Sabtu, 17 Mei 2014

CINTA RABIAH ADAWIYAH

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH
Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada
Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya,
“Saya ini telah banyak melakukan dosa.
Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-
gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah
akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab
Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang
lain seorang lelaki datang pula kepadanya.
Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir
itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran
dosa saya.
Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang
kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang
saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan
menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah
dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau
Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang
hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak
menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa,
jangan simpan kata “akan atau “andaikata”
sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”
Memang ucapan sufi perempuan dari kota
Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga
bagi mereka yang tidak memahami jalan
pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan,
“Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan
kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar
dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah
mengalami kepahitan hidup sejak awal
kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak
keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah.
Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup
sangat sengsara meskipun waktu itu kota
Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan
kemewahan. Tidak seorang pun yang berada
disamping ibunya, apalagi menolongnya,
karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha
meminta bantuan kepada para tetangganya.
Namun, karena saat itu sudah jauh malam,
tidak seorang pundari mereka yang terjaga.
Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil,
padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau
minyak tanah untuk menerangi istrinya yang
akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa
Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba
matanya terbelak gembira menyaksikan apa
yang terjadi di bilik itu.
Seberkas cahaya memancar dari bayi yang
baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-
siapa . “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku,
Rabiah, telah datang membawa sinar yang
akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu
Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas
cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak
membuat keluarganya terlepas dari belitan
kemiskinan. Ismail tetap tldak punya apa-apa
Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang
masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam
salat tahajud yang panjang, menyerahkan
nasib dlrinya dan seluruh keluarganya kepada
Yang Menciptakan Kehidupan.
Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam
lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang
lebih benderang muncul di depannya, dan
setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-
bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda,
“Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak
akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia.
Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah,
dan katakan kepadanya bahwa pada malam
Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat
sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai
kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus
membayar satu dinar untuk satu rakaat yang
ditinggalkannya.
Ketika Ismail mengerjakan seperti yang
diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa
Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat.
Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah
100 rakaat tiap malam, sedangkan saban
malam Jumat ia selalu mengerjakan 400
rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall
diserahkannya uang sebanyak 400 dinar
sesuai dengan jumlah rakaat yang
ditinggalkannya pada malam Jumat yang
silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda
karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi
perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya
hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu
agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan
penciptanya sampai ia tidak punya waktu
untuk membenci atau mencintai, untuk
berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.
Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan
dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit
bintang-gemintang makin redup, berjuta
pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah
menutup pintu ger- bang istananya. Begitu
pula para pecinta telah menyendiri bersama
kekasihnya. Tetapl, aku kini bersimpuh di
hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena
telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”
Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab
Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali
meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu
ia menopang hidupnya dengan bermain musik.
Namun, kemudian ia memanfaatkan
kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang
sedang berzikir dalam upayanya untuk
menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia
mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai
larut malam. Namun, lantaran ia merasa
dengan cara itu Tuhan tidak makin
menghampirinya, maka ditinggalkannya semua
itu.
Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi
mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan
waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah
selesai salat isa, ia terus berdiri mengerjakan
salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan,
“Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah
tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur
dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon
dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu
kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam
keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas
kepada-Mu.”
Jika fajar telah merekah dan serat-serat
cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun
berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam
telah berlalu, dan siang menjelang datang.
Aduhai, seandainya malam tidak pernah
berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab
aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu.
illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak
aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa
menanti di depan pintu karena cintaku telah
terikat dengan-Mu.”
Lantas, jika Rabiah membuka jendela
kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan
matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku.
Ketika kudengar margasatwa berkicau dan
burung-burung mengepakkan sayapnya, pada
hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada
waktu kudengar desauan angin dan gemericik
air di pegunungan, bahkan manakala guntur
menggelegar, semuanya kulihat sedang
menjadi saksi atas keesaan-Mu.
Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh
Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan
menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan
merupakan keharusan bagi mereka yang
mempunyai pilihan. Padahal aku tidak
mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada
Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai
engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah
kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah.
“Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan
kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab,
“Sebab aku tidak mampu menciptakan
keserasian antara perkawinan dan cinta
kepada Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar