Rabu, 23 Desember 2015

SULUK VII

JIHAD DALAM SULUK
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS [2]:218)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.”(QS [49]:15)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS [9]:16)

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal.”(QS [9]:20-21)

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”(QS [9]:24)

Jihad merupakan pengejawantahan iman dan sekaligus tolok ukur keimanan seseorang.

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS [4]:95-96)

Jihad adalah mencurahkan segala usaha dan kemampuan dalam rangka mencapai kecintaan Allah Swt, menentang apa yang dibenci-Nya.

Apabila mukmin meninggalkan jihad, maka itu menunjukkan lemahnya cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Jihad merupakan salah satu amal yang paling disukai Allah Swt.

Ibnu Mas’ud r.a berkata bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw,”Apakah amal yang paling utama?” Nabi Saw menjawab,”Shalat tepat pada waktunya.” Ia bertanya,”Lalu apa?” Nabi Saw menjawab,”Berbuat baik kepada orang tua.” Ia bertanya,”Lalu apa?” Nabi Saw menjawab,”Jihad di Jalan Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Jihad dilaksanakan berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah serta teladan perjuangan Nabi Saw.

Kegiatan jihad dapat dirumuskan dalam 2 bentuk kegiatan besar :

1. Menyebar luaskan nilai-nilai kebajikan

2. Mencegah kemungkaran.

Perbuatan makruf yang paling baik adalah menegakkan agama dan keimanan terhadap ke-Esa-an Allah Swt serta kenabian Muhammad Saw, sedangkan perbuatan mungkar yang paling keji adalah kufur kepada Allah Swt.

Jihad bukan hanya memerangi musuh, akan tetapi juga mencurahkan segala daya dan upaya untuk menahan segala hal yang menjauhkan manusia dari Allah.

Dalam Al-Fawa’id, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berpendapat, jihad itu 4 macam :

1. Berjihad atas diri sendiri (ego)

2. Berjihad atas hawa nafsu

3. Berjihad atas setan

4. Berjihad atas dunia.

Barang siapa berjihad pada keempat macam jihad tersebut karena Allah, maka Allah akan menunjukkan (jalan kebahagiaan) jalan-jalan ridha-Nya yang mengantarkan (memandu) ke surga Firdaus-Nya. Dan barang siapa meninggalkan jihad, maka akan kehilangan hidayah, tergantung sejauh mana ia tidak berjihad, dan berarti mengabaikan bimbingan dan petunjuk.

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”(QS [29]:69)

Ibn Hibban meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Fadhalah ibn Ubaid : Nabi Saw bersabda dalam Haji Wada,”…Mujahid adalah orang yang berjuang melawan egonya sendiri (jahada nafsah) dalam rangka taat kepada Allah.”

Dalam al-Asrar al-Marfu’ah, Mullah Ali al-Qari menyebutkan, bahwa al-Suyuthi mengatakan : al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dalam kitab “Sejarah”-nya, dari Jabir, bahwa Nabi Saw sepulang dari salah satu peperangan bersabda,”Kalian pulang dengan cara pulang yang paling baik; kalian telah pulang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.” Mereka bertanya,”Apakah jihad yang lebih besar itu?” Beliau menjawab,”Perjuangan (mujahadah) seorang hamba Allah melawan hasrat-hasrat rendahnya.”

Al-Junaid berkata (bahwa Allah berfirman),”Mereka yang telah berjuang melawan hasrat egonya dan menyesal karena Kami, Kami akan membimbing mereka ke Jalan Ketulusan. Tidak ada yang dapat berjuang secara lahir melawan musuh-musuhnya kecuali orang yang berjuang melawannya secara batin. Jadi, orang yang menang melawan hasrat egonya, niscaya akan menang melawan musuhnya. Sebaliknya, orang yang dikalahkan oleh egonya pasti akan dibenamkan oleh musuhnya.”

Al-Haitsami meriwayatkan versi berikut dan menyatakannya sebagai hadits shahih : “Orang kuat bukanlah orang yang dapat mengalahkan orang lain, orang kuat adalah orang yang sanggup melawan egonya sendiri (ghalaba nafsah).”

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).”(QS [79]:37-41)

Orang yang mengalahkan hawa nafsunya melalui perjuangan yang berat dan melelahkan dianggap sebagai orang yang kuat.

Ibnu Taimiyah berkata,”Jihad menghadapi nafsu merupakan perbuatan paling berharga, dan jihad merupakan simbol kecintaan yang sempurna.”

Seorang mujahid/ pejuang pasti mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya.

Kecintaan kepada Allah mengharuskan adanya perjuangan. Karena, orang yang jatuh cinta akan mencintai segala yang dicintai Kekasihnya dan membenci apa yang dibenci-Nya; menentang pihak yang ditentang oleh Kekasihnya, menyeru apa yang diserukan-Nya dan mencegah apa yang dilarang-Nya. Merekalah orang yang diridhai Allah karena keridhaan mereka. Kecintaan tidak diperoleh kecuali seseorang mampu memikul beban dalam mencapai apa yang ia cintai.

Perjuangan untuk membatasi dan menyempitkan jalan nafsu dapat diwujudkan dengan cara mengikuti jalan ketaatan kepada Allah.

Dalam Al-Janib al-Athifi min al-Islam, Muhammad al-Ghazali menyatakan bahwa seseorang dikatakan berhasil dalam perjuangan itu jika terbiasa melawan nafsunya dan terus meniti jalan yang lurus dengan penuh kesabaran tanpa kenal lelah. Ahmad dalam Al-Zuhd dan Ibn Abi ad-Dunya menuturkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah mengatakan,”Tidaklah seorang mukmin memiliki waktu istirahat selain pada saat pertemuannya dengan Allah.”

Perjuangan melawan nafsu membutuhkan niat yang jujur dan tekad untuk meraih satu tujuan, yaitu ridha Allah Swt.  Orang yang berjuang melawan nafsu tidak akan dikalahkan oleh rasa lelah dan akan mengabaikan banyaknya tenaga serta pengorbanan yang telah dicurahkan. Semua itu tidak akan bisa dilakukan kecuali jika dilandasi dengan niat yang benar, jujur, dan tulus.[]

(* Disarikan dari : “40 Hiasan Mukmin” (Muhammad Chirzin, Sulaiman Yusuf), 2008; “Self Purification and the State of Excellence” (Ensiklopedia Akidah Ahlusunah-Tasawuf dan Ihsan, Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani), 1998; Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011 (Tajul ‘Arus, 2013), Syaikh Ibnu Athaillah; Ziarah ke Alam Barzakh (Imam Jalaluddin as-Suyuthi), 2009)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar