Syekh Abul Hasan asy-Syadzili mengisahkan kata-kata dari gurunya: “Disiplinkan dirimu agar senantiasa suci dari syirik, dimana, ketika engkau hadats, langsung bersuci (dari syirik).
Firman-Nya: ”Janganlah engkau sekutukan Allah sedikitpun.” Sucikanlah dirimu dari kotoran duniawi, dimana ketika muncul syahwat (keinginan dunia), engkau memperbarui dengan taubat, sepanjang engkau dirusak dan dikotori oleh hawa nafsu. Hendaknya engkau berada
dalam kecintaan terhadap Allah (mahabbatullah) di atas rasa ketundukan dan kesucian. Lestarikan meminum melalui piala ruhani disertai kemabukan dan kesadaran ruhani. Manakala engkau sadar dan bangkit engkau minum kembali, hingga mabuk dan sadarmu selaras. Sehingga pula engkau hilang dari mahabbah, dari meneguk, dari minuman dan dari piala, tenggelam dalam Keindahan-Nya, disebabkan oleh sesuatu yang tampak bagimu berupa cahaya Keindahan-Nya, dan Kesucian Paripurna Keagungan-Nya. Terkadang terjadi pada seseorang yang tidak pernah mengenal mahabbah, minuman ruhani dan tegukan minuman, tidak mengenal pula piala, kesadaran dan kemabukan ruhani, lalu seseorang berkata padanya, “Memang, banyak orang yang tenggelam dalam sesuatu tidak mengenal ketenggelamannya, maka, engkau telah mengenalkan dan mengingatkan padaku atas apa yang aku tidak tahu. Atau ketika Dia menganugerahkan dengannya padaku, aku sendiri lupa darinya.” Kukatakan, “Engkau telah mendapatkan mahhabbah yang sebaik-baiknya. Engkau telah meraih hati orang yang mencintai Allah, dari Allah, melalui pencerahan Cahaya Keindahan-Nya dan Kesucian Paripurna Keagungan-Nya kepadanya.”
Meneguk minuman mahabbah adalah senyawa antara sifat-sifat dengan sifat-sifat, akhlak dengan akhlak, tindakan dengan tindakan, cahaya dengan cahaya, asma’ dengan asma’, predikat dengan predikat. Dan pandangan ini menjadi luas bagi orang yang dikehendaki Allah Azza wa-Jalla.
Minuman itu mengalir pada kalbu, pada tulang-tulang dan otot-otot, sehingga ia sampai pada tahap mabuk. Meminum itu sendiri dilakukan dengan latihan setelah menyempurnakan dan membersihkan. Semuanya meminum menurut kadarnya. Diantaranya ada yang meminum tanpa perantara. Dan Allah Swt. melimpahkan hal itu dari-Nya kepadanya. Ada juga yang mabuk, namun tetap menyaksikan piala atau gelas, dan tak lagi merasakan apa-apa setelah itu. Bagaimana asumsimu, setelah itu dengan rasa, setelah itu dengan meminum, setelah itu dengan kesegaran, setelah itu dengan kemabukan, dan setelah itu dengan yang diminum. Lalu muncullah berbagai kesadaran di sana sini menurut kadarnya, sebagaimana munculnya kemabukan ruhani itu sendiri.
Piala (tempat minuman) itu adalah ma’rifat kepada Allah, yang dibagi-bagikan dari minuman yang murni dan suci itu kepada orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya, yang dikhususkan bagi makhluk-makhluk-Nya. Kadang-kadang sang peminum menyaksikan rupa piala itu, dan kadang-kadang menyaksikannya secara maknawi, bahkan ada yang menyaksikannya secara ilmiah. Rupa merupakan bagian dari fisik dan jiwa, sedangkan makna adalah bagian kalbu dan akal. Sementara ilmiah menjadi bagian arwah dan rahasia-rahasia. Amboi orang yang meminumnya, betapa manisnya.
Sangat bahagialah orang yang meminumnya tanpa terhenti dan terputus. Mohonlah kepada Allah agar melimpahkan keutamaan-Nya.
”Itulah keutamaan Allah yang diberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
Kadang-kadang kalangan pecinta berkumpul, sama-sama meminum dari satu piala gelas. Kadang-kadang mereka meminum dari banyak piala. Terkadang seseorang meminum satu piala dan beberapa piala. Minuman pun beragam banyaknya sesuai dengan jumlah gelas-gelas piala. Terkadang minuman bisa bermacam-macam dari satu piala, walaupun itu diminum sejumlah para pecinta yang penuh ampunan dari-Nya.
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzali ditanya tentang mahabbah. Beliau menjawab, “Mahabbah adalah sesuatu yang diraih dari Allah untuk kalbu hamba-Nya, jauh dari segala sesuatu selain Diri-Nya. Maka engkau akan melihat diri senantiasa condong untuk taat kepada-Nya; akal terjaga dengan ma’rifat-Nya; ruh teraih dalam hadirat-Nya, rahasia batin terlebur dalam penyaksian-Nya, sedangkan hamba senantiasa ingin bertambah lagi dan Dia menambahnya. Dia membuahkan sesuatu yang lebih manis dibanding kenikmatan munajatnya, lantas dipakaikan hiasan kedekatan di atas hamparan taqarub. Sang hamba menyentuh hakikat-hakikat yang perawan (murni) dan pengetahuan-pengetahuan kejandaan (teraplikasi). Karena itulah mereka mengetakan, bahwa para kekasih-kekasih Allah adalah pengantin-pengatin, dan orang-orang durhaka tak akan pernah melihat para pengantin itu.”
Seseorang bertanya kepadanya, “Engkau telah tahu cinta. Lalu apakah minuman cinta itu? Apa pula gelas piala cinta? Siapa peminum itu? Apakah rasa itu? Apa pula arti minuman murni? Rasa segar setelah dahaga dan rasa mabuk? Dan apa pula arti sadar?”
Beliau menjawab, “Ya, minuman murni adalah cahaya (nur) yang memancar cemerlang dari bukit Sang Kekasih. Sedangkan gelas piala adalah kelembutan yang menjadi perantara untuk sampai pada bibir-bibir kalbu.
Sementara penuang minuman adalah yang melimpahi kecintaan, bagi mereka kalangan khusus yang agung dan hamba-hamba-Nya yang shalih. Dia adalah Allah Yang Maha Mengetahui dengan ukuran-ukuran dan kebaikan-kebaikan para kekasih-Nya.
Siapa pun yang dibukakan tirai keindahan itu, sejenak saja, satu atau dua nafas, lalu tirai itu ditutup kembali, maka ia disebut sebagai perasa yang penuh rindu. Sedangkan siapa yang dilimpahi perkara dan ia minum secara terus menerus tanpa henti hingga memenuhi otot dan tulang-tulangnya dari cahaya-cahaya Allah yang tersembunyi, hal demikian disebut sebagai kesegaran setelah dahaga ruhani.
Terkadang seseorang hilang dari rasa inderawi dan akalnya, sampai ia tidak tahu apa yang diucapkan padanya dan apa yang akan dikatakannya, itulah disebut mabuk ruhani.
Kadang piala-piala itu memutari mereka, sementara kondisi-kondisi ruhani mereka berbeda-beda, lalu mereka mengembalikan pada dzikir dan ketaatan, sedangkan sifat-sifat tidak tertutup bagi mereka karena desakan-desakan limpahan kewenangan, maka hal itu disebut sebagai waktu sadar mereka, dan keleluasaan nalar mereka serta tambahnya ilmu mereka. Mereka mendapatkan petunjuk dari bintang gemintang pengetahuan dan rembulan tauhid di malam harinya, dan mendapatkan sinaran matahari ma’rifat pada siang hari mereka. ”Mereka adalah pengikut-pengikut Allah. Ingatlah pengikut-pengikut Allah itu, mereka adalah yang diberi kemenangan/kebahagiaan.”
Barangsiapa mencintai Allah dan mencintai hanya bagi Allah, ia benar-benar telah sempurna kewaliannya. Si pecinta pada hakikatnya adalah orang yang tidak ada sedikitpun peluang yag menguasai hatinya kecuali Kekasih yang dicintainya. Tak ada hasrat kehendak kecuali hasrat-Nya. Maka apabila kewaliannya telah teguh dari Allah terhadap dirinya, ia tidak akan benci untuk bertemu dengan-Nya. Dan ia tahu dari firman-Nya:
”Jika kamu menyangka bahwa kamu adalah kekasih-kekasih Allah bukan manusia-manusia yang lain, maka harapkanlah kematianmu, jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Q.s. al-Jumu’ah: 6)
Oleh karena itu seorang wali pada hakikatnya tidak benci kematian manakala kematian itu ditawarkan padanya. Sedangkan Allah benar-benar mencintai orang yang tidak mencintai selain pada-Nya, juga mencintai orang yang tidak mencintai sedikitpun hawa nafsunya. Sementara orang yang mencintai pertemuan dengan-Nya adalah orang yang merasakan kemesraan Tuannya.
Bagimu cinta menjadi murni kepada-Nya pada sepuluh kalangan. Maka ambillah pelajaran sepuluh, lalu generasi yang hidup setelah Rasul Saw. yaitu: Rasulullah Saw., Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar al-Faruq, sahabat, tabi’in, auliya’, ulama yang mendapatkan petunjuk dari Allah Ta’ala, syuhada’, shalihin dan mukminin.
Dan karena itu, suatu perkara setelah iman juga terpaku pada sepuluh hal: pada sunnah dan bid’ah, pada hidayah dan kesesatan, pada ta’at dan maksiat, pada keadilan dan kecurangan, pada haq dan batil. Engkau bisa memprioritaskan, mencintai dan menjadi marah. Maka cintailah dan marahlah hanya untuk-Nya, sementara engkau tidak peduli dimana posisimu. Pada dirimu telah terkumpul dua sifat dalam satu sosok, dan engkau harus menegakkan hak masing-masing secara keseluruhan.
Sehingga telah benar-benar nyata kecintaanmu pada sepuluh pertama. Lalu lihatlah apakah engkau masih melihat pengaruh hawa nafsu disana? Begitu pula renungkan, kecintaan orang yang hadir dari kalangan teman-temanmu yang benar, para syeikh yang shalih, para Ulama yang mendapatkan petunjuk, serta seluruh apa yang hadir dan siapa yang hadir dengan orang yang ghaib dari dirimu atau yang mati. Apabila dalam hatimu masih engkau temukan ketidaktergantungan dengan orang yang hadir sebagaimana juga pada yang ghaib atau yang mati, maka cintamu benar-benar murni, jauh dari hawa nafsu, dan cintamu kepada Allah benar-benar telah kukuh. Namun apabila engkau masih menemukan sesuatu yang berkaitan dengan orang atau sesuatu yang engkau cintai, kembalilah kepada ilmu, dan tekankanlah komitmenmu pada lima klasifikasi ini: berupa perkara wajib, mandub (sunnah), makruh, haram, dan mubah.
Mahabbah adalah rahasia dalam hati dari Sang Kekasih. Makanala mahabbah telah tertancap, segala hal yang menyertaimu akan terputus.
Haram bagimu untuk bertemu Sang kekasih, sementara engkau masih menyertakan dua alam pada dirimu. Apabila Allah mencegahmu terhadap sesuatu yang engkau cintai dan mengembalikan dirimu pada yang Dia cintai, maka itulah tanda kesahabatan cinta-Nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar