Rabu, 23 Desember 2015

SULUK VI

Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. at-Thalaq [65]:3).

“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal” (QS. Ali ‘Imraan [3]:160).

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. al-Ma’idah [5]:23).

“Kepada-Nya dikembalikan semua urusan. Maka, sembahlah Dia dan tawakkallah kepada-Nya. Sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan.”(QS. Hud [11]:123).

Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. at-Taubah [9]:51)

“Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri.” (QS. Yusuf [12]:67).

Rasulullah Saw menjelaskan bahwa ada 70.000 orang dari umat Nabi Muhammad yang masuk surga tanpa hisab. Para sahabat bertanya,”Siapakah mereka itu, ya Rasulullah” Rasulullah Saw menjawab,”Mereka adalah orang yang tidak ber-istirqa–meminta pengobatan dengan cara jampi-jampi, tidak tathayyur–menggantungkan nasib terhadap terbangnya burung, tidak melakukan pengobatan dengan cara membakar bagian yang sakit dengan besi panas membara, dan orang-orang yang bertawakal kepada Allah.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Saw bersabda,”Siapa yang ingin menjadi orang yang paling kuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Siapa yang ingin menjadi orang paling kaya, hendaklah ia mempercayai apa yang di tangan Allah daripada apa yang ada di tangannya sendiri. Siapa yang ingin menjadi orang yang mulia, hendaklah ia bertakwa kepada Allah Swt.”(HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas)

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dengan mengendarai unta, dan dia bertanya, “Wahai Rasulullah, haruskah saya biarkan saja unta saya lepas tanpa ditambatkan dan kemudian bertawakkal saja kepada Allah?” beliau menjawab, “Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah”.

“Pikiran orang yang bertawakkal kepada Allah akan selalu tertuju kepada-Nya. Ia juga akan selalu mencari dan mendekati-Nya, kemudian bersandar dan meminta tolong hanya kepada-Nya.”- Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali (mengutip pendapat Abu Ali ad-Daqqaq) mengatakan bahwa dalam tawakal itu terdapat 3 tingkatan, sesuai dengan tingkatan manusia, yaitu tingkat Tawakal, Taslim, dan Tafwidh.

Tawakal berarti mempercayakan hasil akhir sebuah urusan kepada Allah. Taslim artinya menyerahkan kendali kepada Allah. Tafwidh, juga artinya menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Allah.

Imam Al-Ghazali kemudian memakai 3 istilah tadi untuk 3 level yang berbeda. Tawakal untuk kelompok awam. Taslim untuk kelompok menengah (para wali Allah). Sementara tafwidh dipakai untuk kelompok khawash al-khawash, dengan bentuk tawakal pada tingkat ini adalah adanya ridha menerima segala ketentuan Allah Swt dalam segala keadaan

Imam Al-Ghazali menegaskan,”Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut syariat. Sedangkan syariat memuji orang yang bertawakal. Lalu, bagaimana mungkin derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dialarang oleh agama pula?”;

Imam Abul Qosim al-Qusyairi berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya tawakal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah, hal itu tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati. Seorang hamba menyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, hal itu adalah karena takdir-Nya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari-Nya.”

Menurut Ibnu Athaillah r.a., tawakkal adalah :

[1] sikap dan perasaan bahwa hanya Allah yang menguasai kehidupan, bahwa seluruh gerak dan diamnya dikendalikan oleh daya dan kekuatan Allah, dan bahwa kekuasaan serta pengawasan Allah tidak mungkin dilepaskan dari-Nya.

[2] perasaan bergantung kepada Allah dalam segala urusan.

[3] bukti pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, serta tentang apa yang harus dilakukan.

Ibnu Athaillah r.a. berkata : “Orang yang memiliki pemahaman akan mengambil dari Allah dan bertawakkal kepada-Nya sehingga mereka mendapatkan bantuan dari-Nya. Jika hamba bertawakkal kepada Allah, Dia akan melenyapkan kerisauan dan kegelisahannya. Ia akan menyibukkan diri melakukan segala yang diperintahkan oleh Allah tanpa memikirkan apa yang telah dijaminkan untuknya. Ia yakin bahwa Allah tidak akan menyerahkan urusannya kepada selain Dia serta tidak akan menghalanginya untuk meraih karunia-Nya. Karena itu, setiap saat ia merasa lapang serta berada dalam surga kepasrahan dan ketundukkan. Kemudian Allah mengangkat kedudukannya dan menyempurnakan cahayanya.”

Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah dalam hati.
Perbuatan lahiriah tidak menanggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang dari Allah SWT, hingga jika sesuatu tidak tercapai,
maka dia akan melihat ketentuan Allah di dalamnya, dan jika sesuatu dianugerahkan kepadanya, dia melihat pertolongan Allah di dalamnya.

Tawakkal tidak berarti malas dan berhenti bekerja.

Orang yang tawakkal akan beriman kepada Allah dan tetap menunaikan berbagai kewajibannya sebagai hamba dan sebagai manusia. (Al-Janib al-Athifi min al-Islam, hlm. 236, dst). Ia menyerahkan urusan kepada Allah yang menggenggam segala sesuatu seraya menunaikan sejumlah sebab yang Allah perintahkan, tetapi ia tidak bersandar kepada sebab-sebab itu.

Sahl bin ‘Abdallah menyatakan, “Tawakkal adalah keadaan (haal) Nabi saw, dan ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka barangsiapa yang memelihara keadaannya, berarti tidak meninggalkan Sunnahnya”.

“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan qalbu-mu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.” (Syaikh Abdul Qadir al Jailani, qsa)

“Tawakkal adalah keadaan (haal) Nabi saw, dan ikhtiyar adalah Sunnahnya.
Ibadah/Pengabdian harus selalu secara lahir dan bathin:
Sikap pasrah adalah sikap hati yang menerima segala ketetapan-Nya.
Walaupun jasad kita melaksanakan ikhtiyar/amaliyah, secara terpisah keadaan hati kita menerima ketetapan-Nya.

Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nun al-Mishri, ’’Apakah tawakkal itu?” dan dia menjawab, ’’Tawakkal adalah menyingkirkan semua yang di pertuan dan meninggalkan hukum sebab akibat”. Orang itu meminta, “Katakanlah lebih banyak lagi”. Dzun Nun melanjutkan, “Tawakkal adalah menghambakan diri kepada Allah dan menurunkan dirinya dari kedudukan sebagai yang dipertuan”.

Ketika ditanya tentang tawakkal, Abu ‘Abdallah al-Qarsyi berkomentar, ”Tawakkal berarti bersama dengan Allah SWT dalam setiap keadaan”. Si penanya meminta penjelasan lebih jauh, dan beliau lalu mengatakan, “Tinggalkanlah ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua sebab itu”.

Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan, “Tawakkal adalah kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan”.
Dikatakan, “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan tidak ada bedanya bagi dirimu”.

Ibn Masruq menyatakan, “Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada alur takdir dan ketentuan Allah”.

Abu ‘Utsman al-Hiri menegaskan, “Tawakkal adalah sikap rela terhadap Allah SWT bersama dengan mengandalkan pada-Nya”.

‘Umar bin Sinan menuturkan, “Ibrahim al-Khawwas berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya, ‘Katakan kepada kami hal paling aneh yang engkau lihat dalam perjalananmu’. Dia menjawab, ‘Al-Khidhr as menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku takut kalau-kalau tawakkalku kepada Allah menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku. Karena itu aku lalu memisahkan diri darinya’”.

Ketika Sahl bin ‘Abdallah ditanya tentang tawakkal, dia menjelaskan, “”Tawakkal berarti hati yang hidup bersama Allah SWT dan tidak tertarik kepada yang lain”.

Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq berkata, “Ada tiga tingkatan bagi orang yang bertawakkal, [pertama], percaya, kemudian pasrah dan setelah itu menyerahkan (segala urusan) kepada Allah”. Orang yang percaya akan merasa tenteram dengan janji-Nya, orang yang pasrah akan merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah akan merasa puas dengan kebijaksaan-Nya. Aku mendengar beliau mengatakan, “Percaya kepada Allah adalah awal, pasrah adalah tengah-tengahnya, dan menyerahkan segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya”. Ad-Daqqaq ditanya tentang percaya, dan dia berkomentar, “Percaya adalah makan tanpa rakus”.

Seorang laki-laki datang kepada asy-Syibli dan mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-Syibli mengatakan, “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah SWT”. Sahl bin ‘Abdallah menyatakan, “Barangsiapa yang mengkritik kegiatan [dalam mencari rezki] berarti mengkritik Sunnah, dan barangsiapa yang mengkritik tawakkal berarti mengkritik iman”.

Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq (semoga Allah merahmatinya) mengatakan, “Percaya [kepada Allah] adalah sifat orang beriman, pasrah adalah sifat para wali, dan menyerahkan segenap urusan kepada Allah adalah sifat mausia-manusia yang menegaskan tauhid-Nya”.
Jadi, percaya kepada Allah adalah sifat kaum awam, pasrah adalah sifat kelompok terpilih (khawwas), dan menyerahkan segenap urusan kepada Allah adalah sifat kelompok paling elit (khawwas al-khawwas).
Saya juga mendengar beliau berkata, “Percaya kepada Allah adalah sifat para nabi [para kaumnya], pasrah adalah Nabi Ibrahim as, dan menyerahkan segenap urusan kepada Allah adalah sifat Nabi kita Muhammad saw”.

Syaikh Ahmad Faridh mengatakan tawakal dalam pengertian : “Benar dan lurusnya hati dalam pasrah dan berpegang teguh kepada Allah dalam mencari kemaslahatan dan kebaikan, menolak kemudharatan yang menyangkut urusan dunia dan akhirat.”

Al-Allamah Al-Manawi berkata,”Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran diri kepada yang ditawakali, yaitu Allah Swt.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar