallah
2. Dzikir hati yaitu: Allah
3. Dzikir sirr yaitu: Huwa
Adapun Laa ilaha ilallaah dzikir orang Syari’at
Adapun Allah… Allah… dzikir orang Tarikat
Adapun Huwa… Huwa… dzikir orang Hakikat
Laa ilaha ilallaah itu makanan Jasmani
Allah… Allah… itu makanan Qalbu
Huwa… Huwa… itu makanan Ruhani
ALLAH
Alif = Dzat
Lam = Sifat
Lam = Af’al
Ha = Asma’

1 komentar: