Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah - KTB
(PISS-KTB)
022. NIKAH : Hukum Menikah Saat Hamil
Berawal dari wall post salah seorang anggota
PISS KTB tentang nikah karena ‘kecelakaan’,
ternyata kami mendapati pula jawaban yang
simpang siur dalam beberapa situs lain. Untuk itu
tergeraklah kami untuk memberikan klarifikasi
yang lebih akurat dalam permasalahan ini.
Permasalahan ini bermula dari asumsi menikah
karena ‘kecelakaan’ hanya sah di hadapan
negara. Sehingga ketika si wanita telah
melahirkan maka wajib mengadakan nikah ulang
agar sah sesuai syariat. Benarkah demikian?
Untuk mengetahui hal ini kita tertuntut untuk
membahas bagaimana sebenarnya hukum
menikah karena hamil di luar nikah.
Beberapa kitab menampilkan kesan adanya ijma’
tentang sahnya menikahi wanita pezina. Misalnya
dalam Raudhah:
ﻓﺮﻉ ﻟﻮ ﻧﻜﺢ ﺣﺎﻣﻼ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺻﺢ ﻧﻜﺎﺣﻪ ﺑﻼ ﺧﻼﻑ
ﻭﻫﻞ ﻟﻪ ﻭﻃﺆﻫﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻮﺿﻊ ﻭﺟﻬﺎﻥ ﺃﺻﺤﻬﻤﺎ ﻧﻌﻢ ﺇﺫ ﻻ ﺣﺮﻣﺔ ﻟﻪ ﻭﻣﻨﻌﻪ
ﺍﺑﻦ ﺍﻟﺤﺪﺍﺩ
ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﻭﻋﻤﺪﺓ ﺍﻟﻤﻔﺘﻴﻦ ﺝ8 ﺹ 375
Atau dalam Fathul Bari:
ﻗﺎﻝ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺒﺮ ﻭﻗﺪ ﺃﺟﻤﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﺘﻮﻯ ﻣﻦ ﺍﻷﻣﺼﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺤﺮﻡ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﺗﺰﻭﺝ ﻣﻦ ﺯﻧﻰ ﺑﻬﺎ
ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭ ﺝ9 ﺹ 164
Namun demikian redaksi ungkapan ijma’nya tidak
sharih. Perkataan an-Nawawi ‘bila khilaf’ (tanpa
ada perbedaan pendapat) bisa merujuk pada
tiadanya perbedaan pendapat dalam satu
madzhab, yakni Syafi’iyah dalam konteks Imam
Nawawi. Demikian pula perkataan Ibnu Abdil Birri
‘minal amshar’ (dari segolongan tempat) bisa
merujuk pada ulama di tempat tertentu saja.
Bukti dari tidak adanya ijma’ adalah pernyataan
al-Mawardi ada tiga pendapat hukum menikahi
wanita pezina. Pertama, halal menurut jumhur
fuqaha’ dan sahabat. Kedua, tidak halal menurut
beberapa sahabat. Ketiga, halal dengan catatan
(al-Hawi al-Kabir 9/492-493).
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat
berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah.
Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib.
Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar,
Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi
al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah
7/518, Tafsir al-Alusi 13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3,
yakni
ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺢُ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺔً ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻛَﺔً ﻭَﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻴَﺔُ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﻜِﺤُﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺯَﺍﻥٍ ﺃَﻭْ ﻣُﺸْﺮِﻙٌ
ﻭَﺣُﺮِّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.”
2. Mutlak sah.
Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-
Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24
QS. An-Nisa:
ﻭَﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻜُﻢْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang
demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan
wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan
demikian selain wanita yang telah disebutkan
halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang
berzina.
Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
ﻟَﺎ ﻳُﺤَﺮِّﻡُ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝَ
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/
menjadikan mahram pada (orang) yang
halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai
wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk
menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-
Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada
tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul,
yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin
Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu
Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan
‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut:
“Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh
melainkan (dengan) perempuan yang berzina…
dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh
oleh QS. An-Nisa ayat 3:
ﻓَﺎﻧْﻜِﺤُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻃَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi.”
3. Sah dengan syarat
selama menikah tidak berhubungan badan
dengan istri sampai dia melahirkan. Didukung
oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh
al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi,
tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan.
Termaktub dalam hadits:
ﻟَﺎ ﺗَﺴْﻖِ ﺑِﻤَﺎﺋِﻚَ ﺯَﺭْﻉَ ﻏَﻴْﺮِﻙَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)
nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud
dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat
menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan
(istibra’). Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri,
Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan
Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-
Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki
iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai
iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq
ayat 4:
ﻭَﺃُﻭﻟَﺎﺕُ ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺎﻝِ ﺃَﺟَﻠُﻬُﻦَّ ﺃَﻥْ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﻬُﻦَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu
‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
ﺃَﻟَﺎ ﻟَﺎ ﺗُﻮﻃَﺄُ ﺣَﺎﻣِﻞٌ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻀَﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺫَﺍﺕِ ﺣَﻤْﻞٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺤِﻴﺾَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia
melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak
hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud,
Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan
setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat.
Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn
Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493,
Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan
bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur,
‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman
menikahi pezina diperuntukkan bagi orang
mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah
bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali
menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan
hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana
hadits:
ﺍﻟﺘﺎﺋﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺬﻧﺐ ﻛﻤﻦ ﻻ ﺫﻧﺐ ﻟﻪ
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu
layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim,
Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-
laki yang berzina dengan seorang perempuan,
apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu
Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan
keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal
shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita
tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai
ataupun orang lain. Dari sudut pandang
Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada
kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti
percampuran nasab. Dari perspektif ulama
lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya
hubungan badan.
Tersebut dalam Bughyah:
( ﻣﺴﺄﻟﺔ : ﻱ ﺵ ( : ﻳﺠﻮﺯ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻧﺎ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ
ﻭﻭﻃﺆﻫﺎ ﺣﻴﻨﺌﺬ ﻣﻊ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ .
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ : ﺑﻐﻴﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪﻳﻦ ﺹ 419
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
ﻓﺼﻞ : ﻭﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﺸﺮﻃﺎﻥ ﺣﻞ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﻟﻠﺰﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ
] ﺍﻟﻤﻐﻨﻲ - ﺍﺑﻦ ﻗﺪﺍﻣﺔ [ ﺝ7 ﺹ 518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal,
apakah nikahnya harus diulang? Maka
jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah
dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah
sejak awal. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar