Rabu, 23 Desember 2015

ADAB SULUK

TIDAK MENCARI KETENARAN

Rasulullah Saw bersabda,”Siapa memakai pakaian ketenaran, Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat.”(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibn Majah);

Ali r.a berkata,”Bersikaplah rendah hati, jangan sombong. Jangan bersikap tinggi hati, jagalah rahasia, dan tetaplah diam. Engkau akan selamat, mencintai kebajikan, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak.”

Ibrahim bin Adham berkata,”Orang yang mencintai ketenaran dan kemasyhuran akan kehilangan ketulusan.”

Cinta ketenaran itu tercela.

Sedangkan ketenaran dan kemasyhuran itu sendiri bisa saja terpuji dan tercela. Jika niatnya adalah mengagungkan diri sendiri dan menghina orang lain, ini tercela. Tetapi jika untuk membimbing dan berfaedah bagi mereka, maka tentulah itu terpuji dan berhak mendapatkan pahala. Kemasyhuran para nabi dan khulafaur-rasyidin adalah lebih tinggi daripada yang lain, dan karenanya mereka beroleh pahala atasnya.

Tanda ketenaran yang terpuji adalah bahwa pemiliknya merasakannya sebagai beban, sehingga jika ada orang yang mampu merebut ketenaran itu darinya dan membebaskannya dari beban itu, dia senang, bergembira dan, karena jauh dari rasa iri, berterima kasih kepada orang itu.

Bagaimanapun, secepat hati sang salik condong kepada cinta pangkat dan jabatan, secepat itu pula jalannya terhambat. Oleh karena itu, dia harus berupaya agar tidak menjadi tenar dan apa pun yang mendorong kepada hal itu. Dia harus bersikap sedemikian rupa untuk mencegah orang banyak memikirkan dirinya.

(Sumber : The Degrees of The Self (Maratib al-Nafs), Syaikh Abdul Khaliq al-Syabrawi, 1997; “Buku Saku Psikologi Sufi”, 2012);

“Jangan mencari ketenaran dan jangan meminta kepada Allah, kecuali untuk menjadikan anda sebagai orang yang rendah hati, tenang, khusyuk, dan tidak sombong.”(Syaikh Al-Akbar Muhyidiin Ibnu Arabi)

Jangan mencari ketenaran dan jangan meminta kepada Allah, kecuali untuk menjadikan anda sebagai orang yang rendah hati, tenang, khusyuk, dan tidak sombong.”(Syaikh Al-Akbar Muhyidiin Ibnu Arabi).[]

Ali r.a berkata,”Bersikaplah rendah hati, jangan sombong. Jangan bersikap tinggi hati, jagalah rahasia, dan tetaplah diam. Engkau akan selamat, mencintai kebajikan, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak.”

Ibrahim bin Adham berkata,”Orang yang mencintai ketenaran dan kemasyhuran akan kehilangan ketulusan.”

Cinta ketenaran itu tercela.

Sedangkan ketenaran dan kemasyhuran itu sendiri bisa saja terpuji dan tercela. Jika niatnya adalah mengagungkan diri sendiri dan menghina orang lain, ini tercela. Tetapi jika untuk membimbing dan berfaedah bagi mereka, maka tentulah itu terpuji dan berhak mendapatkan pahala. Kemasyhuran para nabi dan khulafaur-rasyidin adalah lebih tinggi daripada yang lain, dan karenanya mereka beroleh pahala atasnya.

Tanda ketenaran yang terpuji adalah bahwa pemiliknya merasakannya sebagai beban, sehingga jika ada orang yang mampu merebut ketenaran itu darinya dan membebaskannya dari beban itu, dia senang, bergembira dan, karena jauh dari rasa iri, berterima kasih kepada orang itu.

Bagaimanapun, secepat hati sang salik condong kepada cinta pangkat dan jabatan, secepat itu pula jalannya terhambat. Oleh karena itu, dia harus berupaya agar tidak menjadi tenar dan apa pun yang mendorong kepada hal itu. Dia harus bersikap sedemikian rupa untuk mencegah orang banyak memikirkan dirinya.

(Sumber : The Degrees of The Self (Maratib al-Nafs), Syaikh Abdul Khaliq al-Syabrawi)

HANYA PEDULI KEPADA AIB SENDIRI

Rasulullah Saw bersabda,”Mukmin yang dicintai Allah adalah yang sibuk mencari aib/ kekurangan diri sendiri ketimbang sibuk mencari aib/ kekurangan orang lain.”(HR. Muslim)

Rasulullah Saw bersabda,”Enam perkara yang dapat menghapuskan amal : sibuk dengan aib orang lain, kesat hati, mencintai dunia, sedikit malu, panjang angan-angan, dan menganiaya orang dengan tak henti-hentinya.” (HR. Dailami)

Rasulullah Saw bersabda,”Barangsiapa menutupi kejelekan saudaranya yang Muslim maka Allah akan menutupi kejelekannya besok di Hari Kiamat. Barangsiapa membeberkan kejelekan saudaranya yang Muslim maka Allah akan membeberkan kejelekan-kejelekannya termasuk aib-aib yang terjadi di dalam rumahnya.”(HR. Ibnu Majah)

Rasulullah Saw bersabda,”Orang-orang yang menggunjing dan mendengarkan gunjing adalah serupa dalam dosa.”(HR. Ath-Thabrani dengan beberapa perbedaan kata-kata)

Hasan Al-Bashri berkata,”Seseorang belum benar-benar beriman selama masih mencela orang lain dengan aib yang juga ada di dalam dirinya sendiri, dan menyuruh mereka untuk memperbaiki aibnya, tapi ia tidak memulai dari dirinya sendiri. Jika tidak, sungguh ia hanya akan menambah aib pada dirinya sendiri. Ia mesti memperbaiki aib dirinya sendiri, dengan demikian ia kan sibuk mengurusi aib diri sendiri dan tidak akan memperhatikan aib orang lain.”(Al-Bayan, 3/135)

Suatu hari, seorang lelaki yang telah bersahabat dengan Ibrahim bin Adham, ketika hendak berpisah, berkata kepada Ibrahim bin Adham,”Sayyidi, kenapa anda tidak pernah mengingatkan aku akan aib yang ada pada diriku?” Lalu Ibrahim bin Adham menjawab,”Saudaraku, aku tidak pernah melihat satu aib pun dalam dirimu, karena aku melihatmu dengan mata cinta. Bertanyalah kepadaku kepada selain aku tentang aibmu.”

“Kalau bukan karena cinta diri dan kesombongan, manusia tidak akan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Bila di antara kita melakukannya, itu karena cinta kita pada diri sendiri. Kita melihat diri kita sendiri sempurna dan murni, dan orang lain penuh dengan cacat dan kesalahan. Anda mungkin mengetahui puisi tentang seorang syaikh yang menyalahkan wanita pelacur. Dan wanita yang dituding menjawab,”Saya memang seperti yang engkau katakan, namun apakah engkau memang seperti yang terlihat?”**- Ayatullah Rahullah Musawi Khomeini —(Kutipan dari sub-judul “Egoisme”, dalam buku “Rahasia Basmalah dan Hamdalah, penerbit : Mizan, 1996; Judul asli : “Islam and Revolution: Writing, Speech, and Lecture of Ayatullah Rahullah Musawi Khomeini; penerjemah : Zulfahmi Andri)

** Kiasan dari salah satu kuatrin terkenal Umar Khayyam (412-515/ 1021-1122) : Seorang Syaikh berkata kepada seorang pelacur : “Engkau mabuk, dan tiap malam berada dalam dekapan orang yang berbeda!” Dia menjawab,” O Syaikh, saya memang seperti yang engkau katakan, namun apakah engkau sungguh-sungguh seperti yang terlihat?”.


BERHATI HATI PADA KEHIDUPAN DUNIA

Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidakkah kamu mengerti?.”(QS. Al-An’am [6]:32)

“…orang-orang kafir, (yaitu) orang-orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau, dan mereka telah tertipu oleh kehidupan dunia.”(QS. Al-A’raf [7]:50-51);

Rasulullah Saw bersabda,”Demi Allah, dunia ini dibanding akhirat ibarat seseorang yang mencelupkan jarinya ke laut. Air yang tersisa di jarinya ketika diangkat, itulah nilai dunia.”(HR. Muslim)

Rasulullah Saw bersabda,”Seandainya dunia itu ada nilainya di sisi Allah bahkan seberat sayap nyamuk sekalipun, tentu Dia tidak akan sudi memberi minum pada orang kafir meskipun seteguk air.”(HR. Tirmidzi)

Rasulullah Saw bersabda,”Enam perkara yang dapat menghapuskan amal : sibuk dengan aib orang lain, kesat hati, mencintai dunia, sedikit malu, panjang angan-angan, dan menganiaya orang dengan tak henti-hentinya.” (HR. Dailami)

Rasulullah Saw bersabda,”Barangsiapa yang mencintai dunianya, ia memberi madharat kepada akhiratnya, dan barangsiapa yang mencintai akhiratnya ia memberi madharat kepada dunianya, maka pilihlah oleh kamu apa yang kekal atas apa yang lenyap.” (HR. Hakim)


MENAHAN AMARAH
Bersegeralah kamu dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya untuk memperoleh ampunan yang besar dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik pada waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang MENAHAN AMARAHnya dengan sabar dan memaafkan orang-orang yang menzalimi mereka. Ini adalah kebaikan yang disukai oleh Allah dari orang yang mengerjakannya…”(QS. Ali Imran 133-134)


Rasulullah Saw bersabda,” Tidak ada sesuatu yang ditelan seorang hamba yang lebih afdhol di sisi Allah Ta’ala, selain menahan amarah yang kemudian ditelannya.”(HR. Tirmidzi)

Rasulullah Saw bersabda,” Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air, maka apabila di antara kalian marah, berwudhulah.”(HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad hasan), atau membaca ta’awudz (HR. Bukhari dan Muslim, dari Sulaiman bin Surod r.a; dalam sumber lain disebut “dari Sulaiman bin Shard r.a”), atau duduk (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dari Abu Dzar r.a), atau diam/ tidak bicara.”(HR. Ahmad)

Rasulullah Saw bersabda,”Orang yang kuat itu bukanlah orang yang menang berkelahi, tetapi orang yang kuat ialah yang dapat menguasai dirinya di waktu marah.”(HR. Bukhari)

Imam Ali bin Abi Thalib k.w berkata,”Sedikit marah sudah terlalu banyak dalam menyusahkan jiwa dan akal.”

Imam Al-Ghazali berkata,”Sabar adalah menerima dengan lapang dada hal-hal yang menyakitkan dan menyusahkan serta menahan amarah atas perlakuan kasar. Barangsiapa mengeluh bila diperlakukan buruk oleh orang lain, maka hal itu menunjukkan masih buruknya akhlak orang tersebut, karena akhlak yang mulia sesungguhnya adalah menerima secara lapang dada semua bentuk perlakuan yang menyakitkan.”

Hasan Al-Bashri berkata,”Seorang hamba tidak akan meneguk satu tegukan yang lebih besar daripada bermurah hati (sabar) saat marah dan bersabar saat ditimpa musibah.”(Al-Istiqamah, 2/272)

Luqman Hakim berkata kepada anaknya : “Hai anakku, kuasailah dirimu ketika sedang marah, agar kamu tidak menjadi kayu bakar dari neraka Jahanam” dan “Tidak ada perbuatan yang lebih berat daripada menahan amarah.”


BERSIFAT LEMAH LEMBUT
Al-‘Afwu (Pemaaf) adalah salah satu nama dari nama-nama mulia Allah Swt.

Yang dimaksud dengan Al-‘Afwu adalah berlapang dada dalam memberikan maaf kepada orang yang melakukan kesalahan, dengan tanpa disertai rasa benci di hati, apalagi merencanakan pembalasan terhadap orang yang melakukan kesalahan itu, meskipun dia sanggup melakukan pembalasan itu.

Bila sikap kompromi itu hanya sementara dan bersifat lahiriah saja, sedangkan hatinya masih menyimpan dendam bahkan merencanakan pembalasan di lain waktu, maka sikap seperti ini tidak termasuk sikap pemaaf. Begitu juga bila pemberian maaf itu dilakukan oleh orang yang lemah dan tidak punya daya upaya. Sikapnya itu belum masuk kategori sikap pemaaf. Juga tidak termasuk pemaaf bila seseorang memberikan maaf kepada orang lain, namun hatinya masih dongkol dan benci kepada orang yang melakukan kesalahan kepadanya, meskipun tidak sampai merencanakan pembalasan.(Ahmad al-Hufi, dalam “Min Aklaaqin-Nabi”, hlm. 46)

Rasulullah Saw adalah orang yang lapang dada dan banyak memberikan maaf. Pengampunan yang beliau berikan selalu didasari dengan hati yang bersih dan dada yang lapang, meskipun beliau mampu melakukan balas dendam. Kelapangan hati beliau sungguh merupakan teladan yang tiada tara.

Rasulullah Saw sangat menganjurkan manusia untuk mempunyai jiwa besar, bersikap toleran dan suka memberikan maaf.

Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah, Maha Pengampun dan suka kepada orang yang suka memberi ampun.”(Kanzul-‘Ummal, 2/77), dan “Barangsiapa mau memberi maaf di saat dia mampu (membalas), Allah akan mengampuni dosa-dosanya besok di hari yang penuh dengan kesulitan.”(HR. al-Bukhari)

Sayyidah Aisyah r.a berkata,”Rasulullah Saw tidak pernah (berusaha untuk) menang ketika dizalimi, selagi hal itu tidak menyebabkan terlanggarnya larangan-larangan Allah Swt. Namun bila ada larangan-larangan Allah Swt yang dilanggar, beliau sangat marah dan tegas menyikapinya.”(HR. Muslim)

Yang perlu diperhatikan adalah dalam memberikan maaf, seorang muslim tidak boleh mengorbankan agama dan hak-hak Allah Swt.

Di sisi lain,Ada sifat lemah lembut.

Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah berkata kepada al-Asyji,”Kamu mempunyai 2 sifat yang membuat Allah dan Rasul-Nya senang : lemah lembut dan murah hati.”(HR. Muslim)

Sayyidah Aisyah r.a menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya Allah adalah Maha Lemah Lembut dan suka terhadap kelemahlembutan dalam segala hal.”(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sifat lemah lembut adalah kebalikan sifat pemarah.

Rasulullah Saw, bila beliau melihat ada larangan-larangan Allah Swt dilanggar, beliau marah. Namun, di saat lain, kelemahlembutan harus selalu muncul menghiasi diri.(Ihya ‘Ulumiddin)

Imam Al-Ghazali mendefinisikan kelemahlembutan dengan kalah dan tunduknya potensi kemarahan terhadap bimbingan akal.

Menurut Al-Ghazali, tumbuhnya sifat lemah lembut dalam diri manusia bisa dimulai dengan melatih diri menahan amarah. Hal ini bisa dilatih dengan cara berusaha sekuat mungkin menahan setiap amarah yang sedang bergejolak. Bila seseorang sudah terbiasa dengan sikap seperti ini maka kelemahlembutan akan menjadi akhlaknya, dan amarahnya tidak akan bergejolak, kalaupun bergejolak tentu tidak akan sulit untuk mengendalikannya.(Ihya ‘Ulumiddin. 3/154) Sehingga bisa dikatakan bahwa kelemahlembutan merupakan parameter kesempurnaan akal dalam mengendalikan nafsu kemarahan.(Ihya ‘Ulumiddin, 2/153)

Ada sebagian orang yang menganggap sifat lemah lembut adalah sikap menahan nafsu. Pendapat ini kurang tepat, karena nafsu yang harus ditahan jumlahnya banyak sekali, tidak hanya kemarahan saja.

Sifat lemah lembut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan sifat sabar. Dua sifat ini memang hampir sama. Oleh karena itu, kedua kata “al-hilmu” dan “ash-shabru” sering digunakan untuk menunjuk satu makna yang sama, sebagaimana dalam firman Allah Swt : “…Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.”(QS [3]:186)

Ayat ini menegaskan bahwa menghadapi gangguan dengan tenang dan tabah bisa disebut dengan kesabaran dan juga kelemahlembutan (al-hilmu). Begitu juga dalam ayat berikut ini : “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.”(QS [16]:126)

Tidak membalas dendam bisa disebut sebagai sikap lemah lembut dan juga bisa disebut sebagai sikap sabar.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”

Lemah lembut adalah menahan diri untuk tidak membalas dendam perlakuan buruk orang lain yang menyakitkan hati dengan balasan yang sama. Sedangkan sabar adalah menerima dengan lapang dada kondisi yang tidak menyenangkan.

Jadi, lemah lembut menyangkut hal-hal yang manusia masih mampu melakukan aksi balas dendam. Sedangkan sabar berhubungan dengan hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia.

Perbedaan lainnya, adalah lemah lembut merupakan kebalikan sifat pemarah yang merupakan pemberontakan jiwa karena tidak kuasa menahan amarah dengan disertai sikap menantang. Sedangkan sabar adalah kebalikan sifat mengeluh yang merupakan sikap tidak berdaya menghadapi kondisi yang menimpa dan tidak disertai sikap menantang.

Allah Swt berfirman : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”(QS [7]:199-201); “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(QS [3]:133-134).

Berkenaan 2 rangkaian ayat di atas, Ahmad al-Hufi dalam kitabnya “Min Akhlaq an-Nabi Saw” menerangkan : “Pada rangkaian ayat pertama terdapat perintah untuk menghiasi diri dengan sifat lemah lembut dan meminta perlindungan kepada Allah Swt dari keinginan untuk marah dan balas dendam. Sedangkan dalam rangkaian ayat kedua, diterangkan bahwa menahan amarah, melakukan perbuatan-perbuatan fi sabilillah dan juga memaafkan orang lain adalah sama (pentingnya).”Bila kita tahu bahwa menahan amarah kedudukannya masih di bawah sikap lemah lembut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa sikap lemah lembut adalah sikap yang sangat mulia. Menahan amarah adalah usaha untuk menjadi lemah lembut. Hanya orang yang amarahnya bergejolak sajalah yang membutuhkan usaha untuk menahan amarah. Bila seseorang selalu berusaha menahan amarah maka sikap seperti ini akan menjadi kebiasaan dan amarahnya tidak akan sering bergejolak, bila bergejolak pun dia tidak akan kesulitan untuk mengendalikannya.

Rasulullah Saw sangat lemah lembut. Di sisi lain, beliau sangat tegas terhadap orang-orang yang menghina Islam, mencemooh konsep keesaan Tuhan dan hari kebangkitan atau menganggap rendah kebenaran-kebenaran absolut. Menghadapi hal-hal seperti ini, Rasulullah Saw tidak segan-segan untuk marah. Namun, sebagaimana diterangkan oleh Ali bin Abi Thalib, kemarahan beliau bukan karena motivasi keduniaan. Kemarahan beliau didorong untuk membela kebenaran. Meskipun kemarahannya adalah untuk membela kebenaran dan dengan cara-cara yang benar, namun beliau tetap berusaha mempersingkat kemarahannya itu. Selesai marah beliau selalu berusaha mengubah kondisi dan suasana menjadi penuh kelemahlembutan dan ketenangan.

Abu Hurairah r.a menceritakan bahwa bila Rasulullah Saw marah dalam keadaan berdiri, beliau berusaha duduk. Bila marahnya dalam keadaan duduk, beliau berusaha untuk berbaring, dan setelah itu marahnya akan hilang dengan sendirinya.(Ihya ‘Ulumiddin, 3/148);

Sayyidina Ja’far Ash-Shadiq berkata : “Luqman Hakim berkata kepada anaknya,’Hai anakku, setiap sesuatu memiliki tanda untuk mengenalnya. Dan ada 3 tanda bagi agama : rasa malu, ilmu, dan kelembutan sikap.'(Qishash al-Anbiya, hlm. 196, dan Bihar al-Anwar, jilid 13, hlm. 420).[]

(* Dikutip dari sub-judul “Pemaaf” dan “Lemah Lembut”, dalam : Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim; Abdul Mun’im al-Hasyimi; 2009, dan Hikmat Nomeh Luqman– Syaikh Muhammad Ray Syahri; Luqman Hakim Golden Ways, Menemukan Bening Mata Air Kearifan dan Kebijakan, 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar