Rabu, 23 Desember 2015

SULUK IV



SALING MENCINTAI KARENA ALLAH

Cinta dan kasih sayang identik dengan dorongan untuk selalu memberi dan bukan menuntut.


“Dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Al-Hasyr [59]:9).

Dengan memberi dan berbuat baik pada manusia, kita pun akan mendapatkan cinta-Nya. Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya umat manusia adalah kerabat Allah. Maka barangsiapa mencintai Allah, dia akan mencintai kerabat-Nya.”

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwasanya di Hari Qiyamat kelak Allah SWT berfirman:

“Manakah mereka yang saling mencintai demi Keluhuran-Ku? Sungguh, hari ini Aku naungi mereka dengan naungan-Ku”. (HQR. Muslim, Ahmad, Al-Baihaqi, Ad-Darimi, Imam Malik dan An-Nawawi);

Mu’adz bin Jabbal ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwa Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa yang saling berkasih-sayang demi Keluhuran-Ku, niscaya Aku buatkan baginya mimbar-mimbar cahaya, sehingga para nabi dan syuhada pun terkagum karena inginnya memperoleh hal seperti mereka”. (HQR. At-Tirmidzi);

Mu’adz bin Jabbal ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, bahwasanya Allah SWT berfirman:
“Mereka yang saling mencintai demi Aku, saling menemani demi Aku, saling memberi demi Aku, dan saling memperhatikan demi Aku, niscaya akan memperoleh kasih-sayang-Ku”. (HQR. Ahmad, Ath-Thabrani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Imam Malik, Al-Baghawi dan Adz-Dzahabi);

Abu Hurairah ra meriwayatkan dari Rasulullah saw, sabdanya: “Di sekitar ‘Arasy ada mimbar-mimbar cahaya, di dalamnya ada orang-orang berbaju cahaya, dan wajah-wajah mereka juga bercahaya, mereka bukan nabi atau syuhada, tapi nabi dan syuhada pun terkagum karena inginnya memperoleh hal seperti mereka”.
Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu, ya Rasul?”
Rasulullah saw menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling berbagi karena Allah, dan saling memperhatikan karena Allah”. (HR. Bukhari);

“Sayangilah makhluk yang di bumi, maka Dzat yang ada di langit akan menyayangimu” (HR. Imam Thabrani);

“ Barang siapa yang tidak menyayangi orang lain, maka Allah tidak akan menyayanginya” (HR. Imam Thabrani);

“Sifat penyayang tidak akan dicabut kecuali dari orang-orang yang celaka” (HR Bukhari).

DICINTAI ALLAH DENGAN SHALAWAT

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS [3]:31)

Mencintai dan taat kepada segala titahnya. Demikianlah salah satu kewajiban Muslim terhadap Rasulullah Saw.

Bentuk ekspresi cinta terhadap Nabi Saw, salah satunya senantiasa mengucap shalawat kepada beliau dan keluarganya.

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(QS [33]:56)

Setidaknya, terdapat 3 pendapat berkenaan dengan pengertian shalawat Allah kepada Nabi saw :

1. Shalawat sebagai tanda penghormatan terhadap Rasulullah Saw; Pendapat ini dikemukakan Abu Aliyah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari.

2. Shalawat dalam makna “rahmat”; Ats-Tsauri, al-Mubarrid, Ibnu Arabi, dan Imam Mawardi merupakan sebagian ulama yang mengusung makna ini.

3. Sebagaimana dilontarkan Ibnu Hajar al-Haitami dan diamini Ibnu Athiyah, mengatakan bahwa shalawat Allah Swt kepada para hamba-Nya bermakna ampunan, rahmat, berkah, dan pengakuan atas ketinggian derajat mereka di dunia dan akhirat, sekaligus sanjungan nan indah mempesona bagi mereka;

Beberapa ulama menyatakan bahwa makna shalawat malaikat kepada Rasulullah Saw adalah doa. Pendapat ini, misalnya, dikemukakan Bukhari dari Abu Aliyah. Ibnu Arabi dan Ibnu Athiyah juga menyetujui pandangan ini.

Tapi, Raghib dan Mawardi punya tafsir agak berbeda. Menurut keduanya, shalawat malaikat kepada Rasulullah Saw bermakna istighfar.

Bagaimanapun, kedua pendapat ini pada dasarnya tidak bertolak belakang. Kalau bukan malah saling menguatkan, bahkan sama dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami. Kesamaan pandangan ini terletak pada permohonan kepada Allah agar melimpahkan rahmat kepada utusan-Nya, meninggikan derajat, mengampuni dosa, serta mencurahkan berbagai derajat keagungan lain yang sebangun dengan kemuliaan martabat, keluhuran pribadi, dan kesempurnaan Rasulullah Saw;

Setelah Diri-Nya dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, selanjutnya Allah memerintahkan orang beriman untuk juga bershalawat kepada Nabi Saw. Apa maknanya? Itu adalah doa, yakni meminta segala limpahan kebaikan dari Allah Swt untuk Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw bersabda :

“Siapapun yang bershalawat kepadaku sekali, Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”(HR. Muslim dan Abu Dawud)

“Sesiapa membaca shalawat kepadaku sekali, maka Allah memberikan balasan sepuluh kali. Sesiapa membaca sepuluh kali, maka Allah akan membalasnya seratus kali. Sedangkan, bila membaca seratus kali (shalawat), Allah akan menuliskan di antara kedua matanya ‘bebas dari kemunafikan dan neraka’. Allah juga akan menetapkannya bersama para syuhada di hari kiamat.”(HR. Ath-Thabrani dari Anas bin Malik)

“…Tuhanku bersabda,’Siapa saja dari umatmu (Muslim) membaca shalawat kepadamu sekali, maka Allah akan memerintahkan (malaikat) menuliskan (pahala) untuk orang itu. Karena, shalawat itu (mendatangkan) sepuluh kebaikan dan Allah menghapus sepuluh keburukannya; dan Allah mengangkat derajatnya sepuluh tingkat, serta membalas dengan memberi shalawat kepadanya seperti shalawat yang dibaca.”(HR Imam Ahmad)

“Sesungguhnya, orang yang paling utama dengan syafaatku kelak di hari kiamat ialah orang yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.”(HR Tirmidzi)

“Bershalawatlah kalian, karena membaca shalawat kepadaku itu penebus dan penyuci dosa bagi kalian. Sesiapa membaca shalawat kepadaku sekali, Allah akan membalasnya sepuluh kali.”(HR. Ibnu ‘Ashim dari Anas bin Malik)

“Shalawat kalian kepadaku itu merupakan pengawal doa kalian dan menjadi keridhaan Tuhanmu serta pembersih amalan-amalanmu.”(HR Dailami dari Ali bin Abi Thalib)

“Semua doa terhalangi, sampai permulaannya menyanjung Allah dan shalawat kepadaku kemudian berdoa; baru doa itu dikabulkan.”(HR. An-Nasai dari Abdullah bin Basar)

“Sesiapa menyebutku, kemudian tidak membaca shalawat kepadaku, maka dia sekikir-kikir manusia.”(HR. Ibnu Abil Ashim dari Abu Dzar al-Ghiffari)

“Tiga kelompok manusia yang tidak melihat wajahku, yaitu (1) berbuat durhaka pada kedua orang tuanya; (2) meninggalkan sunnahku; (3) dan tidak membaca shalawat kepadaku saat namaku disebut di depannya.”(HR Al-Badi dari Aisyah)

“Sesiapa mendengar namaku disebut-sebut di hadapannya dan tidak membaca shalawat secara sempurna (buntung), maka bukan termasuk golonganku dan aku bukan dari golongannya.”(Hadits dari Anas bin Malik)

“Sesiapa menulis bacaan (tulisan) shalawat dalam sebuah buku, maka malaikat tak henti-hentinya memohon ampunan baginya selama namaku masih tercantum dalam buku itu.”(HR. Ath-Thabrani dari Abu Hurairah)
Hiasilah majelismu dengan shalawat kepadaku karena sesungguhnya shalawatmu itu menjadi cahaya bagimu di hari kiamat.”(HR. Dailami dari Ibnu Umar);

Sesekali, apalagi sering memeriksa kembali cara bershalawat kita, diharapkan dapat menjadikan kita mampu menyerap petunjuk dari ayat Al-Qur’an dan cahaya shalawat.

Semakin terang cahaya kebenaran yang diserap, semakin kuat intensitas hubungan seseorang dengan Allah Swt dan Rasul-Nya. Ikatan hubungan yang terus menerus diperkuat dapat menerbitkan cinta. Bahkan cinta sejati yang merupakan “kedekatan” hubungan yang didamba oleh mereka yang ingin menjadi kekasih-Nya. Pasalnya, cinta merupakan asas atau pilar penghambaan kepada-Nya.

Shalawat berisi pembenaran dan keyakinan untuk mendekat (ber-taqarrub) kepada Allah Swt. Sama artinya dengan membangun ketaatan kepada-Nya. Tandanya, adalah pelaksanaan secara praktis setiap ajaran-Nya. Termasuk melaksanakan perintah bershalawat.

Ketika bershalawat dan memohon,”Ya Allah, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad,” semestinya seorang mendekap kesadaran bahwa dirinya tengah membangun hubungan istimewa : dengan Allah Swt, Muhammad Saw, dan keluarganya. Hubungan dengan Allah Swt (yang jadi dasarnya) berupa (keyakinan) Tauhid karena mengarahkan seruan dan permintaan kepada Allah Swt sebagai satu-satunya  Sumber. Hubungan dengan Nabi Muhammad Saw juga keluarga beliau, sebagai implementasi Tauhid.

Pelajaran penting lain yang dapat dipetik, berkaitan dengan “Perjalanan Kembali” ke Sang Khalik. Dalam proses “kembali” ini, manusia memerlukan banyak sarana yang mungkin dan terbaik. Salah satunya adalah shalawat dan kandungannya. Pasti, bershalawat kepada Nabi Saw menjadi sarana terbaik, Allah Swt sampai “merasa perlu” mencontohkannya langsung–ketika menyuruh malaikat-Nya bershalawat–kepada orang beriman.

Orang-orang beriman berusaha mencari cara-cara lain untuk memastikan bahwa dosa-dosa mereka akan diampuni, dan kadang-kadang bersandar pada pesona-pesona yang diinspirasikan, menurut keyakinan mereka, oleh Nabi sendiri. Meskipun beribu-ribu doa dan syair membicarakan tentang harapan kaum Muslim akan upaya penengahan (syafaat) untuk diri mereka dan keluarga mereka, shalawat merupakan jauh lebih kuat dibanding yang lainnya. Apalagi shalawat merupakan instruksi kepada kaum Muslim yang Allah sendiri–disusul para malaikat–telah mencontohkannya.

Dapatkah orang-orang beriman melakukan sesuatu yang lebih baik daripada mengikuti contoh yang diberikan oleh Allah sendiri? Jalaluddin Rumi menjawab pertanyaan ini dengan kalimat,”…perbuatan menghamba dan memuja serta memperhatikan ini, tidak berasal dari kita dan kita tidak bebas untuk melakukannya. Itu milik Allah. Itu bukan milik kita, tetapi milik-Nya.”

Beberapa kisah-kisah Shalawat :

[1] Dalam Kitab Jadzbul Qulub ila Diyaril Mahbub karya Syekh Abdul Haq Dehlawi, disebutkan bahwa seorang lelaki, ketika berthawaf, tidak membaca doa dan dzikir apa-apa selain shalawat atas Nabi Muhammad Saw.[1] Dalam Kitab Jadzbul Qulub ila Diyaril Mahbub karya Syekh Abdul Haq Dehlawi, disebutkan bahwa seorang lelaki, ketika berthawaf, tidak membaca doa dan dzikir apa-apa selain shalawat atas Nabi Muhammad Saw.

Seseorang bertanya kepadanya,”Mengapa engkau tidak membaca dzikir selain shalawat?”

Dia menjawab,”Aku telah berjanji  kepada Allah untuk tidak membaca wirid (dzikir) selain shalawat atas Nabi Muhammad Saw dan keluarga beliau. Karena setelah ayahku wafat, aku melihat wajah ayahku tak ubahnya keledai. Aku sedih dan iba. Aku pun tidur dalam kegelisahan dan mimpi berjumpa Rasulullah Saw. Aku bersimpuh di hadapannya dan memohon beliau memberi syafaat kepada ayahku. Aku bertanya kepada Rasulullah Saw,’Mengapa wajah ayahku berubah?” Rasulullah Saw menjawab,’Ayahmu adalah seorang pemakan riba. Setiap orang yang semasa hidupnya di dunia memakan uang riba, maka pada har kiamat, Allah akan mengubah wajahnya selayak keledai. Namun, karena setiap malam menjelang tidur dia selalu membaca shalawat atasku seratus kali, maka aku kabulkan permohonanmu dan akan memberi syafaat serta mengembalikan wajahnya seperti semula.’ Aku terjaga dari mimpi. Ketika menengok wajah ayahku, aku melihat wajahnya bak rembulan bersinar.”

Kemudian aku kebumikan ayahku. Saat menguburkan ayahku, aku mendengar bisikan,”Pertolongan dan ampunan Allah Swt atas ayahmu disebabkan shalawatnya atas Nabi Muhammad Saw.”

[2] Hasan Bashri didatangi seorang perempuan yang berkata,”Wahai Syekh, putriku telah meninggal dunia. Aku ingin bertemu dengannya kendati hanya dalam mimpi.”

Hasan Bashri lalu menyuruh wanita itu mendirikan shalat empat rakaat selepas shalat Isya. Setiap rakaat membaca surah Al-Fatihah dan At-Takatsur. Setelah itu, dia diperintahkan untuk duduk sambil membaca shalawat kepada Rasulullah Saw hingga terlelap. Wanita itu mengikuti saran Hasan. Ternyata, dalam mimpi, dia melihat putrinya sedang menderita lantaran diazab.

Dia bergegas mendatangi Hasan untuk kedua kalinya dan menceritakan mimpinya semalam. Hasan lalu menyuruh wanita itu bersedekah atas nama putrinya. “Mungkin dengan amal kebajikan, Allah Swt berkenan mengampuni dosa-dosa putrimu,”saran Hasan.

Malam itu, Hasan mimpi bertemu seorang wanita cantik jelita dengan wajah bersri-seri. “Tahukah engkau siapa aku?” tanya wanita itu pada Hasan, “Akulah putri wanita yang datang kepadamu siang hari.”

“Bagaimana mungkin, padahal ibumu menceritakan keadaanmu tidak seperti ini?” tanya Hasan.

“Cerita ibuku memang benar adanya.”

“Lantas, apa yang membuatmu terbebas dari azab, seperti yang disaksikan ibumu?” tanya Hasan lagi.

“Sebenarnya aku tidak sendirian. Terdapat 70 ribu orang yang juga diazab bersamaku. Namun, tiba-tiba, ada orang shalih melintasi kuburan kami. Dia membaca shalawat kepada Rasulullah Saw dan memberikan pahalanya kepada kami. Allah mengabulkannya. Allah akhirnya membebaskan kami semua dari azab itu. Karenanya aku bahagia hingga saat ini.”
[3] Dalam mimpi, Abu Bakar Asy-Syibli bertemu tetangganya yang sudah meninggal dunia. Dia lantas bertanya keadaan orang itu.

“Alhamdulillah, telah berlalu suasana yang sangat mengerikan. Dua malaikat mendatangiku. Aku menggigil menahan rasa takut tak terperi. Aku heran bagaimana inibisa terjadi? Bukankah aku mati dalam keadaan Islam?

Tetangga Syibli melanjutkan,”Ini akibat ucapan-ucapan lidahmu semasa hidup di dunia,” Syibli menirukan ucapan malaikat itu. “Saat kedua malaikat itu menghampiriku, tiba-tiba muncul lelaki rupawan beraroma harum. Dia membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat kepadaku.”

“Semoga Allah mencurahkan berkah untukmu. Siapa dirimu sebenarnya?”tanyanya kepada lelaki rupawan itu.

“Akulah makhluk yang dicipta dari untaian shalawat yang sering kau ucapkan untuk menyanjung Rasulullah saw. Aku diperintah untuk senantiasa membantumu dalam segala situasi,”ujar tetangga Syibli, menirukan ucapan orang yang membantunya.[]

(* Sumber : “Dicintai Allah dengan Shalawat”, Arif Mulyadi, M. AF. Abbas, Arifa Publishing, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar