NU Online akan memuat pemikiran-pemikiran tentang
ilmu nahwu yang dikupas oleh Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa
Nahdlatul Ulama Jerman, Syafiq Hasyim. Tulisan yang direncanakan
bersambung ini akan dimuat setiap hari Senin. Selamat membaca.
Nahwu, biasa dikenal oleh kalangan santri sebagai bagian ilmu alat, adalah
ilmu yang sangat fundamental untuk dikuasai jika kita ingin mempelajari Islam
dari literatur-literatur yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa
pengantarnya, baik klasik maupun modern.
Dikatakan sebagai alat karena kegunaan ilmu adalah sebagai perangkat
membaca, memahami dan memaknai dari bahasa nativenya, bahasa Arab, ke
dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing lainnya. Kalangan antropolog
menyebutkan jika penguasaan bahasa asli adalah hal sangat penting dalam
memperkuat kredibilitas sebuah hasil ilmu atau hasil riset. Mereka
memasukkan masalah ini sebagai bagian dari the politics of nativeness.
Dengan kata lain, ilmu Nahwu adalah wasā’il menuju pengetahuan yang
mendekati kepada kebenaran. Kenapa saya sebut sebagai “mendekati
kebenaran,” karena kebenaran Nahwiyyah adalah kebenaran pengetahuan yang
bersifat aturan kebahasaan, sementara masih ada jenis kebenaran lain yang
didapatkan oleh ilmu atau cara lain juga.
Namun, jika kita beri peringkat, kebenaran yang dihasilkan oleh Nahwu adalah
kebenaran yang sangat tinggi derajatnya karena dengan ilmu ini pemaknaan
pertama atas sumber-sumber Islam –al-Qur’an dan Sunnah—bisa didapatkan.
Meskipun sekolah-sekolah Islam juga mengajarkan
Nahwu, namun ilmu ini diajarkan secara lebih mendalam di dalam lingkungan
pesantren. Itupun masing-masing pesantren melakukannya secara berbeda-
beda pula. Pesantren-pesantren tradisional (salaf) biasanya mengajarkan
kitab-kitab Nahwu yang tingkatannya lebih rumit dan sulit dibandingkan
dengan pesantren-pesantren modern (khalaf). Kitab-kitab nahwu yang
diajarkan di pesantren tradisional misalnya mulai dari al-Jurūmiyyah, Imriṭī,
lalu Alfiyyah Ibn Mālik. Sementara pesantren modern biasanya mengajarkan
kitab-kitab seperti Nahwu al-Wāḍiḥ, Jāmiʿu al-Durūs fī al-Lughat al-ʿArabiyya,
dan lain-lainnya.
Dengan kata lain, referensi-referensi Nahwu yang diajarkan di pesantren salaf
–biasanya dimiliki dan diasuh oleh kyai-kyai Nahdlatul Ulama-- biasanya
adalah kitab-kitab lama (klasik), sementara pesantren khalaf lebih memilih
kitab-kitab Nahwa baru, atau yang terkini.
Tapi baik belajar dengan kitab lama maupun baru sejatinya yang paling
penting di sini adalah kemauan untuk belajar dan berusaha menguasai ilmu
ini. Jika tidak menguasai seluruhnnya, sebagianlah yang perlu dikuasasi.
Meskipun ilmu Nahwu sangat penting, banyak dari kalangan kita yang sudah
mendedikasikan hidupnya menjadi santri, ustadz, pendakwah dan lain
sebagainya, tidak memiliki pemahaman yang cukup akan ilmu ini.
Hal yang paling menyedihkan banyak pengajar Islam publik kita, di Mushalla
dan TV-TV, yang awam dengan teori-teori Nahwu. Untuk berdakwah memang
tidak diwajibkan untuk menguasai Nahwu, namun dalam dakwah diwajibkan
untuk menyampaikan kebenaran meskipun pahit. Menyampaikan kebenaran
dengan benar adalah jika sang penyampai mengerti alatnya. Perlu diingat di
sini bahwa tidak semua orang yang bisa membaca aksara Arab seperti
membaca al-Qur’an menguasai ilmu ini. Mampu dan tidaknya penguasaan
ilmu Nahwu ini bisa dilihat dari bagaimana dia atau mereka mampu membaca
dan memaknai kitab-kitab yang dalam bahasa keseharian kaum santri disebut
kitab kuning.
***
Harus diakui bahwa ilmu Nahwu memang merupakan cabang yang susah
selain ilmu-ilmu lain yang sejenis seperti Ṣaraf, Balaghah, dan Mantiq. Untuk
tahu ilmu ini, butuh kejelian, hafalan yang kuat, dan analisa yang mendalam.
Masih ingat bahwa kita –saya dan teman-teman—di madrasah dulu sering
menghindari dan berkeluh kesah tentang betapa sulitnya memahami apalagi
menerapkan ilmu Nahwu untuk membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Ada
yang hafal di luar kepala teori-teori Nahwu, namun untuk menerapkan
terkadang masih sulit. Bahkan ada yang bisa menghafal kitab Nahwu Alfiyah
Ibn Mālik secara sungsang (dari belakang ke depan) namun tetap saja
terkadang masih memiliki kesulitan untuk menggunakannya dalam membaca
teks Arab terutama yang klasik.
Sebagaimana perlu diketahui bahwa menghafal sungsang adalah salah satu
cara pamer kebolehan dalam mempelajari ilmu Nahwu. Namun, belajar Nahwu
tidak cukup dengan menghafal, tapi harus memahami. Kalau boleh melakukan
kritik, kelemahan pembelajaran Nahwu di pesantren adalah penitikberatannya
pada model hafalan, bukan pemahaman. Meskipun tujuan pertama dalam
penghafalan adalah untuk menuju pemahaman, namun seringkali karena terlalu
banyak “load” menghafalnya sehingga aspek memahinya terkurangi bahkan
terabaikan.
Hal ini terutama terjadi pada pesantren-pesantren yang sudah mengadopsi
banyak mata pelajaran di dalam sistem kurikulum mereka. Namun kesulitan
menguasai ilmu Nahwu tersebut sangat sepadan dengan fungsi dan manfaat
ilmu ini sendiri dimana tanpa penguasaan atasnya hampir mustahil seseorang
bisa memahami al-Qur’an, Sunnah dan sumber-sumber Islam secara
keseluruhan dan mendalam. Penguasaan teori-teori rumit dalam kitab-kitab
Nahwu yang diajarkan di pesantren tradisional memiliki garis sejajar dengan
penguasaan masalah-masalah agama yang tercantum di dalam kitab Suci dan
Sunnah Nabi serta peninggalan ulama-ulama masa lalu.
Kita tahu bahwa struktur gramatik bahasa Arab yang dipakai oleh al-Qur’an
tidak akan cukup dibaca dengan kitab-kitab Nahwu yang simpel seperti al-
Jurūmiyyah ataupun Nahw al-Wāḍiḥ. Penguasaan Nahwu juga menjadi
parameter kadar keulamaan seseorang. Karenanya, jangankan ketahuan
membaca kitab-kitab terjemahan, karena ini tindakan pemalas, seorang santri
atau bahkan ustadz kredibilitasnya bisa runtuh gara-gara hanya salah
membaca harakat (tanda baca) di akhir kata (iʿrab) misalnya bagaimana
misalnya membaca isim alam (nama-nama benda/alam) seperti kata Ibrāhim
atau isim tafḍīl (bentuk lebih atau paling) setelah huruf jer ilā (huruf yang bisa
menyebabkan bacaan kasrah pada Isim) dan kasus-kasus lain.
Hal seperti ini cukup bisa dipahami karena memang memahami al-Qur’an dan
Sunnah Nabi harus dilakukan bukan dengan cara main-main (hawa nafsu),
tanpa ilmu, namun harus secara ilmiah. Salah satu cara yang ilmiah itu adalah
jika pemahaman akan sumber-sumber utama Islam tersebut didasarkan pada
tradisi keilmuan (turāth) yang mapan yang sudah dibangun secara panjang
oleh kalangan ulama masa lalu.
***
Selain ilmu Nahwu, kedudukan ilmu lain juga penting dalam mengkaji Islam,
namun jika seseorang ingin menjadikan atau mengaku dirinya sebagai ahli atau
ʿalim dalam Islam, mau tidak mau harus mau belajar, mengenal dan
menguasai ilmu Nahwu supaya pemahamannya tidak separuh-separuh dan
juga tidak sesat menyesatkan. Pemahaman teks-teks agama tanpa ilmu-ilmu
yang memadai bisa menjerumuskan dirinya sendiri dan juga orang lain. Bahkan
menafsirkan hal-hal penting dalam Islam seperti syariah, fiqih, akidah, dengan
modal bahasa Arab yang pas-pasan atau apalagi modal terjemahan dan ilmu
rungon (mendengarkan) bisa menyebabkan seseorang tersebut, meskipun itu
ustadz atau pun pendakwah, jatuh pada sikap liberalisme (asal-asalan) pada
satu sisi dan sikap fanatisme yang berlebihan pada sisi lainnya.
Hal yang menyedihkan, dalam konteks public sphere kita, adalah kenyataan
dimana tidak hanya orang awam, namun ustadz, pendakwah, dan juga para
aktivis Islam masa kini tidak tahu sama sekali apalagi memahami ilmu ini.
Pengetahuan Islam mereka lebih banyak tergantung pada buku-buku
terjemahan yang kualitas pengalihbahasaannya seringkali sangat rendah
daripada pada sumber Islam yang asli yang berbahasa Arab. Fenomena yang
lebih aneh lagi yang akhir-akhir ini menggejala adalah jika ada orang yang
berusaha menjelaskan Qur’an atau wacana keagamaan Islam lainnya lewat
pendekatan Nahwiyyah atau keilmuan lain yang memang sangat
memungkinkan terciptanya tafsir-tafsir yang berbeda-beda, mereka atau
aktivis-aktivis Islam yang masih awam tersebut sering menganggap penjelasan
yang njelimet, rumit dan penuh perdebatan dari pelbagai analisis kebahasaan
Nahwiyyah tersebut sebagai bentuk pemahamanan liberalisme Islam.
Padahal yang terjadi adalah mereka tidak mampu atau tidak memiliki alat
untuk bisa sampai pada penjelasan-penjelasan Nahwiyyah tersebut. Gejala
beragama cepet saji dan ingin simplenya saja ini sudah barang tentu sangat
menyedihkan untuk masa depan pengembangan Islam sebagai ilmu. Islam itu
bisa bertahan, jika agama ini tidak hanya ditopang oleh praktik keagamaan
umatnya, namun juga oleh argumentasi yang rasional. Bahkan bisa dikatakan,
tantangan Islam terbesar pada abad ini dan mendatang adalah kemampuan
umatnya untuk menyediakan argument bahwa agama ini memang ṣāliḥ li kulli
zamān wa makān.
Berargumen dengan Nahwu adalah salah satu upaya untuk mempertahankan
keislaman. Apa yang ingin saya tekan di sini adalah secara umum, fenomena
pemahaman keagamaan yang instans dan simplistik tersebut itu terkait erat
dengan krisis akan tingkat pengetahuan masyarakat Islam awam dan juga
aktivis-aktivisnya secara khusus atas ilmu Nahwu pada satu sisi dan juga
penurunan kualitas pewacanaan Islam di ruang publik secara umum pada sisi
yang lainnya. Lihat saja bagaimana media kita yang cenderung simplistik
dalam dalam menyajikan program agama dengan dalih apa saja misalnya
“pemurnian.”
Padahal apa yang terjadi adalah mereka lebih senang mencari penceramah
agama di TV-TV mereka yang berorientasi budaya cepat saji untuk memenuhi
rasa dahaga atau lapar sementara yang menghinggapi kalangan sebagaian
kalangan Muslim, terutama kalangan kota. Agama hanya dibicarakan pada sisi
kepentingan peningkatan “piety,” tapi melupakan sisi keilmuan.
Hasil dari model pewacanaan keagamaan Islam yang demikian adalah keluaran
masyarakat yang suka menyederhanakan dan memposisikan agama laksana
obat gosok (panacea). Mereka ini tidak tahu atau pura-pura tidak tahyu bahwa
di dalam wacana agama ada juga ada perdebatan-perdebatan yang rumit dan
sekaligus scientific yang perlu diketahui oleh masyarakat kebanyakan karena
perdebatan inilah yang menjadi bagian penting dalam argumentasi agama.
Dengan mengetahui perdebatan-perdebatan Nahwiyyah, proses demokratisasi
pemahaman agama juga akan terjadi di dalam masyarakat. Karenanya, apa
yang bisa kita lakukan pada tradisi keagamaan Islam yang terlanju demikian
seperti ini tidak ada kata lain kecuali melakukan perubahan. Intinya, jika ingin
mendalam dalam penguasaan Islam, maka alatnya harus cukup dan ilmu
Nahwu menduduki posisi utama dalam masalah ini. Salam.
SYAFIQ HASYIM, Rais Syuriah PCINU Jerman, Meraih Gelar Dr. Phil dari
BGSMCS, FU, Berlin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar