Rabu, 23 Desember 2015

SULUK V

Shalawat dalam Suluk

Sayyid Muhammad bin Umar Al-Qashri dalam kitab Manha al-minat fi at-Ta’nis bi as-Sunnah mengatakan : “Membaca shalawat atas Nabi saw adalah sebuah keharusan bagi seorang salik di awal perjalanan spiritualnya, dan terus menerus membaca shalawat baik siang maupun malam. Shalawat dapat menjadi penolongnya selama menempuh perjalanan spiritual dan mencari kedekatan dengan Allah Swt dibandingkan dengan macam-macam dzikir yang lain…”

Imam Al-Qasthalani dalam kitab Masalik al-Hanfa menuliskan : “Ketahuilah, tidak mungkin mampu mencontoh perbuatan dan akhlak Nabi Saw kecuali dengan usaha keras, tidak mungkin mau berusaha dengan keras kecuali sangat cinta kepada Nabi Saw, dan tidak mungkin cinta mati kepada Nabi Saw kecuali dengan cara memperbanyak bacaan shalawat. Sebab, barang siapa yang suka pada sesuatu, maka dia akan sering menyebut-nyebutnya. Karenanya, bagi seorang salik mesti memulai jalan spiritualnya dengan memperbanyak bacaan shalawat atas Nabi Muhammad saw. Mengingat bacaan shalawat menyimpan keajaiban-keajaiban luar biasa dalam rangka pembersihan jiwa dan penerangan batin, di samping masih banyak lagi rahasia-rahasia dan faedah-faedah yang tidak mungkin dihitung oleh angka dan bilangan. Seorang salik perlu memiliki hati ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah ketika membaca shalawat atas Nabi Saw, sehingga dia mampu memetik buah shalawat dan barakah-nya yang bertebaran. Shalawat di sepanjang perjalanan mencari Tuhan bagaikan lampu penerang yang dapat menjadi hidayah yang dibutuhkan. Barangsiapa yang menghiasi hatinya dengan lampu shalawat, maka dia akan mampu melihat segala hakikat tauhid berkat cahaya terang shalawat tersebut.”

Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al-Husaini r.a berkata,”Ibnu ‘Atha’ berkata : ‘Doa memiliki rukun-rukun tertentu, sayap-sayap, sebab-sebab, dan waktu-waktu khusus. Jika memenuhi rukun-rukunnya doa itu akan menjadi kuat, jika ia memiliki sayap-sayap ia akan terbang ke langit, jika tepat waktunya ia berjalan terus. Dan jika memenuhi sebab-sebab, doa itu akan terkabulkan. Rukun-rukun doa adalah hati yang khusyuk, konsentrasi, lembut, pasrah diri, bergantung sepenuhnya kepada Allah, dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada faktor apapun. Sayap-sayap doa adalah ketulusan dan kejujuran. Waktu berdoa adalah di malam hari. Sebab-sebabnya adalah membacakan shalawat atas Nabi Saw.”

Dalam kitab Al-Ausath, Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda,”Semua doa tertolak, kecuali dia membaca shalawat untuk Muhammad dan keluarganya.” Dan Ali bin Abu Thalib r.a berkata,”Setiap doa pasti terhalangi oleh sebuah tabir antara pemohon doa dan Allah. Kecuali orang itu membaca shalawat, maka tabir itu akan terbakar, dan doa itu pun bisa menembusnya. Jika orang itu tidak membaca shalawat, maka doanya akan terpental.” Dalam Asy-Syifa, Ibnu Mas’ud r.a berkata,”Jika di antara kalian ada yang mengharapkan sesuatu dari Allah, maka hendaklah memulai doanya dengan puja dan puji kepada-Nya, disusul dengan membaca shalawat atas Nabi-Nya, baru kemudian menyampaikan hajatnya. Yang demikian ini lebih berpeluang besar untuk terkabulkan.”

Kesimpulannya, shalawat dapat mendatangkan pencerahan, rahasia, membersihkan batin dari segala jenis kotoran; yang mesti dibaca oleh para pemula, orang-orang yang memiliki banyak hajat, dan orang-orang yang sudah mencapai puncak perjuangan. Salik thalib, murid muqarrib, dan arif washil, mereka semua sama-sama membutuhkan shalawat. Seorang thalib membutuhkan shalawat untuk peningkatan diri; seorang murid untuk bimbingan diri; dan seorang arif membutuhkan shalawat untuk membuatnya fana‘. Dalam hal ini, shalawat dibutuhkan seorang salik untuk membantunya dalam menempuh perjalanan atau suluk, shalawat dibutuhkan oleh murid untuk menghilangkan keraguan dalam dirinya, dan dibutuhkan oleh ‘arif untuk berkata begini : “Inilah Engkau, Raja-Diraja.” Shalawat membuat seorang salik mencintai amal perbuatan, membuat seorang murid meraih ahwadan membuat seorang ‘arif semakin kokoh berpijak pada maqam al-Inzal.

Selain itu, shalawat menjadikan seorang salik mendapatkan cahaya, shalawat membuat seorang murid memperoleh ‘ibarah, dan shalawat membuat penyaksian seorang ‘arif semakin bertambah; atau shalawat membuat seorang salik mampu berjalan, membuat seorang murid dipancari sinar-sinar, dan membuat seorang ‘arif semakin mesra dalam perjumpaan (bersama Allah); atau boleh jadi, shalawat membuat seorang salik memperoleh cahaya yang berlipat-lipat, membuat seorang murid dicurahi rahasia-rahasia gaib, dan membuat seorang ‘arif merasa tak ada bedanya antara siang dan malam; atau boleh mengatakan, shalawat membuat seorang salik semakin bersemangat, menjaga seorang murid dari kemunduran dalam beramal, dan menjadikan seorang ‘arif semakin sederhana dalam berakhlak; atau, shalawat membuat seorang salik semakin mantap, membuat seorang murid sampai pada dunia gaib Al-Malakut. Demikian pula boleh berkata, bahwa shalawat membuat seorang salik ingin merasakan nikmatnya perjumpaan, menjanjikan seorang murid dengan perjumpaan itu sendiri, dan membuat seorang ‘arif semakin yakin dan nyata dalam perjumpaannya.[]

(* Sumber : “Bahtera Suci, Menggapai Kebahagiaan Sejati”, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, 2012)

Rasulullah Saw bersabda,”Cintailah Allah karena Dia telah memberikan berbagai nikmat-Nya kepada kalian. Cintailah diriku lewat cinta Allah. Lalu cintai keluargaku lewat cintaku (kepada mereka).”(HR. al-Tirmidzi)

“Seorang laki-laki Arab dusun datang menemui Nabi Saw dan bertanya,’Kapan kiamat itu tiba?’ Mendapat pertanyaan itu Rasulullah balik bertanya,’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’ Ia menjawab,’Demi Allah, saya tidak mempersiapkan amal yang banyak baik berupa shalat atau puasa. Hanya saja saya mencintai Allah dan Rasul-Nya.’ Nabi Saw bersabda,’Engkau akan bersama orang yang kau cintai.'” Kata Anas bin Malik,”Aku belum pernah melihat kaum muslim berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu.”(HR. al-Bukhari)

Konon, cinta adalah kecenderungan hati yang mendalam terhadap sifat-sifat lahir dan batin kekasih. Maka bukti nyata kita mencintai Rasulullah adalah meneladani akhlaknya dan setia mengikuti sunnahnya.

Rasulullah Saw bersabda,”Orang yang paling aku cintai dan paling dekat padaku di antara kalian di akhirat kelak adalah orang yang paling baik akhlaknya. Orang yang paling kubenci dan paling jauh dariku di akhirat adalah orang yang paling buruk akhlaknya, yaitu orang yang banyak bicara, suka ngobrol, dan suka melecehkan orang lain.”(HR. Ahmad)

Dalam riwayat Anas bin Malik, Nabi saw berpesan,”Anakku! Jika kamu mampu pada pagi dan sore hari, dan di hatimu tidak ada kedengkian pada seseorang maka lakukanlah itu.” Lalu Nabi Saw bersabda lagi,”Anakku! Yang demikian itu adalah di antara sunnahku. Siapa saja yang menghidupkan sunnahku maka ia sungguh telah mencintaiku. Siapa saja yang mencintaiku, maka ia akan bersamaku di surga kelak.”(HR. al-Tirmidzi)

Tentu saja, mencintai Nabi Saw itu bertingkat-tingkat–mencintai Nabi Saw adalah suatu perjalanan melalui level-level yang menanjak.

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (raufur rahim) terhadap orang-orang mukmin.”(QS [9]:128)

“Bohonglah orang yang mengaku mencintai Allah Swt tetapi ia tidak mencintai Rasul-Nya; bohonglah orang yang mengaku mencintai Rasul-Nya tetapi ia tidak mencintai kaum fuqara dan masakin; dan bohonglah orang yang mengaku mencintai surga tetapi ia tidak mau menaati Allah Swt.”-Imam Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumiddin
Berbahagialah orang yang merasa nikmat saat bershalawat. Karena menurut Rasulullah Saw, orang yang paling dekat dengan beliau pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat (HR. al-Tirmidzi)

Ibnu Athaillah r.a berpesan : “Betapa indahnya hidup ini jika engkau isi dengan taat kepada Allah. Yaitu, dengan cara berdzikir pada Allah dan sibuk bershalawat atas Rasulullah Saw di setiap waktu disertai kalbu yang ikhlas, jiwa yang bening, niat yang baik, dan perasaan cinta kepada Rasulullah Saw.”

Melantunkan shalawat (bagi pemula, bagi kebanyakan kita) laksana menanam benih. Mula-mula dalam ucapan, lalu dalam pikiran. Bukankah segala tindakan selalu bermula dari pikiran?

Apapun yang anda tanam, itulah yang anda tuai.

Jalaluddin Rumi bersenandung dalam Matsnawi (2:277-8) : “Kau adalah pikiranmu, saudaraku! Sisanya adalah tulang dan otot. Jika engkau memikirkan bunga mawar, engkau adalah taman mawar. Jika engkau memikirkan duri, engkau adalah kayu bakar.”

Dengan memperbanyak shalawat, kita ingin pikiran kita jadi “taman cinta Rasulullah”.

Mencintai Rasulullah Saw tak akan bertepuk sebelah tangan. Beliau bersabda,”Perbanyaklah bershalawat kepadaku, sebab shalawat kalian dapat menghapus dosa-dosamu, meninggikan derajatmu, dan menjadi syafaat bagimu di hadapan Tuhanku.”(Al-Jami al-Shaghir, hlm. 49)

Syafaat adalah bantuan Nabi Saw dengan izin Allah untuk meringankan dan bahkan menghapuskan hukuman bagi para pendosa. tetapi, tidak semua pendosa mendapat syafaat. Ketika menafsirkan ayat Kursi,”Siapa lagi yang memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya,” tafsir Ruh al-Bayan menyebutkan dua makna. Pertama, tidak ada yang dapat memberikan syafaat kecuali orang yang sudah diizinkan Allah. Kedua, tidak ada yang akan mendapatkan syafaat di sisi Allah kecuali orang yang diizinkan Allah. Artinya, tidak semua orang akan mendapat syafaat. “Mereka tidak akan memberikan syafaat kecuali kepada orang yang Allah ridhai dan mereka bergetar karena takut kepada-Nya.”(QS Al-Anbiya [21] : 28)

Yang beroleh syafaat hanya pendosa yang berguncang hatinya karena ketakutan kepada siksa-Nya. Yang cemas memandang amalnya yang buruk. Yang tidak tidak yakin dengan amal baiknya. Ia tahu umurnya yang pendek tidak cukup untuk mengumpulkan bekal buat mudik ke kampung abadi. Syafaat hanya layak bila kita sadar bahwa kita tidak dapat mengandalkan amal kita yang maha terbatas. Kita sangat bergantung pada rahmat Allah dan mendambakannya. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat bagi semua alam selain Rasulullah Saw?(Lihat QS [21]:107).

Rasulullah Saw bersabda,”Setiap Nabi bergegas untuk berdoa. Aku sendiri menundanya sebagai syafaat bagi umatku kelak di Hari Kiamat. Doa itu akan mengena pada orang yang meninggal dunia, dari umatku, yang tidak menyekutukan Allah.”(HR. Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, dan al-Turmudzi)

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”(QS [33]:56)

Mungkin dalam hati kecil kita tersisa tanya : Apa fungsi shalawat kita kepada Nabi, sedangkan Allah dan para malaikat sudah menyampaikannya?

Imam Fakhr al-Razi membantu kita menjawabnya : “Shalawat atas Nabi itu bukan karena beliau membutuhkannya, bahkan shalawat para malaikat pun tidak beliau butuhkan setelah ada shalawat dari Allah kepadanya. Namun, semua itu demi menunjukkan kebesaran dan keagungan Nabi Saw, sebagaimana Allah mewajibkan kita berdzikir menyebut nama-Nya, padahal pasti Dia tidak membutuhkan semua itu.”

Allah memuliakan Nabi Muhammad dengan shalawat (QS [4]:125).

Lebih gamblang al-Hafizh al-Sakhawi menjelaskan, dengan ayat di atas Allah memberitahu para hamba-Nya mengenai kedudukan Nabi di sisi-Nya. Dia memuji beliau di hadapan para malaikat yang dekat dengan-Nya. Lalu malaikat juga bershalawat untuk beliau. Setelah itu, Dia memerintahkan penduduk bumi untuk bershalawat dan memberikan salam kepada beliau, sehingga sanjungan penduduk langit dan bumi untuk beliau terkumpul menjadi satu.

Senada dengan al-Razi dan al-Sakhawi, Ibn al-Qayyim lalu menambahkan,”Jika Allah dan para malaikat-Nya saja bershalawat kepada Nabi, kalian juga harus bershalawat kepadanya. Sudah semestinya kalian memanjatkan shalawat dan salam kepadanya, karena kalian telah mendapatkan berkah risalah yang diembannya dan telah diberi kabar gembira oleh makhluk yang paling mulia di dunia dan akhirat ini. Dengan kata lain, shalawat kita juga merupakan bentuk syukur atas segala jasa Nabi yang telah menuntun kita ke jalan kebenaran serta menyebut-nyebut keistimewaan dan jasa beliau untuk dijadikan panutan dalam kehidupan.

Nabi Muhammad adalah manusia paripurna. Segala doa dan upaya mencintainya berarti kembali kepada orang yang mendoakan, tanpa reserve. Ibarat gelas yang sudah penuh, jika kita tuangkan air pada gelas tersebut, pasti tumpah. Tumpahan itulah kembali pada diri kita, tumpahan rahmat dan anugerah-Nya melalui gelas piala Kekasih-Nya, Muhammad Saw.

Dengan kata lain, saat mendoakan Nabi Muhammad, berarti kita “pasang radar” untuk memperoleh getaran doa Muhammad bagi keselamatan seluruh umatnya. Nabi Muhammad itu agung hatinya. Amat kasih pada kita semua. Amat merasakan segala situasi hati kita, duka derita kita semua : “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang (raufur rahim) terhadap orang-orang mukmin.”(QS [9]:128). Allah juga memerintahkan Rasulullah untuk mendoakan kaum muslim karena doanya dapat menentramkan jiwa mereka : “…dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS [9]:103)

Rasulullah Saw bersabda,”Tak seorang pun yang menyampaikan salam kepadaku, melainkan Allah mengembalikan ruhku, sehingga aku menjawab salamnya.”(HR. Abu Dawud), dan “Janganlah kamu menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan, dan janganlah kamu menjadikan kuburanku sebagai persidangan hari raya. Bershalawatlah kepadaku, karena shalawatmu sampai kepadaku di mana saja kamu berada.”(HR. al-Nasa’i, Abu Dawud, dan dishahihkan oleh al-Nawawi)

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, beliau juga bersabda,”Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling di muka bumi untuk menyampaikan padaku nama orang dari umatku yang mengirim salam untukku.”(HR. Ahmad, al-Nasa’i, al-darimi, dan al-Hakim)

Jadi dengan bershalawat, kita berhubungan dengan beliau yang “hidup” di alam lain. Dan, dengan bershalawat, Rasulullah Saw “hadir” walau dengan kehadiran yang tidak kita pahami. Dan dengan kehadiran itu, semoga terhindar pula mereka yang bershalawat dari siksa Allah serta melimpah pula curahan rahmat-Nya.(Quraish Shihab)

Tak hanya itu. Ketika kita sampaikan terima kasih kita atas Nabi melalui doa shalawat, saat itu pula jutaan malaikat ganti mendoakan kita. Suatu hari Rasulullah saw datang dengan wajah bersrri-seri dan bersabda,”Malaikat Jibril datang kepadaku sambil berkata,’Sangat menyenangkan untuk engkau ketahui, wahai Muhammad, bahwa untuk satu shalawat dari seorang umatmu akan kuimbangi dengan sepuluh doa baginya. Dan sepuluh salam bagimu akan kubalas dengan sepuluh salam baginya.”(HR. al-Nasa’i)
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw bersabda,”Kalau orang bershalawat kepadaku, malaikat juga akan mendoakan keselamatan yang sama baginya. Untuk itu, bershalawatlah meski sedikit atau banyak.”(HR. Ibnu Majah dan Thabrani)

Dalam al-Qawl al-Badi, al-Hafizh al-Sakhawi berpesan : “Adakah perantara yang lebih bisa menolong dan amal yang lebih bermanfaat daripada shalawat atas sosok yang mendapat shalawat dari Allah dan para malaikat-Nya karena kedekatannya dengan-Nya di dunia dan akhirat? Shalawat untuk Nabi merupakan cahaya paling agung. Ia bisnis yang tidak akan merugi. Ia juga kebiasaan para wali, pagi maupun petang. Karena itu, hendaklah kamu tekun bershalawat untuk Nabi-mu. Dengan itu, kamu tidak akan tersesat, amalmu bersih, harapan bisa tercapai, cahaya kalbumu menjadi terang, ridha Tuhan digapai, dan engkau pun selamat dari segala kesulitan pada hari yang mencekam.”[]

(* Sumber : “Karunia Bershalawat”Syaikh Yusuf Ibn Isma’il al-Nabhani; Zaman, 2011)


HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH MENURUT IBNU 'ATHAILAH
Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Ali Imran : 31)

[* Catatan yang berkaitan erat dengan catatan pada laman ini, berjudul : Dalil-dalil Syara’ Tentang Cinta Hamba kepada Allah (Imam Al-Ghazali) ]

Ibnu Athaillah berkata,”Kau akan diremehkan jika tidak mengikuti Nabi Saw. Senaliknya, kau akan mendapat kedudukan mulia dan tinggi di sisi Allah jika mengikuti Sunnah Nabi. Mengikuti nabi terwujud dalam dua aspek : lahiriah dan batiniah.”

Aspek lahiriah meliputi shalat, puasa, haji, zakat, jihad di jalan Allah, serta berbagai ibadah lainnya.

Aspek batiniah meliputi keyakinan akan pertemuan dengan Allah dalam shalat disertai perenungan terhadap bacaan-bacaannya. Ketika kau beribadah seperti mendirikan shalat dan membaca Al-Qur’an, tetapi kau tidak bisa merasakan kehadiran Allah dan tidak bisa merenung, berarti dirimu telah dijangkiti penyakit batin, baik penyakit sombong, ujub, atau sejenisnya.

Melalui lisan Ibrahim a.s Allah berfirman,”Siapa yang mengikutiku, ia termasuk golonganku.”(QS [14]:36) Artinya, barang siapa yang tidak mengikuti jejak Nabi maka ia tidak termasuk golongannya.

Makna mengikuti berarti seakan-akan kita menjadi bagian dari orang yang kita ikuti walaupun ia orang asing atau tidak punya hubungan kekerabatan dengannya.

Bukti mencintai Allah adalah menaati-Nya dan mengikuti Nabi-Nya.

Jalan yang benar dan lurus adalah meneladani pemilik syariat dan mencontohnya. Keadaan beliau, Rasulullah Saw, benar-benar sempurna tanpa cacat. Banyak orang mengarungi jalan zuhud dan membebani diri melampaui kemampuan mereka. Ketika usia beranjak semakin tua, baru muncul kesadaran dalam diri mereka. Ketika tubuh semakin uzur dan rapuh, baru mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk melakukan hal-hal penting seperti menuntut ilmu dan sebagainya. Sebagian lainnya menyimpang ke jalan ilmu dengan mencarinya secara berlebihan. Pada akhir hayat mereka baru sadar bahwa mereka telah kehilangan kesempatan untuk memperbanyak amal.

Jalan yang sempurna adalah jalan yang ditempuh dan dicontohkan oleh Nabi Saw yaitu jalan ilmu, amal, dan memperhatikan keadaan diri.(Shayd al-Khatir, Ibn al-Jawzi, hlm 255)

Mengikuti Nabi Saw tak cukup hanya dengan menjalankan ibadah-ibadah lahiriah. Mengikuti Nabi Saw secara batiniah merupakan inti Islam sehingga orang yang menetapinya akan mendapatkan pahala dan sekaligus menjadi semakin dekat kepada Allah. Landasan utama yang dibutuhkan untuk menaati dan mengikuti Nabi Saw secara lahiriah dan batiniah adalah hati yang bersih dari sifat sombong. Orang yang mengagumi ibadah dan ketaatannya sendiri niscaya tidak akan menjadikan ridha Allah sebagai perhatian dan tujuannya. Ia hanya mengharapkan keridhaan dan pujian manusia lain. Orang seperti itu senang dipuji dan ditonton orang lain. Sikap riya semacam itu tentu saja akan merusak dan meruntuhkan amal.

Mengikuti Nabi Saw secara lahiriah dan batiniah adalah menunaikan berbagai kewajiban (lahiriah) dan mengikhlaskan amal untuk Allah semata (batiniah). Sikap ini niscaya akan meneguhkan hubungan hamba dengan Allah dan dengan nabi Saw. Sikap sebaliknya akan memutus hubungan hamba dengan Tuhan serta menjauhkannya dari Nabi Saw.

Ibnu Athaillah r.a berkata,”Allah mengumpulkan seluruh kebaikan pada sebuah rumah. Kunci rumah itu berupa mengikuti Nabi Saw. Ikutilah beliau dengan selalu merasa cukup terhadap segala karunia Allah, bersikap zuhud terhadap milik orang, tidak rakus kepada dunia, serta meninggalkan ucapan dan perbuatan tak berguna. Siapa yang dibukakan pintu oleh Allah untuk mengikuti  Nabi berarti ia telah dicintai-Nya.”

Bila ingin mendapatkan seluruh kebaikan, berdoalah,”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar bisa mengikuti Rasul-Mu, baik dalam ucapan dan tindakan.” Siapa yang memimpikan hal itu, hendaklah ia tidak menzalimi hamba-hamba Allah, baik berkaitan dengan kehormatan maupun nasab mereka. Dengan demikian, ia dapat bergegas menuju Allah. Jika tidak mengikuti jalan itu, ia akan terhalang seperti orang yang dililit banyak utang dan terus dikejar orang yang menagihnya.

Sebagaimana dituturkan Ibnu Athaillah r.a, mengikuti Nabi Saw mesti diwujudkan melalui perkataan dan perbuatan. Berikut ini beberapa cara yang semestinya ditempuh oleh orang yang mengaku mengikuti Nabi Saw :
1. Merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan. Kau tidak kesal dengan sedikitnya harta di tanganmu. Kau mampu merasa cukup ketika merasa yakin bahwa apa yang  kau miliki merupakan jatah rezeki yang Allah tetapkan untukmu. Satu jiwa tidak akan mati sebelum menghabiskan rezekinya. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan tunjukkan sikap yang baik dalam meminta sesuai dengan teladan yang dicontohkan Nabi Saw.(HR. Ibnu Majah no. 2135)

2. Bersikap zuhud dan tidak rakus terhadap dunia. Maksud zuhud di sini bukanlah tidak mau merasakan nikmat serta mengabaikan pakaian dan perhiasan. Zuhud terwujud ketika kau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah ketimbang apa yang ada di tanganmu. Kau dibolehkan memperbagus penampilanmu sebagaimana diperintahkan oleh Nabi Saw. Namun, letakkanlah dunia di tanganmu, bukan di dalam hatimu. Inilah zuhud yang sebenarnya. Fokuskan perhatianmu untuk membangun akhirat, bukan membangun dunia yang akan sirna.

Jika kita memelihara sikap zuhud terhadap dunia, niscaya kita akan dicintai oleh Allah. Jika kita bersikap zuhud terhadap harta di tangan manusia, kita akan dicintai manusia. Rasulullah Saw bersabda,”Zuhudlah terhadap dunia, kau pasti dicintai Allah. Zuhudlah terhadap milik manusia, niscaya kau dicintai mereka.”(HR. Ibnu Majah no. 4092).

Semakin memandang rendah dunia, semakin mudah dan ringan perhitunganmu di akhirat. Begitu pun sebaliknya. Sebab, sebagaimana ditegaskan Nabi Saw., tidaklah bergeser kedua kaki hamba pada hri kiamat sebelum ia ditanya mengenai 4 hal : (1) masa mudanya dihabiskan untuk apa, (2) usianya dipakai untuk apa, (3) hartanya dari mana diperoleh, dan (4) ke manakah hartanya disalurkan.(HR. al-Thabrani)

3. Meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna. Nabi Saw bersabda,”Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tak berguna.” Orang yang berakal bisa menjaga waktunya dan tidak akan menghabiskannya untuk sesuatu yang tidak penting. Apa manfaat ucapan dan perbuatan yang tidak penting, selain membuat kita semakin jauh dari Allah dan semakin diremehkan manusia.

4. Tidak berbuat zalim kepada sesama. Nabi Saw tidak pernah bersikap zalim kepada siapapun. Allah mengharamkan kezaliman semata-mata demi kepentingan dan kebaikan manusia, bukan kepentingan Dia. Allah melarang kita berbuat zalim agar kita hidup aman sentosa, agar kita bisa tidur tenang tanpa mengkhawatirkan darah, harta, dan kehormatan kita. Jika manusia diliputi rasa cemas terhadap kehidupan, harta, dan kehormatannya, sudah pasti kehidupannya sarat dengan perasaan resah dan gelisah. Ia tidak akan bisa menunaikan tugas yang diamanahkan Allah, yaitu memakmurkan bumi sebagaimana firmannya dalam QS [11]:61.

Rasulullah Saw bersabda,”Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim haram atas muslim lainnya.”(HR. Muslim)

Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman,”Hamba-Ku, Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Kuharamkan pula kezaliman di antara kalian. Karena itu, janganlah kalian saling menzalimi.”

Allah memiliki sifat adil. Dia Mahaadil. Karena itu, sebagai hamba-Nya, semestinya kita juga bersikap adil. Dia berfirman,”Allah tidak zalim kepada para hamba.”(QS. [8]:51)

Sikap zalim akan membuahkan balasan yang buruk kepada kita kelak di hari kiamat. Sebab, di hari itu tidak ada seorang pun yang dapat menolong atau membela kita dari amuk Jahanam. Kezaliman akan mendatangkan kegelapan pada hari kiamat.

Allah berfirman,”Orang zalim tidak punya seorang pun teman setia dan tidak pula memiliki pemberi syafaat yang diterima syafaatnya.”(QS. [40]:18), dan “Orang zalim tidak memiliki seorang pun penolong.”(QS. [22]:71)

Rasulullah saw bersabda,”Takutlah dari berbuat zalim, karena kezaliman akan mendatangkan kegelapan pada hari kiamat. Hindari sikap pelit, karena sikap pelit telah membinaskan orang-orang sebelum kalian. Sikap pelit membuat mereka menumpahkan darah dan menghalalkan kehormatan.”(HR. Muslim)

Sesungguhnya kezaliman yang kita lakukan akan menghapuskan amal kebaikan yang kita

Sesungguhnya kezaliman yang kita lakukan akan menghapuskan amal kebaikan yang kita lakukan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada para sahabat,”Tahukah kalian siapa yang disebut bangkrut?” Mereka menjawab,”Orang yang bangkrut adalah yang tidak memiliki dirham dan harta.” Rasulullah Saw menlanjutkan,”Orang yang bangkrut di antara umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ketika di dunia ia pernah mencela fulan, menuduh fulan, memakan harta fulan, menumpahkan darah fulan, serta memukul fulan. Maka, ia memberikan sebagian amal kebaikannya kepada fulan dan kepada fulan lainnya. Jika amal kebaikannya telah habis sementara belum semuanya dibayar, dosa mereka diambil dan diberikan kepadanya sehingga ia dilemparkan ke dalam neraka.”(HR. Muslim)

Karena itu, jangan sampai menistakan kehormatan atau harta orang lain.[]

* Sumber : Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus, 2011; (Tajul Arus, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar