Kamis, 30 Januari 2014

Risalatul Qusyairiyyah 2

RISALATUL QUSYAIRIYAH
BAB II.
TERMINOLOGI TASAWUF
(Istilah kata-kata dalam bahasa tasawuf)
Ketahuilah, bahwa setiap golongan dari
para ulama mempunyai terminologi praktis
yang selalu menjadi patokan. Mereka, dengan
penggunaan kata-kata tersebut, melakukan
internalisasi yang berbeda dengan lainnya,
sebagaimana mereka sepakati untuk tujuan
mereka, agar dipahami kelompok massanya,
atau terpaku pada makna-maknanya secara
global. Mereka menggunakan kata-kata yang
dimngerti oleh mereka, dengan maksud agar
mereka di dalamnya hanya bagi mereka,
membuat tirai bagi orang yang menentang
tharikatnya, agar makna kata-kata mereka
menjadi samar bagi orang lain, sebagai bentuk
fanatis terhadap rahasia-rahasia mereka, agar
tidak tersebar kepada yang bukan ahlinya.
Sebab hakikat mereka, bukanlah kumpulan
dari ragam tugas, atau tertarik oleh amcam
upaya. Namun tasawuf merupakan makna-
makna yang telah dititipkan Allah swt. dalam
setiap kalbu kaum Sufi, dan hakikat-
hakikatnya tersari dari rahasia-rahasia kaum
Sufi tersebut.
Kami bermaksud menjelaskan kata-kata
tersebut agar mudah dipahami oleh orang
yang mau bersikukuh mendalami makna-
maknanya dari mereka yang menempuh jalan
tasawuf dan mengikuti tradisi mereka.
( Ungkapan dari para Sufi sering kontra
terhadap sebab logika duniawi, ketika mereka
menguraikan tentang kondisi ruhani, hasrat
dan bisikan hatinya, serta rasa terdalamnya.
Ungkapan itu tidak bisa menggambarkan
kilatan atau rasa yang begitu cepat, dan
sulitnya mencari wujud serupa dalam realita.
Catatan kaki)
DAFTAR - ISI
1. WAKTU
2. MAQAM
3. HAAL
4. QABDH DAN BASTH
5. HAIBAH DAN UNS
6. TWAJUD, WUJD DAN WUJUD
7. JAM’ DAN FARQ
8. FANA’DAN BAQA’
9. GHAIBAH DAN HUDHUR
10. SHAHW DAN SUKR
11. DZAUQ DAN SYURB
12. MAHW DAN ITSBAT
13. SITR DAN TAJALLI
14. MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN
MUSYAHADAH
15. LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
16. BUWADAH DAN HUJUM
17. TALWIN DAN TAMKIN
18. QURB DAN BU’D
19. SYARIAT DAN HAKIKAT
20. NAFAS
21. AL-KHAWATHIR
22. ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN
HAQQUL YAQIN
23. WARID
24. SYAAHID
25. NAFSU
26. RUH
27. SIRR
1.
W A K T U
Edit : Pujo Prayitno
Esensi waktu (al-Waqt). Menurut
penelaah ahli hakikat, adalah suatu peristiwa
yang terbayangkan, yang hasilnya dikaitkan
pda peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang
terjadi merupakan waktu bagi peristiwa yang
dibayangkan (akan datang). Seperti kalimat,
“Anda di datangi awal bulan”, maka,
“kedatangan” merupakan sesuatu yang
terbayang. Sedangkan awal bulan adalah
sesuatu yang terjadi nyata. Awal bulan berarti
waktu bagi kedatangan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq ra. Berkata : “Waktu adalah sesuatu
yang Anda berada di dalamnya. Kala Anda di
dunia, maka waktu Anda adalah dunia. Bila di
akhirat, maka waktu Anda adalah akhirat.
Ketika Anda senang, itulah waktu Anda. Kalau
Anda susah, susah itulah waktu Anda.”
Maksud Syeikh tadi, waktu memiliki definini
yang umum bagi manusia.
Ada kala waktu diartikan sebagai
zaman. Ada kalangan yang mengatakan,
waktu merupakan sesuatu antara dua zaman.
Yang lampau dan yang akan datang.
Mereka juga mengatakan, bahwa orang
Sufi merupakan anak sang waktu. Kalimat
tersebut dimaksudkan, bahwa sang Sufi
disibukkan dengan priorotas utama yang harus
dikerjakan ketika itu, mandiri terhadap
perolehan seketika.
Dikatakan : “Orang fakir tidak
mementingkan apa yang telah lewat dan yang
akan tiba dalam waktunya, tapi lebih
mementingkan apa yang ada pada saat itu.”
Dikatakan : “ Menyibukkan terhadap waktu
yang berlalu, berarti menelantarkan waktu
berikutnya.”
Terakdang mereka bermaksud
mendefinisikan waktu sebagai sesuatu yang
dilakukan ooleh Al-Haq kepada mereka tanpa
adanya pilihan bagi mereka. Mereka
mengatakan ( si Fulan dengan hukum waktu).
Yakni : Fulan menyerahkan diri kepada yang
tampak dari yang ghaib tanpa usahanya
sendiri. Yaitu dalam hal yang tidak masuk
kategori perintah Allah swt, atau terapan
menurut hukun syariat. Karena adanya
penelantaran terhadadap apa yang diperintah
dan merekayasa dalam waktu untuk
mengalahkan takdir, di samping meninggalkan
kepedulian terhadap sesuatu yagn Anda
hasilkan melalui penyimpangan, berarti keluar
dari agama.
Mereka berkata : “Waktu adalah
pedang”. Sebagaimana fungsi pedang itu
sendiri untuk memotong. Maka waktu,
disebabkan oleh kebenaran yang berlalu, yang
memenangkan kebenaran, akan melewatinya.
Dikatakan : “Pedang sangat halus
sentuhannya, namun tajam sayatannya.
Barangsiapa menghindarinya (berkelit) akan
selamat dan barangsiapa bertindak kasar akan
tertebas olehnya. Begitu juga waktu, siapa
yang mencurahkan pada hukum waktu akan
selamat, dan barangsiapa menentangnya akan
tertebas dan jatuh dalam kehancuran.”
Seperti dalam bait ini :
Dan seperti pedang..
Jika tak mencegahnya untuk menyentuh
Tajamnya, kalau mengasari tergoreslah .
Barangsiapa ditolong sang waktu, maka
waktu hanya baginya. Dan barangsiapa
menentangnya, sang waktu pun akan marah
ke padanya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq berkata : “Waktu adalah pembubut
yang akan menggilasmu, namun tidak
melenyapkanmu. Yakni, jika melenyapkan dan
menyirnakanmu, pasti bersih ketika dirimu
sirna. Akan tetapi waktu mengambilmu, tanpa
melenyapkanmu sama sekali.”
Sang Syeikh bersyair :
Setiap hari ia lewat meraih tanganku..
Memberikan penyesalan dalam hatiku..
Kemudian... ia berlalu..
Dalam syair pula :
Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang matang..
Kembali pula kulit itu,
Bagi suatu penderitaan.
Dikatakan :
Bukanlah orang mati itu
Orang istirahat sebagai mayit.
Tetapi orang mati itu
Kematian hidupnya.
Orang cerdas adalah orang yang
berada dalam hukum waktunya. Apabila
waktunya adalah sadar dalam Ilahi (ash-
shahw), maka ia tegak mandiri dengan
syari’at. Apabila waktunya adalah sirna dalam
Ilahi, yang kompeten adalah hukum-hukum
hakikat.
2.
M A Q A M
Edit : Pujo Prayitno
Maqam adalah tahapan adab (etika)
seorang hamba dalam wushul kepada-Nya
dengan macam upaya, di-wujud-kan dengan
suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.
Masing-masing berada dalam tahapannya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta
tingkah laku riyadhah menuju ke pada-Nya.
Syaratnya, seorang hamba tidak akan
menaiki dari satu maqam ke maqam lainnya
sebelum terpenuhi hukum-hukum maqam
tersebut. Barangsiapa yang belum sepeuhnya
qana’ah, belum bisa mencapai tahap
tawakkal. Dan siapa yang belum bisa tawakal
tidak sah bertaslim. Siapa yang tidak bertobat,
tidak sah pula ber inabat, dan barang siapa
tidak wara’ tidak sah untuk ber zuhud .
Al-Maqam berarti iqamah, sebagaimana
kata al-wadkhal berarti idkhaal, dan al-
makhraj berarti al-ikhraaj. Tidak seorang pun
sah menahapi suatu maqam, kecuali dengan
penyaksian terhadap kedudukan Allah swt.
terhadap dirinya dengan maqam tersebut,
yang dengannya strutur bangunan ruhaninya
benar menurut pondasi yang shahih.
Saya mendangar Abu ali- al-Daqqaq
r.a. berkata : “Ketika al-Wasithy masuk ke
Naisabur, bertanyalah ia kepada santri Abu
Utsman, : “Apa yang diperintahkan Syeikh
kalian kepada kalian? Mereka menjawab :
“Kami diperintah untuk menetapi taat serta
melihat dan meneliti penyimpangan di
dalamnya.” Maka al-Wasithy berkata, “Syeikh
kalian memerintah dengan cara Majusi murni?
Apakah Syeikh kalian tidak memerintah diri
kalian dengan hal yang gaib dengan
memandang ke pada Yang Memunculkan dan
Menjalankan yang gaib? Maksud al- Wasithy
dengan kta-kta itu, agar mereka menjaga diri
dari posisi takjub. Bukannya menaiki ke arah
wilayah penyimpangan atau keteledoran
(taqshir), karena yang demikian bisa
merusakkan adanya cacat dalam adab.
3.
H A A L
Edit : Pujo Prayitno
Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak
orang merupakan arti yag intuitif dalam hati;
tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik,
dan usaha lainnya, dari rasa senang atau
sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau
berontak, rasa takut atau suka cinta, maka
setiap al-Haal merupakan karunia. Dan stiap
Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang
dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam
diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang
yang memilik Maqam, menempati maqamnya,
dan orang yang berada dalam Haal, bebas
dari kondisinya.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa
al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu
sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana
namanya, yakni al-Haal seperti ketika
menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak
dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah
hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai
ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan
abadinya al-Haal. Mereka berkata :
“Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak
terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka.
Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang
sebenarnya. Apabila predikat tersebut
menetap terus, dinamkan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata
“Aku tidak pernah benci terhadap maqam
yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.” Ia
mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam
ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-
Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang
mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa
yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal
berarti bagian dari seseorang kemudian
terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki
al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu
jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-
ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-
jalan yang ditempuh menetap secara
konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal
tersebut, ia anaik ke ihwal lain yang lebih
lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap
seterusnya.
4.
QABDH DAN BASTH
Edit : Pujo Prayitno
Kedua istilah ini merupakan kondisi
ruhani setelah seseorang hamba menahapi
tingkah laku al-Khauf dan ar-Raja’. Al-Qabdh
di mata seorang arif sama kedudukannya
dengan tahap al-Khauf di mata pemula.
Sedangkan al-Basth, setara kedudukannya
dengan a-Raja’ di mana pemula yang mencari
jalan kepada Allah swt.
Perbedaan antara Qabdh, Khauf, Basth
dan Raja’
Al-Khauf : Muncul dari sesuatu di masa
depan, terkadang takut kehilangan sang
kekasih, atau datangnya sesuatu yang ditakuti.
Ar-Raja’ : Membayangkan sang kekasih
di masa depan atau sesuatu yang
ditampakkan akan hilangnya yang ditakuti,
serta yang dibenci, bagi mereka yang pemula
(dalam dunia Sufi).
Al-Qabdh : Tahap ruhani yang
maknanya yang dihasilkan dalam waktu
seketika, begitu juga al-Basth.
Orang yang mempunyia khauf dan
raja’, hatinya bergantung dalam dua kondisi
waktu di depannya. Sedangkan yang memiliki
qabdh dan basth, waktunya diambil oleh yang
mengalahkan dalam kekinian. Hanya saja
predikatnya terpaut dalam qabdh dab bats
menurut keterpaduan ihwal mereka. Dari segi
yang datang, qabdh menjadi keharusan,
namun menetapi sesuatu yang lain, karena tak
terpenuhi. Dan ddari segi yang tergenggam
(al-maqbudh), tidak ada jalan selain dominsai
pendatang di dalam dirinya. Karena diambil
secara keseluruhan dari pihak pendatang
tersebut.
Demikian pula yang dileluasakan (al-
mabsuth), Kadang-kadang di dalamnya ada
basth yang membuat sang makhluk menjadi
luas, sehingga tidak takut terhadap segala hal.
Ia menjadi mambsuth, tiada sesuatu pun
berpengaruh di dalamnya, dari satu ihwal ke
ihwal lain.
Saya mendengar Abu ali al-Daqqaq r.a.
berkata : “Sebagian orang memasuki tempat
Abu Bakr al-Qihthy. Di sana ada seorarng
anak sedang bermain sebagaimana permainan
anak-anak muda lainnya (yang bisa merusak
hatinya). Orang-orang itu melewati tempat
anak tersebut, dan tampaknya ia tenggelam
dalam permainan dengan teman-temannya.
Mereka merasa ibi kepada al-Qihthy, serayaa
berkata, ‘Kasihan Syeikh, bagaimana digoda
oleh anak-anak jelek itu? Ketika mereka
memasuki rumah al-Qihthy, ia menemuinya
seakan-akan tak ada berita sedikit pun soal
mainan-mainan itu, lalu mereka pun heran.
Mereka berkata. ‘Anda menebus orang yang
tidak dapat dipengaruhi puncak-puncak
bukit?’ Al-Qihthy menjawab : “Sesungguhnya
kami telah dibebaskan dari belenggu segala
hal dalam azali.” (artinya, ia telah tenggelam
dalam keparipurnaan ubudiyah kepada Allah
swt. sehingga tidak ada yang berpengaruh
selain Allah swt.).
Kewajiban terendah dalam qabdh,
adanya subyek dalam hatinya yang
mengharuskan bentuk isyarat cacat pada diri,
atau adanya rumus yang di dalamnya
seseorang berhak untuk bersopan santun
(adab), sehingga dalam kalbunya
mendapatkan qabdh.
Terkadang yang datang dalam kalbunya
merupakan isyarat untuk mendekat, atau yang
diterima merupakan kelembutan dan
ketentraman, sehingga kalbu mendapatkan
basth. Secara global, wabdh masing-masing
pelaku tergantung kualitas basth-nya, begitu
juga basth-nya diukur menurut qabdh-nya.
Terkadang sebab musabab qabdh
menimbulkan musykil bagi pelakunya. Dalam
kalbunya ditemukan qabdh yang tidak
dimengerti apa keharusan dan sebabnya.
Keharusan yang dijalani pelaku seperti ini alah
taslim, sehingga waktu seperti itu berlalu.
Sebab jika dicari, justru akan menghalanginya.
Atau ia menghadap waktu sebelum jatuh
padanya, lewat ikhtiarnya, sehingga berharap
wabdh-nya bertambah. Barangkali hal itu
tergolong su’ul adab. Jika menyerahkan diri
pada hukum waktu, maka dari dekat akan
menghilangkan al-qabdh. Sesungguhnya Allah
swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya Allah
menyempitkan dan melapangkan, dan
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan,” (Qs. Al-
Baqarah : 245).
Terkadang basth datang seketika, tanpa
si pelaku tahu sebabnya, sehingga ia pun
terkejut. Jalan yang harus ditempuh, jika
demikian, ia harus tenang dn menjaga adab.
Pada waktu itu, ia sedang mengalami bisikan
yang besar. Karena itu, si pelaku harus
menghindari makar yang samar di daamnya.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh sebagian
Sufi, “Telah dibuka padaku, pintu basth,
kemudian diriku terguncang hebat, lantas aku
pun tertutup dari maqamku.” Karenanya
berkatalah mereka, “Bertetaplah apda
kelapangan (al-bisath) dan hati-hatilah,
berupaya melapangkan.”
Ada ahli hakikat (tahqiq)
mengategorikan perilaku qabdh dan basth
tergolong sesuatu yang mereka mohonkan
perlindungan. Karena keduanya disandarkan
pada yang diatasnya berupa tahap kehancuran
hamba, sedangkan upaya hamba
memasukinya dalam dunia hakikat dapat
melahirkan fakir dan bahaya.
Al-Junayd berkta : “Al-Khauf dari Allah
membuatku tergenggam, Dan ar-Raja’ dari
Allah membuatku lapang. Hakikat telah
mengumpulkan diriku. Dan Al-Haq
memisahkanku. Apabila Dia membuatku
tergenggam adalah khauf, Dia menjadikan
diriku fana’ dari diriku. Apabila ar-Raja’
melapangkanku, Dia mengembalikan
kepadaku. Apabila diriku terintegrasi hakikat,
maka Dia menghadirkanku. Apabila aku
dipisahkan Al-Haq, aku disaksikan oleh selain
diriku, kemudian menutupiku, Allah swt. dalam
semua hal itu adalah penggerakku tanpa
mengekangku, Dia yang membuatku takut
tanpa genmbiraku. Aku dengan kehadiranku,
merasakan rasa wujud-ku. Fana’ku datang
dari diriku, membuatku nikmat, atau
mengabaikan dariku, sehingga aku ringan.
5.
HAIBAH DAN UNS
Edit : Pujo Prayitno
Rasa takut sisertai rasa hormat luar
biasa (haibah) dan sukacita jiwa (uns)
merupakan tahap dari derajat-derajat dalam
al-qabdh dan al-basth. Kalau qabdh berada di
atas tingkatan khauf, dan basth di atas
tingkatan raja’, maka haibah lebih tinggi
dariapda qabdh, kemudian uns lebih
sempurna daripada basth. (Maksudnya, Uns
lebih tinggi tahapannya. Sebab haibah muncul
dari Qabdh, yang bermula dari Khauf. Sedang
Uns muncul dari Raja’. Karena orang yang
takut kepada Allah swt, melihat kekurangan
dirinya di hadapan Allah, hatinya akan
terganggu oleh-Nya, dan yang tersisa
hanyalah sibuk dengan Allah, sehingga
muncullah Haibah. Siapa yang wushul-nya
terus menerus, hatinya akan lapang dan
mendapatkan uns. Catatan Kaki).
Hak haibah adalah kegaiban. Setiap
pelaku haibah senantiasa lebur dalam
kegaiban. Orang-orang yang berada dalam
gaib frekuensinya berbeda dalam haibah
menurut penjelasan mereka dalam kegaiban.
Sedangkan hak uns adalah pencerahan
dalam kebenaran. Orang yang melakukan uns,
berarti cerah jiwanya. Kemudian frekuensinya
berbeda menurut penjelasannya dalam bagian
“minuman jiwa”. Mereka berkata : “Tempat
terendah dalam al-uns adalah jika seseorang
dilempar ke dalam neraka Jahanam, sama
sekali sukacitanya tidak terpengaruh .”
Al-Junayd berkata : “Aku mendengar
batinku berkata : “Seorang hamba bisa
ssampai pada suatu batas seandainya
wajahnya tertebas pedang, sama sekali tidak
merasakannya.” Sedangkan dalam hatiku ada
sesuatu, hingga tampak jelas bahwa
persoalannya sampai sedemikian itu.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Maqatil al-
Ikky, ia berkata : “Aku memasuki tempat asy-
Syibly, sedangkan beliau tengah mencabut
helai bulu alisnya dengan sebuah penjepit.
Aku katakan kepadanya; “Wahai tuanku, Anda
berbuat demikian apda diri sendiri, sementara
rasa pedihnya kembali pada hatiku.’ Ia
menjawab : “Celaka Anda! Hakikat itu tampak
padaku, dan aku tidak kuat memikulnya. Maka
beginilah, aku memasuki kepedihan atas
diriku, siapa tahu aku merasakannya, lalu
tertutup dariku. Aku tak menemukan
kepedihan itu. Dan tidak tertutup dariku,
sedangkan kepedihan itu membuatku tidak
tahan.”
Kondisi haibah dan uns, walaupun
masing-masing tampak jelas, bagi ahli hakikat
masih dikategorikan kurang, karena keduanya
mengandung perubahan pada diri hamba.
Sedangkan yang tidak berubah, dinamakan
ahli tamkin . Mereka hangus dalam wujud
nyata. Tidak ada haibah dan tidak pula uns,
tidak ilmu maupun rasa.
Cerita ini dikenal dari Abu Sa’id al-
Kharraz : “Suatu saat di kampung, aku
berkata :
Aku datang, maka aku tak mengerti
Dari mana, siapa aku,
Kecuali apa yang dikatakan manusia
Pada diriku dan dalam jenisku,
Aku datangi jin dan manusia
Jika tak kutemui seorang pun,
Aku datangi diriku.
Kemudian ada bisikan lembut
menyusup ke dalam kalbuku :
Amboi, siapa yang tahu sebab-sebab
Yang lebih luhur wujud-nya,
Lalu ia bersukaria dengan kesesatan
yang hina
Dan dengan manusia
Kalau engkau dari ahli wujd yang hakiki
Pastilah engkau gaib dari Jagad, Arasy
dan Kursy
Sedang engkau tanpa kondisi ruhani
bersama Allah
Jauh dari mengingat
Pada jin dan manusia .
6.
TAWAJUD, WUJD DAN WUJUD
Edit : Pujo Prayitno
Tawajud adalah upaya memohon
ekstase ruhani (wujd), melalui salah satu
ragam ikhtiar. Orang yang memiliki tawajud
tidak dapat dkategorikan sempurna wujd-nya.
Sebab, kalau ia sempurna, pasti disebut
wajid.
Dalam bab wazan Tafa’ul lebih banyak
menampakkan sifat. Padahal bukan demikian,
seperti dalam syair :
Bila kelompak mata menjadi sempit;
Dan padaku tiada lagi sulit membuka
Lalu kurobek mata, tanpa cela.
Ada pandangan yang mengatakan,
“Tawajud tidak terpasrahkan kepada
pemangkunya karena adanya beban dan
masih jauh dari tahqiq.”
Ada pula yang mengatakan : “Tawajud
diserahkan kepada para fakir yang secara
internal mengintai untuk menemukan makna-
makna tersebut.”
Hakikat yang bisa dikenal, muncul dari
kisah Abu Muhammad al-Jurairy, r.a. bahwa
ia berkata : “Ketika aku di sisi al-Junayd, di
sana da Ibnu Masruq. Tiba-tiba Ibnu Masruq
dan yang lain berdiri sementara al-Junayd
tetap saja diam. Aku berkata, “Tuanku,
tidakkah Anda mempunyai suatu pengalaman
dalam penyimakan?’ Al-Junayd menjawab :
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka ia tetap ditempatnya, padahal ia
berjalan seperti jalannya awan.” (Qs. An-
Naml :88). Lalu al-Junayd pun bertanya.
“Anda, wahai Abu Muhammad, tidakkah Anda
berpengalaman juga dalam penyimakan?’ Aku
katakan : “Tuanku, ketika aku hadir di suatu
temepat yang di dalamnya sedang
berlangsung penyimakan, tiba-tiba di sana
ada orang-orang yang bersenang-senang
dengan rasa malu, mka aku mengekang diri
dan wujd-ku. Ketika aku menghindar, aku
mengirimkan wujd-ku, lalu aku ber-tawajud,”
Kemudian kata tawajud disebut dalam
hikayat tersebut, sedangkan al-Junayd tidak
mengingkarinya.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali al-
Daqqaq r.a. berkata : “Apabila manusia
menjaga dtika keutamaan sat dalam
penyimimakan, Allah menjaga diri dan
waktunya, karena berkat etikanya.”
Sedangkan ekstase ruhani (wujd) itu
sendiri merupakan sesuatu yang bersesuaian
dengan hati Anda, yang datang tanpa
kesengajaan ataupun diupayakan. Karena itu
para Syeikh mengatakan : “Wujd adalah
persesuaian hati, sedangkan al-mawajid
(jama’ al-wujd) merupakan bauh dari wirid.
Setiap orang yanng bertambah upaya
ruhaninya, Allah pun akan menambah
kelembutannya.”
Saya mendengar Syeijh Abu Ali ad-
Daqqaq r.a. berkata : “Sesuatu yang sempit di
dalam hati itu, muncul dari sisi wirid. Siapa
yang tidak wirid dengan lahiriahnya, maka
tidak wirid pula dalam sirr-nya. Setiap ada
sesuatu di dalam diri pelaku al-wujd, maka
tidak dapat dikategorikan sebagai wujd.
Seperti suatu al yang dilakukan melalui
muamalat lahriah akan menemukan manisnya
ketaatan, dan apa yang mualamat lahriah
akan menemukan manisnya ketaatan, dan apa
yang turun dalam btin hamba seputar hukum-
hukum batin, akan menemukan al-mawajid.
Kemanisan adalah buah dari mualamat, dan
mawajid merupakan produk dari karunia yang
turun”
Sedangkan wujud, merupakan suatu
kondisi setelah menapaki tahap wujd. Wujud
Al-Haq tidak dapat dicapai kecuali setelah
memadamkan unsur manusiawinya. Karena
kemanusiawian tidak akan baqa’ ketika
muncul kekuasaan Hakikat. Inilah arti dari
ucapan Husain an Nury, “Sejak dua puluh
tahun aku berada antara Ada dan tiada,
yakni : Ketika kutemui Tuhanku, sirnalah
hatiku, dan ketika kutemui hatiku, aku
kehilangan Tuhan-ku.”
Pernyataan ini relevan pula dengan
ucapan al-Junayd, “Ilmu Tauhid” merupakan
wahana penjelasan bagi wujud-nya, dan
wujud-nya merupakan wahana bagi ilmunya.”
Dalam konteks artian ini, penyair berkata :
Wujud-ku ada ketika aku gaib dari
wujud
Karena yang tmpak padaku
Dalah syuhud (penyaksian ).
Tawajud merupakan permulaan, dan
wujud adalah tujuan akhir. Sedangkan wujd
sebagai perantara antara permulaan dan
tujuan akhir.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq berkata, “Tawajud mengharuskan
adanya kecelaan hamba. Sedang wujd
mengharuskan ketenggalaman hamba.
Demikian pula wujud mengharuskan kesirnaan
mengarungi lautan itu, lantas tenggelam di
dalamnya. Struktur persoalan ini dikatakan
secara berurutan, mulai dari : Qusyud
(bermaksud), wurud (sampai), kemudian
Syuhud (penyaksian), lalu Wujud, terakhir
Khumud (sirna). Dengan kadar kriteria wujud-
lah, khumud dapat dicapai.
Bagi orang yang ber-wujud memiliki
kesadaran (shahw) dan ketidaksadaran
(mahw). Kondisi shahw adalah kebadiannya
dengan Al-Haq, sedang kondisi mahw-nya
adalah kefana’annya dengan Al-Haq.
Keduanya saling berkelindan selamanya.
Apabila shahw dengan Al-Haq yang lebih
unggul, ia telah sampai *wushul). Karena itu,
Rasulullah saw. bersabda (hadis Qudsi),
“Dengan-Ku ia mendengar dan dengan-Ku ia
melihat.”
Manshur bin Abdullah berkata :
“Seseorang berada dalam halaqah asy-Syibly,
dan orang itu kemudian beretanya. “Apakah
pengaruh keabsahan wujd itu tampak pada
diri orang-orang yang mencapai al-wujud?
Benar. Cahaya yang memancar, bersama
dengan sinar kerinduan, sehingga
pengaruhnya mewarnai lubuk hatinya.”
Demikian jawab asy-Syibly.”
Gambaran ini jelas dalam syair Ibnul
Mu’tazz :
Gelas yang dibasai iar karena
cemerlang beningnya,
Llau mutiara tumbuh dari bumi emas,
Sedang kaum menyucikan karena
kagum
Pada cahaya air di dalam api dari
anggur yang ranum,
Diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
Sebagai simpanan Kisra, mulai dari
nenek moyangnya .
Suatu kisha berkenaan dengan Abu
Bakr ad-daqqy : “jahm ad-Duqqy mengambil
kayu di tangannay ketika sedang menyimak
dalam gairahnya, kemudian ia mencabut dari
akarnya. Kemudian keduanya berkumpul
ketika secara bersamaan saling memanggil.
Ad.-Duqqy sendiri sorang yang buta, lalu
Jahm berdiri sambil berkeliling dengan penuh
emosi. Abu Bakr ad-Duqqy berkata : “Jika
mendekat kepadaku, ulurkan kayu itu!’
Sementara Jahm ad- Duqqy adalah manusia
lemah, lantas ia menemukan sepotong kayu di
dekatnya, seraya berkata, ‘Ini ia!’ Lalu ad-
Duqqy memegang kaki Jahm, hingga
membuatnya tidak dapat bergerak lagi.
“Wahai Syeikh, tobat! Tobat!” teriak Jahm ad-
Duqqy. Barulah kemudian Abu Bakr ad-Duqqy
meelpaskannya.”
Semangat Jahm benar, dan
pengekangan ad-Duqqy juga benar. Ketika
Jahm menyadari bahwa tindakan ad-Duqqy di
atas kondisi ruhaninya, seketika itu pun ia
insaf dan berdamai.
Begitu pula orang yang tidak berbuat
maksiat, ia benar. Namun demikian, apabila
yang mengalahkan dirinya adalah kesirnaan
diri, maka ia tidak berilmu dan tidak pula
berakal, tidak paham serta tidak merasa.
Isteri Abu Abdullah at-Targhundy
berkata : “Ketika bencana kelaparan sedang
melanda, sementara manusia dijemput maut
karena paceklik itu, tiba-tiba Abu Abdullah at-
Targhundy masuk ke dalam rumah. Ia melihat
ada dua kilogram gandum. Berkatalah ia,
‘Orang-orang mati karena kelaparan, sedang
aku masih mempunyai simpanan gandum di
rumah.’ Lalu ia pun kehilangan akal. Dan
sejak saat itu ia tidak pernah bangkit, kecuali
pada waktu-waktu shalat fardhu. Usai shalat
kembali pada tingkah laku semula, dan begitu
seterusnya sampai ia meninggal dunia.”
Kisah ini menunjukkan, bahwa laki-laki
tersebut selalu menjaga diri dalam adab
syariat, ketika dilanda oleh hukum-hukum
hakikat. Demikian sifat ahli hakikat. Mengenai
faktor penyebab hilangnya akal pada dirinya,
dikarenakan kepeduliannya (syafaqah)
terhadap nasib semua kaum Muslimin. Ini
derajat yang lebih kuat dalam sikap
perilakunya.
7.
JAM’ DAN FARQ
Edit : Pujo Prayitno
Dua kata tersebut cukup populer di
kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang
dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’,
berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri
sendiri. Artinya, Segala upaya hamba seperti
menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak
dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-
Farq. Sementara jika datang dari arah Al-Haq
(Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna
dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka
disebut al-Jam’.
Dafinisi ini merupakan kondisi paling
sederhana dalam konteks jam’ dan farq.
Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian
dari penyaksian segala bentuk perbuatan.
Siapa yang meneyaksikan dirinya di hadapan
Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti
ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba
tersebut dideskripsikan dalam pemisahan
(tafriqah). Sedangkan yang menyaksikan
dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan
yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka
sang hamba telah menyaskikan al-Jam’.
Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah,
dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-
jam’.
Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’
dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi
farq, ia tidak memiliki penghambaan
(ubudiyah), dan siapa pun yang tidak
berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat
kepada-Nya. F irman Allah swt. (Hanya
Kepadamu Kami menyembah), merupakan
isyarat terhadap al-farq. Sedangkan firman-
Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.
Apabila hamba berbicara kepada
Tuhannya, melalui bahawa munajat, apakah
memohon mendoa, memuji, bersyukur,
menyucikan diri atau pun meminta, maka ia
telah menempati tahap berpisah (tafriqah).
Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-
nya terhadap apa yang dimunajatkannya
kepada Tuhan, kemudian mendengarkan
melalui kalbunya apa yag telah dikatakan
lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan
atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang
dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau
bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan
di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah
menyaksikan dalam al-jam’.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan
beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-
Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih
pandanganku ke padamu’). Ketika itu Abul
Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu
Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’
dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy,
berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”
Artinya, barangsiapa mengucapkan
perkataan (“ kujadikan”), berarti mengabarkan
sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang
hamba berkata, “ ini ”!. Jika ia berkata (“ engkau
jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas
dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-
nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan
kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui
kemampuanku .” Yang pertama, berkaitan
dengan bisikan do’a, dan yang ke dua,
dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar
melalui keutamaan dan sariguna. Maka,
bedakan antara orang yang mengatakan,
“Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,”
dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan
kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”
Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu.
Manusia memiliki frekuensi masing-masign
sesuai dengan manifestasi perilaku dan
kepautan derajat mereka. Barang siapa
menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan
kemakhlukan, namun menyaksikan
keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada
Yang Haq, dan inilah al-Jam’. Tetapi jika yang
terlibas dari penyaksian terhadap
kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih
universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka
tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”
Tafriqah adalah penyaksian terhadsap
makhluk, hanya untk Allah swt. Al-jam’ adalah
penyaksian terhadap makhluk bersama Allah
swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada
selain Allah swt. ketika terlanda hakikat.
Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia.
Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai
al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap
rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-
waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap
kefarduan dengan segenap waktunya,
sehingga ia kembali, hanya untuk dan
bersama Allah swt, bukan bagi hamba
bersama hamba. Sang hamba melihat dirinya
pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-
Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan
kenyataannya bersama Qudrat-Nya.
Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan
perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama
Ilmu dan Kehendak-Nya.
Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-
Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq
atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari
keseluruhan dalam proses bolak balik dan
perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa
sebenarnya Allah-lah yang memunculkan
substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang
menjalankan sifat-sifat mereka. Kamudian
Allah swt. memisahkan dalam ragam : Satu
kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,
dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan
menyengsarakan mereka. Satu kelompok lagi
Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok
yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt,
memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang
disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada
yang disirnakan. Ada kelompok yang
didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah
meminumkan karunia hingga mereka
dimabukkan ruhaninya, namun juga ada
golongan yang dicelakakan dan diakhirkan,
kemudian dijauhkan dan disingkirkan. Ragam
Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan,
sementara rinciannya tidak dapat diuraikan
dan diingat. Para Sufi pernah melantunkan
syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’
dan farq :
Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.
Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah
orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah
dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling
bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan .
8.
FANA’ DAN BAQA’
Edit : Pujo Prayitno
Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’
pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara
baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-
sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak
terlepas dari salah satu sifat tersebut , maka
dapatlah dimaklumi, sebenarnya, salah satu
bagian apabila tidak dijumpai dalam diri
manusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya
lagi. Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela,
maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji.
Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah
sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang
terpuji akan tertutupi.
Perlu diketahui, bahwa predikat yang
menjadi sifat hamba mengandung perbuatan,
akhlak dan tingkahlaku. Perbuatan-perbuatan
tersebut merupakan daya manusia melalui
ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan
pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut
konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah
laku merupakan suatu perilaku yang
dikembalikan kepada hamba dari segi
permulaannya. Hanya saja, penjernihannya
muncul setelah pembersihan amal. Seperti
akhlak dalam satu segi. Demikian pula
manakala sang hamba terus menerus
membersihkan perbuatannya, melalui upaya
yang telah diberikan kepadanya. Allah swt.
memberikan anugerah kepadanya melalui
penjernihan tingkah laku, bahkan melalui
penyempurnaan tingkah laku tersebut.
Siapa yang berupaya meninggalkan
perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat,
maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika
telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah
bangunan dirinya serta keikhlasan dalam
ubudiyahnya. Sipa yang zuhud di dunia
dengan hatinya, maka ia telah faa’ dari
kesenangannya. Dan jika telah fana’
kesenangannaya, berarti telah kekal melalui
kejujuran kembali dirinya. Barangsiapa
menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit
kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat
bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari
kenakguhan nafsu, maka berarti telah fana’
dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian,
yang kekal dalam dirinya adalah
ketidakpeduliannya kepada kepentingan
pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri
sendiri. Barangsiapa menyaksikan berlakunya
qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan,
maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari
tanggungan perkara pertama dari makhluk.
Jika ia fana’ dari pengaruh-pengaruh imaji
makhluk, maka ia kekal bersama sifat-sifat Al-
Haq. Dan siapa yang terlimpahi kerajaan
hakikat, sehingga tiada sedikitpun yang
disaksikan, baik alam kenyataan, pengaruh,
rumus, atau penundaan, maka ia telah fana’
dari makhluk, dan abadi bersama Al-Haq. Ke-
fana’-an hamba dari segala perbuatannya
yang hina, dan tingkahlakunya yang buruk,
telah menghilangkan perbuatan-perbuatan
seperti itu. Ke-fana’-an mereka atas dirinya
dari makhluk lainnya, dengan cara
menghilangkan rasa untuk diri sendiri dan
mereka. Kalau telah fana’ dari perbuatan,
akhlak dan tingkah laku, maka subyek ke-
fana’an dari semua itu tidak boleh di-maujud-
kan.
Apabila dikatakan, “,Manusia benar-
benar fana’ dari dirinya dan dari makhluk,
maka dirinya maujud dan makhluk juga
maujud, tetapi ia tidak tahu dirinya dan juga
juga tidak mereka. Tidak ada rasa maupun
berita. Maka dirinya ada, dan makhluk
menjadi ada, berikutnya. Namun ia lupa dari
dirinya maupun semua makhluk, sama sekali
tidak merasakan adanya dirinya dan makhluk
lainnya (karena keparipurnaan yang penuh
dalam kesibukannya terhdap sessuatu yang
lebih luhur dari semuanya.)”
Terkadang Anda melihat seseorang
memasuki tempat penguasa atau orang yang
kejam, lalu orang tersebut merendahkan diri
atau merendah pada majelis di sana. Alangkah
jauh jauh hati itu, juga dirinya, hingga tak
mungkin untuk mengatakan sesuatu. Allah
berfirman :
“Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan)
nya, dan mereka melukai jari-jari
tangannya .” (Qs. Yusuf 31).
Suatu gambaran ketika mereka sama
sekali tidak menemukan rasa sakit ketika
(pertama kali menyaksikan raut muka Yusuf
a.s.). Mereka adalah wanita-wanita yang
lemah, dan mereka berkata :
“Dan mereka berkata : “ Maha
Sempurna Allah, ini bukanlah manusia.
Sesungguhnya ini tidak lain, hanyalah malaikat
yang mulia .” (Qs. Yusuf : 31).
Inilah kealpaan makhluk atas
perilakunya sendiri ketika bertemu dengan
sesamanya. Bagaimana menurut dugaan Anda
dengan orang yang dibuka untuk menyaksikan
Al-Haq? Kalaupun mereka lupa dari rasa
dalam dirinya dan orang-orang sejenisnya,
maka adakah lebih menakjubkan lagi
ketimbang melihat-Nya?
Barangsiapa fana’ dari kebodohannya,
yang kekal adalah ilmunya. Siapa yang fana’
dari kesenangannya, yang kekal adalah
zuhudnya. Siapa yang fana’ dari angan-
angannya, yang kekal adalah kehendaknya.
Demikian juga seluruh konotasi kiprahnya.
Apabila hamba fana’ dari sifatnya yang bisa
diingat, kemudian menaiki tahap lebih tinggi
dengan fana’nya dari melihat ke-fana’-an itu
sendiri. (Inilah yang disebut Fana’u Fana’ ).
Sebagaimana digambarkan penuyair :
Ada kaum yang tersesat di padang
gersang
Aa pula yang tersesat di padang
cintanya
Mereka fana’, kemudian fana’ lalu fana’
Lantas mereka kekal dengan kekal dari
kedekatan Tuhan-nya .
Yang pertama adalah fana’ dari dirinya,
fana’ dari sifatnya karena Baqa’-Nya Sifat-
sifat Al-Haq. Kemudian fana’nya dari sifat-
sifat Al-Haq karena penyaksiannya terhadap
Al-Haq itu sendiri, kemudian fana’-nya dari
melihat penyaksian fana’, melalui keleburan
dirinya dalam Wujud Al-Haq.
9.
GHAIBAH DAN HIDHUR
Edit : Pujo Prayitno
Ghaibah berarti kegaiban kalbu dari
segala apa yang diketahui, berkaitan dengan
apa yang berlaku pada tingkah laku makhluk,
karena adanya faktor yang datang padanya,
sehingga perasaannya tersibukkan oleh
kegaiban yang tiba itu. Kemudian rasa itu,
dengan sendirinya dan yang lainnya, menjadi
gaib, karena faktor yang tiba, akibat
mengingat pahala atau memikirkan ancaman
siksa.
Diriwayatkan bahwa Rabi’ bin Haitsam
pergi ke ruah Ibnu Mas’ud r.a. kemudian ia
melewati kedai tukang pande (besi). Ia melihat
bara yang menganga di perapian pande itu.
Tiba-tiba ia pingsan (karena membayangkan
akibat-akibat pelaku dosa yang dibakar api).
Ketika siuman, ia ditanya. “Aku ingat
bagaimana keadaan ahli neraka di neraka
nanti.” Demikian katanya.
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain.
Ketika ia sedang sujud, tiba-tiba terasa ada
jilatan panas api yang tersulut di dalam
rumahnya, dan ia sama sekali tidak bepaling
dari shalatnya. Lantas ditanya tentang
keadaannya yang demikian itu. “Aku
tercengang oleh nyala api besar, lebih dari
kobaran api itu.” Jawabnya.
Manakala ghaibah rasa yang muncul
oleh faktor yang dibukakan Al-Haq seperti itu,
maka derajat mereka berbeda-beda menurut
tingkah laku kondisinya.
Kisah yang populer, bahwa awal mula
perilaku Abu Hafs an-Naisabury al-Haddad
meninggalkan pekerjaan di kedainya, yaitu
ketika muncul seseorang yang membaca ayat
Al-Qur’an. Lalu ia menjadi lupa dari rasanya
karena adanya sesuatu yang datang
menyelusup. Lalu ia menyusupkan tangannya
pada bongkahan bara api, dan menariknya
kembali sambil memegang bara api yang
menganga (sama sekali tidak merasa panas).
Muridnya, saat melihat kejadian itu pun
berkata. “Wahai guru, apa ini? Seketika itu
pula Abu Hafs memandang apa yang tampak
padanya, lalu meninggalkan pekerjaannya dan
segera pergi berlalu dari kedai.
Saya mendengar Abu Nashr, muadzin
di Naisabur. Ia dikenal sebagai laki-laki saleh.
Ia mengisahkan, “Aku sedang membaca Al-
Qur’an di majelis Ustadz Abu Ali ad.Daqqaq
di Naisabur. Dan Ustadz sendiri sedang
membahas soal haji, sampai hatiku
terpengaruh karenanya. Pada tahun ini pula
aku pergi haji, dan meninggalkan kedai serta
pekerjaan. Sementara Ustadz Abu Ali r.a. juga
pergi menunaikan haji pada tahun yang sama.
Ketika di Naisabur aku menjadi pelayannya
dan ikut membaca Al-Qur’an di majelisnya.
Suatu hari di desa, aku melihatnya sedang
bersuci dan lupa akan kendil bawaannya. Aku
pun membawanya. Sesampai di tempat tujuan
kuletakkan di sisinya. Ia berkata, “Semoga
Allah membalas kebaikan kepadamu, ketika
kamu membawa ini.” Lalu ia menatapku
dalam-dalam, seakan-akan itu sebagai tatapan
terakhir. Tiba-tiba ia berkata, “Pernah sekali,
aku bertemu denganmu, siapa kamu? Aku
menjawab, “Aku adalah orang yang memohon
pertolongan kepada Allah swt, aku
menyertaimu sekedarnya, dan kutinggalkan
hunianku, karenamu. Aku merasa teputus oleh
kemenangan dan waktu, ketika engkau
berkata, “Pernah sekali, aku beertemu
denganmu...!”
Sedangkan Hudhur , bisa berarti,
seseorang sebagai pihak yang hadir bersama
Al-Haq. Sebab ketika ia ghaib dari makhluk, ia
hadir bersama Al-Haq. Artinya, seakan-akan
ia hadir, kaerna limpahan dzikir pada yang
haq di dalam kalbunya, yang berarti ia hadir
dengan kalbunya, di antara sisi Tuhannya.
Dalam batas kegaibannya dari makhluk, maka
kehadirannya dikategorikan bersama Al-Haq.
Namun apabila ia gaib secara universal, maka
kehdiran tersebut menurut kegaibannya.
Manakala dikatakan “ Si Fulan hadir. Berarti,
ia hadir dengan kalbunya untuk Tuhannya. Ia
tidak lupa dari-Nya dan tidak pula alpa. Lalu
ia mukasyafah dalam hudhur -nya menurut
derajatnya, dengan segala makna yang
dikhusukan oleh Al-Haq kepadanya.
Kadang-kadang hudhur dikatakan,
karena kembalinya hamba pada dimensi rasa
terhadap perilaku dirinya dan makhluk lainnya.
Ia kembali pada kesadaran dari kegaibannya.
Ini disebut hadir bersama makhluk. Yang
pertama disebut hadir bersama Al-Haq, dan
frekuensi kegaibannya beragam. Ada yang
pendek gaibnya, adapula yang abadi.
Iriwayatkan bahwa Dzun Nuun
mengutus salah seorang muridnya ke Abu
Yazid al-Bisthamy, untuk menyampaikan
pesan agar Abu Yazid mengubah sifatnya.
Ketika murid Dzun Nuun telah sampai di
daerah Bau Yazid, ia menanyakan rumah Abu
Yazid, lalu ia pun menuju ke rumah yang
dimaksud. “Apa maksud kedatanganmu?”
tanya Abu Yazid. “Aku ingin menemui Abu
Yazid.” Kata orang itu. “Siapa Abu Yazid? Di
mana Abu Yazid? Aku juga sedang mencari
Abu Yazid.” Kata Abu Yazid. Orang itu pun
segera pergi berlalu sambil bergumam, “Laki-
laki itu pasti gila!” Kemudian ia kembali
pulang ke rumah Dzun Nuun, mengabarkan
apa yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nuun
menangis, sambil berkata, “Saudaraku Abu
Yazid benar-benar telah pergi bersama
mereka yang pergi kepada Allah swt.”
10.
SHAHW DAN SUKR
Edit : Pujo Prayitno
Shahw adalah kesadaran hamba
kepada rasa setelah mengalami kegaiban
(ghaibah). Dan Sukr adalah mabuk ruhani
akibat sesuatu yang datang dengan sangat
kuat. Sukr berati tambahan bagi ghaibah di
satu sisi. Karena itu orang sukr, kadang-kaang
terhamparkan dirinya, manakala berlum
terpenuhi dalam sukr-nya. Kadang-kadang
apda tahap sukr, segala kekhawatiran
berguguran dari kalbunya. Itulah perilaku
orang yang menampakkan sukr, karena tidak
mampu memenuhi datangnya bisiskan yang
luhur. Kdang, dalam kesadaran ada kesegran,
lalu mabuk pesonanya bertambah atas
ghaibah-nya. Terkadang seorang yang sukr
lebih ghaibah ketimbang orang yang sedang
berada dalam ghaibah itu sendiri mana kala
sukr-nya lebih kuat. Dan tidak jarang orang
yang ghaibah itu lebih sempurna dalam
ghaibah-nya dibanding orang yang sukr,
manakala sukr-nya tidak mencapai apa yang
diinginkan.
Sedangkan ghaibah, terkadang datang
kepada para hamba karena adanya sesuatu
yang mengalahkan kalbunya, disebab disiplin
cinta sukacita, khauf dan raja’. Sementara
sukr tidak akan terwujud, kecuali kepada
orang yang memiliki keseuaian- kesusaian
ruhani. Apabila Allah swt. membuka hamba
melalui sifat Keindahan (al-Jamal), maka
hamba akan mabuk kepayang (sukr), dan
ruhnya menjdai gembira, sementara kalbunya
terpesona. Dalam sukr yang muncul akibat
mukasyafah Jamal, mereka mendengarkan
syair :
Kesadaranmu dari kata-Ku,
Adalah sambung semuanaya
Dan mabuk kepayangmu dari bagian-Ku
Memperkenankan bagimu, meneguk
minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peenguk minumnya
Menyerah pada bagian,
Yang gelas pialanya memabukkan jiwa .
Merek masih bersyair :
Orang-orang menjadi mabuk memutari
gelas piala
Sedang mabukku datang dari Yang
Memutarnya
Ada dua kemabukan bagiku
Dan bagi dua penyessal hanya satu
Yang dikhususkan bagiku di antara
mereka
Hanya untukku
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi
Ketika siuman
Tiba-tiba telah bugas si pemabuk
Anda perlu mengetahui bahwa, derajat
kesadaran (Shahw) tergantung pada frekuensi
mabuk kepayang ruhani (sukr). Siapa yang
sukr-nya bersama Al-Haq, maka Shahw-nya
juga bersama Al-Haq, barangsiapa sukr-nya
masih diliputi oleh dunia, maka Shahw nya
juga disertai dunia yag benar. Barangsiapa
menepati kebenaran dalam sikap perilaku,
maka ia terjaga dalam sukr-nya. Sukr dan
Shahw mengisyaratkan pada ujung dari
pemisahan. Manakala tampak dari kekuasaan
hakikat, mka sifat hamba diketahui dalam
kesirnaan dan keterpaksaan. Mereka bersyair :
Pabila pagi telah terbit dengan bintang
yang gembira
di dalamnya telah seimbang kemabukan
dan kesukacitaan
Allah swt. berfirman :
“Tatkala Tuhannay menampak pada
gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan .” (Qs. Al-A’raaf :143).
Itulah pengalaman dalam Risalah Musa
as, dan apalagi gunung dan kekuatannya
menjadi lebur berkeping-keping.
Sang hamba dalam kondisi sukr-nya
menyaksikan kondisi ruhani itu sendiri, dan
dalam dalam Shahw-nya ia menyaksikan ilmu.
Hanya saja dalam tingkah sukr-nya terjaga,
tidak melalui beban yang diupayakan.
Sedangkan dalam Shahw-nya terjaga melalui
upayanya. Shahw dan Sukr terjadi setelah
Dzauq dan Syurb.
11.
DZAUQ DAN SYURB
Edit : Pujo Prayitno
Di antara bagian yang berlaku dalam
tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka
mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa
yang mereka temukan dari buah tajali dan
buha mukasyaah serta kejutan-kejutan yang
muncul. Tahap pertama adalah Dzauq,
kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.
Kejernihan muamalat mereka
mendatangkan rasa (dzauq) makanwi, dan
ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan
adanya minum (syurb). Sementara keabadian
hubungan mereka (wushul) mengharusskan
adanya kesegaran (irtiwa’).
Orang yang memliki dzauq
menampakkan sukr-nya. Dan orang yang
sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang
yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang
kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya.
Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb
tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia
selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang
yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama
sekali tidak berbpengaruh baginya apa yang
datang, dan tidak berubah, apa yang
menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya,
maka minum-nya tidak akan pernah keruh.
Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani)
sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar
dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu.
Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susuna kita
Kalau tak kita rasakan
Tak hidup pula ita
Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara : Aku
inngat Tuhanku
Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa
yang kulupa?
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas
dahaga pula
Yahay bin Mu’adz menulis surat kepda
Abu Yazid al-Bisthamy, “Di sana, orang yang
meminum gelas dari kecintaan, tiada dahaga
usainya.” Lalu Abu Yazid menulis surat
kembali. “Aku heran atas kelemahan dirimu di
sana. Sebab siapa yang merasa di samudera
jagad raya, ia akan hilang keberuntungannya.”
Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub
tampak dari kegaiban. Dan Anda tidak bisa
mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia
kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala
belenggu.
12.
MAHW DAN ITSBAT
Edit : Pujo Prayitno
Mahw berarti hilangnya sifat-sifat
kebiasaan. Dan Itsbat berarti menegakkan
hukum-hukum ibadat. Barangsiapa
menghapus perilaku hinanya dan
menggantikannya dengan perilaku mulia, maka
dialah yang memiliki mahw dan itsbat.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq r.a. berkata : “Sebagian para syeikh
berkata pada kaum Sufi, “Bagaimana Anda
mengalami mahw dan itsbat? Lalu orang itu
diam, kemudian berkata : “Adapun yang
kuketahui, waktu adalah mahw dan itsbat.
Sebab siapa yang tidak memiliki mahw dan
itsbat, berarti telah menelantarkan diri dan
terabaikan.”
Mahw terbagi dalam mahw sirna (zallat)
dari hal-hal yang lahiriah dan mahw alpa
(ghaflat) dari hal-hal yang batiniah, serta
mahw dari bentuk sebab (Illat) pada hal-hal
rahasia.
Dalam mahw zallat muncul itsbat pada
muamalat. Pada mahw ghaflat muncul itsbat
pada tahapan-tahapan, dan dalam mahw illat
muncul itsbat dalam wushul. Inilah mahw dan
itsbat sebagai syarat ubudiyah.
Sementara hakikat mahw dan itsbat,
masing-masing tumbuh dari Qudrat. Mahw
adalah segala hal yang ditutup dan disirnakan
tumbuh dari Qudrat. Mahw adalah segala hal
yang ditutup dan disirnakan ole Al-Haq. Dan
Itsbat, segala hal yang dditampakkan dan
dijelaskan oleh al-Haq. Mahw dan itsbat
dibatasi oleh Kehendak.
Allah swt. berfirman :
“Allah menghapus apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki) ” (Qs. Ar-Ra’ad : 39).
Dikatakan : “Allah swt. menghapus
dzikir selain-Nya dari hati orang-orang ‘Arifin
(Orang yang ma’rifat). Dan Allah menetapkan
pada lisan orang-orang yang menuju kepada
Allah swt. dengan dzikrullah. Mahw Al-Haq
pada setiap orang, dan peng-itsbat-an Allah
swt. kepdanya, sesuai kelayakan tingkah
lakunya.”
Barangsiapa di mahw-kan oleh Allah
swt. dari penyaksian, Allah swt. memberikan
itsbat dengan kekuatan Haq-Nya. Dan siapa
yang di-mahw oleh AL-Haq dari itsbat-nya,
Allah mengembalikan pada penyaksian jagad
dunia, dan ditetapkan dalam wahana
perpisahan.
Seseorang bertanya kepada asy-Syibly
r.a. : “Apa yang membuat diriku melihatmu
tampak gelisah? Bukankah Dia bersamamu
dan engkau bersamam-Nya? Asy-Syibly
berkata : “Kalau aku adalah aku bersama-Nya,
tentu, aku adalah aku. Tetapi aku pun
terhapus dalam wahana-Nya. Orang yang
dikaruniani keterhangusan berada di atas
majw. Karena mahw meninggalkan bekas.
Sedangkan orang yang terhapus (muhaq) tidak
meninggalkan bekas. Sementara cita-cita
kaum Sufi adalah, agar ereka dihanguskan
oleh Al-Haq dari segala penyaksian mereka.
Kemudian Al-Haq tidak mengembalikan
kepada penyaksian mereka. Kemudian Al-Haq
tidak mengembalikan kepada mereka seperti
semula setelah mereka dihanguskan dalam
ruhani itu.
13.
SITR DAN TAJALLI
Edit : Pujo Prayitno
Orang awam berada dalam tutup ( sitr).
Dan orang khawash berada dalam keabadian
manifestasi ( tajalli). Dalam suatu hadis, Allah
swt. apabila telah ber-tajalli terhadap sesuatu,
maka sesuatu itu khusyu’ (tunduk) kepada-
Nya.
Orang yang berada dalam tahap sitr
memakai sifat penyaksiannya. Dan orang yang
berada dalam tahap tajjali, selamanya disertai
sifat khusyu’nya.
Sitr, bagi awam merupakan siksaan,
dan bagi khawash (kalangan khusus dalam
ruhani) merupakan rahmat. Sebab tanpa ia
tertutupi apa yang tersingkap dalam diri
mereka, nisscaya akan musnah di sisi Yang
Maha Diraja Hakikat. Namun, sebagaimana
tampak pada diri mereka, apa yang tersingkap
pun tertutup pada mereka.
Manshur al-Maghriby berkaa : “Aku
menemui salah sorang fakir dalam kehidupan
orang Arab, diantaranya terdapat seorang
pemuda. Pemuda itu melayani sang fakir.
Tiba-tiba pemuda itu pingsan. Lalu si fakir
bertanya tentang keadaannya. Maka orang-
orang di situ menjelaskan : “Ia memiliki
kemenakan wanita, dan ia sangat cinta
kepadanya. Lalu gaids itu berjalan di
kemahnya, tiba-tiba pemuda itu melihat gadis
yang kumal berdebu. Kemudain pemuda itu
pun pingsan.” Lantas si fakir berlalu menuju
pintu kemah, sambil berkata kepada anak
gadis itu. “Sesuatu yang asing bagimu,
menjadi tutup dan cacian. Aku datang hendak
menolongmu berkenaan dengan pemuda ini.
Maka sebaiknya engkau kasihan terhadap apa
yang ada pada dirinya, dari cintanya kepada
dirimu.” Lalu gadis itu berucap “Subhanallah!”
Engkau orang yang berhati sehat. Sebenarnya
ia tidak tahan melihat kekumalanku, lalu
bagaimana ia kuat meneemaniku?”
Kehidupan orang-orang awam itu
berada dalam penampakan (tajalli), sementara
cobaan mereka ada dalam ketertutupan (sitr).
Bagi orang-orang khawash, mereka selalu
berada di antara ketidak pedulian dan
kehidupan nyata. Karena ketika menampakkan
diri kepada mereka, justru mereka acuh,
namun ketika mereka tertutup, mereka
dikembalikan pada dunia, sehingga mereka
hidup.
Ada yang mengatakan, ketika Allah swt.
berfirman kepada Musa, “Apa yang ada pada
tanganmu wahai Musa.” (Qs. Thaaha :17),
justru agar Musa tertutupi sebagian apa yang
menjadi sebab langsung yang berpengaruh
akibat mukasyafah, lewat kejutan penyimakan.
Mohon ampunan (istighfar) itu sendiri
merupakan upaya pencarian sitr. Dan
ampunan (maghfirah) adalah sitr. Seakan-akan
ia mengabarkan, bahwa ia mecari str pada
hatinya ketika didatangi keperkasaan hakikat.
Sebab bagi makhluk, tidak sedikit pun ada
keabadian di sisi Wujdu Al-Haq. Dalam hadis
disebutkan : “Apabila dibuka Wajah-Nya,
pastilah kesucian Wajah-Nya (Cahaya-Nya)
membakar apa yang dilihat oleh
pandangannya.” (Hr. Muslim).
14.
MUHADHARAH, MUKASYAFAH DAN
MUSYAHADAH
Edit : Pujo Prayitno
Muhadharah, berarti kehadiran kalbu,
stelah itu baru Mukhasyafah , yakni kehdiran
kalbu dengan sifat nyatanya, lalu Musyahadah,
yaitu hadirnya Al-Haq tanpa dibayangkan.
Apabila langit rahasia (sirr) telah bersih dari
mega sitr, maka matahari penyaksian tepancar
dari bintang kemuliaan .
Kebenaran musyahadah, seperti
diungkapkan oleh al-Junayd r.a. “Wujdu Al-
Haq menyertai kesirnaanmu. Orang yang
bertahap Muhadharah selalu terikat dengan
ayat-ayat-Nya. Dan orang yang mukasyafah
terhampar oleh Sifat-sifat-Nya, sedangkan
orang yang musyahadah ditemukan Dzat-Nya.
Orang yang Muhadharah ditunjukkan akalnya.
Orang yang mukasyafah didekatkan ilmunya.
Dan orang yang musysahadah dihapuskan
oleh ma’rifatnya.”
Tidak ada tambahan lagi dalam
penjelasan musyahadah lebih dari apa yang
dikatakan oleh Amr bin Utsman al-Makky r.a.
Arti dari yang diucapkan, bahwa cahaya-
cahaya yang melingkupi kalbunya, tanpa
adanya tutup dan faktor yang memutus di
celahnya. Sebagaimana perkiraan dalam kiltan
yang bersambung. Seperti malam yang gelap
dilampaui cahaya, dan cahaya itu tidak
terputus, maka jadilah cahaya siang.
Begitupun kalbu, apabila keabadian Tajalli
tampak terus menerus, akan menjadi siang
yang nikmat, tiada malam samak sekali.
Dalam syair yang mereka lantunkan :
Malamku, dengan Wajah-Mu terang
benderang
Dan kegelapannya merambah manusia
Manusia berada dalam kegulitaan,
Sedang kami ada di cahaya benderang
siang
An-Nury berkata : “Seorang hamba
tidak sah ber-musyahadah, sepanjang masih
hidup. “Apabila subuh telah terbit, tak perlu
lagi lampu.”
DaKetika terang subuh tiba,
Beredarlah cahayanya, dengan
cahayanya
Cahaya-cahaya gemerlap bintang
Cahayatertelan gelas,
Jika saja tersimpan bara karena
menelannya
Terbanglah secepat-cepatnya
Gelas piala, dan gelas piala manakah
yang menghancurkan dan menyirnakan,
menghanguskan mereka dari diri mereka
sendiri, sementara tak satu pun gelas piala
yang mengabadikan dan memercikan mereka.
Gelas yang menghapus mereka secara
menyeluruh dan tiada menyisakan tulang
belulang dari pengaruh-pengaruh sifat-sifat
kemanusiaan. Sebagaimana diucapkan :
Mereka berjalan, namun tidak tetap, tidak
teratur dan tidak ada pengaruh.
15.
LAWAIH, LAWAMI’ DAN THAWALI’
Edit : Pujo Prayitno
Kata-kata tersebut makananya saling
berdekatan, nyaris tidak ada perbedaan
besar. Kata tersebut merupakan sifat-sifat dari
orang yang sedang dalam tahap permulaan
(bidayat). Mereka yang sedang menaiki tahap
dalam kalbu. Sehingga cahaya matahari
ma’rifat tidak menetap abadi dalam diri
mereka. Namun Allah swt. mendatangkan
rezeki kalbunya dalam setiap saat.
Sebagaimana Allah swt. berfirman :
“Bagi mereka rezeki mereka di dalam
surga, pagi dan petang.” (Qs. Maryam : 62).
Apabila langit kalbu dipenuhi mega
dunia, terbayanglah kilatan kasyaf bagi
mereka, dan tampaklah kilatan taqarrub.
Mereka dalam zaman yang menutup mereka,
sedang mereka mengintai ekjutan kilatan itu.
Mereka seperti digambarkan dalam syair :
Wahai kilatan yang cemerlang
Dari sayap-sayap lagnit yang
benderang
Lawaih sebagai tahap pertama, disusul
Lawami’, kemudian Thawali’. Lawaih seperti
kilatan cahaya, tidak akan tampak sehingga
cahayanya tertutup. Dalam syair dikatakan :
Kami berpisah setahun
Ketika kami bertemu
Seakan salamnya padaku
Salam selamat tinggal
Mereka berkata :
Wahai orang yang berjalan,
Dan bukan pezarah sebenarnya
Seakan ia terkena api
Lewat di depan pintu rumah tergesa-
gesa
Padahal tak ada bencana
Jika ia memasukinya
Sedangkan Lawami’ lebih jelas
daripada Lawaih. Hilangnya cahaya tidak
secepat itu. Lawami’ disinari cahaya beberapa
waktu. Namun seperti ucapan syair : Dan
mata menangis, tak puas-puasnya
memandang.
Dalam syair mereka berkata pula :
Tak sampai air wajahnya di mata
Kecuali telah penuh
Sebelum puasnya mendekat
Bila telah tampak cahayanya, ia
memutus dirimu dan mengumpulkanmu
dengan cahaya itu. Tetapi cahaya siangnya
tidak berlalu sampai pasukan-pasukan malam
menyerang. Mereka beada di antara pasukan
Ruh dan Nuh. Karena mereka berada di antara
Kasyaf dan Sitr. Mereka bersyair :
Sedang malam mengandung kita
Dengan dinginnya yang mencekam
Sementara subuh, menyingkap selimut
kita.
Thawali’ lebih lama dan abadi
waktunya, lebih kuat dominasinya dan lebih
abadi ketetapannya. Thawali’ mampu
menghapus kegelapan dan menyirnakan
keraguan. Tetapi tetap berada dalam bisikan
yang lenyap. Tidak terlalu tinggi, tidak pula
berdiam abadi. Waktu-waktu memperolehnya
dengan perjalanan yang cepat dan ihwal
lenyapnya berbuntut panjang.
Makna-makna dari Lawaih, Lawami’
dan Thawali’ tersebut berbeda-benda
disiplinnya. Antara laian, ketika kehilangan
jejak, tidak sedikitpun memberkas. Sepeti
kilatan-kilatan, ketika lenyap, seakan-akan
malam panjang nan abadi yang ada. Ada pula
yang meninggalkan bekas, apabila hllang
angkanya, yang ada tinggal dukanya. Apabila
cahaya-cahayanya asing, yang tetap beks-
bekasnya. Orang akan berada di tahap
tersebut setelah menghuni luapannya, hidup
dalam sorotan berkatnya. Lanatas pada
hamparan ke dua kalinya, ia berharap dengan
waktunya untuk menunggu kembalinya cahaya
itu, dan ia hidup dengan sesuatu yang ditemui,
pada saat adanya itu.
16.
BUWADAH DAN HUJUM
Edit : Pujo Prayitno
Buwadah adalah sesuatu yagn seketika
datang mengejutkan kalbu Anda dari dimensi
ghaib, terkadang gkarena adanya faktor
kesukacitaan atau kedukacitaan. Sedangkan
Hujum , sesuatu yang adatang pada hati
dengan kekuatan waktu tanpa rekayasa dari
diri Anda.
Berbagai ragam bentuknya berbeda
sesuai dengan kekuatan dan kelemahan
sesuatu yang tiba. Di antaranya ada orang
yang diubah oleh Buwadah, namun pada
kesempatan berikutnya diaplikasikan oleh
Hujum. Dan diantaranya ada yang berada di
atas apa yang mengejutkannya, baiks ecara
potensi maupun aktual. Mereka adalah kaum
yang dipenuhi kebajikan dan kemuliaan.
Sebagaimana dikatakan :
Jangan kau membuat petunjuk
Pengganti zaman kepada mereka
Bagi mereka ada kendali
Pada setiap Khitab yang agung
17.
TALWIN DAN TAMKIN
Edit : Pujo Prayitno
Talwin merupakan sifat orang-orang
yang memliki tingkah laku tahapan. Tamkin
adalah sifat ahli hakikat. Seorang hamba yang
masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah,
maka dialah pemilik talwin. Sebab, dalam
perjalanannya masih menjumpai tahap demi
tahap, berpindah dari satu predikat ke
predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai,
mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun)
.
Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di
suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat
menetap
Orang yang berada di tahap talwin
selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada
tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul)
kemudian sambung (ittishal). Tanda sampai
itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.
Salah seorang syeikh berkata :
“Berakhirlah penggembaraan para pencari
menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila
telah sampai kemenangan dalam jiwanya,
berarti mereka telah samapi.”
Mereka berharap demikian, sebagai
pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan
termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala
hamba menetap abadi dalam kondisi itu,
dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a.
berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam
talwin, kemudian kembali dari mendengarkan
Kalam, dan berharap untuk menutup
wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi
tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad
saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian
kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa
yang disaksikan pada malam itu, tidak
berpengaruh. Kisah demikian juga
dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang
melihat Yusuf as. Ketika mereka secara
bersamaan memotong jemari tangannya, saat
melihat raut muka Yusuf as. Dengan tampang
yang menghanyutkan dan mengejutkan.
Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam
mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak
hati itu ia tidak berubah, karena ia telah
memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa
Yusuf as.
Ketahuilah, bahwa perubahan hati
dalam diri hamba karena satu dari dua
persoalan : Kalau tidak karena adanya
kekuatan yang tiba, atau justru karena
kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan
atau kediaman dari hamba juga karena dua
hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan
sesuatu yang tiba itu.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-
Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi
dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin,
terpaku pad dua hal. Pertama , tidak ada jalan
lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul
saw. dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana
adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku,
niscaya para Malaikat akan menjabat tangan
kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi,
dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi)
.
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak
dapat leluasa di dalamnya kecuali
Tuhanku .” (H.r. Tirmidzi).
Kedua , sah berada dalam kondisi
kelanggengan, mengingta ahli hakikat
melakukan tahapan dari sifat yang
mempengaruhi melalui berbagai jalan.
Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ...
Niscaya para malaikat akan menjabat tangan
kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil.
Jabat tangan dari Malaikat tidak apda
kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits
Nabi saw. “ Sesungguhnya Malaikat
meletakkan sayapnya pada pencari ilmu,
sebagai rasa ridha terhadap apa yang
dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).
Sedangkan sabdanya : “Aku punya
waktu (khusus).” Dikondisikan menurut
persepsi pendengar. Namun dalam seluruh
tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di
atas hakikat.
Yang pertama , bisa dikatakan : Seorang
hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-
tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah
saja bila predikatnya bertambah dan
berkurang. Apabila telah sampai pada Yang
Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan
cara tidak dikembalikan pada penyakit-
penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin
dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut
proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt.
mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak
ada batas bagi kekuasaan-Nya. Karenanya,
jika hamba senantiasa dalam tahap yang
bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip
haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia
menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari
sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena
tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada
jenis manapun. Sedangkan orang yang
merasuk dalam musyahadahnya, dan secara
universal relevan dengan rasanya, maka tiada
batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu,
batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu
juga berkaitan dengan jagad raya seisinya,
jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan
(mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap
talwin maupun tamkin, tidak ada maqam
ataupun haal. Sepanjang ia berada pada
predikat tersebut, ia tak terbebani tugas
(takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali
jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu
semua, maka ia berada dalam situasi dimana
dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan
dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun,
padahal mereka itu tidur dan Kami balik-
balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-
Kahfi:18).
18.
QURB DAN BU’D
Edit : Pujo Prayitno
Awal tahap dalam taqarrub atau al-qurb
(kedekatan) adalah kedekatan hamba dalam
taatnya dan disiplin waktu melalui ibadat-
ibadatnya. Sedangkan tahap al-bu’d
(penjauhan) adalah pengotoran diri dengan
menentang dan menghampakan diri terhadap
taat kepada Allah swt. Awal dari bu’d adalah
jauh dari taufiq, kemudian jauh dari
pembenaran (tahqiq). Bahkan jauh dari taufiq
adalah jauh dari tahqiq itu sendiri.
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan, Nabi.s
aw. Mengabarkan dari Allah swt.
“Para hamba senantiasa bertaqarrub
kepada-Ku, sebagaimana aturan yang Aku
wajibkan kepada mereka. Dan seorang hamba
senantiasa bertaqarrub kepada-Ku melalui
ibadat-ibadat sunnah, sampai si hamba
menyintai-Ku dan Aku mencintainya. Apabila
Aku telah mencintainya, Diri-ku sebagai
pendengaran dan penglihatan baginya. Maka
dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia
mendengar.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Kedekatan hamba pada Tuhannya,
mula-mula dengan iman dan pembenarannya.
Kemudain kedekatannya melalui ihsan dan
hakikatnya. Sedang kedekatan Al-Haq saat di
dunia ini didapati melalui kema’rifatan. Kelak
di akhirat, hamaba dimuiakan untuk
menyaksikan-Nya secara nyata. Di antara
masing-masing kedekatan itu, melalui
kelembutan dan anugerah.
Kedekatan hamba kepada Allah swt.
tidak akan terwujud kecuali kajuhan hamba
dari makhluk. Predikat ini ada dalam hati,
bukan hukum-hukum fisikal lahriah dan alam.
Kedekatan Allah swt. termanifestasi
melalui sifat Ilmu dan Qudrat yag bersifat
universal dan umum. Sedangkan melalui Maha
Lembut dan Maha Penolong-Nya, sifatnya
hanya khusus bagi orang-orang beriman.
Kemudian dengan pemberian anugerah
“Kesukacitaan ruhani”, kedekatan-Nya tertentu
bagi para Wali-Nya. Allah swt. berfirman :
“Dan kami lebih dekat kepadanya dibanding
urat lehernya .” (Qs. Qaaf : 16) dan firman-Nya
pula : “Dan kami lebih dekat kepadanya
dibanding diri kamu (sendiri).” (Qs. Al-
Waqi’ah : 85). Pada ayat lain : “ Dan Dia
bersama kamu, di mana pun kamu
berada.” (Qs. Al-Hadid : 4) “ Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang,
kecuali Dia-lah yang keempatnya. ” (Qs. Al-
Mujaadilah : 7). Siapapun yang secara hakiki
dekat dengan Allah swt. minimal ia harus
muraqabah kepada-Nya. Karena dengan
Muraqabah, sang hamba akan senantiasa
mawas iri dengan takwa, kemudian mawas diri
pada hukum Allah swt. dan kesetiaan, disusul
kemawasan tehadap rasa malu. Mereka
mendengarkan nada-nada syair :
Seakan si Raqib menjaga getaran
hatiku
Yang lain menjaga pandangan dan
ucapanku
Tak ada selayang pandang di kedua
mataku
Yang memburamkan Diri-Mu
Melainkan engkau katakan
Benar-benar engkau memandang-Ku
Tiada yang cemerlang kata yang meluncur
Dari mulutku selain Diri-Mu
Melainkan Engkau katakan, benar, engkau
mendengar
Dengan pendengaran-Ku
Tiada getar hati dalam rahasia
Getran selain Diri-Mu
Melainkan engkau telah naik dengan
pertolongan-Ku
Sahabatku telah membosankan
ucapannya
Aku membisu dari mereka, pandangan
dan lisanku
Bukanlah pelarianku dari dunia
Yang melupakan diriku dari mereka
Hanya saja aku telah tenggelam dalam
penyaksianku
Di mana pun jua
Salah seorang syeikh menguji para
ssantrinya. Masing-masing santrinya diberi
seekor burung. Kata syeikh itu : “Sembelihlah
burung ini, namun jangan diketeahui oleh
siapa pun !.” Mereka pun pergi ke suatu
tempat, dimana tak seorang pun melihatnya,
lalu disembelihlah burung itu di tempat yang
sepi. Namun ada salah seorang yang datang
menghadap kepada syeikh tersebut, dengan
membawa burungnya semula, tanpa
disembelih. Syeikh itu menanyakan kepada si
murid, mengapa hingga ia tidak menyembelih
burung tersebut. Ia menjawab, “Engkau
memerintahkan diriku untuk menyembelih
burung itu, dengan syarat tidak diketahui
siapa pun. Tetapi tidak satu pun tempat,
kecuali Allah swt. melihatnya.” Syeikh itu
berkata, “Dengan ini, kehormatan kuberikan
kepada muridku ini. Sebab pada umumnya di
antara kalian hanya bertumpu pada makhluk.
Sedangkan ia tidak melalaikan Allah swt. Dan
memandang kedekatan berarti hijab bagi
kedekatan itu sendiri.”
Siapa yang memandang dirinya sebagai
tempat berpijak atau bernafas, maka dirinya
terkena makar. Karena itu para Sufi berkata
“Semoga Allah swt. menjagamu dari
kedekatan-Nya.” Yakni, mengisyaratkan atas
musyahadah Anda karena dekat-Nya.” Yakni,
mengisyaratkan atas musyahadah Anda
karena dekat-Nya, apabila Anda menemui-
Nya. Hal ini mengingat bahwa anugerah
kebahagiaan spiritual yang disebabkan
kedekatan-Nya merupakan perlambang
keagungan. Karena Allah swt, itu sendiri
berada di belakang setiap puncak
kebahagiaan. Sedangkan wilayah-wilayah
hakikat mengharuskan munculnya kedahsyatan
dan keleburan ruhani.
Mereka bersyair :
Cobaanku padamu, bahwa diriku
Tak peduli dengan cobaanku
Dekatmu bagai jauhmu
Kapankah tiba, waktu istirahatku?
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. sering
menyenandungkan bait-bait ini :
Kinasihmu adalah perpisahan
Cintamu adalah kebencian
Dekatmu adalah jauh
Damaimu adalah perang
Abu Husain an.Nury sebagaian murid
Abu Hamzah : “Apakah Anda salah seorang
murid Abu Hamzah yang mengisyaraktkan
pada al-Qurb? Kalau Anda bertemu dengan
belaiu sampaikan, bahwa Abul Husain an-
Nury berkirim salam, dan mengatakan
kepadanya : “Dekatnya dekat dalam perspektif
kamia dalah setelah jauh (al-bu’d). Jika yang
dimaksud adalah dekat dengan Dzat, maka,
Allah Maha Luhur (jauh) dari segala Kedekatan
seperti itu. Karena Allah Maha Suci dari
segala batas dan wilayah, pangkal dan ukuran
Allah tidak berssentuhan dengan makhluk,
begitu juga tidak terpisah dengan sesuatu
yang didahului. Sefat keagungan Shamadiyah-
Nya jauh dari temu dan pisah. Dekat
sebagaimana kedekatan materi, dalah
mustahil. Sedangkan dekat di sini adalah
keharusan sifat-Nya yaitu dekat melalui Ilmu
dan Pandangan. Dekat adalah kewenangan
dalam Sifat-Nya, yang dikhususkan kepada
hamba yang dikehendaki-Nya, yakni dekat
dalam perspektif keutamaan melalui sifat
kelembutan.
19.
SYARIAT DAN HAKIKAT
Edit : Pujo Prayitno
Syariat adalah disiplin ubudiyah,
sedangkan hakikat adalah musyahadah
Ketuhanan. (Musyahadah Ketuhanan
(rububiyah) : artinya melihat dengan kalbu.
Hal ini terungkap bahwa syariat merupakan
sarana mengetahui penempuhan jalan Allah
swt. Sedangkan Hakikat adalah kelestarian
memandang kepada-Nya. Tharikat adalah
menempuh jalan syariat tersebut, yakni
mengamallkan aturan-aturannya). Catatan
kaki).
Setiat syariat yang tidak dikukuhkan
dengan hakikat, tidak bisa diterima.
Sebaliknya Hakikat yang tidak dikukuhkan
syariat, tidak akan suskes.
Syariat turun dengan tugas-tugas dari
Sang Khalik, sementara hakikat merupakan
implementasi pelaksanaan kebenaran. Syariat
berarti Anda menyembah-Nya, sedangkan
Hakikat berarti Anda Menyaksikan-Nya.
Syariat berarti bangkit sesuai dengan apa
yang diperintahkan, sementara Hakikat adalah
menyaksikan apa yang di qadha-kan dan
ditakdirkan, apa yang tersembunyi dan apa
yang tampak .
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-
Daqqaq berkata : “(Kepada-Mu kami
menyembah)” adalah menjaga syariat, dan
“(Kepada-Mu kami meohon pertolongan)”
adalah ikhtiar dengan hakikat.
Perli diketahui, syariat itu sendiri
adalah hakikat, bila dilihat bahwa syariat
adalah keharusan melalui perintah-Nya.
Begitu pun hakikat adalah syariat, dari segi
bahwa ma’rifat kepada-Nya, karena perintah-
Nya.
20.
N A F A S
Edit : Pujo Prayitno
Nafas adalah hembusan kalbu melalui
kelembutan-kelembutan kegaiban. Orang yang
memiliki nafas (ruhani), lebih lembut dan lebih
jernih dibading yang memiliki ahwal ruhani.
Pemilik waktu adalah pemula, dan pemilik
nafas, adalah pangkalnya. Pemilik tingkah
kesufian (ahwal) berada di antara keduanya .
Orang-orang yang berada pada ttahap awal
adalah pemelihara ruh, sedangkan pemilik
nafas adalah ahli dalam rahasia-rahasia
Ketuhanan.
Para Sufi berkata : “Sebaik-baik ibadat
adalah menghitung nafas (hati) bersama Allah
swt.”
Mereka juga berkata : “Allah swt.
menciptakan kalbu, dan dijadikan kalbu itu
sebagai tambang ma’rifat. Allah swt. mencipta
rahasia di balik kalbu, dan dijadikan sebagai
tempat tauhid. Setiap nafas yang tidak muncul
dari bukti-bukti ma’rifat dan setiap isyarat
tauhid dalam bentangan kerumitan, adalah
mayat, yang pemiliknya akan dimintai
pertanggungjawaban.”
Syeikh Abu Ali ad. Daqqaq r.a.
berkata : “Bagi orang Arif” nafas tidak
berserah kepadanya, karena tidak ada
toleransi yang mengalir menyertainya.
Sedangkan bagi sang pecinta, nafas adalah
keharusan. Kalau tidak ada nafas, pastilah ia
akan musnah.”
21.
AL-KHAWATHIR
Edit : Pujo Prayitno
Al-Khawathir (bisikan-bisikan jiwa)
adalah bisikan yang menghujam ke dalam
rasa; terkadang muncul dari Malaikat,
terkadang dari setan, atau sekedar ungkapan
nafsu, dan bahkan pula bisikan langsung dari
Allah swt. Yang Maha Benar.
Apabil bisikan datang dari malaikat,
disebut Ilham. Jika muncul dari hawa nafsu
disebut Hawajis. Dan bila datang dari setan
disebut Haswas. Sedangkan bisikan jiwa yang
langsung dari Allah swr. Disebut Bisikan
Kebenaran (Khathir Haq ).
Indikasi secara keseluruhan, apabila
bisikan datang dari para malaikat, bisa
diketahui kebenarannya bila bisikan itu sesuai
dengan ilmu pengetahuan. Karena itu, para
Ulama Sufi berkata : “Setiap bisikan yang
tidak bisa disaksikan kebenarannya secara
lahir, adalah bisikan batil.” Apabila bisikan itu
datang dari setan, rata-rata mengandung pada
kemaksiatan. Begitupun yang datang dari
nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap
menurut syahwat, atau rasa takabur.
Para syeikh Sufi bersepakat, bahwa
orang yang terlalu banyak makan makanan
haram, tidak akan bisa membedakan mana
bisikan yang bersifat ilham dan mana yang
waswas.
Saya mendengar Syeikh Abu ali ad-
Daqqaq berkata : “Siapa yang makanan
utamanya diketahui (keharamannya), ia tidak
akan bisa membedakan antara ilham dan
waswas. Sementara orang yang menghindari
hasrat nafsunya, dengan cara mujahadah yang
benar, kejelasan ucapan batinnya akan
tampak melalui perlawanan terhadap
nasunya.”
Para syeikh sepakat, bahwa nafsu itu
tidak bisa dibenarkan. Sedangkan kalbu tidak
bisa ditipu. Apabila Anda mujahadah
semaksimal mungkin, agar ruh membisikan
kepada Anda, pastilah ruh tidak akan
membisikan sesuatu kepada Anda.
An-Junayd membedakan antara bisikan
nafsu dan bisikan setan : bahwa naffsu itu,
apabila menuntut Anda terhadap suatu
perkara, ia akan menempel, dan akan kembali
lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu,
sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih
kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali
bagi orang-orang yang mujahadahnya benar,
maka bisikan itu tidak akan kembali.
Kemudian nafsu itu selalu memusuhi Anda.
Sementara setan, ketika menjerumuskan Anda
melalui godaannya, kemudian Anda
menentangnya, maka setan akan kembali
mempengaruhi Anda dengan godaan lainnya.
Sebab, secara keseluruhan, sikap kontra
adalah sama. Yang penting bagi setan, Anda
bisa mengikuti ajakannya yang
menjerumuskan. Dan baginya, tidak ada
peringatan dalam penjerumusan itu.
Dikatakan : “Setiap bisikan yang datang
dari para malaikat, kadang-kadang cocok di
hati si penerima bisikan, terkadang juga tidak.
Namun apabila bisikan langsung dari Allah
swt. sama sekali si hamba tidak menetang-
Nya.”
Para Syeikh memperbincangkan soal
bisikan berikutny. “Apabila bisikan dari Allah
swt. apakah bisikannya alebih kuat dibanding
bisikan pertama.” Al-Junayd berkata : “Bisikan
pertama lebih kuat, sebab, apabila bisikan itu
masih ada, orang yang mendapat bisikan
kembali pada refleksinya, dan dalam kaitan ini,
perlu persyaratan ilmu pengetahuan.
Meninggalkan bisikan pertama berarti
melemahkan bisikan kedua.”
22.
ILMUL YAQIN, ‘AINUL YAQIN DAN
HAQQUL YAQIN
Edit : Pujo Prayitno
Ungkapan di atas merupakan wacana
ilmu yang sudah jelas.
Yaqin adalah ilmu yang tidak merasuki
seseorang yang menyebabkan keraguan
sepenuhnya. Al-Yaqin tidak diucapkan dalam
sifat Allah swt. karena memang tidak relevan.
Sedangkan Ilmu Yaqin adalah Yaqin itu
sendiri. Termasuk katagori Yaqin adalah ‘Ainul
Yaqin dan Haqqul Yaqin.
Ilmu Yaqin menurut disiplin terminologi
ulama, adalah sesuatu yang ada dengan
syarat adanya bukti. Sedangkan ‘Ainul Yaqin,
sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan.
Haqqul Yaqin, adalah sesuatu yang ada
dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan.
Ilmu Yaqin, diperuntukkan bagi mereka
yang cenderung rasional, ‘Ainul Yaqin,
diperuntukan bagi para ilmuwan. Sedangkan
Haqqul Yaqin, hanya bagi orang-orang yang
ma’rifat .
23.
W A R I D
Edit : Pujo Prayitno
Al-Warid (bisikan terpuji) adalah bisikan
dalam hati, berupa bisikan terpuji, tanpa
diduga oleh seorang hamba. Tergolong
kategori ini, adalah hal-hal yang tidak
termasuk sisi dari bisikan (khawathir).
Warid kadang-kaang datang dari Allah
swt. dan terkadang juga dari intuisi
pengetahuan. Bisikan-bisikan terpuji (al-
waridaat) ini lebih umum dibnding al-
khawathir. Sebab bisikan khawathir, hanya
khusus bagi macam perintah, atau yang se-
arti dengannya. Sementara warid, lebih
sebagai bisikan kegembiraan, atau kesedihan,
genggaman dan keleluasaan Ilahi, dan
sejenisnya.
24.
SYAAHID
Edit : Pujo Prayitno
Kebaynyakan yang berlaku dalam
ucapan ulama, bahwa kata asy-Syaahid itu
semakna dengan ucapan kita : Si Fulan
menyaksikan ilmu (yusyaahid al-ilm); Si Fulan
menyaksikan ekstase (yusyaahid –al-wujd)
dan si Fulan menyaksikan keadaan-keadaan
ruhani (yushaahid al-haal).
Mereka mengartikan kata Syaahid
adalah sesuatu yang hadir dalam hati
manusia. Sesuatu yang pada umumnya
teringat, seakan-akan ia melihat dan
memandangnya, walaupun obyek tidak ada di
hadapannya. Setiap yang dominan dalam
hatinya, berarti ia menyaksikannya. Bila yang
dominan adalah ilmu, maka ia menyaksikan
ilmu. Begitu juga bila yang dominan adalah
ekstase, berarti ia menyaksikan al-wujd.
Arti asy=Syaahid adalah yang hadir (al-
haadhir). Jadi setiap yang hadir dalam hati
Anda berarti yang menjadi bukti Anda.
Asy-Syibly ditanya tentang
musyahadah. Katanya, “Dari mana kita
mendapatkan musyahadah al-Haq? Padahal
Allah Yang Maha Haq menyaksikan kita.”
Beliau mengisyaratkan, dengan kata, “Allah
swt. yang menyaksikan.” Dengan
menggunakan faktor dominan dalam hatinya.
Dan yang dominan pada dirinya adalah dzikir
kepada Allah swt. Sedangkan yang hadir
dalam hati senantiasa juga dzikir kepada Allah
swt. Siapa pun yang memperoleh sesuatu dari
sesama makhluk, maka hatinya akan berkait.
Dikatakan, “Ia menjadi saksinya.” Artinya,
hatinya hadir. Rasa cinta mendorong
seseorang untuk selalu ingat kepada sang
kekasih dan mengutamakan kekasihnya
dibanding dirinya .
Sebagian Sufi sangat jeli dalam
mencari akar kata asy-Syaahid ini.
Disebutkan demikian karena bermula
dari asy-Syaahid. Seakan-akan jika melihat
sosok dengan sifat-sifat keindahannya –
apabila sifat manusiawinya gugur dari dirinya,
dan tidak disibukkan oleh penyaksian pada
keadaan sosok tokoh, dan tidak pula ada
pengaruh persahabatan di dalamnya dalam
satu sisi – maka ia disebut saks “bagi”” sosok
tersebut karena ke-fana’an dirinya. Tetapi bila
ada pengaruh di dalam menyertai sosok
tersebut, ia disebut sebagai saksi “atas”
ssosok itu, sedangkan dirinya masih ada, dan
masih menegakkan hukum naluri manusia,
baik sebagai saksi bagi sosok atau saksi atas
sosok di atas. Dalam kontens inilah relevan
dengan sabda Nabi saw. “Aku melihat
Tuhanku pada malam Mi’raj, dalam rupa yang
paling bagus. Yakni rupa paling bagus yang
kulihat malam itu. Sama sekali tidak
menyakitkan diriku untuk melihat-Nya. Bahkan
aku melihat Perupa dalam rupa, dan Kreator
dalam kreasi .” (H.r. Thabrani, riwayat dari
Ubaidullah bin Au Rafi’ dan ayahnya dan dari
Ibnu Abbas. Demikian pula riwayat dari Ummu
Thufail dari Mu’adz bin ‘Afra’).
Yang dimaksud hadis tersebut adalah
penglihatan ilmu, bukan penglihatan mata.
25.
NAFSU
Edit : Pujo Prayitno
Nafsu syai’ dalam bahasa Arab adalah
wujud sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut
kauf Sufi, “Ucapan kata nafs bukan
dimaksudkan sebagai wujud, acuan masalah.”
Yang mereka maksudkan dangan nafs adalah
sesuatu yang tercela dalam sifat-sifat hamba,
akhlak dan perbuatannya.
Perilaku tercela dari sifat-sifat hamba
tebagi menjadi dua : Pertama, bersifat upaya
dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan
pengingkaran terhadap perintah dan larangan.
Kedua , budi pekertinya yang buruk dalam
dirinya yang tercela. Maka terapi dan
penyembuhannya pada diri hamba adalah
berjuang melawan kehinaan perilaku tersebut
yang telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pada sifat yang pertama, termasuk
hukum-hukum nafsu adalah hal-hal yang
dilarang setara dengan keharaman atau
larangan yang besifat dibenci. Sedangkan
pada sifat kedua, berupa keburukan dan
kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya.
Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah,
dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit
bersyukur, dan yang lainnya. Yang tergolong
akhlak tercela.
Hukum nafsu terburuk adalah berupa
khayalan bahwa sesuatu perbuatan yang
muncul dari nafsu dianggap baik . Atau
perbuatan nafsu itu sebagai bagian takdir.
Karena itulah perbuatan nafsu seperti itu
tergolong syirik khafy atau syirik yang samar.
Karena itu, terapi akhlak dalam menyingkirkan
nafsu lebih penting daripada berlapar-lapar,
haus atau berjaga (tanpa tidur) dan
sebagainya yang mengandung unsur
penyusutan kekuatan fisik. Walaupun cara
seperti itu juga termasuk meninggalkan
kesenangan nafsu.
Nafsu itu sendir merupakan nuansa
lembut yang ada dalam hati, sebagai tempat
akhlak yang tercela. Sebagaimana ruh yang
merupakan nuansa lembut dalam hati, namun
sebagai tempat akhlak terpuji. Dalam
gambaran yang umum, masing-masing saling
meundukkan. Semuanya, merupakan bagian
dari kesatuan manusia. Eksistensi ruh dan
nafsu tergolong wadag lembut dalam rupa,
sebagaimana eksistensi malaikat dan setan,
dengan sifat-sifat kelembutan.
Seperti benarnya mata sebagai tempat
memnadang, telinga sebagai tempat
mendengar, hidung sebagai tempat
penciuman, mulut sebagai tempat rasa, maka,
begitu pun orang yang mendengar, yang
melihat, yang mencium dan yang merasakan,
semuanya termasuk dalam bagan manusia.
Demikian pula, tempat sifat-sifat yang terpuji,
tempatnya adalah hati dan ruh. Sedangkan
sifat-sifat tercela tempatnya adalah nafsu.
Nafsu sendiri sebagai bagian dari keseluruhan
tersebut, begitu pula hati, hukum dan nama,
kembali pada keseluruhan kesatuan sosok
manusia.
26.
R U H
Edit : Pujo Prayitno
Ahli hakikat dari kalangan Ahli Sunnah
berbeda pandangan soal Ruh. Ada yang
berpendapat, ruh adalah kehidupan. Yaing
lain berpandangan, ruh adalah kenyataan yang
ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah
swt. menjalankan kebiasaan makhluk dengan
mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang
arwahnya menempel di badan.
Manusia hidup dengan sifat kehidupan.
Tetapi arwah selalu tercetak di dalam hati,
dan bisa naik ketika tidur dan berpisah
dangan badan, kemudain kembali kepada-
Nya.
Manusia terdiri dari ruh dan jasad.
Karenanya Allah swt. menundukkan keduanya
secara keseluruhan, baik ketika di Mahsyar,
diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah
makhluk.
Bagi sementara pihak yang berkata
bahwa ruh adalah qadim, merupakan
kekeliruan besar. Beberpa hadis
mengindikasikan bahwa ruh adalah materi
yang lembut.
27.
S I I R
Edit : Pujo Prayitno
Sirr juga temasuk nuansa halus dalam
hati manusia, sebgaimana arwah. Akarnya
menunjukkan bahwa sirr adalah temepat
musahadah, sebagaimana arwah temWApat
mahabbah. Sedangkan kalbu tempat ma’rifat.
Para Sufi berkata L “Sirr adalah
sessuatu yang membuat Anda mulia.
Sedangkan rahasia sirr, adalah sesuatu yang
tidak bisa terungkap selain Allah Yang Haq.”
Dari kesimpulan para kaum Sufi, kita
memandang bahwa sirr lebih lembut
dibanding ruh. Dan ruh lebih mulia dibanding
kalbu.
Mereka berkata : “Sirr selalu merdeka
dari belenggu tipudaya, baik dari pengaruh
dunia maupun kesenangan.”
Kata sirr diucapkan bagi segala hal
yang terjaga dan termasuk antara hamba
dengan Allah swt. dalam ihwal ruhani. Dalam
hal ini, ucapan seseorang yang mengatakan,
“Rahasia-rahasia kami adalah keperawwanan
yang masih suci. Sedang mereka ragu,”
masuk kategori ucapan sirr.
Mereka mengatakan : “Hati orang-orang
merdeka, selalu menerima rahasia-rahasia
jiwa (asraar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar