Senin, 28 Desember 2015

Tassawuf

Tasawuf atau Sufisme adalah sebuah jalan bagi orang-orang yang ingin mencapai Sang Wujud, al-Haq (kebenaran atau Tuhan itu sendiri).

Tasawuf telah banyak didefinisikan dalam banyak deskripsi atau gambaran. Beberapa sufi menggambarkan tasawuf sebagai ‘pemusnahan’ seseorang beserta ke-aku-an (ego) dan kecongkakannya.

Atau dengan kata lain ‘penghancuran’ atas diri seseorang, berkenaan dengan kehendak ego-nya, lalu menggantikannya dengan kehendak-kehendak kekasihnya, Sang Wujud.

Pendekatan lain atas pengertian Tasawuf adalah : perjuangan terus-menerus untuk membersihkan semua jenis aksioma buruk dan jahat, lalu menggantikannya dengan kebaikan dan kebajikan.

Ada juga beberapa deskripsi yang melukiskan tasawuf sebagai ‘melihat segala sesuatu dan peristiwa-peristiwa di balik realitas luar (eksternal), lalu mengintepretasikannya bahwa segala yang terjadi (di dunia ini) senantiasa berhubungan dan berada dalam pengawasan serta tindakan-tindakan Tuhan Yang Mahakuasa;

Atau memandang setiap tindakan-Nya sebagai sebuah jendela untuk ‘melihat’ Dia; atau ‘menghidupkan’ kehidupan seseorang yang telah berupaya tak henti-hentinya untuk memandang atau melihat-Nya dengan sebuah kedalaman, yaitu ‘penglihatan’ spiritual yang tak terlukiskan dalam term-term fisik;

atau dengan kata lain, sebuah kehidupan dengan kesadaran bahwa dirinya senantiasa berada dalam pengawasan-Nya.

Allah SwT berfirman, ”Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (ayat-ayat) Kami di segenap penjuru alam dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah al-Haq. Belum cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS Fushshilat [41] : 53)

Semua definisi-definisi tentang tasawuf, mungkin bisa diringkas dengan : ‘Menjadi terbebaskan dari sifat buruk dan kelemahan alami manusia dan menyerap kualitas-kualitas malaikat dan semua tindakan yang dicintai Tuhan, sehingga benar-benar menghidupkan ‘kehidupan’ seseorang dengan pengetahuan dan kecintaan kepada-Nya dan akhirnya memperoleh kebahagiaan ruhani yang datang kemudian.

Tasawuf didasarkan pada pengamatan dan pengamalan atas syari’at hingga ke penerapan akhlak-akhlak mulia yang didorong oleh pemahaman batiniah atas ajaran-ajaran kearifan para guru sufi.

Keberhasilan maupun kegagalan sang pejalan ruhani (salik) bergantung dari keteguhannya dalam menjalankan prinsip-prinsip syari’at yang merupakan dasar kedua setelah iman.

Sufi sejati tidak pernah memisahkan dimensi lahir (syari’at) dari dimensi batin, karena keduanya memiliki hubungan yang tak terpisahkan seperti hubungan jasad dan ruh; keduanya sama pentingnya.

Melalui keduanya (syari’at dan ma’rifat), sang salik menempuh jalan (thariqat) untuk mencapai tujuannya dengan KERENDAHAN HATI (kepada sesama manusia) dan KETAATAN (kepada sang Khaliq).

Tasawuf juga merupakan jalan (cara) untuk membimbing sang salik mengenal (ma’rifat) sang Khaliq dan menuntut kekhidmatan (kesungguhan) sang salik dalam menjalankan berbagai latihan-latihan (riyadhah) yang menjadi syarat untuk memperoleh cinta dan ridha-Nya.

Tiada satu ruang pun baginya untuk berlaku lalai maupun bertindak sembrono tanpa bimbingan dari sang guru (mursyid-syekh-murad) yang telah disesuaikan dengan karakter, kemampuan dan kualitas masing-masing murid.

Sang salik mesti melakukan usaha keras (jihad) melawan hawa nafsu dan egonya di dalam latihan-latihan ini, seperti seekor lebah yang pergi dari sarangnya menuju bebungaan demi mengisap madu dan kembali meletakkan madu ke sarangnya, lalu kembali lagi ke bunga-bunga untuk kembali mengisap madu;

Begitu pula yang dilakukan sang salik secara kontinyu tanpa mengenal lelah dan jemu sampai akhirnya Tuhan menganugerahinya kearifan dan pemahaman dari sisi-Nya.

Bagi para Sufi, hidup ini, merupakan latihan yang paling nyata; oleh karena itu, mereka menjalani kehidupan ini sama khidmatnya dengan melakukan latihan-latihan ‘formalnya’.RIYADHAH
Seorang pejalan ruhani mesti menyingkirkan semua yang mengganggu konsentrasinya di dalam ‘pencarian’ akan Tuhannya dan menentang semua kecenderungan, hasrat, dan nafsu jasmaninya yang akan mengganggu perjalanannya menuju sang Khaliq.

Dia juga mesti membawa hidupnya pada tingkatan ruhani dengan suatu kesiapan untuk menerima rahmat, berkah dan ilham-ilham dari-Nya, dengan cara menerapkan disiplin ketaatan yang keras.

Jangan sekali-kali membayangkan bahwa sang salik dapat memperoleh semua itu tanpa kerja keras (jihad).

Allah SwT berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad (berupaya keras) di jalan Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (muhsinin)” (QS Al-Ankabut [29] : 69)

Mereka yang berupaya keras di jalan Allah, benar-benar akan Allah bimbing sehingga mereka sampai di tujuan. “Dan orang-orang yang telah memperoleh petunjuk, Allah tambah petunjuk bagi mereka” (QS 47 : 17)

Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang muhsin, Allah akan menyertakan bagi mereka yang berjihad pertolongan (al-nashrah) dan bantuan (al-ma’unah)-Nya. Karena bagaimana pun, jihad membutuhkan kedua hal tersebut (al-nashr dan al-ma’unah-Nya). (‘Allamah Thabthaba’i, Tafsir al-Mizan 16 : 158, baris ke 13)

Sang salik harus dengan tulus dan sungguh-sungguh mengakui kecintaan, ketaatan dan kesetiaannya kepada Tuhan sebagai rasa syukur dan pengabdiannya yang besar. Ia mesti menanggalkan keinginan-keinginan personalnya demi memenuhi semua kehendak Tuhan Yang Mahabenar.

TUJUAN JALAN SUFI
Tasawuf mensyaratkan ketaatan yang sempurna dari kewajiban-kewajiban agama sebagai pola hidup, dan menolak hasrat-hasrat hewani.

Tujuan tasawuf adalah menyucikan jiwa, hati dan menggunakan perasaan, pikiran dan semua fakultas yang dimiliki sang salik untuk tetap berada pada jalan Sang Kekasih, Tuhan Semesta Alam, untuk hidup berlandaskan ruhani.

Tasawuf juga memungkinkan seseorang melalui amalan-amalan yang istiqamah (konsisten & kontinyu) dalam pengabdian kepada Tuhan, memperdalam kesadarannya dalam pelayanan dan pengabdiannya kepada Tuhan.

Ini memungkinkannya untuk ‘meninggalkan’ dunia ini, yang hanya merupakan tempat singgahnya yang sementara. Sang salik mesti menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini hanya tempat ia menumpang, dan bukan tempat menetap atau tujuannya.

Ia mesti berjaga-jaga agar tidak terjebak oleh keindahan lahir dunia yang telah menghancurkan banyak kehidupan manusia. Dunia lahir ini telah banyak menarik hasrat, nafsu dan khayalan manusia sehingga mereka lupa dan lalai dari tujuannya.

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang mereka itu lalai dari ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS Yunus [10] : 7-8)

Orang-orang yang tidak berharap berjumpa dengan Tuhannya, pada hakikatnya mengingkari Hari Akhir, karena mereka menganggap kematian merupakan akhir dari segalanya.

Mereka yang tidak meyakini adanya Kehidupan Akhirat dan beranggapan bahwa tiada kehidupan setelah kematian, sehingga mereka merasa tenang dan tentram dengan kehidupan yang sekarang. Mereka menganggap bahwa kesenangan dan kebahagiaan yang saat ini mereka rasakan merupakan kesenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dan tentu saja karena semua anggapan yang keliru itu, mereka pun tidak tertarik untuk memikirkan ayat-ayat Tuhannya. *]

Laa hawla wa laa quwwata illa billah

Catatan Kaki :

* Ayatullah Muhammad Husain Fadlullah, Tafsir Min Wahyi al-Qur’an, Jil. 11, baris 12, Dar al-Zahra Li al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, Cet. III, Beirut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar