Jumat, 10 Januari 2014

SIMTHUD DUROR

Maulud SIMTHUD-DURAR
Jika belasan tahun yang lalu hanya kalangan
tertentu yang mengenal dan membaca kitab
Maulid Simthud Durar di Indonesia, kini
keadaannya telah berubah. Kitab ini dalam
tahun-tahun belakangan semakin populer
mendampingi kitab-kitab Maulid lain yang telah
lebih dahulu ada. Sebelum tersebar luas di
Indonesia, kitab ini telah menyebar di Jazirah
Arab, Afrika, dan beberapa negeri lain di Asia,
dan kini telah mencapai benua Eropa, Amerika,
dan belahan dunia lainnya. Simthud Durar ditulis
oleh Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi ketika
ia berusia 68 tahun. Pada hari Kamis tanggal 26
Shafar 1327 H/18 Maret 1909, Habib Ali
mendiktekan paragraf awal Maulid Simthud Durar
setelah memulainya dengan basmalah, yakni
mulai dari al-hamdu lillahil qawiyyi sulthanuh dan
seterusnya hingga wa huwa min fawqi ilmi ma
qad ra-athu rif‘atan fi syu-unihi wa kamala. Ia
kemudian memerintahkan agar tulisan itu
dibacakan kepadanya. Setelah pendahuluan itu
dibacakan, ia berkata, “Insya Allah aku akan
menyempurnakannya. Sudah sejak lama aku
berkeinginan untuk menyusun kisah Maulid.”
Pada hari Selasa awal Rabi’ul Awwal 1327 H/23
Maret 1909 M, ia memenrintahkan agar Maulid
yang telah ia tulis dibaca. Kemudian pada malam
Rabu 9 Rabi’ul Awwal 1327 H/31 Maret 1909 M,
ia mulai membaca Maulidnya di rumahnya
setelah Maulid itu disempurnakan. Dalam
kesempatan itu ia mengatakan, “Maulid ini
sangat menyentuh hati, dan ia baru selesai
disusun.” Pada hari Kamis 10 Rabi’ul Awwal
1327 H/1 April 1909 M, ia menyempurnakannya
lagi. Dua hari kemudian, Sabtu 12 Rabi’ul
Awwal, ia membaca Maulid tersebut di rumah
muridnya, Sayyid Umar bin Hamid Assegaf.
Sejak saat itu, ia membaca Maulidnya sendiri,
Simthud Durar. Sebelumnya ia membaca Maulid
Ad-Diba‘iy.
Pengantar
Disebutkan pula, Maulid Simthud Durar pertama
kali dibaca di rumah Habib Ali, kemudian di
rumah muridnya, Habib Umar bin Hamid. Para
sahabatnya kemudian meminta agar Habib Ali
membaca Maulid itu di rumah-rumah mereka.
Memenuhi permintaan mereka, ia pun
mengatakan, “Selama bulan ini, setiap hari aku
akan membaca Maulid Simthud Durar di rumah
kalian secara bergantian.” Habib Ali juga
mengatakan, “Dakwahku akan tersebar ke
seluruh penjuru. Maulidku ini akan tersebar ke
tengah-tengah masyarakat, akan mengumpulkan
mereka kepada Allah dan akan membuat mereka
dicintai Nabi SAW.” Ia juga mengatakan, “Jika
seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai
wiridnya atau menghafalnya, sir (rahasia) Al-
Habib Shallallahu `Alaihi wa Sallam akan tampak
pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan
mendiktekannya. Namun, setiap kali kitab itu
dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu
untuk berhubungan dengan Nabi SAW. Pujianku
kepada Nabi SAW dapat diterima oleh
masyarakat. Ini karena besarnya cintaku kepada
Nabi SAW.”
Ketermasyhuran kitab Maulid Simthud Durar juga
membuat penyusunnya semakin terkenal. Orang
semakin tahu dan semakin ingin tahu lagi ihwal
kehidupan dan kelebihannya sebagai salah
seorang tokoh ulama Alawiyyin terkemuka abad
ke-19 Masehi (abad ke-13 Hijriyyah) di
Hadhramaut. Tersebar ke Beberapa Negeri Al-
Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad
bin Husain Al-Habsyi lahir pada hari Jum’at 24
Syawwal 1259 H/18 November 1843 M di
Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut. Ia
anak satu-satunya pasangan Al-Imam Al-Arif
billah Muhammad bin Husain bin Abdullah Al-
Habsyi, seorang ulama terkemuka yang banyak
berdakwah di berbagai tempat, dan Asy-Syarifah
Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Jufri,
wanita shalihah yang amat bijaksana. Yang
menamainya adalah Habib Abdullah bin Husain
Bin Thahir, guru ayahnya. Dari istri yang lain,
ayahnya mempunyai empat putra dan seorang
putri, yakni Abdullah, Ahmad, Husain, Syaikh,
dan Aminah. Guru Habib Ali sangat banyak.
Sejak kecil ia dididik oleh ayah dan ibunya.
Guru-gurunya dari angkatan tua di antaranya
Habib Hasan bin Shalih Al-Bahar dan Habib
Abdullah bin Husain Bin Thahir. Adapun syaikh
fath (guru pembuka tabir pengetahuan)-nya
adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Attas.
Ia pun menimba ilmu kepada para ulama besar
lainnya, seperti Habib Muhsin bin Alwi Assegaf,
Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar Assegaf,
Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhar.
Gurunya yang terakhir sekaligus sahabat karibnya
adalah Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi. Habib
Ali juga pernah menimba ilmu di Makkah ketika
ayahnya pindah dan tinggal di sana. Atas
permintaan sang ayah, pada usia 17 tahun ia
berangkat ke sana bersama rombongan haji dan
belajar selama dua tahun. Setelah itu ia kembali
ke Seiwun dan mengambil ilmu dari tokoh-tokoh
ulama di sana.
Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi
telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran
dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zhahir dan
bathin sebelum mencapai usia yang biasanya
diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu, ia
diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk
memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-
pengajian di hadapan khalayak ramai. Sehingga,
dengan cepat sekali ia menjadi pusat perhatian
dan kekaguman serta memperoleh tempat
terhormat di hati setiap orang. Kepadanya
diserahkan tampuk kepemimpinan tiap majelis
ilmu, lembaga pendidikan, serta pertemuan-
pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.
Selanjutnya, ia melaksanakan tugas-tugas suci
yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-
baiknya.
Ia menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang
sebelumnya banyak dilupakan. Mengumpulkan,
mengarahkan, dan mendidik para siswa agar
menuntut ilmu, di samping membangkitkan
semangat mereka dalam mengejar cita-cita yang
tinggi dan mulia. Untuk menampung mereka,
dibangunnya Masjid Riyadh di kota Seiwun
(Hadhramaut), pondok-pondok dan asrama-
asrama yang diperlengkapi dengan berbagai
sarana untuk memenuhi keperluan mereka,
termasuk soal makan-minum. Sehingga mereka
dapat belajar dengan tenang dan tenteram,
bebas dari segala pikiran yang mengganggu,
khususnya yang bersangkutan dengan keperluan
hidup sehari-hari. Bimbingan dan asuhan darinya
yang seperti itu telah memberikan kepuasan yang
tak terhingga baginya, hingga ia menyaksikan
banyak sekali di antara murid-muridnya yang
berhasil mencapai apa yang dicita-citakannya,
kemudian meneruskan serta mensyiarkan ilmu
yang telah mereka peroleh. Bukan saja di daerah
Hadhramaut, tetapi juga tersebar luas ke
beberapa negeri lainnya, di Afrika dan Asia,
termasuk di Indonesia. Di tempat-tempat itu,
mereka mendirikan pusat-pusat dakwah dan
syiar agama. Mereka sendiri menjadi perintis dan
pejuang yang gigih, sehingga mendapat tempat
terhormat dan disegani di kalangan masyarakat
setempat. Pertemuan-pertemuan keagamaan
diadakan pada berbagai kesempatan. Lembaga-
lembaga pendidikan dan majelis-majelis ilmu
didirikan di banyak tempat, sehingga manfaatnya
benar-benar dapat dirasakan dalam ruang
lingkup yang luas sekali.
Murid-murid Habib Ali antara lain adalah anak-
anaknya sendiri, Abdullah, Muhammad, Ahmad,
dan Alwi. Juga saudaranya, Habib Syaikh bin
Muhammad, dan kemenakannya, Habib Ahmad
bin Syaikh. Kemudian Habib Ja‘far bin Abdul
Qadir bin Abdurrahman bin Ali bin Umar bin
Segaf Assegaf, Habib Muhammad bin Hadi bin
Hasan Assegaf, Habib Muhsin bin Abdullah bin
Muhsin Assegaf, Habib Salim bin Shafi bin Syekh
Assegaf, Habib Ali bin Abdul Qadir bin Salim bin
Alwi Al-Aydrus, Habib Abdullah bin Alwi bin Zain
Al-Habsyi, dan banyak lagi yang lainnya.
Murid-muridnya yang mencapai derajat alim
dalam ilmu fiqih dan lainnya, selain yang
menetap di ribath, antara lain Habib Thaha bin
Abdul Qadir bin Umar Assegaf, Habib Umar bin
Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Alwi bin
Segaf bin Ahmad Assegaf, Syaikh Hasan, Syaikh
Ahmad, dan Syaikh Muhammad bin Muhammad
Baraja. Selain murid-murid yang benar-benar
belajar kepadanya, ada pula orang-orang yang
selalu bersamanya dan seperti muridnya sendiri,
yakni Habib Abdullah bin Ahmad bin Thaha bin
Alwi Assegaf, Habib Alwi bin Ahmad bin Alwi bin
Segaf Assegaf, Syaikh Ahmad bin Ali Makarim,
Syaikh Ahmad bin Umar Hassan, Syaikh
Muhammad bin Abdullah bin Zain bin Hadi bin
Ahmad Basalamah, dan Syaikh ‘Ubaid bin
Awudh Ba Fali.
Syiar Islam lewat Pena Selain aktif berkegiatan
dakwah dan penyebaran ilmu secara langsung, ia
juga menggemakan syiar Islam lewat pena. Di
samping kitab Maulid Simthud Durar, banyak
juga karya lainnya, baik yang disusun langsung
olehnya maupun oleh murid-murid, para
pengikut, dan keturunannya.
Di antaranya adalah kitab-kitab kumpulan
amalannya yang berisi wirid, hizib, ratib, dan
lain-lain, yang sebagian besar berasal dari Al-
Quran, hadits, dan amalan para ulama
terkemuka. Di tahun-tahun terakhir
kehidupannya, penglihatan Habib Ali semakin
kabur. Dan dua tahun sebelum wafatnya, ia
kehilangan penglihatannya.
Akhirnya pada waktu zhuhur hari Ahad 20
Rabi’ul Akhir 1333 H/7 Februari 1915 M, di kota
Seiwun, Hadhramaut, ia kembali ke rahmatullah.
Keesokan harinya jenazahnya diantarkan ke
kubur dalam iring-iringan yang sangat panjang.
Setelah shalat Jenazah di halaman Masjid
Riyadh yang diimami oleh anak dan khalifah
(pengganti)nya, Habib Muhammad, jenazahnya
dikebumikan di sebelah barat Masjid Riyadh.
Dalam wasiatnya, Habib Ali menunjuk putranya,
Habib Muhammad, sebagai khalifahnya.
Mengenai Habib Muhammad ini, Habib Ali
pernah mengatakan, “Kalian jangan
mengkhawatirkan anakku, Muhammad. Pada
dirinya terletak khilafah zhahir dan bathin.
Semoga Allah menjadikan dia dan saudara-
saudaranya penyejuk hati. Semoga mereka dapat
memakmurkan ribath dan Masjid Riyadh dengan
ilmu dan amal. Semoga Allah menjadikan mereka
sebagai teladan dalam setiap kebajikan, dan
semoga Allah memberikan mereka keturunan
yang shalih serta menjaga mereka dari berbagai
fitnah zaman dan teman-teman yang buruk.”
Dari perkawinannya dengan seorang wanita
Qasam, Habib Ali dianugerahi Allah SWT seorang
anak yang dinamainya Abdullah. Dan dari
perkawinannya dengan Hababah Fathimah binti
Muhammad bin Segaf Mulachela, ia
mendapatkan empat anak: Muhammad, Ahmad,
Alwi, dan Khadijah. Di antara putra-putranya
yang paling dikenal di Indonesia ialah putranya
yang bungsu, Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi,
pendiri Masjid Riyadh di Gurawan, Solo
(Surakarta). Ia dikenal sebagai peribadi yang
amat luhur budi pekertinya, lemah lembut, sopan
dan santun, serta ramah tamah terhadap siapa
pun, terutama kaum yang lemah, fakir miskin,
yatim piatu. Rumah kediamannya selalu terbuka
bagi para tamu dari berbagai golongan dan tidak
pernah sepi dari pengajian dan pertemuan-
pertemuan keagamaan. Habib Alwi wafat di kota
Palembang pada tanggal 20 Rabi’ul Awal 1333
H/7 Februari 1915 M, dan dimakamkan di kota
Solo.
Banyak sekali ucapan Al-Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi yang telah dicatat dan
dibukukan, di samping tulisan-tulisannya yang
berupa pesan-pesan ataupun surat-menyurat
dengan para ulama di masa hidupnya, juga
dengan keluarga dan sanak kerabat, kawan-
kawan serta murid-muridnya, yang semuanya itu
merupakan perbendaharaan ilmu dan hikmah.
Dalam bonus doa kali ini, alKisah
mempersembahkan kepada Anda kitab Maulid
Simthud Durar, yang lengkapnya berjudul
Simthud Durar fi Akhbar Maulid Khayril Basyar
wa Ma Lahu min Akhlaq wa Awshaf wa Siyar
(Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia
Utama; Akhlaq, Sifat, dan Riwayat Hidupnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar