Selasa, 27 Mei 2014

Orang yang mendapatkan Karomah

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Di depan Sahl bin Abdullah dituturkan tentang karamah. Lalu Sahl bin Abdullah berkata, “Ayat (tanda-tanda) dan karamah hanyalah sesuatu

yang akan habis pada waktunya. Akan tetapi karamah yang terbesar adalah hendaknya Anda mengganti akhlak Anda yang tercela dengan akhlak yang mulia.”



Dan Abu Yazid al-Bisthami —rahimahullah— yang mengatakan, “Pada awal perjalanan spiritualku, al-Haq memperlihatkan kepadaku ayat-ayat dan karamah, namun aku tak pernah  memperhatikannya. Ketika Dia melihatku demikian maka Dia menjadikan jalan untukku ma’rifat pada-Nya.”

Dikatakan kepada AbuYazid al-Bisthami: Dikatakan bahwa Si Fulan bisa berjalan ke Mekkah hanya dalam waktu semalam. Maka Abu Yazid menjawab, “Setan malah bisa berjalan dan Timur ke Barat dalam waktu sekejap, namun ia tetap dalam laknat (murka) Allah.”

Juga dikatakan padanya, bahwa si Fulan bisa berjalan di atas air. Maka ia menjawab, “Ikan juga bisa hidup di air dan burung bisa terbang di udara. Apa hal itu tidak lebih dikagumi daripada apa yang mereka lakukan.”

Saya mendengar Thaifur bin Isa al-Bisthami berkata: Musa bin Isa berkata: Ayahku berkata: Abu Yazid —rahimahullah— berkata, 'Andaikata seseorang membentangkan sajadahnya di atas air dan duduk bersila di udara, maka janganlah Anda tertipu dengannya, sampai Anda melihatnya bagaimana ia dalam melakukan perintah dan meninggalkan larangan.”

Al-Junaid - rahimahullah - berkata, “Hijab yang menghalangi batin orang-orang khusus adalah karena rnereka melihat nikmat dan menikmati pemberian dan suka (cenderung) pada karamah.”

Saya mendengar Ibnu Salim berkata: Saya mendengar ayahku berkata: Ada seorang laki-laki bernama Abdurrahman binti Ahmad bersahabat dengan Sahl bin Abdullah. Suatu hari Ia berkata kepada Sahl bin Abdullah, “Wahai Abu Muhammad Barangkali aku berwudlu untuk shalat. Lalu air yang mengalir dari tanganku akan berubah menjadi batangan emas dan perak.” Maka Sahl berkata, ‘Wahai saudaraku. apakah Anda tidak pernah melihat anak kecil ketika sedang menangis kemudian diberi mainan yang gemerincing, akhirnya Ia disibukkan dengan mainan itu? Maka lihatlah apa yang sekarang Anda kerjakan.”

Dan sebagaimana dikisahkan Ja’far al-Khuldi —rahimahullah— yang berkata: Abu Bakar al-Kattani pernah bercerita kepadaku:

Abu al-Azhar dan juga teman-temanku yang jumlahnya tidak hanya satu telah mengisahkan dari Abu Hamzah yang berkata:

Beberapa orang berkumpul untuk membuka pintu, namun pintu itu tetap tidak bisa dibuka, Abu Hamzah kemudian berkata, “Menjauhlah kalian!” Kemudian ia mengambil gembok dan ia gerakkan sembari berkata, “Beginilah caranya, tentu Anda bisa membukanya.” Akhirnya pintu itu terbuka.

Disebutkan dari an-Nun - rahimahullah - bahwa pada suatu malam ia datang ke Sungai Tigris. Ia berkata: Tiba-tiba aku dapati bagian tepi sungai yang satu merekat pada tepi yang lain (untuk memberi jalan). Lalu aku berkata, “Demi Keagungan-Mu, aku tidak akan menyeberanginya kecuali dengan perahu.”

Dikisahkan dari Abu Yazid al-Bisthami —rahimahullah— yang berkata: Abu Ali as-Sindi pernah datang kepadaku —dimana as-Sindi adalah guru al-Bisthami— dengan membawa kantong kecil. Kemudian ia menuangkan isi kantong tersebut di depanku. Ternyata isinya adalah berbagai macam permata. Lalu aku bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkan semua ini?” As-Sindi menjawab, “Saya mendatangi suatu lembah di sana, tiba-tiba memancarkan sinar seperti lampu, kemudian barang ini aku bawa ke sini.” Lalu aku bertanya kepadanya, “Bagaimana waktumu, waktu di saat engkau mendatangi lembah itu?” Ia menjawab, “Waktuku pada saat itu adalah waktu kosong dari kondisi spiritual yang aku alami sebelumnya.” Lalu ia menyebutkan kisahnya. Artinya, bahwa pada waktu kosong ia disibukkan dengan permata.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— herkata: Di Ramalah, Ahmad bin Ali al-Wajihi mendiktekan pada kami sebuah kisah, dimana kisah ini berasal dari Muhammad bin Yusuf al-Banna’ yang bcrkata: Abu Turah an-Nakhsyabi, seorang yang dikenal memiliki banyak karamah, selama setahun saya pernah rnengadakan perjalanan bersamanya. Kemudian ada empat puluh orang berkumpul bersama kami. Saya melihat bagaimana Abu Turah an-Nakhsyabi memperlakukan orang-orang itu dengan penuh kasih sayang yang tidak bisa saya ungkapkan. Abu Turah menunjukkan mereka jalan, tapi kami membelot, sehingga yang masih bertahan bersama kami tinggal seorang pemuda yang kurus. Abu Turah berkata, “Di antara mereka tidak ada seorang pun yang lebih kuat imannya daripada pemuda ini.” Kemudian beberapa hari kami melanjutkan perjalanan dan kami butuh makanan. Kemudian selang satu jam Abu Turah membelot dari perjalanan, lalu ia datang dengan membawa setandan pisang dan meletakkannya di depan kami yang pada saat itu sedang berada di tengah-tengah gurun pasir. Abu Turah memaksa pemuda ini untuk makan pisang tersebut, namun ia tidak mau makan. Lalu kami bertanya, “Mengapa Anda tidak mau makan?” Ia pun menjawab, “Kondisi spiritual yang saya janjikan antara saya dengan Allah adalah meninggalkan apa yang telah maklum (diketahui). Sementara Anda sekarang telah menjadi apa yang telah saya maklumi. Sehingga setelah ini saya tidak akan berteman lagi dengan Anda.”

Muhammad bin Yusuf melanjutkan kisahnya: Kemudian saya berkata kepada Abu Turah, “Jika engkau mau silakan kuatkan niatmu pada pemuda ini, jika engkau mau meninggalkan silakan meninggalkannya.” Lalu Abu Turah berkata, “Tetaplah dengan kondisi spiritual Anda yang terjadi sekarang.”

Saya mendengar Ibnu Salim berkata: Ketika Ishaq bin Abmad wafat, Sahl bin Abdullah masuk di tempat peribadatannya, lain ia mendapatkan suatu keranjang kecil berisi dua botol minyak kasturi: Satu botol berwarna merah, sedang yang lain berwarna kuning. la juga menemukan batangan emas dan perak. Ibnu Salim berkata: Ayahku memerintahku untuk rnengambilnya, kemudian ia melemparkannya di sungai Tigris. Kemudian ia mencampur apa yang ada dalam botol tersebut dengan debu. Sedangkan pada saat itu Ishaq bin Ahmad masih punya tanggungan hutang.

Kemudian ayahku bertanya kepada Sahl bin Abdullah, “Apa yang ada di dalam kedua botol tersebut?” Ia menjawab, “Adapun botol yang berisi warna merah jika seberat satu dirham saja dan benda tersebut dituangkan pada beberapa mitsqal tembaga, maka tembaga itu akan menjadi emas. Sedangkan yang berwarna kuning jika seberat satu dirham saja dan benda tersebut dituangkan pada beberapa mitsqal tembaga, maka tembaga itu akan berubah menjadi perak. Sedangkan dua batang emas dan perak itu adalah hasil percobaan yang pernah saya lakukan.”

Lebih lanjut aku bertanya kepada Sahl bin Abdullab, “Apa alasan Anda tidak mau melakukan hal itu, sehingga bisa untuk membayar hutang Ishaq bin Ahmad?” Sahl menjawab, “Aku khawatir keimananku.”

Saya (Syekh Abu Nashr as-Sarraj) berkata kepada Ibnu Salim, “Andaikata Sahl bin Abdullah membayar hutang Ishaq bin Ahmad dan barang tersebut, apakah itu tidak lebih baik daripada menghancurkannya ke sungai?” Ibnu Salim menjawab, “Sahl bin Abdullah lebih khawatir keimanan dirinya karena barang tersebut.” Kemudian lebih lanjut Ia berkata, “Ia tidak mau melakukannya karena wara’-nya. Sebab hal itu akan berubah setelah tujuh puluh tahun kemudian.”

Disebutkan dari Abu Hafsh atau dari yang lain, bahwa Ia duduk di sebuah tempat yang dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya, tiba-tiba ada seekor kijang yang turun dari gunung, kemudian menderum di tempat mereka sedang duduk. Melihat kijang itu Abu Hafsh menangis dan membiarkannya lepas. Lalu ia ditanya, apa yang menyebahkannya menangis. Ia menjawab, “Tatkala kalian duduk di sekelilingku, terlintas dalam benakku, andaikata aku memiliki seekor kambing tentu akan aku sembelih untuk kalian. Ketika kijang itu menderum di depan kami, aku menyamakan diriku dengan Fir’aun tatkala ia meminta kepada Allah agar Sungai Nil bisa mengalir, lalu Allah mengabulkan permintaanya. Lalu aku menangis dan meminta kepada-Nya untuk membatalkan apa yang aku harapkan dan kubiarkan kijang itu lepas.”

Sebagian guru Sufi berkata, “Janganlah Anda kagum terhadap orang yang tidak meletakkan apa-apa dalam sakunya, lalu ia memasukkan tangannya dalam saku dan mengeluarkan sesuatu yang Ia ingin kan. Akan tetapi kagumlah terhadap seseorang yang memasukkan sesuatu ke dalam sakunya kemudian ia masukkan tangannya ke dalam saku tersebut, tapi ia tidak menemukan apa-apa, dan itu tidak mengubah kondisi spiritualnya.”

Ibnu ‘Atha’ berkata: Saya mendengar Abu al-Husain an-Nun berkata: Dalam diriku ada sesuatu yang mengganjal tentang karamah. Kemudian aku mengambil sebatang bambu dari tangan anak-anak kecil dan aku berdiri di tengah-tengah dua sampan, dan berkata, “Demi KeagunganMu, jika dari bambu ini tidak keluar ikan seberat tiga kwintal, lebih baik aku menenggelamkan diriku ke dalam air ini.” Ternyata keluar ikan seberat tiga kwintal.

Ibnu ‘Atha’ berkata: Kejadian ini ternyata didengar oleh al-Junaid —rahimahullah— kemudian ia berkata. “Hukum semestinya adalah keluar ular naga besar dan kemudian menggigitnya. Maka andaikata ada ular yang menggigitnya maka itu Iebih balk dan lebih bermanfaat baginya dalam agama daripada tiga kwintal ikan tersebut. Sebab hal itu akan menjadikan fltnah. Sedangkan jika ia digigit ular maka itu adalah pembersihan dan tebusan dosanya.”

Mihya bin Mu’adz —rahimahullah— berkata: Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat tentang ayat dan karamah, maka “Jalan” (tarekat) nya adalah tarekat para wali abdal. Dan jika Anda melihat seseorang memberi isyarat tentang nikmat dan anugerah Allah, maka tarekatnya adalah tarekat orang-orang yang memiliki mahabbah (Cinta) kepada Allah. Orang yang kedua ini lebih tinggi tingkatannya daripada orang sebelumnya. Dan bila Anda melihat seseorang memberi isyarat tentang dzikir dan ia selalu terikat dengan dzikir yang ia sebutkan, maka tarekatnya adalah tarekat orang-orang arif (al-'arifin). Dan ini adalah derajat yang paling tinggi dari semua kondisi spiritual.

Sufinews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar