Kamis, 20 Februari 2014

STATUS PERWALIAN DAN NASAB ANAK ZINA

Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB
(PISS-KTB)
0613. NIKAH : PERTANYAAN :
BAlada YUdisthira
Mbah minta dalilnya status nasab anak zina lahir
sebelum dan sesudah 6 bulan.. Matur nuwun..
JAWABAN:
> Mbah Jenggot
Status anak yang dilahirkan diperinci sebagai
berikut :
Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang
dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka
ada dua keadaan
Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami,
karena ada hubungan badan setelah akad nikah
misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti
berlaku baginya hukum-hukum anak seperti
hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan
meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak
tersebut darinya (tidak mengakui sebagai
anaknya).
Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya
seperti belum pernah ada hubungan badan
semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka
nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi
suami meli’an dengan meniadakan nasab anak
darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini
untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris
kepada anak.
Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih
dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa
dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi
suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak
berhak mendapatkan waris karena tidak ada
sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.
Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki
ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali
dalam menikahkan anak perempuannya jika
diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika
tidak diakui nasabnya.
Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak
bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan
mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami
ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah
berhubungan badan dengan ibu yang
melahirkannya.
CATATAN : perempuan yang hamil di luar nikah
jika dinikahkan dengan laki-laki yang
berhubungan badan dengannya atau yang lainnya
dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi
ayah dari anak dalam kandungan, maka haram
hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan
acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu
dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar
dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram
dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur
dimakam islam) karena adanya penipuan nasab
dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi
yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah,
mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan
dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir
perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang
sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau
anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga
laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan
kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu
dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’
dst.
[3] ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ 235 – 236
) ﻣﺴﺌﻠﺔ ﻱ ﺵ ( ﻧﻜﺢ ﺣﺎﻣﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻓﻮﻟﺪﺕ ﻛﺎﻣﻼ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺣﻮﺍﻝ
ﺇﻣﺎ ﻣﻨﺘﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻼﻋﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻟﺪﻭﻥ
ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ
ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﺗﺜﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺇﺭﺛﺎ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻳﻠﺰﻡ
ﻧﻔﻴﻪ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺕ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻊ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ
ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﺄ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﺎﺀﻩ ﺃﻭ
ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺪﻭﻥ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ
ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪ ﺍﺳﺘﺒﺮﺍﺋﻪ ﻟﻬﺎ ﺑﺤﻴﻀﻪ ﻭﺛﻢ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﻭﻳﺄﺛﻢ ﺣﻴﻨﺌﺬ
ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﻔﻲ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻛﻔﺮ ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﺃﻳﻀﺎ
ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﻼ ﻏﻠﺒﺔ ﺑﺄﻥ ﺍﺳﺘﺒﺮﺃﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻁﺀ
ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻪ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺛﻢ ﺭﻳﺒﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﺇﺫ ﺍﻻﺳﺘﺒﺮﺍﺀ ﺃﻣﺎﺭﺓ
ﻇﺎﻫﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺪﺏ ﺗﺮﻛﻪ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻗﺪ ﺗﺤﻴﺾ ﻭﺇﻣﺎ
ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻧﻪ ﻛﻔﺮ ﺇﻥ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ ﺃﻧﻪ
ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺍﻷﻣﺮﺍﻥ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺴﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻦ
ﻭﻃﺌﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺴﺘﺒﺮﺋﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﺒﺮﺃﻫﺎ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻌﺪﻩ ﺑﺄﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﺑﻞ
ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺑﺤﻜﻢ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻋﻠﻢ ﺯﻧﺎﻫﺎ ﻭﺍﺣﺘﻤﻞ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ
ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻭﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺮﻳﺒﺔ ﻳﺠﺪﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﻓﺎﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻋﻠﻰ
ﻓﺮﺍﺵ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻦ ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﻳﻨﺘﻘﻲ ﻣﻨﻪ ﺇﻻ ﺑﻠﻠﻌﺎﻥ
ﻭﺍﻟﻨﻔﻲ ﺗﺎﺭﺓ ﻳﺠﺐ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﻳﺤﺮﻡ ﻭﺗﺎﺭﺓ ﻳﺠﻮﺯ ﻭﻻﻋﺒﺮﺓ ﺑﺈﻗﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺑﺎﻟﺰﻧﺎ
ﻭﺇﻥ ﺻﺪﻗﻬﺎ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻭﻇﻬﺮﺕ ﺃﻣﺎﺭﺍﺗﻪ .
ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ – )ﺝ 3 / ﺹ 327 (
) ﻗﻮﻟﻪ: ﻻ ﻣﺨﻠﻮﻗﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﺯﻧﺎﻩ ( ﺃﻱ ﻻ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﻜﺎﺡ ﻣﺨﻠﻮﻗﻪ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﺯﻧﺎﻩ :
ﺇﺫ ﻻ ﺣﺮﻣﺔ ﻟﻤﺎﺀ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻟﻜﻦ ﻳﻜﺮﻩ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ
ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ. ﻭﻣﺜﻞ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺍﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ
ﺍﺳﺘﻤﻨﺎﺋﻪ ﺑﻐﻴﺮ ﻳﺪ ﺣﻠﻴﻠﺘﻪ ﻭﺍﻟﻤﺮﺗﻀﻌﺔ ﺑﻠﺒﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ، ﻭﺇﻥ ﺃﺭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺑﻠﺒﻦ
ﺯﻧﺎ ﺷﺨﺺ ﺑﻨﺘﺎ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﺣﻠﺖ ﻟﻪ، ﻭﻻ ﻳﻘﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺰﺍﻧﻴﺔ، ﻓﺈﻧﻬﺎ
ﻳﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﺑﺎﻻﺟﻤﺎﻉ. ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﺃﻥ ﺍﻟﺒﻨﺖ ﺍﻧﻔﺼﻠﺖ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﻫﻲ
ﻧﻄﻔﺔ ﻗﺬﺭﺓ ﻻ ﻳﻌﺒﺄ ﺑﻬﺎ، ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ
ﺍﻧﻔﺼﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻭﻫﻮ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻛﺎﻣﻞ
] 4 [ ﻣﺼﻨﻒ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ – )ﺝ 8 / ﺹ 374 )
)21 ( ﻣﺴﺄﻟﺔ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺑﻐﻴﺮ ﻭﻟﻲ ) 1 ( ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﻗﺎﻝ ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺍﺑﻦ
ﺟﺮﻳﺢ ﻋﻦ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻣﻮﺳﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻫﺮﻱ ﻋﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ :
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ) ﺹ ( : ) ﺃﻳﻤﺎ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻟﻢ ﻳﻨﻜﺤﻬﺎ ﺍﻟﻮﻟﻲ ﺃﻭ ﺍﻟﻮﻻﺓ ﻓﻨﻜﺎﺣﻬﺎ
ﺑﺎﻃﻞ – ﻗﺎﻟﻬﺎ ﺛﻼﺛﺎ – ﻓﺈﻥ ﺃﺻﺎﺑﻬﺎ ﻓﻠﻬﺎ ﻣﻬﺮﻫﺎ ﺑﻤﺎ ﺃﺻﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ ، ﻓﺈﻥ
ﺗﺸﺎﺟﺮﻭﺍ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﻟﻲ ﻣﻦ ﻻ ﻭﻟﻲ ﻟﻪ ( .
]5 [ ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ 249 – 250
) ﻣﺴﺌﻠﺔ ( ﻣﻠﺨﺼﺔ ﻣﻊ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﺍﻹﻛﺴﻴﺮ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻟﻠﺸﺮﻳﻒ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ
ﻋﻨﻘﺎﺀ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮﺍﺵ ﺍﻟﺦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻓﺮﺍﺷﺎ ﻟﺰﻭﺟﻬﺎ ﺃﻭ
ﺳﻴﺪﻫﺎ ﻓﺄﺗﺖ ﺑﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻨﺴﻮﺑﺎ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻻ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻓﻼ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﻻ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻻ ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻭﺇﻥ ﺍﺳﺘﻠﺤﻘﻪ
ﻭﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻳﻌﻠﻢ ﺷﺪﺓ ﻣﺎ ﺍﺷﺘﻬﺮ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺯﻧﻰ ﺷﺨﺺ ﺑﺈﻣﺮﺃﺓ ﻭﺃﺣﺒﻠﻬﺎ ﺗﺰﻭﺟﻬﺎ
ﻭﺍﺳﺘﻠﺤﻖ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻓﻮﺭﺛﻪ ﻭﻭﺭﺛﻪ ﺯﺍﻋﻤﺎ ﺳﺘﺮﻫﺎ ﻭﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺃﺷﺪ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ
ﺍﻟﺸﻨﻴﻌﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺴﻊ ﺃﺣﺪﺍ ﺍﻟﺴﻜﻮﺕ ﻋﻨﻬﺎ ﻓﺈﻧﻪ ﺧﺮﻕ ﻟﻠﺸﺮﻳﻌﺔ ﻭﻣﻨﺎﺑﺬﺓ
ﻷﺣﻜﺎﻣﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺰﻟﻪ ﻣﻊ ﻗﺪﺭﺗﻪ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﻭﻣﺎﻟﻪ ﻓﻬﻮ ﺷﻴﻄﺎﻥ ﻓﺎﺳﻖ
ﻭﻣﺪﺍﻫﻦ ﻣﻨﺎﻓﻖ ﻭﺃﻣﺎ ﻓﺎﻋﻠﻪ ﻓﻜﺎﺩ ﻳﺨﻠﻊ ﺭﺑﻘﺔ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻌﻨﺎﺩ
ﻟﺴﻴﺪ ﺍﻷﻧﺎﻡ ﻣﻊ ﻣﺎ ﺗﺮﺗﺐ ﻋﻠﻰ ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﻜﺮﺍﺕ ﻭﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻨﻬﺎ ﺣﺮﻣﺎﻥ
ﺍﻟﻮﺭﺛﺔ ﻭﺗﻮﺭﻳﺚ ﻣﻦ ﻻ ﺷﻲﺀ ﻟﻪ ﻣﻊ ﺗﺨﻠﻴﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﻄﻮﻥ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻧﻪ
ﺻﻴﺮ ﻭﻟﺪ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺑﺎﺳﺘﻠﺤﺎﻗﻪ ﻛﺎﺑﻨﻪ ﻓﻲ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺤﺎﺭﻡ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻭﻋﺪﻡ
ﻧﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺑﻤﺴﻬﻦ ﺃﺑﺪﺍ ﻭﻣﻨﻬﺎ ﻭﻻﻳﺘﻪ ﻭﺗﺰﻭﻳﺠﻪ ﻧﺴﺎﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻛﺒﻨﺎﺗﻪ
ﻭﺃﺧﻮﺗﻪ ﻭﻣﻦ ﻟﻪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻻﻳﺔ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﺴﻮﻍ ﻓﻴﺼﻴﺮ ﻧﻜﺎﺣﺎ ﺑﻼ ﻭﻟﻲ ﻓﻬﺬﻩ
ﺃﻋﻈﻢ ﻭﺃﺷﻨﻊ ﺇﺫ ﻳﺨﻠﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻴﻪ ﻭﻓﻲ ﺫﺭﻳﺘﻪ ﻭﻳﻠﻪ ﻓﻤﺎ ﻛﻔﺎﻩ ﺃﻥ ﺍﺭﺗﻜﺐ ﺃﻓﺤﺶ
ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺣﻴﺚ ﺯﻧﻰ ﺣﺘﻰ ﺿﻢ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺃﺷﺪ ﺣﺮﻣﺔ ﻣﻨﻪ ﻭﺃﻓﺤﺶ
ﺷﻨﺎﻋﺔ ﻭﺃﻱ ﺳﺘﺮ ﻭﻗﺪ ﺟﺎﺀ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﺮﻳﺎ ﻭﺃﺣﺮﻡ ﺍﻟﻮﺭﺛﺔ ﻭﺃﺑﻘﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﻛﺮﻭﺭ
ﺍﻟﻤﻠﻮﻳﻦ ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﺤﻞ ﻫﺬﺍ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻣﺮﺗﺪ ﺧﺎﺭﺝ ﻋﻦ ﺩﻳﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻓﻴﻘﺘﻞ
ﻭﺗﺤﺮﻕ ﺟﻴﻔﺘﻪ ﺃﻭ ﺗﻠﻘﻰ ﻟﻠﻜﻼﺏ ﻭﻫﻮ ﺻﺎﺋﺮ ﺇﻟﻰ ﻟﻌﻨﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻋﺬﺍﺑﻪ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ
ﻓﻴﺠﺐ ﻣﺆﻛﺪﺍ ﻋﻠﻰ ﻭﻻﺓ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺯﺟﺮﻫﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﺗﻨﻜﻴﻠﻬﻢ ﺃﺷﺪ ﺍﻟﺘﻨﻜﻴﻞ
ﻭﻋﻘﺎﺑﻬﻢ ﺑﻤﺎ ﻳﺮﻭﻋﻬﻢ ﻭﻗﺪ ﻋﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﺷﺪﺓ ﺧﻄﺮ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻭﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﺃﻛﺒﺮ ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ
) ﻣﺴﺌﻠﺔ ﻱ ( ﺣﻤﻠﺖ ﺇﻣﺮﺃﺓ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﻭﻟﻢ ﺗﻘﺮ ﺑﺎﻟﺰﻧﺎ ﻟﻢ ﻳﻠﺰﻣﻬﺎ ﺍﻟﺤﺪ ﺇﺫ ﻻ
ﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﺤﺪ ﺇﻻ ﺑﺒﻴﻨﺔ ﺃﻭ ﺇﻗﺮﺍﺭ ﺃﻭ ﻟﻌﺎﻥ ﺯﻭﺝ ﺃﻭ ﻋﻠﻢ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻗﻨﺔ
ﺇﺫ ﻗﺪ ﺗﻮﻃﺄ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺑﺸﺒﻬﺔ ﺃﻭ ﻭﻫﻲ ﻧﺎﺋﻤﺔ ﺃﻭ ﺳﻜﺮﺍﻧﺔ ﺑﻌﺬﺭ ﺃﻭ ﻣﺠﻨﻮﻧﺔ ﺃﻭ
ﻣﻜﺮﻫﺔ ﺃﻭ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﻨﻴﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﻳﻼﺝ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻓﺘﺤﺒﻞ ﻣﻨﻪ ﻭﻻ ﻳﻮﺟﺐ
ﺣﺪﺍ ﻟﻠﺸﺒﻬﺔ ﻓﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻛﻞ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺣﻤﻠﺖ ﻭﺃﺗﺖ ﺑﻮﻟﺪ ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻦ ﻟﺤﻮﻗﻪ ﺑﺰﻭﺟﻬﺎ
ﻟﺤﻘﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﺘﻒ ﻋﻨﻪ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻠﻌﺎﻥ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻛﺄﻥ ﻃﺎﻟﺖ ﻏﻴﺒﺔ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺑﻤﺤﻞ
ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﺟﺘﻤﺎﻋﻬﻤﺎ ﻋﺎﺩﺓ ﻛﺎﻥ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻛﺎﻟﺰﻧﺎ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻌﺪﻡ ﻭﺟﻮﺏ
ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻭﺟﻮﺯ ﺍﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﻭﻃﺌﻬﺎ ﻭﻛﺎﻟﺸﺒﻬﺔ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﺪﺭﺀ ﺍﻟﺤﺪ ﻭﺍﻟﻘﺬﻑ ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ
ﺳﻮﺀ ﺍﻟﻈﻦ ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﻗﻠﻴﻠﺔ ﺍﻟﺤﻴﺎﺀ ﻭﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻛﺜﻴﺮﺓ ﺍﻟﺨﻠﻮﺓ ﺑﺎﻷﺟﺎﻧﺐ
ﻭﺍﻟﺘﺰﻳﻦ ﻟﻬﻢ ﻭﺗﺤﺪﺙ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﻘﺬﻓﻬﺎ ﻋﺰﺭﻫﺎ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺑﻤﺎ ﻳﺰﺟﺮ ﺃﻣﺜﺎﻟﻬﺎ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻔﻌﻞ
> Ibu'e Rifa
Dulu juga pernah denger katanya setelah anakya
lahir musti nikah ulang lagi, agar sah buat si anak
juga ibunya, apakah itu benar... matur suwun...
> Mbah Jenggot
Ibu'e Rifa, Ulama beda pendapat, berikut
jawaban yang pernah disampekan digrup ini :
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat
berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah. Didukung oleh Ali, Aisyah,
dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu
riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan
Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-
Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi
13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3,
yakni
ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻛَﺔً ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻴَﺔُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻥٍ ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻙٌ
ﻭَﺣُﺮِّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.”
2. Mutlak sah. Didukung oleh asy-Syafi’ie dan
madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24
QS. An-Nisa:
ﻭَﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻜُﻢْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan
wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan
demikian selain wanita yang telah disebutkan
halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang
berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
ﻟَﺎ ﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/
menjadikan mahram pada (orang) yang
halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai
wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk
menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-
Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada
tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul,
yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin
Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu
Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan
‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut:
“Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh
melainkan (dengan) perempuan yang berzina…
dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh
oleh QS. An-Nisa ayat 3:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi.”
3. Sah dengan syarat selama menikah tidak
berhubungan badan dengan istri sampai dia
melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam
satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503, al-
Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi,
tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan.
Termaktub dalam hadits:
ﻟَﺎ ﺗَﺴْﻖِ ﺑِﻤَﺎﺋِﻚَ ﺯَﺭْﻉَ ﻏَﻴْﺮِﻙَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)
nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud
dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan
setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung oleh
Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu
Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam
riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498,
asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki
iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai
iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq
ayat 4:
ﻭَﺃُﻭﻟَﺎﺕُ ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺎﻝِ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﻬُﻦَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu
‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
ﺃَﻟَﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻮﻃَﺄُ ﺣَﺎﻣِﻞٌ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻀَﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺫَﺍﺕِ ﺣَﻤْﻞٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤِﻴﺾَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia
melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak
hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud,
Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan
setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat.
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn
Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493,
Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan
bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur,
‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman
menikahi pezina diperuntukkan bagi orang
mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah
bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali
menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan
hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana
hadits :
ﺍﻟﺘﺎﺋﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻛﻤﻦ ﻻ ﺫﻧﺐ ﻟﻪ
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu
layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim,
Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-
laki yang berzina dengan seorang perempuan,
apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu
Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan
keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal
shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita
tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai
ataupun orang lain. Dari sudut pandang
Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada
kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti
percampuran nasab. Dari perspektif ulama
lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya
hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
( ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻱ ﺵ ( : ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ
ﻭﻭﻃﺆﻫﺎ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ .
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ : ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ 419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
ﻓﺼﻞ : ﻭﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﺸﺮﻃﺎﻥ ﺣﻞ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﻟﻠﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ
] ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ - ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ [ ﺝ7 ﺹ 518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal,
apakah nikahnya harus diulang? Maka
jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah
dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah
sejak awal. Wallahu a’lam.
> Ilmatul Mukarramach
Assalamualaikum. Maaf Mbah ini berhubungan
dengan soal di atas, kasus nyata, ada anak
perempuan SMA hamil diluar nikah (zina)setelah
periksa kedokter trnyata prempuan hamil 2
bulan..untuk menutupi aib kehamilannya maka
ada seorang laki2 yg menikahinya Namun laki2
tersebut selama nikah tidak pernah menjimakx
hingga 9bulan dan perempuan trsebut melahirkan
anak perempuan ?
Pertanyaannya : Siapakah wali anak tersebut dan
nasabnya ? sedangkan laki2 yang menikahinya
tidak pernah menyetubuhinya hanya sebatas tidur
saja ?
> Brojol Gemblung
Wa'alaikumussalaam. Bila ibunya dinikahkan
dengan orang yg menghamilinya, maka anak
tersebut dinasabkan kepadanya jika anak itu lahir
di atas 6 bulan atau kurang dari 4 tahun pasca
pernikahan. Namun anak itu tidak bisa
dinasabkan kepadanya jika anak itu lahir kurang
dari 6 bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si
suami melakukan ikrar pengakuan anak.
Namun bila ibunya dinikahkan bukan kepada
orang yg menghamilinya, maka jika anak itu lahir
di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut
secara zdahir saja dinasabkan kepadanya, dan ia
wajib menafikannya (tidak mengakui sebagai
anaknya), tidak perlu sumpah Li'an.
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺇﺭﺛﺎ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ
ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻊ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ
ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﺄ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﺎﺀﻩ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺪﻭﻥ
ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ
ﺑﻌﺪ ﺇﺳﺘﺒﺮﺍﺋﻪ ﻟﻬﺎ ﻭﺛﻢ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﻭﻳﺄﺛﻢ ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﻔﻰ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ
ﺃﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻛﻔﺮ
> Timun Mas
Barangkali ini juga bisa dibuat masukan
tambahan :
ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻟﻠﻔﺮﺍﺵ ﻣﻌﻨﻴﺎﻥ ؛ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻫﻮ ﻟﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻨﻔﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﻧﻔﺎﻩ ﺑﻤﺎ ﺷﺮﻉ ﻟﻪ
ﻛﺎﻟﻠﻌﺎﻥ ﺍﻧﺘﻔﻰ ﻋﻨﻪ ، ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﺇﺫﺍ ﺗﻨﺎﺯﻉ ﺭﺏ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻭﺍﻟﻌﺎﻫﺮ ﻓﺎﻟﻮﻟﺪ ﻟﺮﺏ
ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ
ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Menafikan anak tidak harus ranjam :
ﻷﻥ ﺍﻟﺮﺟﻢ ﻣﺨﺘﺺ ﺑﺎﻟﻤﺤﺼﻦ ، ﻭﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺭﺟﻤﻪ ﻧﻔﻲ ﺍﻟﻮﻟﺪﻓﺘﺢ
ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
Sehingga saya menawarkan rumusan jawaban :
1. Anak bisa dikatakan sah ( perwalian / tauliyah
dan irsi ) manakala dihasilkan dari pernikahan
sah.dan lama usia nikah dihitung dari akad lebih
dari 6 bulan. baik itu sperma hasil kerja orng lain
atau suaminya sendiri.selama tidak ada
penafian / penyangkalan dari suami semacam
lian.
2. Apabila di usia nikah lebih dari 6 bulan atau
lebih lalu terjadi penyangkalan dari suami (tidak
menghamili/ hasil kerja orng lain atau tidak / telah
hamil sebelum nikah) baik penyangkalan nya saat
hamil atau saat melahirkan atau saat prosesi
waris atau saat prosesi nikah, maka anak adalah
milik suami. Selama suami tidak menjatuhkan
lian.
3. Jika istri melahirkan di bawah 6 bulan dihitung
dari awal akad. maka status permalian / irsi
mahjub. walau sperma hasil produksi dari
suaminya.
> Hasyim Toha
Sebenarnya jawaban Kg Brojol dan Kg Timun itu
benar semua, inti jawaban ada dua :
1. Nnak dinasabkan pada suami... jika imkan.
2. Jika suami yakin anak itu bukan benihnya,
maka jawaban no 1 gugur.
Kalau saja kita mau merujuk pada ibarot kitab
Tuhfah bab Li'an yg nota bene sebagai rujukan
dari kitab Bughiyah sekaligus sebagai syarahnya,
maka kita dapatkan ta'bir sebagai berikut :
( ﻭﻟﻮ ﺃﺗﺖ ( ﺃﻭ ﺣﻤﻠﺖ ) ﺑﻮﻟﺪ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ( ﺃﻭ ﻇﻨﻪ ﻇﻨﺎ ﻣﺆﻛﺪﺍ ﻭﺃﻣﻜﻦ
ﻛﻮﻧﻪ ﻣﻨﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻟﻤﺎ ﺳﻴﺬﻛﺮﻩ ) ﻟﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ( ﻭﺇﻻ ﻟﻜﺎﻥ ﺑﺴﻜﻮﺗﻪ ﻣﺴﺘﻠﺤﻘﺎ
ﻟﻤﻦ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻤﺘﻨﻊ ﻛﻤﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﻔﻲ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻣﻨﻪ ﻟﻤﺎ ﻳﺄﺗﻲ ﻭﻟﻌﻈﻴﻢ
ﺍﻟﺘﻐﻠﻴﻆ ﻋﻠﻰ ﻓﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻭﻗﺒﻴﺢ ﻣﺎ ﻳﺘﺮﺗﺐ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻛﺎﻧﺎ ﻣﻦ ﺃﻗﺒﺢ
ﺍﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﺑﻞ ﺃﻃﻠﻖ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﺍﻟﻜﻔﺮ
Fokus :
ﻭﺇﻻ ﻟﻜﺎﻥ ﺑﺴﻜﻮﺗﻪ ﻣﺴﺘﻠﺤﻘﺎ ﻟﻤﻦ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻤﺘﻨﻊ ﻛﻤﺎ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﻔﻲ ﻣﻦ
ﻫﻮ ﻣﻨﻪ
Lebih fokus :
ﻭﻫﻮ ﻣﻤﺘﻨﻊ
Kesimpulannya sudah ada dalam kitab Bughiyah
itu sendiri :
ﻓﺎﻟﺤﺎﺻﻞ ﺃﻥ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻋﻠﻰ ﻓﺮﺍﺵ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﻄﻠﻘﺎً ﺇﻥ ﺃﻣﻜﻦ ﻛﻮﻧﻪ
ﻣﻨﻪ، ﻭﻻ ﻳﻨﺘﻔﻲ ﻋﻨﻪ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﻠﻌﺎﻥ ﻭﺍﻟﻨﻔﻲ، ﺗﺎﺭﺓ ﻳﺠﺐ، ﻭﺗﺎﺭﺓ ﻳﺤﺮﻡ، ﻭﺗﺎﺭﺓ
ﻳﺠﻮﺯ، ﻭﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺈﻗﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺑﺎﻟﺰﻧﺎ، ﻭﺇﻥ ﺻﺪﻗﻬﺎ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻭﻇﻬﺮﺕ ﺃﻣﺎﺭﺍﺗﻪ .
Dengan rincian sebagai berikut :
ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺻـ 235 :
ﻣﺴﺌﻠﺔ ﻱ ﺵ: ﻧﻜﺢ ﺣﺎﻣﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻓﻮﻟﺪﺕ ﻛﺎﻣﻼ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺣﻮﺍﻝ :
ﺇﻣﺎ ﻣﻨﺘﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻼﻋﻨﺔ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻟﺪﻭﻥ
ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺁﺧﺮ
ﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻹﺟﺘﻤﺎﻉ .
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﺛﺒﺖ ﻟﻪ ﺍﻷﺣﻜﺎﻡ ﺇﺭﺛﺎ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻭﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ
ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ ﻭﺃﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻊ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ ﻭﻋﻠﻢ ﺍﻟﺰﻭﺝ ﺃﻭ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ
ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﺄﻥ ﻟﻢ ﻳﻄﺄ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻌﻘﺪ ﻭﻟﻢ ﺗﺴﺘﺪﺧﻞ ﻣﺎﺀﻩ ﺃﻭ ﻭﻟﺪﺕ ﻟﺪﻭﻥ
ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ
ﺑﻌﺪ ﺇﺳﺘﺒﺮﺍﺋﻪ ﻟﻬﺎ ﻭﺛﻢ ﻗﺮﻳﻨﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﻭﻳﺄﺛﻢ ﺑﺘﺮﻙ ﺍﻟﻨﻔﻰ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ
ﺃﻥ ﺗﺮﻛﻪ ﻛﻔﺮ .
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﺃﻳﻀﺎ ﻟﻜﻦ ﻻ ﻳﻠﺰﻣﻪ ﻧﻔﻴﻪ ﺇﺫﺍ ﻇﻦ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﺑﻼ
ﻏﻠﺒﺔ ﺑﺄﻥ ﺍﺳﺘﺒﺮﺃﻫﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻮﻁﺀ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻪ ﻷﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺳﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺛﻢ
ﺭﻳﺒﺔ ﺑﺰﻧﺎﻫﺎ ﺇﺫ ﺍﻹﺳﺘﺒﺮﺍﺀ ﺃﻣﺎﺭﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻟﻜﻦ ﻳﻨﺪﺏ ﺗﺮﻛﻪ
ﻷﻥ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻗﺪ ﺗﺤﻴﺾ .
ﻭﺇﻣﺎ ﻻﺣﻖ ﺑﻪ ﻭﻳﺤﺮﻡ ﻧﻔﻴﻪ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﻭﻭﺭﺩ ﺃﻧﻪ ﻛﻔﺮ ﺇﻥ ﻏﻠﺐ ﻋﻠﻰ ﻇﻨﻪ
ﺃﻧﻪ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺍﻷﻣﺮﺍﻥ ﺑﺄﻥ ﻭﻟﺪﺗﻪ ﻟﺴﺘﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻓﻸﻛﺜﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ
ﻣﻦ ﻭﻃﺌﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺴﺘﺒﺮﺋﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﺃﻭ ﺇﺳﺘﺒﺮﺋﻬﺎ ﻭﻭﻟﺪﺕ ﺑﻌﺪﻩ ﺑﺄﻗﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﺘﺔ
ﺑﻞ ﻳﻠﺤﻘﻪ ﺑﺤﻜﻢ ﺍﻟﻔﺮﺍﺵ ﻛﻤﺎ ﻟﻮ ﻋﻠﻢ ﺯﻧﺎﻫﺎ ﻭﺍﺣﺘﻤﻞ ﻛﻮﻥ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻣﻨﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ
ﺍﻟﺰﻧﺎ ﻭﻻ ﻋﺒﺮﺓ ﺑﺮﻳﺒﺔ ﻳﺠﺪﻫﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻗﺮﻳﻨﺔ .
LINK ASAL :
https://www.facebook.com/groups/piss.ktb/
permalink/579380735418072
Ilmatul Mukarramach
Assalamualaikum
kasus nyata?ada anak perempuan SMA hamil
diluar nikah(zina)
setelah periksa kedokter trnyata prempuan
hamil 2 bulan..
untuk menutupi aib kehamilanx maka ada
seorang laki2 yg menikahix Namun laki2
tersebut selama nikah tidak pernah menjimakx
hingga 9bulan dan perempuan trsebut
melahirkan anak perempuan?
pertanyaanx siapakah wali anak tsebut dan
nasabx?
sedangkan laki2 yg menikahix tidak pernah
menyetubuhinya hanya sebatas tidur saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar