Senin, 12 Mei 2014

sejarah ilmu nahwu

Gelombang Ilmu Nahwu
Oleh Syafiq Hasyim
Sepintas pada minggu lalu saya sudah kemukakan bagaimana proses awal
peletakan dasar-dasar ilmu Nahwu yang melibatkan para Sahabat Nabi seperti
Sayyidina ʿUmar dan terutama Sayyidina ʿAlī dan juga Abū al-Aswad al-Du’alī.
Agar terkesan lebih sistematis, saya akan menulis babakan sejarah ilmu ini.
***
Kalangan sejarahwan Nahwu biasanya membagi ilmu Nahwu ke dalam empat
empat gelombang. Pertama, periode peletakan dasar dan pembentukan ilmu
Nahwu ( al-waḍʿu wa al-takwī n). Hal terutama dikembangkan oleh kalangan
ulama Nahwu berlatar belakang Baṣrah (akan dijelaskan siapa kelompok
Basrah dalam tulisan-tulisan berikut). Kedua, periode kemunculan dan
perkembangan yang dipelopori baik oleh kubu Baṣrah maupun Kūfah. Ketiga,
periode hasil dan penyempurnaan yang yang juga oleh kedua kubu Baṣrah dan
Kūfah. Keempat, periode pemilahan dan juga pelebaran melalui karangan-
karangan yang luas.
Periode yang terakhir ini dikembangkan oleh kalangan ulama Nahwu dari
Baghdad, Andalusia, Mesir dan Syria. Meskipun periodisasi ini dibuat, namun
sebetulnya tidak ada masa dimana benar-benar ada periode murni, terutama
setelah gelombang pertama di Basrah. Kalangan Baṣrah bisa dipengaruhi oleh
kalangan Kūfah (akan dijelaskan dalam tulisan selanjutnya siapa kubu Kūfah)
dan demikian juga sebaliknya. Atau bahkan saling keterpengaruhan juga bisa
terjadi antara kalangan Baṣrah dan Kūfah pada satu sisi dan kalangan Mesir,
Baghdad dan lain sebagainya pada sisi yang lain.
Minggu ini saya akan memulai dengan penulisan gelombang pertama ilmu
Nahwu dimana cerita tentang aktor-aktor utama seperti Sayyidina ʿAlī dan juga
al-Du’alī pasti akan terulang lagi. Hal ini karena mereka berdualah yang boleh
dikatakan sebagai peletak dasar ilmu ini sebagaimana yang dikatakan dalam
buku Tarikh al-Nahwi al-Arabī fī al-Mashriq wa al-Maghrib , karangan
Muḥammad Mukhtar Wala Abba cetakan tahun 2008.
***
Sebagaimana diketahui dalam sejarah kita, Sayyidina ʿAlī adalah sepupu dan
hidup lekat dengan keseharian Rasulullah. Konon menurut banyak riwayat,
boleh dikata tidak ada hari-hari Rasulullah tanpa Sayyidina ʿAlī hadir di
sampingnya. Kedekatan Sayyidina ʿAlī dengan Rasulullah inilah yang oleh
sebagian umat Islam ditafsirkan bahwa kelak akan menjadi pengganti Nabi.
Bukan menggantikan posisi kenabian Muhammad, namun sebagai pengganti
kepemimpinannya.
Berdasarkan pada kedekatan ini pula, kalangan sejarahwan Nahwu mengambil
kesimpulan jika pemikiran kenahwuan Sayyidina ʿAlī diperoleh langsung dari
Al-Qur’an dan al-Sunna al-Nabawiyya sebab beliau adalah pihak yang
mengetahui paling banyak dengan apa, dimana, dan bagaimana wahyu ini
diturunkan kepada Rasulullah secara persis. ʿAlī juga mengetahui betul
bagaimana Rasulullah melafalkan kitab suci ini.
Di sini, al-Qafṭī dalam kitabnya, Inbāh al-Ruwwa (Vol. I, h. 39) mengutip
kesaksian al-Du’alī ketika bertamu dengan Sayyidina ʿAlī. Diceritakan, ketika
al-Du’ali masuk ke kediaman Sayyidina ʿAlī, dia melihatnya sedang merenung.
Lalu al-Du’ali memberanikan diri untuk bertanya: “wahai pemimpin orang yang
beriman, apa yang anda pikirkan?” Ali menjawab: “Saya dengar bahwa di
daerahmu ada pembacaan Al-Qur’an yang seperti demikian, karenanya saya
bermaksud menuliskan kitab yang berisi dasar-dasar ilmu bahasa Arab.” Lalu
al-Du’alī menjawab: ”Jika engkau Amīr al Mulminīn melakukan hal ini maka itu
akan sungguh-sungguh menghidupkan kita dan juga mengekalkan bahasa itu
–bahasa Al-Qur’an—dengan kita.”
Dialog itu terhenti sampai beberapa hari kemudian al-Du’alī berkunjung
kembali ke kediaman Sayyidina ʿAlī dan sudah menemukan lembaran karangan
tersebut. Lembaran itu secara bebas saya terjemahkan sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kalām, (untuk gampangya saja, saya terjemahkan dengan istilah diskursus,
meskipun bahasa Arab modern sering menggunakan istilah al-khitāb atau al-
qadhaya untuk terjemahan Inggris discourse), itu terdiri dari ismun (nama-
nama benda), fiʿlun (jenis aktivitas), dan ḥarfun ( ḥarfun adalah kategori di luar
ismun dan fiʿlun ).
Adapun ismun –sebut isim–adalah nama yang muncul dari suatu benda yang
dinamai ( al-musammā ), fi’lun –sebut fiʿil– itu adalah sesuatu yang muncul
dari pergerakan benda-benda yang dinamai tersebut ( al-musammā ), dan
sementara harfun –sebut huruf–adalah sesuatu yang muncul dari makna yang
tidak bisa masuk ke dalam kategori isim dan fiʿil .
Lalu Sayyidina ʿAlī berkata kepada al-Du’alī, “ikutlah aturan itu, tambahkan di
dalamnya sesuatu yang terjadi padamu dan ingatlah Abu al-Aswad bahwa al-
asmā’ (nama-nama, isim) itu terdiri dari tiga hal: yang lahir, yang tersamar,
dan sesuatu yang berada di antara kategori lahir dan tersamar.”
Masih banyak versi riwayat tentang interaksi antara Sayyidina Ali dan al-Du’ali
yang bisa kita temukan di kitab-kitab besar lainnya seperti dalam Kitāb al-
Aghānī ( books of songs) karya al-Isbahānī, al-Marātib al-Lughawiyyīn karya
Abū Ṭayyib al-Lughawī, dan al-Fahrasat karya Abū Nadīm. Dan inilah
semuanya yang menjadi ungkapan pertama tentang ilmu Nahwu yang sekarang
kerumitan teorinya kita bisa temukan di dalam karangan-karangan yang
panjang-panjang.
***
Sayyidina ʿAli sebetulnya oleh kalangan sejarahwan Nahwu tidak dimasukkan
dalam sejarah gelombang pertama ilmu Nahwu, namun diletakkan sebagai
cikal dan inspirator utama dimana para generasi gelombang pertama merujuk.
Jika bicara gelombang pertama, maka pembicaraan biasanya mulai dari Abū
al-Aswad al-Du’alī sampai pada periode Imam Khalīl b. Aḥmad.
Lalu siapa al-Du’alī?
Pembicaraan tentang dia sudah sedikit disinggung dalam tulisan minggu lalu.
Kini saya ulang sedikit lagi. Al-Du’alī memiliki nama lengkap Ẓālim b. Amr b.
Sufyān b. Jandal b. Yaʿmur yang lebih dikenal dengan julukan Abu al-Aswad
al-Du’alī atau bisa dibaca dengan al-Daylī. Beliau hidup di rentang tahun 603
sampai 689 M.
Al-Du’alī sangat dikenal dan selalu disebut di kalangan komunitasnya sebagai
seorang qurrā’ (imam pembaca Al-Qur’an, muḥaddith (periwayat hadis),
penyair dan ahli gramatika Arab. Keahlian dalam pelbagai keilmuan tradisional
Islam inilah yang membuat namanya menjadi harum sepanjang hidupnya.
Pergaulannya yang erat dengan Sayyidina ʿAlī dan juga dengan Ibn ʿAbbās –
peletak dasar Tafsir—telah meningkatkan pengetahuan al-Du’alī tentang Al-
Qur’an dan sebagai titik tolak akan malakah (kemampuan) dalam bidang
bahasa. Ibn Salām al-Jamhī dalam kata pendahuluan Ṭabaqāt al-Shuʿarā
menyatakan bahwa Abū al-Aswad adalah orang pertama yang meletakkan
dasar-dasar tata bahasa Arab, membuka pintu dan membuat apik
(memparadigmakan) bahasa Arab.
Secara spesifik, al-Duʿalī memulai pembahasan mengenai fāʿil (pelaku), mafʿūl
(obyek pelaku), muḍāf, huruf jer, rafaʿ, naṣab dan jazm. (maaf tidak sempat
menguraikan satu persatu, saya anggap pembaca sudah berbekal sedikit
tentang ilmu ini). Salah satu hal yang al-Du’alī laksanakan dalam proses
pengharakatan (pemberian tanda baca) pada Al-Qur’an adalah ketika dia
mendengarkan ada seseorang yang membaca surat al-Tawba ayat 3 sebagai
berikut: “inna l-lāha barī’un min al-mushrikīna wa rasūlihi, ” dengan bacaan
kasrah pada huruf lam pada kalimat rasūlihi.
Mungkin bagi orang awam, pembacaan seperti ini biasa saja dan sudah benar
mengingat tidak ada tanda baca pada mushaf Al-Qur’an pada masa itu.
Namun bagi ahli Nahwu, pembacaan yang demikian ini menimbulkan bahaya
besar sebab dengan pemberian tanda baca kasrah pada kalimat rasūlihi bisa
menciptakan arti lain yakni: “Allah membiarkan orang kafir dan rasul-Nya.”
Al-Du’alī tergugah untuk memberikan tanda baca fathah pada huruf lam ,
sukūn pada waw dan ḍamma pada kalimat rasūlahu . Dengan membetulkan
cara pembacaan orang awam tersebut, maka artinya menjadi sama sekali lain
“Allah dan Rasul-Nya membiarkan (makna bahasa Jawa, lebaran) dari orang-
orang poleteis (percaya banyak Tuhan).
Hal yang dilakukan oleh al-Du’ali bisa jadi dipandang sepele, namun tidak
demikian hal sesunggunya bagi mereka yang mengetahui kompleksitas ilmu
Nahwu dan kaitannya dengan pembacaan dan pemaknaan Al-Qur’an. Contoh-
contoh lain masih banyak lagi, namun nanti saya paparkan pada versi yang
agak serius di lain waktu dan lain halaman.
***
Siapa yang mengambil ilmu dari al-Du’alī dalam gelombang pertama ini?
Baiklah, selanjutnya saya paparkan beberapa murid utama dari al-Du’alī.
Pertama adalah tokoh yang bernama Naṣr b. ‘Āṣim al-Laythī yang wafat pada
tahun 89 H.
Ibn ʿAṣim dikenal sebagai seorang fāqih yang bersanad kepada al-Du’alī dalam
bidang Tafsir dan Nahwu. Sebagian ulama berpendapat bahwa, dia juga belajar
Nahwu dari Yaḥyā b. Yaʿmar al-ʿAdawānī. Tokoh ini diriwayatkan menulis
sebuah kitab tentang bahasa Arab, namun kitab ini tidak diketahui oleh banyak
kalangan akan keberadaannya. Namun yang mesti, sebagaimana dinyatakan
oleh ʿAbd al-Āl, Ibn ‘Āṣim memiliki kontribusi dalam menciptakan istilah-istilah
bahasa Arab, tanda baca dalam mushaf Al-Qur’an dan sebagian temuannya
mempengaruhi cara baca Al-Qur’an.
Al-Zabīdi memberikan contoh bagaimana Ibn ‘Āṣim membaca surat al-Ikhlāṣ
dimana semua kata aḥad dalam surat ini tidak dibaca dengan tanwīn, aḥadun .
Perlu diketahui bahwa fenomena bacaan tanwīn baru dikenal di kalangan ahli
Nahwu setelah Ibn ʿĀṣim. Adapun kontribusi Ibn ʿĀṣim dalam menandai ( nuqṭa)
mushaf Al-Qur’an yang dilakukan bersama-sama dengan Yaḥyā b. Yaʿmar dan
Ḥasan Baṣrī atas permintaan Ḥajjāj b. Yūsuf al-Thaqafī. Semua proyek
penuqtahan ini merupakan upaya untuk melengkapi pekerjaan yang sudah
dirintis oleh al-Du’alī, yang telah memulai penuqtahan Al-Qur’an secara iʿrabī
dalam bentuk penkharakatan.
Sementara sumbangan khusus Ibn ʿĀṣim adalah memberi titik-titik pada abjad
Al-Qur’an untuk membedakan satu sama lainnya, misalnya antara kha, ḥa, dan
jim dan lain sebagainya (lihat kitab al-Zarkashī, al-Burhān ).
Ada dua bacaan yang sering dinisbahkan ke Ibn ʿĀṣim yang dinilai sebagai
aneh ( shādh : dalam bahasa Jawa bisanya disebut nerecel ) yakni (1) al-Araf
165: bi adhābi ba’si, menurut Abū al-Fatḥ bacaan pada ba’si harusnya takhfif
seperti bacaan pada kata sa-i-ma dan sa-mi, 2) al-Tawbah 110: afaman
ussisa bunyānuhu , dimana oleh Ibn ʿĀṣim dibaca dengan u-su-su, bentuk
plural dari asāsun (lihat Ibn Jīnnī, al-Muhtasib , vol. 1, h. 303).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar