Senin, 10 Februari 2014

Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al Jailani

HIKMAH MANAQIB SYEKH ABDUL QODIR
AL-JAILANI qs
I. Mukodimah
Segala puja, puji dan syukur kita
panjatkan ke Hadirat Allah SWT, Sholawat
dan salam kita limpahkan kepada Jungjunan
alam habibana wa Nabiyyanan Muhammad
SAW., kepada keluarganya, sehabatnya, dan
para Aulia Allah serta para sholihin sampai
akhir zaman, Karena dengan Kudrat dan
Irodat Allah SWT. Serta dengan wasilah para
hamba pilihan kitapun diberi kemampuan
dan kemauan untuk mempelajari dan
mengamalkan serta mengikuti rotinitas
amaliah dalam beribadah.
Firman Allah SWT:
“dan jika mereka istiqomah berada di
atas jalan yang lurus (thoriqoh), maka
kami benar-benar akan memberi mereka
minum air yang segar (rizqi yang
banyak) (QS. Al-Jin, ayat: 16)
Kalau sering dikaji dan diteliti serta
rotin hadir dalam acara amaliyah
Manaqiban, maka dari manqobah ke
manqobah dalam Kitab Manaqib Syekh
Abdul qodir Al-Jailani qs. yang dijadikan
salah satu rujukan amaliah rotin Ikhwan
TQN. Pontren Suryalaya terutama yang
berbahasa sunda, dari susunan kata-katanya
saja mengandung arti dan berbagai makna
mulia serta pelajaran kaafah/lengkap
mengagumkan, bisa membawa kepada
kebahagiaan hidup yang haqiqi di dunia dan
di akherat; apalagi mampu menggali kata-
kata karomah yang tak terjangkau oleh nalar
dan pikiran, karena semua itu merupakan
karunia dari Allah SWT. bagi hamba-hamba
pilihan, baik itu para Rasul, para Nabi, para
Shahabat, para Suhada, para Sholihin dan
yang bersahabat baik dengan mereka.
Rasulullah bersabda:
“memperingati orang-orang sholeh
adalah kifarat dari dosa dan dengannya
akan turun rahmat (kasih sayang) serta
sampainya keberkahan (bertambah
kebaikan)”.
Ulama-ulama ‘Arifiin mengingatkan:
takutlah/berhati-hatilah dengan firasatnya
orang-orang beriman karena dengan
keihlasan hati penuh iman, mereka dapat
melihat jauh kedepan apa-apa yang tidak
dapat kita lihat dan dengan kasih sayang
Allah SWT. Mereka dapat merasakan apa-apa
yang kita belum rasakan, ahli syair berkata:
“Nabimu selalu menunggu dengan cemas
memikirkanmu”. Nabi Saw bersabda: “aku
menghawatirkan keadaan ummatku yang ada
di akhir zaman” (Kitab Sirrur Asror hal. 16)
Tulisan ini ibarat setetes air di lautan yang
masih jauh dari kesempurnaan mampu
mengambil seluruh hikmah/pelajaran dari
Kitab Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
qs., mengingat keterbatasan ilmu,amal,dan
waktu kami dalam berhidmat. Namun karena
adanya permintaan dan dukungan kuat dari
rekan-rekan yang merasa haus di perjalanan,
maka dengan segala kemampuan, kami
tuangkan setetes air ini semoga menjadi
amal bakti dan bermanfaat. Adapun yang
kami sajikan berupa terjemahan Buku
Manaqib dari Bahasa Sunda ke Bahasa
Indonesia dan beberapa hikmah/pelajaran
dengan memberikan tamsil atau pemahaman
yang serupa (kias) dan tafsir dari sebagian
kata-kata yang tersusun. sebab susunan kata-
kata dalam Manqobah yang berbahasa Sunda
(menurut kami) selain memiliki makna
Karomah juga kaya dengan bahasa falsafah
azas dalam amaliyah.
Wallohu ‘Alam.
II. Arti Hikmah Manaqib
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Hikmah dalam kamus bahasa arab artinya:
“mengetahui yang benar” , Manaqib adalah
bentuk jama dari kata manqobah artinya:
“kebaikan atau sifat”. Di dalam kamus Al-
Munjid Manaqib dijelaskan sbb: “yang
dengan Manaqib, diketahui apa-apa (yang
berhubungan) dengan perangai terpuji dan
akhlak mulia cantik/indah/bagus .
Jadi yang dimaksud Hikmah Manaqib Syekh
Abdul Qodir Al-Jailani qs. disini adalah:
mengetahui dengan benar tentang kebaikan,
sifat, perangai terpuji dan akhlak mulia Tuan
Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs.
III. Pembukaan Kitab Manaqib
Bismillahirrahmaanirrahiim
Segenap puji yang sempurna dan sanjungan
seutuhnya adalah tetap milik Allah SWT.
yang menyayangi kepada hamba-hamba-Nya
dan mengangkat darajat yang berbakti
kepada-Nya. Rahmat serta salam yang utama
semoga tetap bagi Nabi yang paling utama,
yaitu Nabi Muhammad SAW yang sudah
diperkuat dengan Mu’jizat dan diutus jadi
rahmat begi seluruh alam, kepada
keluarganya, kepada semua sahabatnya,
kepada para wali Allah SWT yang telah
ditinggikan dan diberi bermaca-macam
karormah. Amma Ba’du
Maka ini sebuah kitab yang sangat ringkas,
meriwayatkan Manaqibnya Raja Para Wali
dan Imam para Ulama, yaitu Sayyid Abdul
Qodir Al-Jailani qs. dikutip dari Kitab
‘Uquudul La’aalii fii Manaqibil Jaelii dan
dari Kitab Tafriihul Khootir fii Manaaqibisy
Syayyid Abdul Qodir, semoga ada
manfaatnya bagi para ikhwan yang mau
membaca atau mendengrkan dengan
mengagungkan pemilik Manaqib ini. Semoga
dengan barorkah dari pemilik Manaqib ini
Allah SWT Yang Maha Suci, bagi kita semua,
menurunkan Rahmat dan menolak dari
bermacam-macam musibah dunia akhirat,
dihasilkan maksud dan di beri keselamatan.
Aamiin….
MANQOBAH KE- 15 :
NAMA SYEKH ABDUL QODIR AL-JAIANI
SEPERTI ISMUL 'ADHOM
Diriwayatkan di dalam Kitab Haqooiqul
Haqooiq: ada seorang perempuan menghadap
Syekh Abdul Qodir dan berkata:“Tuan saya ini
punya anak hanya satu-satunya, sekarang
tenggelam di lautan; adapun saya punya
keyakinan bahwa Tuan bisa mengembalikan
anak saya serta hidup. Syayyid Abdul Qodir
berkata: “benar..Silahkan saja kembali, anakmu
sudah ada dirumah”. dari situ (dengan petunjuk
Syekh Abdul Qodir) perempuan itu segera
kembali, ketika sapai dirumah, anaknya tidak
ada. Segera ia menghadap Syayyid Abdul Qodir
lagi sambil menangis dan menyatakan bahwa
anaknya tidak ada di rumah. Kata Syayyid
Abdul Qodir: “sekarang itu tentu sudah ada”.
perempuan itu segera kembali lagi kerumah dan
anaknya tetap belum ada. semakin jadi dan
memilukan tangisan perempuan itu kemudian
menghadap Syayyid Abdul Qodir dengan penuh
harap agar anaknya hidup lagi dan ada lagi.
kemudian Syayyid Abdul Qodir menundukan
kepala, setelah itu beliau berkata: “Sekarang
tidak salah lagi bahwa anakmu sudah ada”.
perempuan itu segera kembali lagi kerumah,
ketika sampai dirumah ternyata anaknya sudah
ada serta selamat.
Dari situ (Atas kejadian ini) Syayyid Abdul Qodir
munajat kepada Allah SWT. dan berkata: Saya
merasa malu dengn perempuan tadi sampai
tiga kali baru anaknya ada, mengapa terjadi
demikian dan apa hikmahnya diperlambat
sampai saya harus memikul malu dua kali.
Firman Allah SWT.: perkataanmu kepada
perempuan itu semuanya juga benar. Yang
pertama menyebutkan ada... itu benar, namun
malaikat baru mengumpulkan jiwa raganya yang
berserakan. Perkataanmu yang ke-dua juga
benar namun baru lengkap anggahota tubuhnya
serta dihidupkan. Dan yang ketiga kalinya ketika
perempuan itu sudah sampai dirumah, anaknya
sudah diangkat dari lautan, dan didatangkan
kerumahnya.
Kemudian Syayyid Abdul Qodir qs. munajat lagi
dan berkata: Yaa Allah SWT. Engkau membuat
makhluk yang tak terhingga tidak mendapat
kesulitan, begitu pula di alam ba’asy
mengumpulkan jiwa raga makhluk yang sangat
banyak hanya sekajap nyata. Sedangkan dalam
masalah ini hanya seorang hamba, Ya..Allah
SWT. apa hikmahnya sampai lama sekali?.
Firman Allah SWT.: “Abdul Qodir engkau jangan
jadi sakit hati, sekarang silahkan segera minta,
ingin apa? Tentu Aku kabulkan. Terus Syayyid
Abdul Qodir bersujud dan berkata: Yaa Allah
SWT. Engkau Kholik (yang membuat)
sedangkan aku makhluk (yang dibuat) apapun
pemberian-Mu aku sangat bersyukur. Firman
Allah SWT.: siapapun yang melihatmu pada hari
Jum’at akan Aku jadikan wali dan bila engkau
melihat tanah tentu jadi emas. Kata Syayyid
Abdul Qodir. Ya.. Allah keduanya itu juga
kurang ada manfa’atnya bagiku setelah aku
mati, aku memohon yang lebih aggung dari itu
dan tetap manfaatnya setelah aku mati. Firman
Allah SWT. Namamu djadikan seperti nama
Kami dalam balasan atau ganjaran dan
kemanjuranya, siapa yang membaca namamu
pahalanya sama dengan membaca nama Kami.
Hikmahnya:
 Dalam kisah ini tersirat satu pemahaman,
bahwa pada dasarnya manusia lahir kedunia
dalam keadaan lemah tidak tahu apa-apa
bahkan kehilangan hakekat manusia/bayi
maknawi dari lubuk hatinya. tenggelam di dasar
lautan duniawi, terobsesi oleh persoalan hidup,
terhalang dan terbelenggu oleh Nafsaniah Al-
Khobisah (Nafsu jasmani) dari megingat Allah
SWT.
Firman Allah SWT.:
“Dan Allah SWT. mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur. (QS.16, An-Nahl, ayat: 78)
Firman Allah SWT:
“Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa
Kami menciptakannya dari setitik air (mani),
maka tiba-tiba ia menjadi musuh (penantang)
yang nyata (QS. Yasin. Ayat: 77)
Untuk menggambarkan keadaan tersebut bisa
ditamsilkan dengan seorang perempuan, karena
perempuan bersifat lemah dan membutuhkan
pertolongan. Mafhum mukholafah dari
perempuan adalah laki-laki, istilah laki-laki
adalah menggambarkan sosok yang kuat,
memiliki kemampuan memimpin dan memberi
pertolongan. Sebagaimana Firman Allah SWT.
di dalam Al-Qur’an sebutan laki-laki tidak
ditinjau dari sisi jenis kelamin tapi dari
kepatuhan dan keta’atan serta kokohnya iman
sebagai karunia dari Allah SWT. yang diberikan
kepada hamba-hamba pilihan, seperti yang
diberikan kepada Tuan Syekh Abdul Qodir Al-
Jailani qs.
Firman Allah SWT:
“Laki-laki itu tidak dilalaikan oleh perniagaan
dan tidak oleh jual-beli dari mengingat Allah
SWT., dari mendirikan Shalat dan dari memberi
zakat. Mereka takut pada suatu hari (yang dihari
itu) dimana hati dan penglihatan menjadi
goncang” (QS. (24). An Nuur. Ayat: 37)
Firman Allah SWT:
“Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum
kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-
laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka,
Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang
yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.” (QS. (21) Al-Anbiyya, ayat: 7)
Dari ayat tersebut menjadi tuntutan hukum bagi
setiap insan agar hidupnya bahagia didunia dan
selamat diakherat untuk mencari ilmu dan
bertanya kepada yang memiliki keahlian sebagai
karunia dari Allah SWT. dalam berbagai hal
kehidupan, dengan diiringi rasa tawadhu dan
tadhoru serta penuh harap mendapatkan banjir
barokah melalui wasilahnya, seperti seorang
perempuan yang datang menghadap kepada
Syayyid Abdul Qodir Al-Jaailani qs. dengan
tekad yang kuat dan usaha maksimal sambil
menangis penuh dengan harapan dan keyakinan
bahwa Tuan Syekh Abdul Qodir bisa
menghidupkan lagi anaknya yang hilang
tenggelam di lautan.
Firman Aallah SWT.:
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah
kepada Allah SWT. Dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah
pada jalan-Nya supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (QS.5 Al Maidah ayat: 35)
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani
berkata:
“Wahai saudaraku masuklah pada thoriq (jalan)
dan kembalilah kepada Tuhanmu bersama
kafilah ruhaniyah, waktunya sudah sempit, jalan
hampir terputus dan sulit mencari teman
menuju jalan itu. Sedangkan kita lahir ke dunia
yang hina dan rusak ini bukan untuk makan dan
minum saja, dan bukan pula untuk memuaskan
kepentingan nafsu kotor belaka (Kitab Sirrul
Asror hal: 15)
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani
berkata:
“Wajib kepada manusia mencari/belajar agar
hatinya hidup bersifat ukhrowi dari ahli talqien
didunia sebelum waktunya habis (mati). Karena
sesungguhnya dunia itu kebunnya akherat,
siapa yang tidak bercocok tanam didunia maka
nanti tidak akan memetik buahnya diakherat”.
(Kitab Bayanutasdiq, hal: 17)
Dalam pembahasan Ilmu Tasawuf hati yag
hidup adalah hati yang berdzikir kepada Allah
SWT. (Dzikrullah). Orang yang dzikrullah disebut
Ma’rifatullah atau mengenal alam Lahut yaitu
negeri asal tempat Ruh Al-Qudsi diciptakan
dalam bentuk terbaik (waktu semua ruh di
tanya: bukankah Aku ini Rab kalian ?, semua
ruh menjawab: benar..Engkau adalah Rab
kami” QS.{7} Al-A’raaf, ayat: 172). yang
dimaksud dengan Ruh-Alqudsi adalah hakekat
manusia yang disimpan rapat di dalam lub Al-
Qolbi (lubuk hati) dan para Ulama Sufi
menyebutnya bayi maknawi karena berasal dari
maknawiyah Al-qudsiyah (Sirrur Asror, hal: 20)
Hati yang mati adalah hati yang tidak dzikrullah
dan orang yang hatinya tidak dzikrullah
(Ghoflah) dapat diibaratkan kehilangan anak
satu-satunya tenggelam di lautan. Maka ketika
perempuan itu memohon bantuan Syayyid
Abdul Qodir agar anaknya hidup lagi, beliau
hanya berkata: benar.. Sekarang kembali saja
kerumah anakmu sudah ada!. Rumah secara
khusus adalah tempat tinggal yang resmi bagi
manusia sedangkan tempat tinggal yang resmi
bagi Ruh Al-Qudsi/ bayi maknawi/ bibit iman
adalah Al-qolbu (hati). Rasulullah SAW
bersabda: “Hati orang yang beriman adalah
tempat untuk mengingat Allah SWT”.
Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Al-Jailani
berkata:
“di dalam hati tidak bisa berkumpul makhluk
dan kholik, dunia dan akhirat. Jika kamu
menginginkan Allah SWT. Maka keluarkan dari
dalam hatimu dunia dan akhirat serta apa-apa
selain-Nya, karena bila di dalam hatimu masih
ada selain Allah SWT. Walaupun seberat biji
sawi, selamanya tidak akan melihat apa yang
disebut dengan ketenangan, ketentraman,
kebahagiaan dan kebenaran yang haqiqi.”
(Kitab Fathu Ar-Rabaniy, hal: 118)
Dapatlah difahami bahwa kata “kembali saja
kerumah” menjadi kata kias dari amar (perintah)
kembali kepada Allah SWT, kembali kepada
hukum Allah SWT, kembali kepada fitrah
penciptaan manusia, kembali ke Qolbu sesuai
fungsinya atau kembali kepada ikrar janji
manusia sebelum lahir kedunia.
Firman Allah SWT.
“Siapa yang mengharap perjumpaan dengan
Allah SWT. maka hendaknya ia mengerjakan
amal sholeh dan jangan mempersekutukan
Allah SWT. dalam beribadah (QS. Al-Kahfi,
ayat: 110)
Diterangkan pula bahwa: sampainya ke alam
ma’rifat yaitu dengan cara melatih diri
meninggalkan keinginan nafsaniah walaupun
terasa susah serta istiqomah melatih ruhaniah
pada jalan yang diridloi Allah SWT. tanpa ada
unsur riya dan sum’ah (ingin dipuji orang dan
mencari kemasyhuran)”. (Kitab Sirrul Asror hal:
19)
Hidup di dunia adalah sebuah proses dan tidak
ada yang sempurna, yang ada adalah menapaki
jalan resmi menuju kesempurnaan serta tidak
ada yang berakhir (selesai) dalam amaliyah
yang ada adalah beramal (bekerja) pasti
sampai batas akhir karena dunia adalah lahan
konsekuensi ikhtiari yang disediakan bagi
manusia untuk menentukan jati-dirinya. .
Firman Allah SWT.:
“(Allah SWT.) yang menjadikan mati dan hidup
untuk mengujimu, siapa diantara kamu yang
lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkaksa lagi
Maha Pengampun.”(QS. Al-Mulk, ayat : 2)
Walaupun demikian namun dengan Rahman
dan Rahimnya Allah SWT. sebagian kecil
tanda-tanda pintu kesempurnaan atau hasil
akhir dari pekerjaan yang dilakukan sudah
dapat dirasakan manusia di dunia dan itu-pun
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan
tujuan hidupnya, sebagaimana Rasululah
banyak ber-do,a dengan ini: “Yaa Allah, berilah
hamba kebaikan di dunia dan kebikan di akhirat
dan jagalah hamba dari siksa neraka. Hadits
Muttafaq ‘alaih (Bulughul Maram, hal: 568)
Upaya untuk mencapai ma’rifatullah tersebut
ditamsilkan dengan cara seorang perempuan
memohon do’a dan mengikuti petunjuk Sayyid
Abdul Qodir secara rotin kembali kerumah
untuk melihat keadaan anaknya, akhirnya
dengan ke-Maha Kuasaan Allah SWT. anaknya-
pun ada dalam keadaan selamat.
Sedangkan dari dialog Sayyid Abdul Qodir Al-
Jailani dengan Allah SWT. mengisarohkan
tentang penjelasan sebuah proses, bahwa
dalam setiap kebaikan (thoyyibah) dan Syari’at
Islam yang sudah dapat dilakukan pada
dasarnya telah tumbuh bibit Iman, namun untuk
mencapai iman yang sempurna, iman yang
kokoh dan kuat memerlukan tahapan-tahapan
pasti rotinitas amaliyyah dalam wilayah hukum-
Nya, karena semua yang diatur dalam Syari’at
Islam adalah satu-satunya cara yang dapat
mengantarkan manusia mencapai
kesempurnaan iman dan akhir dari semua
pengharapan.
Secara sistematis kaifiyyat mencapai derajat
ma’rifatullah itu dijelaskan sbb: bahwa Ruh Al-
Qudsi/bayi maknawi/iman yang haqiqi (atau
disebut dengan istilah: anak yang hilang
tenggelam dilautan) akan dirasakan
keberadaanya (Hidup lagi) dalam kehidupan
manusia di dunia dengan tiga cara (tidak bisa
dipisahkan), yaitu: 1. dengan bertaubat, 2.
dengan ditalqien, dan 3. dengan membiasakan
mengucapkan kalimat: “Laa Ilaaha Illa Alloh”.
(Kitab Sirrul Asror hal: 20)
1. Taubat
Taubat adalah kembali dari sifat-sifat tercela
kepada sifat-sifat terpuji (Tanwirul Qulub, hal.
418). Taubat itu membersihkan hati dari
berbagai kotoran (Hamka, Pelajaran Islam, hal:
351). Taubat itu sebuah penyesalan Hadits Ibnu
Majah (Kitab Ibnu Katsir jilid IV, hal 393).
Secara umum Taubat itu berhenti dari dosa
kembali kepada Tho’at, dari sifat tercela kepada
sifat terpuji, dari Neraka Jahim kepada Surga,
dari istirahat jasmani kepada sibuk melatih
ruhani dengan dzikir dan perjuangan maksimal.
Secara khusus, taubat itu dari kebaikan kepada
ma’rifat, dari derajat kepada qurbah, dari
kenikmatan jasmani kepada kenikmatan ruhani,
meninggalkan apapun selain Allah SWT.,
menjadi jinak dengan-Nya dan melihat Allah
SWT. dengan Ainul Yaqin (Sirrur Asror, hal: 57).
Maka tahap awal untuk mencapai ma’rifatullah
adalah dengan melakukan berbagai aktifitas
thoyyibah jasmani dan ruhani yang diridloi Allah
SWT. (manivestasi iman) khususnya “dzikru bi
Laa Ilaha Illa Alllah” sehingga tidak ada waktu
terbuang dengan sesuatu yang tidak berguna,
ini dianalogikan dan ditegaskan sbb:
“ucapanmu yang pertama benar ada, namun
malaikat baru mengumpulkan jiwa raganya yang
sudah berserakan”.karena pada hakekatnya
bahwa ibadah (manivestasi iman) atau semua
kebaikan yang dapat dilakukan manusia pada
dasarnya hidayah dari Allah SWT. melalui
pengawasan dan bimbingan Ruh suci. Sepeti
dijelaskan: “dengan Rahman Rahimnya Allah
SWT. kepada hamba-hamba-Nya, maka
diutuslah para malaikat untuk membelai hati
para hamba dengan sayapnya sehingga ia
mencucurkan air mata (Tanwirul Qulub, hal: )
2. Talqien
Talqien menurut bahasa artinya pelajaran,
menurut istilah ulama sufi artinya: mengambil
pelajaran dzikir dari seorang ahli yang hatinya
taqwa dan bersih dari selain Allah SWT. (Sirrur
Asror, hal: 52). Talqien itu peringatan guru
kepada murid, sedangkan bai’at yang juga
dinamakan ahad, adalah sanggup dan setia
murid dihadapan gurunya untuk mengamalkan
dan mengerjakan segala kebajikan yang
diperintahkan (Miftahus Shudur, hal: 28)
Firman Allah SWT.:
“Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah SWT,
maka dialah yang mendapat petunjuk; dan
siapa yang disesatkan-Nya maka tidak akan
mendapatkan pemimpin yang akan memberi
petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi, ayat: 17)
Rasulullah bersabda:
“Aku ajarkan kalimat baik ini kepada para
sehabat agar dapat membersihkan hatinya dan
mensucikan Nafsnya sehingga sampai ke-
Hadirat Allah SWT. dan mendapat kebahagiaan
yang abadi (qudus) “. (Miftahus Shuduur II, hal:
25)
Imam Al-Ghozali berkata: “Guru itu sebagai
pembuka jalan untuk mengetahui ilmu, dan jika
beserta guru akan lebih gampang dan lebih
senang, dan Allah SWT. dengan karunia-Nya
akan memberi langsung kepada para hamba-
Nya yang Ia kehendaki. Dalam hal demikian
Allah SWT. jualah yang mengajarkan kepada
mereka.” (Minhajul Abidin, hal: 47).
Jadi talqien itu merupakan petunjuk lahir
bathin/proses kesediaan insan taklifi dari dan
dihadapan seorang ahli untuk menerima
limpahan hidayah dari Allah SWT. Yang Maha
Suci, yaitu dengan cara menyalakan kembali
pelita hati yang padam dengan api iman yang
menyala dari jiwa orang yang telah mendapat
limpahan lampu iman, atau mengingatkan
kembali hati yang lupa dengan kalimat ingat
(iman) dan menghidupkan kembali hati yang
mati dengan kalimat yang menjadi sebab
adanya hidup dan kehidupan yaitu: kalimat “Laa
Ilaaha Illalloh”. Hal ini nampaknya dianalogikan
sbb: “Perkataanmu yang ke-dua juga benar
namun baru lengkap anggahota tubuhnya serta
dihidupkan”. Tegasnya bahwa: “Dzikir itu tidak
memberi manfaat yang lengkap kecuali dengan
cara ditalqienkan.” (Miftahuysh Shudur.I, hal:
21), Sayyid Abdul Qodir berkata: Ilmu itu
diambil dari lisan rijal bukan dari kitabnya.
Rijaalullah itu: ia bertaqwa, memiliki tirkah,
mewariskan, mengetahui, mengamalkan dan
ihlash (Fathur Robani, hal: 124)
Firman Allah SWT:
” …hampir saja minyaknya itu menerangi
walaupun tidak disentuh api, cahaya diatas
cahaya dan Allah SWT. akan memberikan
hidayah cahaya-Nya kepada siapa saja yang Ia
kehendaki… .(QS. {24}An-Nuur, ayat: 35)
Rasulullah bersabda:: “iman itu bukan hanya
harapan yang tak kunjung tiba (tamanni) dan
bukan pula hiasan diujung lidah, tapi iman itu
ialah yang tertanam di lubuk hati dan dibuktikan
dengan amal perbuatan. Riwayat Ibnu Najar dan
Dailami dari Anas.” (Lautan Tanpa Tepi, hal: 62)
3. Membiasakan mengucapkan Kalimat
”Laa Ilaaha Illa Alloh”
Kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah kalimat
nafi dan isbat, kalimat dzikir paling utama
mengandung makna: tidak ada yang dimaksud
kecuali Allah SWT., tidak ada yang disembah
kecuali Allah SWT. dan tidak ada yang maujud
kecuali dari Allah SWT, disukai para Rasul, para
Nabi, para Shahabat, para Wali dan para
Ulama pewaris Nabi.
Firman Allah SWT.:
“siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi
Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-
Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal saleh dinaikan-Nya (QS. Al Fathir, ayat:
10)
Para mufasiriin mengatakan bahwa kalimat yang
baik itu adalah kalimat “Laa ilaaha Illa Allah”,
kalimat yang membawa naik semua amal shaleh
ke-Hadirat Allah SWT.,kalimat yang menjadi
wasilah semua yang asalnya dari Allah SWT.
kembali kepada Allah SWT. dan kalimat yang
menjadikan hatinya hidup abadi bersifat ukhrowi
bila diucapkan memenuhi syarat-syarat tertentu,
Nabi Muhammad SAW. bersabda: Syarat dzikir
itu harus punya wudlu yang sempurna, dengan
pukulan yang mengena, dan dengan suara yang
kuat, sehingga Nur dzikir itu mencapai
bathinnya orang-orang yang berdzikir, maka
dengan nur dzikir itu hati mereka menjadi hidup
abadi bersifat ukhrowi .” (Miftahush Shudur. I,
hal: 9)
Firman Allah SWT:
“dan jika mereka istiqomah berada di atas jalan
yang lurus (Thoriqoh), maka Kami benar-benar
akan memberi mereka minum air yang segar
(rizki yang banyak) (QS. Al-Jin, ayat: 16)
Syekh Ibrahim Al-Matbuli berkata:
“Angkat suaramu pada waktu dzikrullah sampai
menghasilkan Al-Jam’iyyyat seperti para
‘Aarifiin (ahli ma’rifat), Al-Jam’iyyat itu adalah
terkumpulnya cita-cita (ingatan) dalam
bertawajuh kepada Allah SWT. serta penuh
(sibuk) dengan dzikrullah tidak dengan yang
lainya dalam bertawajuh. dan dikatakan: “bila
murid ber-dzikir (Dzikrullah) dengan sungguh-
sungguh dan tekad kuat, maka tingkatan
(derajat) perjalanan (thoriqot) akan terbuka
cepat, mugkin ditempuh dalam satu jam, bila
dengan yang lain (selain dzikrullah) ditempuh
dalam satu bulan atau lebih. (Miftahush Shudur,
Jilid:I, hal: 10-11)
Dari sini dapat diketahui bahwa Dzikrullah
hanya dapat dicapai dengan satu prinsip :
syari’atnya manusia yang melakukan,
hakekatnya Allah SWT. yang menentukan, bila
kalimat “Laa Illaha Illa Alloh” dirotinkan dan
diutamakan (memenuhi Syarat tertentu diatas)
melebihi kesibukan serta tidak terkontaminasi
oleh urusan duniawi, maka pintu rahmat/karunia
akan terbuka lebar untuk mendapatkan
limpahan hidayah yang tak terbatas dari Allah
SWT. karena kalimat tersebut adalah akhir dari
semua permohonan (do’a) dan puncak dari
segala pengharapan (cita-cita) dikatakan: “bila
(Allah. SWT) telah melepaskan lidahmu
meminta, maka ketahuilah bahwa Allah SWT.
mau memberi (Al-Hikam, hal:84). Asalya dzikir
itu nikmat dan lezat, apabila Dzikrullah telah
menguasaimu maka menjadi khusyu,
mencucurkan air mata, terbakar dan tenggelam,
itu sebagai tanda terbuka hijab (Miftahush
Shudur.I, hal: 19)
Abi Qoyyim Al-Jaujiyah berkata:
“Hidupnya ruh itu dengan hidupnya kalimat
“Laa Ilaaha Illa Allah” di dalam ruh, seperti
hidupnya badan dengan adanya ruh di badan,
siapa yang hidupnya di dunia ber-azaskan pada
Kalimat Thoyyibah, maka ruh-nya berkisar di
Surga Ma’wa dan hidupnya sebaik-baik
kehidupan.” (Kitab Jawabul Kaafi, hal: 235)
Dengan keterangan tersebut nampak jelas
pemahaman dari kata-kata: “Dan yang ketiga
kalinya ketika perempuan itu sudah sampai
dirumah anaknya sudah diangkat dari lautan
dan di datangkan kerumahnya”
Firman Allah SWT:.
“…. lalu Allah menurunkan ketenangan kepada
Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin
dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-
takwa dan adalah mereka berhak dengan
kalimat takwa itu dan patut memilikinya.." (QS
(48) Al-Fath, ayat: 26)
Firman Allah SWT.:
“….kemudian menjadi tenang (lentur dan ringan)
kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah
SWT. yang demikian itu petunjuk dari Allah
SWT…… (QS. Az-Zumaar, ayat: 23).
Mafhumnya:
kalau bukan dari Allah SWT. manusia tidak akan
mengenal Allah SWT., kalau tidak melalui
Syari’at Allah SWT. manusia akan sesat jalan,
dan kalau bukan wasilah orang yang telah
mendapat hidayah dari Allah SWT. manusia
tidak akan mendapat bimbing jalan hidup yang
benar. Demikian pula kalau bukan ke-Maha
Kuasaan Allah SWT. anak yang tengelam
dilautan tidak mungkin bisa datang lagi
kerumahnya dalam keadaan selamat. Zunnun
Al-Misri berkata: aku mengenal Allah SWT.
Karena Allah SWT. dan kalau bukan karena
Allah SWT. aku tidak akan mengenal Allah SWT.
(Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 76)
Hikmah kata-kata: Ya Allah SWT. Engkau
membuat makhluk tak terhingga tidak
mendapat kesulitan, begitu pula di alam ba’asy
mengumpulkan jiwa makhluk yang banyak
hanya sekajap. Sedangkan dalam masalah ini
hanya seorang hamba, Ya..Allah SWT. apa
hikmah dan alasan diperlambat ? Firman Allah
SWT: Abdul Qodir engkau jangan sakit hati,
sekarang silahkan meminta, apapun yang kamu
inginkan akan Aku kabulkan (Manqobah).
Sulthon Auliya Syekh Abdul Qodir Al-jailani
qs. berkata: dunia adalah daerah untuk beramal
dan sabar atas segala ujian, daerah untuk
berpayah-payah serta daerah untuk berusaha
(Kitab Fahur Robanny, hal: 120), penjelasan ini
adalah redaksi kata-kata dengan illat yang
berbeda untuk mempertegas tujuan yang sama,
yaitu mempertegas, bahwa Allah SWT. Maha
Kuasa atas segala sesuatu termasuk menjadikan
hidup di dunia ini serba instan, namun bila itu
ditakdirkan artinya sama dengan melanggar
takdir-Nya dan hidup mausia di dunia menjadi
tidak berguna, sedangkan Allah SWT bersifat
Al-Wa’du Wal Wa’id (Yang Maha Menepati
Janji), dunia ditakdirkan untuk beramal dan
akhirat ditakdirkan untuk memetik seluruh
hasilnya.
Sebagai wujud syukur atas karunia Allah
SWT. yang telah mentakdirkan hidup jadi
berguna di dunia adalah dengan cara istikomah
beramal dan beramal ibadah tanpa lelah dan
putus-asa sampai batas akhir (ajal menjemput).
dalam segala hal dilakukan tanpa pamrih,
secara totalitas, kompleksitas kesetiaan muncul
dari kesadaran terdalam berlandaskan pada
iman dan keyakinan hanya Allah SWT. yang
bisa dan pantas memberi pertolongan dan
keutamaan. sehingga pengabdian dan cinta
setia hanya kepada Allah SWT. tidak kepada
yang lainnya, dan seandainya ada, itupun pasti
tidak akan sama, karena merupakan wujud
kepatuhan atau keihlasan yang bersumber dari
Allah SWT.
Firmn Allah SWT.:
“Maka Ketahuilah bahwasanya Allah SWT.
pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung
dan sebaik-bak penolong.” (QS. Al-Anfal, ayat:
40)
Firman Allah SWT.
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarahpun, niscaya dia melihat balasannya,
dan siapa yang mengerjakan keburukan sebarat
dzarahpun, niscaya dia melihat balasanya
pula.” (QS. Az-Zalzalah, ayat 7-8)
Keterangan tersebut menunjukan bahwa dalam
syari’at/hukum agama sudah terdapat
permintaan (do’a) dan dengan amal ibadah
sudah terdapat ijabah (ter-kabulnya do’a). maka
dapat pula dianlogikan dengan redaksi kata
yang berbeda namun memiliki makna yang
sama yaitu: Wahai para hamba Allah SWT,
janganlah berputus asa (atas rahmat Allah SWT.
dalam hal amal ibadah), sekarang silahkan
(pelajari terus hukumnya /berdo’a) apapun amal
ibadah yang dilakukan pasti mendapat balasan
(Ijabah) yang setimpal baik di dunia maupun di
akherat. Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani berkata:
Aku mohon pertolongan (Allah SWT) dengan
“Laa Ilaaha Illa Allah” (Manqobah ke-53, hal:
73).
Friman Allah SWT:
“….aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran” (QS. Al-B aqoroh, ayat: 186).
Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs, adalah
hamba Allah SWT. yang patut diteladani dan
dijadikan rujukan amaliah ibadah, setelah beliau
mendengar jawaban pasti dari Allah SWT.
kemudian bersujud, ini memberi pelajaran dan
pemahaman penting bagi insan taklifi, antara
lain: apabila telah mengetahui hukum syar’iyyah
atau Wad’iyyah dalam beribadah seharusnya
bersyukur dan patuh, begitu pula dalam
dzikrullah, setelah mengetahui kaifiyyatnya
(melalui talqien) sudah seharusnya diamalkan
dan Istiqomah, seperti dilakukan Salman bin
Uyanah setelah mendengar penjelasan
Rasulullah SAW., tentang shalat sunat di bulan
Rajab beliau terus sujud, bersyukur sambil
menangis (gembira) karena ada tambahan amal
yang jelas dibulan Rajab, Al-Hadits (Kumpulan
Salat Sunat dibulan Rajab, hal: 10), begitu pula
caranya para fuqoha dalam hal beribadah
mereka selalu berpegang pada kaidah: ”Asal-
nya (dasarnya) ibadah itu dilarang kecuali ada
dalil yang menunjukan pada ibadah itu.”
Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs diwaktu sujud
bermunajat: Yaa Allah SWT. Engkau Kholik
(yang membuat) dan aku makhluk (yang dibuat)
apapun pemberian-Mu aku sangat bersyukur.
Ini tuntunan sikap orang-orang besar, sikap
seorang hamba Allah SWT. yang menjadi
tauladan dalam segala hal, apapun yang
dilakukanya sebagai totalitas pengabdian wujud
kepasrahan, tidak mengharapkan apa-apa yang
bersifat duniawi bahkan bersyukur dapat
melakukan amaliyyah dan ibadah dengan
adanya pedoman yang jelas dan diridoi Allah
SWT.; Apapun bentuknya tentu ada hikmahnya
walaupun secara kasat mata tidak
menyenangkan, karena yang datang dari Allah
SWT. (bersumber dari Syariat-Nya) pasti
membawa kepada sesuatu yang berharga.
Dari keteladanan ini lahir bermacam-macam
sikap hidup terpuji dalam berbagai bentuk
silaturrahmi, seperti tidak meminta namun tidak
menolak pemberian walaupun dengan cara
dilemparkan, dan menghargai niat baik yang
memberi. dalam arti tidak menghinakanya, tidak
membuangnya, tidak memberikan lagi pada
orang lain dihadapanya walaupun tidak
diperlukan dan tidak diinginkan dengan cara-
cara yang tidak dibenarkan atau tanpa idzin
darinya. Itulah akhlak terpuji yang dijadikan
tradisi untuk melatih diri dan pengakuan hati
pada semua yang terjadi, bahwa pada
hakekatnya baik dan buruk itu datangnya dari
Allah SWT. Yang Maha Suci.
Sebagai umat yang berpegang teguh pada
Syari’at Islam kadang-kadang tidak tepat dalam
memahami arti do’a dan kerja yang diwujudkan
dalam bentuk ibadah dan mu’amalah
berlandaskan dzikrullah. Seharusnya
permohonan atau do’a itu untuk sesuatu yang
belum ada, sedangkan ikhtiar atau kerja itu
untuk sesuatu yang sudah ada. Kalau begitu
hal-nya, terus untuk apa memohon (berdo’a)
kalau masalahnya sudah ada dan untuk apa
bekerja (ikhtiar) kalau masalahnya belum ada.
Sering dalam permohonan itu mengharapkan
duniawi, padahal kita ini sudah berada didunia.
kalau alasan permohonan dilakukan karena
tidak memiliki dunia yang diinginkan, itu bukan
berarti masalahnya tidak ada, yang sebenarnya
ada, namun belum sampai martabat memiliki,
maka cara untuk mencapainya adalah dengan
bekerja dan bekerja (ikhtiar) bukan dengan cara
memohon dan memohon (berdo’a) tanpa kerja.
karena memohon sesuatu yang sudah ada itu
tidak berguna (atau loba/tamak), seperti ikan
yang hidup di air mencari air, karena air penting
bagi kehidiupan, hal ini dilakukan karena ikan
makhluk yang tidak tahu air.
Dari sini dapat difahami munajatnya Sayyid
adul Qodir yang ter-akhir, setelah Allah SWT.
menawarkan keutamaan hidup dan harta yang
banyak, beliau berkata: “Yaa Allah keduanya itu
kurang ada manfaatnya bagiku setelah aku
mati, aku memohon yang lebih agung dari itu
dan tetap manfaatnya setelah aku mati.”
Intinya bahwa: mencari sesuatu yang bersifat
duniawi di dalam pengabdian dan peribadatan
menurut pandangan beliau kurang bermafa’at,
bukan tidak bermanfa’at karena sifatnya
sementara. dalam arti: selama hidup didunia
bisa bermanfaat dan memang dibutuhkan serta
dapat/harus diusahakan, karena dunia telah
ditakdirkan bersifat ikhtiari yang bisa dicari,
seperti untuk mendapatkan harta, tahta atau
sesuatu yang luar biasa bersifat duniawi
(Karomah atau kemuliaan hidup), namun semua
itu tidak akan dibawa mati, sedangkan hidup di
dunia untuk bekal hidup kekal di-akherat. oleh
karena itu beliau memohon yang lebih agung
dari diniawi dan tidak bersifat ikhtiri tapi
merupakan karunia dari Allah SWT.
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi
petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima
petunjuk.” (QS. Al-Qshosh, ayat: 56)
Begitulah cara Sayyid Abdul Qodir Al-Jailalni
qs bermunajat, hanya rahmat dan hidayah dari
Allah SWT. yang diharapkan dalam setiap
amaliyyah thoyyibah yang dilakukan, dan cara
ini pula yang di ikuti oleh para penerusnya
seperti yang diajarkan oleh Syekh Mursyid,
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Taajul ‘Arifiin
sebelum mengamalkan kalimah Dzikrullah (Laa
Ilaaha Illa Allah) memohon kepada Allah SWT.
dengan do’a: “ Yaaa Allah Engkau-lah yang aku
maksud dan ridlo-Mu yang aku minta berilah
aku untuk bisa mahabbah dan ma’rifat kepada-
Mu.”
Namun dalam kenyataan waktu kita beramal
tidak mudah untuk membedakan, semudah
membalikan kedua telapak tangan, karena ada
keinginan kuat berbersifat samar dalam wujud
rupa yang sama, artinya: untuk duniawi dengan
amal dan ibadah, untuk ukhrowi-pun dengan
amal dan ibadah. Disini pentingnya ada
tuntunan untuk melatih diri dengan hal yang
utama dari yang dibiasakan para pendahulu
hamba-hamba pilihan, seperti telah disusun
dalam Kitab “Untaian Mutiara
Berkilau” (Uquudul Juman Syekh Shohibul Wafa
Taajul ‘Arifiin), antara lain ada permohonan,
artinya: Wahai Yang Maha Lembut dan Maha
Samar, berilah kami dengan kelembutan-Mu
yang samar.
Adapun martabat dan kemuliaan orang yang
wusul kepada Allah SWT (ma’rifatullah) tersebut
adalah Allah SWT. yang menentukan, karena ia
telah kembali kepada kemuliaan akhlak Allah
SWT. Yang Maha Mulia, dan namanya telah
menyatu dengan nama Allah SWT. yang
meliputi seluruh nama-nama, serta telah sirna
dalam ke-Maha Besaran Allah SWT. Yang Maha
Besar. Ibarat setetes air dituangkan pada air di
lautan, maka tidak ada lagi istilah sebutan
setetes air, yang ada, yang nampak dan yang
disebut adalah air laut yang ada dilautan. Itulah
sebuah analogi dari redaksi kata-kata:
“Namamu djadikan seperti nama Kami dalam
balasan (ganjaran) dan kemanjuranya, siapa
yang membaca namamu pahalanya
(balasannya) sama dengan membaca nama
Kami.”
Wallohu ‘alam
MANQOBAH KE- 16
MENGHIDUPKAKN SESEORANG DARI
DALAM KUBUR
Diceritrakan dalam kitab Asroruth
Tholobiin, pada suatu ketika Sayyid Abdul
Qodir Al-Jailani qs. melewati satu tempat,
beliau bertemu dengan orang Islam yang
sedang berdebat (adu argument) dengan
bangsa Nasrani, kemudian Sayyid Abdul Qodir
Al-Jailani mencari tahu penyebab terjadinya
perdebatan, kata orang Islam: kami sedang
memperdebatkan siapa nabi yang paling utama
Tuan..!, kata saya Nabi Muhammad SAW. Kalau
kata nasrani ini lebih utama nabi Isa as. Sayyid
Abdul Qodir berkata kepada nasrani: kamu itu
menyatakan nabi Isa lebih utama apa
dalilnya..?. kata nasrani: nabi Isa itu bisa
menghidupkan orang yang sudah mati.. Kata
Sayyid Abdul Qodir: kamu tahu saya ini bukan
nabi tapi yang mengikuti dan memegang agama
nabi Muhammad SAW.? Kata Nasrani: kalau itu
tentu saja saya tahu. Kata Sayyid Adul Qodir:
seandainya aku bisa menghidupkan yang sudah
mati, apa kamu akan iman kepada nabi
Muhammad.? Jawabnya: tentu saya akan iman.
Kata Sayyid Abdul Qodir: mari kita cari kuburan
yang sudah lama, akhirnya menemukan kuburan
kira-kira sudah lima ratuas tahun lamanya. Kata
Sayyid Abdul Qqodir: kalau Nabi Isa
mengidupkan yang mati bagaimana
perkataannya?, Kata Nasrani “Kum biidznillah”!
artinya: bangun kamu dengan idzin Allah SWT.
coba dengarkan kalau kami begini: “Kum
Biidznii” artinya: bangun kamu dengan idzinku.
Kemudian kuburan itu terbelah dan mayitnya
keluar dari kuburan sambil bernyayi karena
tadinya orang itu pekerjaanya
bernyanyi.kemudialn nasrani itu-pun masuk
islam.
Hikmahnya:
Kalau kita perhatikan dari pertanyaan dan
tindakan Sayyid Abdul Qodir Al-Jaiani qs,
dalam upaya melerai perdebatan, maka tersirat
pemahaman dari ceritra dalam Kitab Asroruth
Tholibin (beberapa Rahasia para murid)
tersebut, intinya lebih mempertegas hakekat
para Nabi diutus oleh Allah SWT. kedunia,
bukan semata-mata mempermasalahkan siapa
nabi yang paling utama (karena hal ini sudah
jelas). Semua Nabi menjadi paling utama pada
zamannya, sedangkan pengalaman dalam
risalah ke-nabian dari zaman ke-zaman terus
dijadikan pelajaran dan disempurnakan sampai
zaman Nabi Muihmammad SAW sehingga
beliau mendapat gelar Sayyidul Anbiya.
Khotamin Nabiyyin Rohmatan Lil’aalamiin dan
orang-orang Nasranipun mengenal Nabi
Muhammad sebelum lahir seperti mengenal
kepada anaknya sendiri.
Firman Allah SWT:
‘Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata:
"Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar
gembira dengan (datangnya) seorang Rasul
yang akan datang sesudahku, yang namanya
Ahmad (Muhammad)." …. (QS (61) As- Shaf,
ayat: 6)
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan
adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu’.
(QS. (33) Al-Ahzab, ayat: 40)
Firman Allah SWT:
“pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu.
(QS. (5) Al-Maidah, ayat: 3)
Tahapan-tahapan risalah kenabian ini menjadi
pelajaran penting bagi kehidupan umat manusia
di dunia, bahwa hidup didunia adalah sebuah
proses amaliyah taklifiyah. apapun bentuknya
hari ini, adalah hasil dari perjalanan dan
perjuangan masa lalu/para pendahulu. yang
harus disyukuri, dihormati dan jangan
dilupakan.
dikatakan: siapa yang tidak beradab dianggap
tidak menjalankan syari’at, tidak beriman, dan
tidak bertauhid. Dengan beribadah seorang
hamba bisa sampai ke-sorga tapi tidak sampai
ke-Hadirat Allah SWT, kecuali dengan beradab
dalam beribadah. (Kitab Minahus Saniyah, hal:
16) dan dikatakan: menghadirkan guru (akhlaq
guru) dalam berdzikir agar rasanya ditemani
rasa gurunya (wusul) kepada Allah SWT. adalah
adab yang paling utama. (Kitab Kifayatul Atqiya,
hal: 107). Manivestasi adab ini telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam
perjalanan Isro’ Mi’raj (memenuhi panggilan
Allah SWT), beliau mendatangi dahulu
ketempat-tempat Nabi pilihan ditugasakan dan
melaksanakan shalat dua raka’at ditempat itu
atas perintah Allah SWT. melalui bimbingan
Malaikat Jibril as (Kitab Hasyiyah, hal: 7-8).
Didalam Al-Qur’an tempat-tempat itu disebut
dengan: “yang disekitarnya penuh
barokah” (QS. 17- Al- Israa’, ayat: 1). Sekarang
perjalanan itu populer dengan istilah ziaroh atau
bersilaturrahim kepada Ulama bersar baik
masih hidup ataupun sudah meninggal dunia
dengan mengharap keberkahan.
Para Nabi diutus oleh Allah SWT. ke-dunia
untuk tugas yang sama yaitu meluruskan dan
memperkokoh Tauhid yang diwujudkan dalam
bentuk ibadah sesuai syari’at-Nya, dalam arti
untuk menghidupkan kembali hati yang mati
terkukbur dalam kenikmatan jasmani,
sebagaimana dikatakan: “ketika ruh merasa
senang berada di dalam jasad, ruh lupa pada
perjanjian awal (waktu di alam Lahut) yaitu
pada hari ditanya: Bukankah Aku ini Rab
kalian, ruh menjawab: benar Engkau adalah
Rab kami, ”( QS.{7} Al-A’raaf, ayat: 172).
akibatnya ruh tidak bisa pulang kenegeri asal,
maka Allah SWT. dengan kasih-Nya memberi
pertolongan kepada mereka, dengan
menurunkan kitab-kitab samawi sebagai
peringatan tentang negeri asal. Firman Allah
SWT: “berilah peringatan pada mereka tentang
hari-hari Allah” (hari-hari pertemuan dengan
Allah SWT. di alam Lahut)”.(QS. 14 Ibrahim,
ayat: 5)
Firman Allah SWT:
“Hai Nabi sesungguhnya Kami mengutusmu
untuk jadi saksi, membawa kabar gembira,
memberi peringatan, menyeru untuk kembali
kepada Allah SWT. Dengan izin-Nya serta untuk
menjadi cahaya yang menerangi. (QS. (33) Al-
Ahzab, ayat: 45-46)
Firman Allah SWT:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata,(QS. (62) Al-
Jumu’ah, ayat: 2)
Syari’at Nabi Muhammad SAW. (yaitu: Al-
Qur’an dan Al-Hadits) sudah sempurna dan
telah melengkapi Syari’at Nabi-Nabi
sebelumnya, maka tidak ada lagi syari’at Nabi
setelah Nabi Muhammad SAW, yang ada
adalah Ulama pewaris para Nabi. melanjutkan
risalah Nabi Muhammad SAW.sampai akhir
zaman. dan segala sesuatunya dalam hal amal
ibadah lebih lengkap. lebih jelas dan menjadi
lebih mudah untuk dapat dilaksanakan.
Diantaranya yang paling mendasar adalah:
Frman Allah SWT.:
“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah
(berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara Kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan
selain Allah". jika mereka berpaling Maka
Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah
diri (kepada Allah)". (QS- (3) Ali Imron, ayat:
64)
Firman Allah SWT:
“Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan pandangan yang nyata
(basyiroh), Maha suci Allah, dan aku tiada
Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. (12)
Yusuf, 108)
Di dalam tafsir Ibnu Abas hal: 49: dijelaskan,
bahwa: yang dimaksud “kalimat sawa” adalah
kalimat: La Ilaaha Illa Allah”, sedangkan yang
dimaksud dengan “basiroh” adalah pandangan
yang jelas (agama). atau pandangan Rasulullah
SAW yang telah mendapat limpahan hidayah
dari Allah SWT. Firman Allah SWT: “dan yang
telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi
Kami” (QS. {18} Al-Kahfi, ayat 65). Rasulullah
bersabda: yang paling utama aku ucapkan dan
yang diucapkan Nabi-nabi sebelumku adalah
“Laa Ilaaha Illa Allah” (Miftahus Shudur.I, hal:
13), kalimat ini secara khusus diajarkan oleh
Rasulullah SAW. kepada para sahabatnya yang
disebut dengan Talqien Dzikir.
Rasulullah bersabda:
“Aku ajarkan kalimat baik ini kepada para
sehabat agar dapat membersihkan hatinya dan
mensucikan Nafsnya sehingga sampai ke-
Hadirat Allah SWT. dan mendapat kebahagiaan
yang abadi (qudus) “. (Miftahus Shuduur II, hal:
25)
“Setiap bai’at (pelajaran) yang di dapat setelah
Nabi Muhammad SAW. Itu memperbaharui
bai’at (pelajaran) yang telah dicotohkannya,
adapun orang-orang ‘Arifiin adalah pengganti
beliau”. (Miftahush Shuduur (II) , hal: 27)
Talqien (pelajaran) Dzikir meliputi dua hal
mendasar, yaitu Jahar dan khofi berazaskan
ilmu syari’at dan ma’rifat, lisan dan janan, Lahir
dan bathin karena Al-qur’an meliputi dhohir
bathin memenuhi kebutuhan jismani dan rohani
manusia bisa kembali ke-negeri asal (alam
Lahut). maka Dzikir Jahar itu lahiryiah (Kalimah
Thoyyibah) diucapkan di lisan berdasarkan ilmu
syari’at atau dlohirnya Al-Qur’an, sedangkan
Dzikir khofi itu bathiniyah (Kalimah Thoyyibah)
diucapkan dihati berdasarkan ilmu ma’rifat atau
bathinnya Al-Qur’an,
Syekh Abdul Mawahib Asy Syazili: berkata:
Ulama-ulama berlainan pendapat: manakah
yang lebih utama, Dzikir jahar atau dzikir Sirri?
Disitu aku berkata: sesungguhnya dzikir Jahar
sangat utama untuk menambah kekuatan
(bulatnya tekad) bagi Ahli bidayah. dan dzikir
Sirri sangat utama untuk menambah kekuatan
Al-Jam’iyyat (kumpulnya cita-cita dalam
bertawajuh) bagi Ahli Nihayah (Miftahus Sudur,
hal: 11).
Dan dikatakan: untuk melihat keberadaan ruh
Al-qudsi, mula-mula dzikir diucapkan dengan
lisan lidahnya, setelah hatinya hidup kemudian
dengan lisan hatinya. Oleh karena itu mula-
mula manusia memerlukan ilmu syari’at agar
jasmaninya mempunyai kegiatan untuk
mencapai pengetahuan di alam ma’rifat sifat,
yaitu darajat. Kemudian membutuhkan ilmu
bathin agar ruhnya mempunyai kegiatan untuk
mencapai pengetahuan di alam ma’rifat Dzat,
yaitu Al-Qurbah di alam Lahut negeri asal
tempat diciptakanya Ruh Al-Qudsi dalam
bentuk terbaik. Rasulullah SAW bersabda: “Ilmu
itu ada dua macam, pertama illmu lisan,
sebagai hujjah Allah SWT. kepada hamba-
hamba-Nya kedua ilmu bathin, ilmu yang
berguna untuk mencapai tujuan”. (Sirrul Asror,
hal: 20)
Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya ilmu bathin itu adalah rahasia
dari rahasia-Ku yang Aku jadikan di dalam
qolbu hamba-Ku dan tidak ada sesuatupun
yang bisa tetap di dalam hati hamba-Ku selain
Aku.” (Sirrul Aasror, hal: 26)
Dengan demikian bahwa dzikir Jahar itu dzikir
yang secara tekstual masih ada antara/jarak
sebagai hujjah ikhtiariyah Jismaniyah
merupakan tahap awal selama hidup didunia
dan masih membutuhkan penyempurnan yang
bersifat bathinyyah (dikiaskan dengan Syari’at
Nabi Isa yang belum lengkap). difahami dari
jawaban orang Nasrani: kalau Nabi Isa
mengidupkan yang mati bagaimana
perkataannya?, Kata Nasrani “Kum biidznillah”!
artinya: bangun kamu dengan idzin Allah SWT.
Sedangkan dzikir Khofi secara tekstual tidak
ada antara/jarak sebagai hujjah ikhtiariyah
bathiniyah tahap penyempurna di dunia untuk
mendapatkan limpahan hidayah qolbiyah
ukhrowiyah tidak bersifat ikhtiri jismai tapi
bersifat karunia dari Allah SWT Yang Maha
Rahman dan Maha Rahim. (dikiaskan dengan
syari’at Nabi Muhmammad yang sudah lengkap
yang dilajutkan oleh para Ulama pewaris para
Nabi sampai akhir zaman), difahami dari
perkataan Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani: “Coba
dengarkan kalau kami begini: “Kum biidzni”
artinya: bangun kamu dengan idzinku.”.
Dzikir Jahar tidak sempurna tanpa dzikir khofi,
dzikir khofipun tidak akan sempurna tanpa
diawali dengan dzikir Jahar, sebagaimana
dikatakan: bahwa ibadah yang sempurna itu
dengan keduanya tidak dengan mengambil
salah-satunya. Firman Allah SWT:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku. (QS. (51) Adz Dzariyyaat, Ayat: 56), yaitu
untuk Ma’rifatullah. Karena bagi orang yang
tidak Ma’rifatullah bagaimana bisa beribadah
kepada Allah SWT.
Ma’rifatullah bisa dicapai dengan membuka tirai
diri yang menghalangi cermin hati dengan
membersihkannya (dzikrullah), maka dengan
(dzikrullah) akan melihat keindahan mutiara
yang tersembunyi di dalam Sirr Lub Al-Qolbi/
lubuk hati (Sirrul Asror, hal: 16) . keterangan ini
nampaknya dikiaskan dengan kata-kata:
“Kemudian kuburan itu terbelah dan mayitnya
keluar dari kuburan sambil bernyayi karena
tadinya orang itu pekerjaanya bernyanyi.
Bernyanyi adalah ungkapan perasaan yang
tampak kepermukaan menjadi alunan suara
yang sangat indah memberi kedamaian.
Sebenarnya tidak ada kedamaian yang hakiki
dan tidak ada ketenangan yang abadi di dunia
ini melebihi kedamaian hati dan ketenangan
ruhani dengan dzikrullah, karena tadinya (di
alam arwah) semua ruh berdzikrullah.
Firman Allah SWT.:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-
lah hati menjadi tenteram. (QS. (13) Ar Ra’du,
ayat: 28)
Dengan dzikrullah semua amal sholeh menjadi
terangkat, semua perkataan jadi manfaat,
semua yang kurang jadi lengkap dan semua
aturan jadi sempurna, ini nampaknya dikiaskan
dengan Istilah: Kemudian Nasranipun akhirnya
masuk Islam”
Firman Allah SWT.:
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal saleh dinaikan-Nya (QS. Al
Fathir, ayat: 10)
Adapun kuburan yang usianya sudah 500 tahun
mengisyarohkan pada jarak antara waktu
Sayyid Abdul Qodir Al-Jailani qs dengan Nabi
Muhammad SAW kurang lebih 500 tahun.
Difahami dari keterangan sbb: semua Ruh
berasal dari Ruh Muhammadiyyah, sabda Nabi
Muhammad SAW: aku dari Allah SWT, dan yang
beriman dariku (Sirrul Asror, hal: 11),
sedangkan Nabi Muhammad SAW. Lahir
kedunia berbarengan dengan lahirnya Ruh
Muhammadiyyah dalam bentuk tatanan dan
takaran syari’at Agama Islam yang sempurna,
sebagaimana Siti Aisyah mengatakan: bahwa
Akhlaq Nabi Muhammad SAW itu akhlak Al-
Qur’an, dan jelaskan: Ketika Allah SWT. ingin
menampakan Hakikat Muhammadiyyah maka
diwujudkan dalam bentuk rupa jasmani dan
rohani Nabi Muhammad SAW”. (Kitab Barjanji,
hal: 76-77).
Dari keterangan ini dapat pula dianalogikan
(sebuah istilah) bahwa ruh yang lahir dalam
wujud jasmani di zaman Sayyid Abdul qodir Al-
Jailani adalah ruh yang telah mati terkubur
selama 500 tahun, demikian pula yang lahir di
tahun 2011 M. ini, adalah ruh yang telah mati
terkubur selama kurang lebih 1.500 tahun.
Wallohu ‘alam

4 komentar:

  1. Kalau memang kisah Abdul Qadir Jaelani ini benar maka harus buktikan terlebih dahulu mana riwayat & hujahnya yang shahih.
    Sabda2 Rasulullah SAW saja yang jelas seorang Rasul melalui proses seleksi yang ketat ditelusuri kebenaran apakah riwayatnya shahih, hasan, dhaif, dll?
    Dan kitab Lubabul Ma'ani yang menceritakan kisah Abdul Qadir Jaelani ini sarat dengan ghuluw yang justru dalam ajaran islam sendiri sangat dicela..

    BalasHapus
  2. Pak Safwan yang budiman, ini tahun 2015 teknologi sudah canggih, knapa baru meragukan kisah tersebut, kenapa orang - orang jadul gak beranggapan seperti bapak juga

    BalasHapus
  3. Para ulama yg waro yg mengarang kitab manakib tidak mungkin sembarangan.karena meekalah yg sangat takut kepada Allah dibanding kita.yg belum temtu pahan akan keilmuan para ulama.kita tahu ilmu agama pun hanya dari .terjemahan,internet ,majalah,koran dan buku buku di warung

    BalasHapus