Kisah : Keajaiban Shalawat
Seusai acara pembacaan maulid nabi, Darmaji melirik pada Kiai Munawi yang sedang menyimak sebuah kitab. Lalu ia menggeser duduknya lebih mendekat kepada sang Kiai.
“Kitab apa itu, Kiai?. Sepertinya Kiai serius membacanya”.
“Ini kitab Simthud-Durar fi Akhbari Maulid Khairi Basyar wa Mashlahu Akhlaq wa Aushafi Shiyar, karya Al-Habib Al-Imam Al-Alamah bin Muhammad Al-Habsyi. Isinya tentang maulid nabi. Ada 201 nama atau julukan untuk mengagungkan dan memuliakan Kangjeng Nabi. Ada 22 model shalawat nabi yang masing-masing punya faedah.
“Wah, hebat juga ya, Kiai. Sebenarnya, untuk apa sih kita menghormati Kangjeng Nabi? Sampai orang-orang disini tadi saat berdiri pada melengking-lengking dan nangis semua. Saya jadi kikuk. Heran. Bingung. Memang baru kali ini saya ikut shalawatan. Itupun karena diajak temen saya itu si Basri. Apa musti saya harus ikut menangis, Kiai?. Tapi saya tidak bisa”.
“Memang, mereka yang menangis itu telah menyaksikan kehadiran Kangjeng Nabi saat berdiri tadi. Coba ya, kubacakan dulu terjemahan dari kutipan syi’ir ini :
Telah sampai kepada kami dalam sejumlah hadits masyhur bahwa sesuatu yang pertama diciptakan oleh Allah ialah nur yang tersimpan dalam pribadi ini. Nur insan tercinta inilah yang pertama muncul di alam semesta. Kemuliaannya memercik menjadi seluruh wujud. Ciptaan demi ciptaan. Yang baru datang atau sebelumnya. Sejak berpaut pada mutiara cemerlang yang terjaga ini. Alangkah luapan cahaya ini tak terkira. Di pagi hari maupun di kala senja. Saat terbit pelita penerang ini. Demikian pula yang dirasakan semua pandangan mata. Menatap bersama menanti kelahirannya. Embun kerinduan merekah bagai permata baiduri. Dan ketika hampir tiba saat kelahiran insani terkasih ini, gema hangat nan sejuk ucapan selamat datang berkumandang di lelangit dan bumi. Hujan kemurahan ilahi tercurah atas penghuni semesta. Lidah para malaikat bergemuruh bertasbih, bertahmid dan bertakbir. Dengan kekuasaan-Nya, Allah menyingkap rahasia tabir tersembunyi, mencurahi terbitnya nur sempurna ini.
“Nah, begitulah. Ini hanya sebagian saja. Mereka sudah sangat mencintai tradisi shalawat sehingga dengan kuasa Allah, mata batin mereka dibukakan sehingga dapat menyaksikan kehadiran Rasulullah”.
“O, begitu Kiai. Matur nuwun atas penjelasannya”.
Acara makan-makan pun digelar. Jajan-jajan dikeluarkan. Aneka minuman disuguhkan. Semuanya kenyang. Satu persatu jama’ah shalawat berpamit pada tuan rumah. Sebelum menyalami si tuan rumah, Kiai Munawi menghampiri Basri.
“Bas, temanmu yang baru ikut shalawatan tadi siapa namanya, kok aku lupa ya?.”
“Teman baru yang mana, Kiai?. Saya tidak ngajak siapa-siapa?. Emang ada apa?”.
Kiai Munawi tersentak hebat. Ia menarik Basri agak kasar ke sudut ruang tamu. Menanyakannya lagi. Lagi. Dan lagi. Jawaban Basri tetap sama. Berhari-hari kemudian, sang Kiai tak bisa tidur, tak berselera makan. Sejak kejadian itu, setiap Kiai Munawi mengikuti acara shalawatan, ia tak bisa menangis lagi. Dan tak pernah menceritakan apapun ihwal keistimewaan shalawat kepada siapapun. *** (Iqbal1 : Geger Kiai, Catatan Mistis sang Kembara ; Fahrudin Nasrulloh ; Pustaka Pesantren,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar