Imam al-Ghazali menerangkan enam istilah yang memiliki makna yang
sebangun dengan khusyu’. Keenam hal itu bila digabungkan akan
menghasilkan kwalitas khusyu’ dalam shalat. diantara keenam hal itu adalah;
hudhurul qalbi (hadirnya hati) , yaitu mengkosongkan hati dari segala macam
hal kecuali makna kata-kata yang terucap dalam shalat. Tentunya Ini
mengandaikan adanya hafalan dan pengertian arti bacaan shalat itu sendiri.
Pengertian makna bacaan akan membantu mempermudah seseorang mengikat
hati dalam kekhusyu’an, karena hati tersibukkan dengan makna-makna itu.
Namun perlu diwaspadai seringkali hati hadir bersama hafalan bacaan tapi
bukan makna bacaan itu sendiri.
Sebagai kelanjutan dari hudhurul qalbi adalah at-tafahum yaitu pemahaman
akan makna bacaan itu sendiri. Pemahaman ini berbeda-beda antara satu
hamba dengan hamba lainnya, sebagaimana perbedaan pengetahuan mereka
mengenai al-qur’an dan tasbih. Perbedaan pemahaman ini juga tergantung
pada tingkat kehadiran hati masing-masing. Seringkali seorang hamba
menemukan makna yang dalam ketika shalat yang tidak ditemukannya dalam
kesempatan lain.
Jika dua hal tersebut ( hudurul qalbi dan at-tafahum) dikategorikan sebagai
katifitas internal karena harus dijalankan ketika shalat, maka empat konsep
selanjutnya lebih merupakan aktifitas eksternal. Keempat hal tersebut adalah
ta’dhim, haibah, raja’, dan haya’.
Ta’dhim adalah kesadaran diri akan keagungan Allah swt sebagai Dzat
Pengatur Kehidupan. Kepada-Nyalah tergantung semua kehidupan makhluk di
alam ini. Ta’dhim kepada Allah swt ini mampu meningkatkan kwalitas khusyu’
seseorang jika disertai dengan hudurul qalbi dan at-tafahum .
Adapun haibah adalah perasaan takut yang lahir dari perasaan ta’dhim.
Berbeda dengan takut yang ditimbulkan karena adanya unsur kemudharatan.
Misalkan takut jatuh dari ketinggian atau takut binatang buas. Keduanya
adalah takut karena sesuatu yang ditakuti itu bisa mendatangkan
kemudharatan. Sedangkan haibah adalah perasaan takut yang lahir karena
keagungan sesuatu yang ditakuti. Sebagaimana seorang anak yang takut
kepada orang tua. Bila hati seorang hamba telah merasakan haibah dalam
shalat, maka kwalitas kekhusyu’annya pasti lebih tinggi dari yang tidak
merasakan haibah.
Sedangkan raja’ yang secara bahasaadalah pengharapan, dapat diartikan
sebagai harapan yang senantiasa hadir dalam hati akan adanya ridha Allah
swt. Seorang hamba tentunya harus tahu diri sudah pantaskah dia
mengharapkan ridha Allah swt, jika shalatnya tidak mampu mendatangkan
rasa ta’dhim. Bagaimana mungkin seorang mengharapkan sesuatu dari orang
lain tanpa didahului pengabdian? Meski demikan kewajiban hamba adalah
mengharap kepada-Nya, disertai dengan usaha mendekat dan mengenal-Nya
melalui shalat yang khusyu’.
Dan yang terakhir adalah haya’ perasaan malu kepada kemurahan-Nya.
Apakah masih pantas seorang hamba berharap rahmat dan ridha-Nya,
bukankah rahmat dan ridha selama ini telah diberikan oleh-Nya secara cuma-
cuma walaupun seorang hamba banyak melanggar larangan-Nya dan
mengoleksi dosa-dosa?
Demikian enam hal yang seharusnya dijadikan materi ajaran dan bahan latihan
seorang hamba ketika shalat, sebagaimana yang dituturkan Al-Ghazali dalam
Ihya’ Ulumiddin. (Red. Ulil H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar