Rabu, 23 Desember 2015

SULUK II

Kebajikan dan Dosa

Al-Birru adalah kata yang menunjuk kepada segala macam bentuk tindak kebajikan, dan al-itsmu adalah kata yang menunjuk kepada perbuatan dosa dengan segala macam jenis dan tingkatannya. Rasulullah Saw sendiri menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “al-birru” adalah semua bentuk perilaku yang mulia.

Dari An-Nawwas bin Sam’an r.a., Rasulullah Saw bersabda,”Al-Birru’ adalah budi pekerti yang baik. Dan ‘al-istmu adalah segala sesuatu yang terbersit di benakmu, dan kamu tidak suka bila (hal itu) diketahui oleh orang lain.”(HR. Muslim)

Beliau Saw menegaskan bahwa kata al-birru adalah representasi dari segala macam bentuk kebajikan atau akhlak mulia. Sedangkan al-itsmu adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada segala bentuk kejelekan dan perilaku tercela, baik dosa besar maupun dosa kecil.

Dari Wabishah bin Ma’bad r.a., Rasulullah Saw bersabda,”Mintalah pertimbangan kepada hatimu. Al-birru adalah segala sesuatu yang jiwa dan hati merasa tenang (bila melakukannya). Adapun al-itsmu adalah segala sesuatu yang terbersit pada nafsumu namun hatimu ragu (untuk melakukannya) meskipun banyak orang yang memberikan masukan padamu (membolehkan kamu untuk melakukannya).”(HR. Ahmad dan Ad-Darimi)

Dari hadits di atas, Rasulullah Saw menegaskan bahwa al-birru adalah segala sesuatu yang bila dilakukan maka nafsu dan hati merasa tenang. Hadits ini mengisyaratkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan naluri yang suka terhadap kebenaran dan tenang bila melakukan kebajikan. Karenanya, jika manusia berada dalam kebimbangan maka hendaknya dia memilih al-birru, yaitu pilihan yang bisa menimbulkan ketenangan hati, jangan sampai memilih al-itsmu atau pilihan yang menyebabkan hati bertambah bimbang, gundah, dan gelisah.

Pada dasarnya, al-birru memang mempunyai 2 kemungkinan penggunaan sebagai berikut:

1. Berbuat baik kepada sesama makhluk.

Contohnya :

– birrul-walidain yang artinya berbuat baik kepada kedua orang tua

– dalam kitab al-Musnad, Imam Ahmad mencatat bahwa pada suatu waktu Rasulullah Saw ditanya mengenai kebajikan-kebajikan (al-birru) yang hendaknya dilakukan sewaktu musim haji. Beliau menjawab,”Memberikan makanan dan menebarkan salam” dalam suatu riwayat ada tambahan,”dan ucapan yang baik.”

– sahabat Abdullah bin Umar r.a berkata,”al-birru adalah pekerjaan yang sederhana, wajah yang ceria dan ucapan yang santun.”

Bila kata al-birru disandingkan dengan kata at-taqwa, maka arti al-birru adalah berbuat baik kepada sesama makhluk, dan arti at-taqwa adalah taat kepada Allah dengan menjalankan semua perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Selain itu, al-birru juga bisa diartikan dengan melakukan semua kewajiban sedangkan at-taqwa diartikan dengan menjauhi segala larangan.

2. Segala bentuk ketaatan, baik lahiriah maupun batiniah.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan  (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”(QS [2]:177)

Makna kedua ini lebih umum. Mencakup semua bentuk kebajikan baik yang lahiriah maupun batiniah, seperti menafkahkan harta untuk kebaikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji, sabar menanggung rasa sakit, menerima dengan lapang dada kemiskinan yang sedang menimpanya dengan terus melakukan usaha, menerima ketetapan-ketetapan Allah Swt lainnya, dan juga sabar serta tegar menghadapi musuh.Al-Itsmu atau perbuatan dosa mempunyai dampak negatif internal bagi jiwa manusia. Perasaan bersalah, bingung dan berontak seringkali muncul dalam jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dosa. Hal ini karena tabiat manusia memang tidak suka dengan perbuatan dosa. Sungguh tepat sabda Rasulullah Saw,”Al-itsmu adalah segala sesuatu yang terbersit pada nafsumu, dan hatimu ragu (untuk melakukannya).” Ia juga mempunyai dampak negatif eksternal, yaitu perasaan malu bila diketahui oleh orang lain.

Abdullah Ibnu mas’ud r.a. juga berkata,”Al-Itsmu adalah segala hal yang menyebabkan hati menjadi kotor dan sakit.”

Tingkat tertinggi identifikasi perbuatan dosa adalah bila perbuatan itu tidak disukai oleh orang yang akan melakukannya dan orang lain juga tidak suka bila perbuatan itu dilakukan. Namun, bila muncul keraguan dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dosa atau tidak, hendaknya kita mengikuti petunjuk Rasulullah Saw untuk meminta pertimbangan hati nurani.

Rasulullah Saw bersabda,”Istafti qalbaka, wa in aftawka wa in aftawka wa in aftawka, Mintalah saran pada qalb-mu, meski orang telah memberi saran kepadamu, meski orang telah memberi saran kepadamu, meski orang telah memberi saran kepadamu.”(HR. Ahmad bin Hanbal dari Wabishah)

Oleh karena itu, suara hati nurani harus selalu dikedepankan. Bila banyak orang memberikan masukan namun bertentangan dengan suara hati maka yang harus dikedepankan  adalah suara hati. Kita harus menyadari bahwa pandangan orang hanya mempertimbangkan sisi lahiriah saja, sedangkan yang mengetahui sisi dalam diri manusia adalah diri orang itu sendiri. Suara hati nurani sejatinya merupakan bisikan ketakwaan dan kehormatan al-wara’. Orang yang di dalam hatinya muncul rasa pengingkaran terhadap dosa adalah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah Swt. Sedangkan masukan orang lain sering kali hanya berdasarkan dugaan-dugaan semata.

Namun, bila fatwa seseorang didukung dengan dalil syar’i yang kuat, maka seorang muslim hendaknya mengikuti fatwa tersebut, meskipun dia berat menerimanya.[]

(* Sumber : “Akhlak Rasul Menurut Bukhari dan Muslim”, Abdul Mun’im al-Hasyimi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar