Kamis, 30 Januari 2014

Risalatul Qusyairah 4

  PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”


DATAR  ISI
29.      KEBEBASAN
30.      DZIKIR
31.      FUTUWWAH
32.      FIRASAT
33.      AKHLAK
34.      KEDERMAWAN HATI
35.      GHIRAH
36.      KEWALIAN
37.      DOA
38.      KEFAKIRAN
39.      TASAWUF
40.      ADAB
41.      TATA ATURAN BEPERGIAN
42.      PERSAHABATAN
43.      TAUHID
44.      KELUAR DARI DUNIA
45.      MA’RIFAT
46.      CINTA
47.      RINDU
48.      MENJAGA PERASAN HATI SYEIKH
49.      SIMA’


29.
KEBEBASAN
Edit : Pujo Prayitno
Firman Allah swt. :
“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin)  atas diri mreka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” Qs. Al-Hasyr :9).
Syeikh berkata : “Mereka (kaum Anshar) memberikan dengan penuh kemurahan hati kepada kaum Muhajirin, sebab mereka (kaum Anshar) bebas dari keterikatan pada (harta benda) yang diterima oleh kaum Muhajirin itu, dan dengan demikian mereka mampu memberi dengan penuh kemurahan hati.”
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. R.a bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Apa pun yang mencukupi kebutuhan seseorang , adalah apa yang cukup untuk dirinya. Semua hanya akan berakhir pada empat hasta dan sejengkal tanah kuburan, dan segala sesuatu akan kembali pada tempat kembalinya.”
Syeikh berkata : “Kebebasan berarti bahwa si hamba bebas dari belenggu sesama makhluk; kekuasaan makhluk tidak berlaku atas dirinya. Tanda absahnya kebebasan adalah, bahwa tersingkirnya pembedaan tentang segala hal dalam hatinya, sehingga semua gejala duniawi sama di hadapannya.”
Haritsah r.a. mengatakan kepada Rasulullah saw. : “Saya telah menjauhi dunia. Batu dan emas yang ada di bumi tidak da bedanya bagi saya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang yang datang ke dunia ini dalam keadaan bebas darinya, akan berangkat ke akhirat dalam keadaan bebas pula.” Dalam sebuah ucapannya pula : “Orang yang hidup di dunia dalam keadaan bebas dari dunia, akan bebas pula dari akhirat.”
Syeikh berkata : “Ketahuilah bahwa hakikat kebebasan diperoleh dari kesempurnaan ubudiyah, sebab jika ubudiyahnya benar, maka kebebasannya dari belenggu akan sempurna. Mengenai mereka yang menghayalkan bahwa ada waktu dimana seseorang boleh melepaskan ibadat dan berpaling dari hukum yang tersirat dalam perintah dan larangan Allah swt. sementara dirinya dalam keadaan mukallaf, maka tindakan itu keluar dari agama.”
Allah swt. berfirman kepada Rasulullah saw. :
“Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Para ahli tafsir sepakat bahwa “keyakinan” di sini berarti “saat kematian.”
Manakala para sufi berbicara tentang kebebasan, yang mereka maksud adalah, bahwa si hamba tidak berada di bawah perbudakan oleh sesama makhluk ataupun diperbudak oleh perubahan keadaan kehidupan duniawi ataupun ukhrowi; ia akan menunggalkan diri kepada Allah Yang Esa. Tidak sesuatu pun yang memperbudaknya, baik perkara duniawi yang bersifat sementara, pencarian kepuasan bawa nafsu, keinginan, permintaan, niat, kebutuhan ataupun ambisi.
Asy-Syibly pernah ditanya : “ tidak tahukan  Anda bahwa Allah Maha Penyayang?” Beliau menjawab : “Tentu. Tapi, karena aku telah tahu bahwa Dia Maha Penyayang, maka aku tidak pernah meminta kepada-Nya agar menyayangiku. Dan maqam kebebasan sungguhlah mulia.”
Abul Abbas as-Sayyary pernah bika shalat sah selain membaca Al-Qur’an, tentu sah pula membaca bait syair ini :
Setiap zaman aku menginginkan yang mustahil.
Agar kelopak mataku bisa melihat wajah kebebasan.
Para Syeikh telah berbicara banyak tentang kebebasan. Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Barangsiapa menghendaki kebebasan, hendaklah meraih ubudiyah.”
Ketika al-Junayd disodori kasus seseorang yang kekayaan duniawinya hanya sebesar embun yang menempel di burtir kurma, ia berkata : “Hamba yang masih terikat kontrak akan tetap menjadi hamba selama ia masih memiliki satu dirham sekalipun.” Ia juga mengatakan : “Engkau tidak akan dapat mencapai kebebasan sejati selama masih ada sisa dunia dalam hakikat ubudiyah.”
Bisyr al-Hafi berkta : “Barangsiapa menginginkan rasa kebebasan dan ringan dalam ubudiyah, maka bersihkanlah batinnya, antara ia dan Allah swt.”
Al-Husain bin Mnashur berkomentar : “Ketika orang mencapai maqam ubudiyah, segalanya tampak bebas dari belenggu ubudiyah, Lalu ia melakukannya tanpa beban, Itulah maqam para Nabi dan kaum shiddiqin. Maksudnya, ia sendiri dipikul oleh maqam tersebut; tanpa kesusahan, walaupun tetap konsisten dengan syariat.”
Manshur al-Faqih membacakan syair berikut :
Tak ada seorangpun manusia atau jin yang bebas
Kebebasan baginya berlalu
Kemanisan hidup adalah kegetiran
Ketahuilah bahwa jenis kebebasan paling besar justru ketika melayani orang-orang miskin.
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, bahwa Allah telah mengajarkan kepada Daud as. : “Jika egkau menjumpai seorang manusia yang mencari-Ku, maka jadilah dirimu sebagai pelayan.”
Nabi saw. bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (H.r. Abu Abdurrahman as-Sulami).
Yahya bin Muadz  mengatakan : “Generasi duniawi dilayani budak-budak laki-laki dan wanita, generasi akhirat dilayani mereka yang merdeka dan saleh.”
Ibrahim bin Adham berkata : “Orang bebas yang mulai telah keluar dari dunia lebih sbeleum ia dikeluarkan dari dunia (wafat).”
Dikatakannya pula : “Janganlah bersahabt, kecuali dengan orang mulia yang bebas, ia hanya mendengar namun tidak banyak bicara.”

30.
DZIKIR
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Qs. Al-Ahzab :41).
Diriwayatkan bawah Rasulullah ssaw. Bersabda :
“Maukah kuceritakan kepadamu tentang amalan terbaik dan paling besih dalam pandangan Allah swt. serta orang yang tertinggi derajatnya di antaramu, yang lebih baik dari menyedekahkan emas dan perak serta memerangi musuh-musuhmu dan memotong leher mereka, dan mereka juga memotong lehermu?” Para sahabat bertanya : “Apakah itu,  (H.r. Baihaqi).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Hari kiamat tidak akan datang kepada seseorang yang mengucapk : “Allah, Allah.” (Hr. Muslim).
Anas ra. Juga menuturkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Kiamat tidak akan datang sampai lafazh, Allah, Allah,’ tidak lagi disebut-sebut di muka bumi.” (H.r. Tirmidzi).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt. kecuali dengan terus menerus dzikir kepada-Nya.”
Ada dua macam Dzikir : Dzikir lisan dan dzikir hati. Si hamba mencapai taraf dzikir hati dengan melakukan dzikir lisan. Tetapi dzikir hati lah yang membuahkan pengaruh sejati. Manakala seseorang melakukan dzikir dengan lisan dan hatinya sekaligus, maka ia mencapai kesempurnaan dalam suluknya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar : “Dzikir adalah tebran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berati telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat.
Dikatakan bahwa pada awal perjalanannya, Dulaf asy-Syibly biasa berjalan di jalan raya setiap hari dengan membawa seikat cambuk di punggungnya. Setiap kali kelaian memasuki hatinya, ia akan melecut badannya sendiri dengan cambuk sampai cabuk itu patah. Kadang-kadang bekal cambuk itu habis sebelum malam tiba. Jika demikian ia akan memukulkan tangan dan kakinya ke tembok manakala kelalaian mendatanginya.”
Dikatakan : “Dzikir hati adalah pedang para pencari yang dengannya mereka membantai musuh dan menjaga diri dari setiap ancaman yang tertuju pada mereka. Jika si hamba berlindung kepada Allah swt. dalam hatinya, maka manakala kegelisahan membayangi hati untuk dzikir kepada Allah swt, semua yang dibencinya akan lenyap darinya seketika itu juga.”
Ketika al-Wasithy ditanya tentag dzikir, menjelaskan  : “Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu.”
Abu Utsman ditanya : “Kami melakukan dzikir lisan kepada Allah saw. tetapi kami tidak merasakan kemanisan dalam hati kami?” Abu Utsman measihatkan : “Memujilah kepada Allah swt, karena telah menghiasi anggota badanmu dengan ketaatan.”
Sebuah hadits yang mashur menuturkan, bahwa Rasulullah saw. mengajarkan :
“Apabila engkau melihat surga, maka merumputlah kamu semua di dalamnya.” Ditanyakan kepada Beliau : “Apakah taman suraga itu, wahai Rasulullah?” Beliau mennjawab : “Yaitu kumpulan orang-orang yang melkukan dzikir kepada Allah>” (H.r. Tirmidzi).
Jabir bin Abdullah menceritakan : “Rasulullah saw. mendatangi kami dan beliau bersabda :
“Wahai umat manusia, merumputlah di taman surga!.” Kami bertanya : “Apakah taman surga itu?” Beliau menjawab : “Majelis orang melakukan dzikir.” Beliau bersabda : “Berjalanlah di pagi dan petang hari, dengan berdzikir. Siapa pun yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah swt. melihat pada derajat mana kedudukan Allah swt. pada dirinya. Derajat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya sepadan dengan derajat dimana hamba mendudukan-Nya dalam dirinya.”
Asy-Syibly berkata : “Bukanlah Allah swt. telah berfirman : “Aku bersama yang duduk berdzikir kepada-Ku?” Manfaat apa, wahai manusia dari orang yang duduk dalam majelis Allah swt?” Lalu ia bersyair berikut :
Aku mengingta-Mu bukan karena aku lupa pada-Mu sesaat;
Sedang bagian yang paling ringan adalah dzikir lisanku.
Tanpa gairah rindu aku mati karena cinta,
Hatiku bangkit dalam diriku, bergetar
Ketika wujud memperlihatkan Engkau adalah hadirku,
Kusaksikan Diri-Mu di mana saja,
Lalu aku bicara kepada yang ada, tanpa ucapan,
Dan aku memandang yang kulihat, tanpa mata.
Di antara karakter dzikir adalah, bahwa dzikir tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu, kecuali si hamba diperintahkan untuk ber dzikir kepada Allah di setiap waktu, entah sebagai kewajiban ataupun sunnah saja. Akan tetapi, shalat sehari-hari, meskipun merupakan amal ibadah termulia, dilarang pada waktu-waktu tertentu. Dzikir dalam hati  bersifat  terus menerus, dalam kondisi apa pun, Allah swt. berfirman :
“Yaitu orang-orang yang dzikir kepada Allah, baik sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring (tidur).” (Qs. Ali Imran :191).
Imam Abu Bakr bin Furak mengatakan : “Berdiri berarti menegakkan dzikir yang sejati, dan duduk berarti menahan diri dari seikap berpura-pura dalam dzikir.”
Syeikh Abu Abdurrahman bertanya kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq : “Manakah yang lebih baik, dzikir atau tafakur?” Bagaimana yang lebih berkenan bagimu?” Beliau berkata : “Dalam pandanganku dzikir adalah lebih baik dari tafakur, sebab Allah swt. menyifati Diri-Nya sebagai Dzikir dan bukannya fikir. Apap pun yang menjadi sifat Allah adalah lebih baik dari sesuatu yang khusus bagi manusia.” Maka Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq setuju dengan pendapat yang bagus ini.
Muhammad al-Kattany berkata : “Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan syair :
Tak pernah aku berdzikir kepada-Mu
Melainkan hatiku, batinku serta ruhku mencela diriku.
Sehingga seolah-olah si Raqib dari-Mu berbisik padaku,
“Waspadalah, celakalah engkau. Waspadalah terhadap dzikir!.”
Salah satu sifat khas dzikir adalah, bahwa Dia memberi imbalan dzikir yang lain. Dalam firman-Nya :
“Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.” (Qs. Al-Baqarah :152).
Sebuha hadis menyebutkan bahwa Jibril as. Mengatakan kepada Rasulullah saw. bahwasanya Allah swt. telah berfirman : “Aku telah memberikan kepada ummatmu sesuatu yang tidak pernah Kuberikan kepada ummat yang lain.” Nabi saw. bertanya kepada Jibril : “Apakah pemberian itu?” Jibril menjawab : “Pemberian itu adalah firman-Nya, “Berdzikirlah kepadaKu, niscaya Aku akan berdzikir kepadamu.” Dan belum pernah memfirmankan itu kepada ummat lain yang mana pun.”
Dikatakan : “Malaikat maut minta izin dengan orang yang berzikir sebelum mencabut nyawanya.”
Tertulis dalam sebuah kitab bahwa Musa as. Bertanya : “Wahai Tuhanku, di mana engkau tinggal?” Allah swt. berfirman : “Dalam hati manusia yang beriman.” Firman ini merujuk pada dzikir kepada Allah, yang bermukim di dalam hati, sebab Allah Maha Suci dari setiap bentuk “tinggal” dan penempatan. “Tinggal” yang disebutkan di isni hanyalah dzikir yang tetap dan sekaligus menjadikan dzikir itu sendiri kuat.
Ketika Dzun Nuun ditanya tentang dzikir, ia menjelaskan : Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya.” Lalu ia mebacakan syair :
Aku banyak berdzikir kepada-Mu bukan karena
Aku telah melupakan-Mu;
Itu hanyalah apa yag mengalir dari lisanku.
Sahl bin Abdullah mengatakan : Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru : “Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan-Ku?”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata : “Di surga ada lembah-lembah di mana para malaikat menanam pepohonan, ketika seseorang mulai berdzikir kepada Allah. Terakdang salah seorang malaikat itu berhenti bekerja dan teman-temannya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau berhenti?” Ia menjawab : “Sahabatku telah kendur dzikirnya.”
Dikatakan : “Carilah kemanisan dalam tiga hal : shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana , atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.”
Ahmad al-Aswad menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan perjalanan bersama Ibrahim al-Khawwas, kami tiba di suatu tempat yang dihuni banyak ular. Ibrahim al-Khawwas meletakkan kualinya dan duduk begitu pun denganku. Ketika malam tiba dan udara menjadi dingin, ular-ular pun berkeliaran. Aku berteriak kepada Syeikh, yang lalu berkata, “Dzikirlah kepada Allah!” Aku pun berdzikir, dan akhirnya ular-ular itu akhirnya pergi menjauh. Kemudian mereka datang lagi. Aku berteriak lagi kepada Syeikh, dan beliau menyuruhku berdzikir lagi. Hal itu berlangsung terus sampai pagi. Ketika kami bangun, Syeikh berdiri dan meneruskan perjalanan, dan aku pun berjalan menyertainya. Tiba-tiba seekor ular besar jatuh dari kasur gulungnya, Kiranya semalam ular itu telah tidur bergulung bersama beliau. Aku bertanya kepada Syeikh : “Apakah Anda tidak merasakan adanya ular itu?” Beliau menjawab : “Tidak. Sudah lama aku tidak merasakan tidur nyenyak seperti tidurku semalam.”
Abu Utsman berkata : “Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir.”
As-Sary menegaskan : “Tertulis dalam salah satu kitab suci : “Jika dzikir kepada-Ku menguasai hamba-Ku, maka ia telah asyik kepada-Ku dan Aku pun asyik kepadanya.” Dikatakan pula : “Allah mewahyukan kepada Daud as. : “Bergembiralah kepada-Ku dan bersenang-senanglah dengan dzikir kepada-Ku!.”
Ats-Tsaury mengatakan : “Ada hukuman atas tiap-tap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.”
Tertulis dalam Injil : “Ingatlah kepada-Ku ketika engkau dipengaruhi oleh kemarahan, dan aku akan ingat kepadamu ketika aku marah, Bersikap ridhalah dengan pertolongan-Ku kepadamu, sebab itu lebih baik bagimu dari pertolonganmu kepada dirimu sendiri.”
Seorang pendeta ditanya : “Apakah engkau sedang berpuasa?” Ia menjawab : “Aku berpuasa dengan dzikir kepada-Nya. Jika aku mengingat selain-Nya, maka puasaku batal.”
Dikatakan : “Apabila dzikir kepada-Nya menguasai hati manusia dan setan datang mendekat, maka ia akan meggeliat-geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat-geliat manakala setan-setan mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul dan bertanya : “Apa yang telah terjadi atas dirinya?” Salah seorang dari mereka akan menjawab : “Seorang manusia telah menyentuhnya.”
Sahl berkata : “Aku tidak mengenal dosa yang lebih buruk, dari lupa kepada Allah swt.”
Didkatakan bahwa malaikat tidak membawa dzikir batin seorang manusia ke langit, sebab ia sendiri bahkan tidak mengetahuinya. Dzikir batin adalah rahasia antara si hamba dengan Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku mendengar cerita tentang seorang laki-laki yang berdzikir di sebuah hutan. Lalu aku pergi menemuinya. Ketika ia sedang duduk, seekor binatang buas mengigitnya dan mengoyak dagingnya. Kami berdua pingsan. Ketia ia siuman, aku bertanya akepadanya tentang hal itu, dan ia berkata kepadaku : “Binatang itu diutus oleh Allah. Apabila engkau kendor dalam berdzikir kepada-Nya, ia datang kepadaku dan mengigitku sebagaimana yang engkau saksikan.”
Abdullah Al-Jurairy mengabarkan : “Di antara murid-murid kami ada seorang laki-laki yang selalu berdzikir dengan mengucap “Allah” “Allah”. Pada suatu hari sebatang cabang pohon patah dan jatuh menimpa kepalanya. Kepalanya pun pecah dan darah mengalir ke tanah mebentuk kata-kata Allah-Allah.”

31.
FUTUWWAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (Qs. Al-Kahfi :13).
Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. memberikan perhatian kepada seorang hamba selama hamba itu memperhatikan kebutuhan saudaranya yang Muslim.”
(Hr. Thabrani, riwayat dari Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit).
Menurut Syeikh ad-Daqqaq : “Futuwwah pada prinsipnya adalah kepedulian secara terus menerus yang dilakukans eorang hamba kepada orang lain.”
Syeikh berkomentar : “Tidak ada kesempurnaan sifat Futuwwah. Kecuali hanya ada pada diri Rasulullah saw. saja, sebab pada hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan : “Nafsi.... nafsii... (aku hanya mengurus diriku, aku hanya mengurus diriku), sementara Rasulullah saw. akan mengatakan : “Ummati .... Ummati.... (ummatku ... ummatku...)”
Al Junayd mengatakan : “Futuwwah dapat ditemukan di Syam, kefasihan bahasa di Iraq, dan kejujuran di Khurasan.”
Al-Fudhail menegaskan : “Futuwwah berarti memafkan kesalahan sesama manusia.”
Dikatakan pula : “Futuwwah berarti seseorang tidak menganggap dirinya lebih tinggi dan orang lain.”
Abu Bakr al-Warraq menegaskan : “Orang yang bersifat Futuwwah adalah mereka yang tidak punya musuh.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzy menjelaskan : “Futuwwah berarti engkau adalah musuh bagi dirimu sendiri, demi Tuhanmu.”
Dikatakan : “Manusia yang memiliki sifat Futuwwah tidak akan pernah memusuhi siap pun.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mendengar an-Nashr Abadzy mengatakan : “Ashabul Kahfi (Mereka meninggalkan keluarganya, menuju kepada Tuhannya. Mereka kontra duniawinya, sehingga mereka dipuji karena meninggalkan duniawi demi Allah swt. Karenanya, mereka menentang arus kebiasaan, dan lelap di gua selama 309 tahun, sama sekali tidak ada perubahan fisiknya). Mereka disebut fityah karena mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.”
Dikatakan : “Manusia yang  futuwwah adalah orang yang menghancurkan berhala, sebab Allah swt. berfirman : “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, yang bernama Ibrahim: (Qs. Al-Anbiya :60) dan : “Maka Ibrahm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong (Qs. Al-Anbiya :58). Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Jadi, orang yang melawan hawa nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.
Al-Harits al-Muhasiby berkata : “Futuwwah menuntut agar engkau berlaku adil kepada orang lain, tapi juga mau diadili oleh orang lain.”
Amr bin Utsman al-Makky mengatakan :”Futuwwah adalah memliki akhlak yang baik.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang futuwwah, dijawabnya, “Futuwwah artinya engkau tidak membenci orang miskin tapi juga tidak konfontrasi dengan orang kaya.”
AN-Nashr Abadzy berkomentar : “Muru’ah merupakan bagian dari futuwwah. Ia berarti berpaling dari dunia dan akhirat, dengan bangga menjauhi kedunya.”
Muhammad bin Ali at-Tirmidzi mengatakan : “Futuwwah berarti bahwa ha-hal yang langgeng maupun yang musnah sama saja bagi diri Anda.”
Ahmad bin Hanbal ditanya : “Apakah futuwwah itu?” dan beliau menjawab : “Futuwwah artinya meninggalkan apa yang engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang Sufi : “Apakah futuwwah itu?” Ia menjawab : “Futuwwah artinya engkau tidak membedakan makan bersama dengan seorang wali ataukah seorang kafir.”
Saya mendengar salah seorang ulama mengabarkan : “Sorang Majusi mengundang Ibrahim as. Makan. Ibrahim menjawab : “Aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa engkau memeluk Islam.” Mendengar jawaban demikian, si orang Majusi itu lalu pergi. Kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepada Ibrahim : “Selama lima puluh tahun Kami telah memberinya makan sekalipun ia kafir. Apa salahnya jika engkau meneriema seporsi  makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti agama? Ibrahimm lalu mengejar si orang Majusi itu sampai tersusul, lalu minta maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya kepadanya mengapa meminta maaf, Ibrahim menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi, dan orang Majusi itu pun akhirnya msuk Islam.
Al-Junayd mengatakan : “Futuwwah artinya menahan diri dari menyakiti hati orang dan menawarkan kemurahan hati.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Futuwwah artinya mengikuti sunnah.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya setia dan menjaga ketetapan Allah.”
Dikatakan juga : “Futuwwah adalah perbuatan bijak yang engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya engkau tidak berpaling manakala seorang yang membutuhkan datang mendekatimu.”
Ada yang berpendapat : “Futuwwah artinya engkau tidak menutup diri dari orang yang mencarimu.”
Pendapat lain : “Futuwwah artinya engkau tidak menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari alasan (jika diminta).”
Dikatakan : “Futuwwah artinya menampakkan nikmat, dan menyembunyikan cobaan.”
Yang lain berkata : “Futuwwah artinya bahwa jika engkau mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan terpengaruh jika yang datang sembilan atau pun sebelas orang.”
Dikatakan : “Futuwwah artinya meninggalkan segala bentuk perbedaan.”
Ahmad bin Khadhrawaih berkata kepada isterinya : “Aku ingin mengadakan pesta dengan mengundang seorang luntang-lantung yang terkenal di daerahnya dengan sebutan ‘pemimpin orang-orang muda.” Isterinya berkeberatan, ‘Itu tidak benar, mengundang seorang preman muda datang ke rumah.” Ahmad bersikeras. “Keinginanku mesti dilaksanakan!.” Istrinya berkata : “Jika demikian, maka smbelihlah kambing, sapi dan keledai, dan lemparkan saja dagingnya dari pintu orang itu ke pintu rumahmu!.” Ahmad bertanya : “Aku mengerti apa yang engkau maksudkan dengan kambing dan sapi, tapi apa maksudmu dengan menyembelih keledai?” Istrinya menjawab : “Engkau mengundang seorang preman muda ke rumah kita, maka paling tidak, lebih baik engkau membuat pesta bagi anjing-anjing di tempat ini.
Dalam suatu kisah diceritakan, pada sebuah perjamuan yang dihadiri oleh beberapa orang Sufi, termsuk seorang Syeikh dari Syiraz. Ketika acara penyimakan (ceramah) dimulai, tamu-tamu tertidur. Syeikh dan Syiraz bertanya kepada tuan rumah : “Mengapa mereka tertidur?” Si tuan rumah menjawab : “Aku tidak tahu. Aku telah ebrtindak cermat dan memastikan semua makanan, kecuali terung.” Keesokan paginya mereka pergi mencari  tahu tentang terung itu kepada pedagang sayuran, yang mengatakan kepada meraka : “Aku tidak punya sayuran. Maka aku lalu mencurinya dari kebun si Fulan dan menjualnya.” Merka lalu membawa si pedagang ke pemilik kebun untuk menebus halalnya. Si pemilik kebun berkata dengan heran : “Anda bersussah paya mendatangiku hanya untuk urusan seribu biji terung?” Baiklah, aku hadiahkan kepada pedagang ini kebunku ini, ditambah dua ekor sapi, seekor keledai dan bajak, agar ia tidak perlu mencuri terung lagi.”
Dikatakan, bahwa seorang laki-laki menikahi seorang wanita. Sebelum bersetubuh, ia melihat adanya cacar pada tubuh istrinya itu. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak : “Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin wanita itu pun lalu dibawa ke rumah suaminya. Setelah dua puluh tahun berselang wanita itu meninggal. Laki-laki itu mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, ia menjelaskan, : “Aku sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar istriku tidak merasa malu.” Seseorang berkata kepadanya : “Engkau telah melampaui semua orang dalam hal futuwwah!.”
Dzun Nuun al-Mishry mengajarkan : “Orang yang menginginkan perllaku yang utama hendaklah mencontoh para pemikul air dari Baghdad!>” Seseorang bertanya kepadanya : “Bagaimana mereka itu?” Ia menjawab : “Ketika aku dibawa ke hadapan khalifah atas tuduhan sebagai zindiq, aku melihat seorang pemikul air yag memakai sorban, berpakaian kain Mesir yang bagus, memebawa kendi-kendi tanah liat yang bagus. Aku berkata kepada seseorang : Ini pasti pelayan minum Sutan!” Ia berkata kepadaku : “Bukan, ini adalah pelayan minum orang banyak>” Aku mengambil sebuah cangkir, minum darinya dan menyuruh sahabt-sahabtku : Berilah ia satu dinar!” Pembawa air itu menolaknya seraya berkata : “Anda adalah seorang tahanan. Bukanlah sikap futuwwah bila menerima sesuatu dari Anda.”
Dikatakan oeh sebagian teman-teman kami : “Tidak da tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.” IA adalah seorang pemuda bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli sepotong jubah linen darinya. Ia hanya memintaku membayar seharga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah itu. Saya bertanya kepdanya : “Apakah Anda tidak mau mengambil sedikit keuntungan?” Ia menjawab : “Tentang harga jubah itu, aku mau menerima pembayaran Anda, tapi aku tidak mau membebankan kewajiban apa pun terhadap Anda. Aku tidak akan mengambil keuntungan, sebab tidak ada tepat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabt sendiri.”
Dikisahkan, seorang laki-laki yang mengaku futuwwah datang dari Naisabur ke Nasa, dimana seseorang mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan, seorang budak wanita datang untuk menuangkan air guna membasuh tangan mereka. Laki-laki dari Naisabur itu menarik tangannya dan berkata : “Berdasarkan aturan futuwwah, tidaklah diperbolehkan seorang gadis menuangkan air untuk laki-laki.” Tetapi orang lainnya yang hadir di sana berkata, : “Aku telh datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa mengetahui apaka laki-laki atau wanita yang menuangkan air untuk membasuh tangan kita?”
Manshur al-Maghriby menuturkan : “Seseorang ingin menguji Nuh al-Ayyar an-Naisabury. Ia menjual kepada Nuh seorang budak wanita yang diberi pakaian laki-laki, dengan pernyataan tersirat bahwa budak itu adalah budak laki-laki. Budk itu mempunyai wajah cantik yang bersinar cemerlang. Nuh membelinya dengan perkiraan bahwa budak itu laki-laki. Budak itu tinggal bersamanya selama berlbulan-bulan. Seseorang bertanya kepadanya : “Apakah tuanmu tahu bahwa engkau adalah seorang gadis?” Ia menjawab : “Tidak, ia belum pernah menyentuhku, karena mengira bahwa aku laki-laki.”
Dikatakan, seorang laki-laki beringas diperintahkan untuk menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sulan, tapi ia menolak. Ia lalu dihukum dera seribu kali, namun demikian masih tetap menolak menyerahkan budaknya. Malam itu udara sangat dingin dan ia terkena junub. Setelah bangun, ia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin. Seseorang mengatakan kepadanya : “Engkau mengambil resiko mati dengan dengan mandi air dingin ini.” Dijawabnya : “Aku malu kepda Alalh swt. karena aku rela menderita seribu kali pukulan cambuk demi seorang  makhluk, tapi tidak bersedia menahan dinginnya amandi demi Dia.”
Sekelompo ahli ahli futuwah pergi mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Si pelayan tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya hingga berulang-ulang. Para tamu saling berpandangan seraya berkata : “Ini tidak benar. Dala aturan futuwwah, seseorang tiak boleh mempekerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi dan sekali lagi.” Laki-laki itu bertanya kepda pelayannya : “Mengapa begitu lama engkau baru datang membawakan tilam itu?” Si pelayan menjawab : “Ada seekor semut pada tilma itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan tilam uantuk para tamu yang ahli futuwwah manakala ada semut di atasnnya, sebalikya, tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya meunggu sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.” Para tamu berkata kepaa pelayan itu : “Engkau telah menunjukkan pemahaman yang tinggi. Orang sepertimu patut dilayani para ahli futuwwah.”
Suatu ketika ada seorang jamaah haji yang bermalam di Madinah. Ia mengira kantong berisi uangnya dicuri orang. Ia keluar, melihat Ja’far ash-Shadiq dan memegang tangannya serta bertanya : “Apakah engkau yang mencuri kantongku?” Ja’far bertanya : “Apakah isi kantongmu itu?” Laki-lai itu menjawab : “Uang sebanyak seribu dinar!” Ja’far lalu membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya uang seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke penginapan dan menemukan pundi-pundi yag dikiranya hilang tadi. Lalu ia pun pergi menemui Ja’far ash-Shadiq dan minta maaf kepdanya serta mengembalikan uangnya. Tapi Ja’far menolak mengambil uangnya kembali dan berkata : “Aku tidak pernah menuntut kembali barang yang telah aku berikan.” Orang itu bertanya kepda seseorang yang ada di tempat itu : “Siapa laki-laki itu?” Yang daitanya menjawab : “Ja’far ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahwa Syaqiq al-Balkhy bertanya kepada Ja’far bin Muhammad (ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata Ja’far balik bertanya : “Apakah pendapatmu?” Syaqiq menjawab : “Futuwwah, jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Ja’far berkata : “Najing-anjing kita di Madinah juga bersikap begitu.” Syaqiq bertanya : “Wahai cucu Putri Rasulullah, kalau begitu apakah futuwwah itu dalam pandangan Anda?” Ja’far menjawab : “Futuwwah adalah, jika kita diberi sesuatu, kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.”
Al-Murta’isy mengabarkan : “Kami bersama Abu Hafs menjenguk seorang yang sedang sakit, dan kami berangkat serombongan. Abu Hafs bertanya kepada si sakit : “Apakah engkau ingin sembuh?” Ia menjawab : “Ya, Maka si sakit lalu bangkit dan berjalan bersama kami, demi kami semua lalu jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”

32.
FIRASAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah berfirman :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat anda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (firasat)” (Qs. Al-Hijr :75).
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda” adalah orang-orang yang mempunyai firasat.
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdy, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sebab ia melihat dengan nur Allah swt.” (H.r. Bukhari dan Tirmidzi).
Firasat adalah nuansa yang datang meyelusup secara tiba-tiba ke dalam hati, yang menafikan segala sesuatu yang berlawanan dengannya; dengan demikian ia memiliki ketentuan hukum dalam hati. Firasat mempunyai akar kata yang sama dengan kata farisah, yang berarti mangsa binatang buas. Jiwa si hamba tidak dapat menetang firasat, yag merupakan kriteria potensi keimanan. Siapa pun yang lebih kuat imnnya, lebih tajam pula firasatnya.
Abu Sa’id al-Kharraz berkomentar : “Seseorang yang melihat dengan cahaya firasat identik melihat dengan cahaya Al-Haq; muatan ilmunya datang dari Al-Haq, tidak bercampur dengan kealpaan ataupun kelalaian. Bahkan, ketentuan Allah mengalir melaui lisan si hamba.”
Adapun perkataan al-Kharraz : “Ia melihat dengan cahaya Al-Haq.” Adalah cahaya yang dikhususkan Allah kepadanya.
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Firasat terdiri dari cahaya yang cemerlang dalam hati, yang membuat si ahli ma’rifat mampu membawa rahasia-rahasia dari satu alam ghaib lainnya, sedemikian rupa, hingga ia dapat melihat hal-hal dengan cara dimana Allah swt, memperlihatkan kepdanya, hingga ia dapat berbicara melalui sukma budinya..”
Diriwayatkan bahwa Abul Hasan ad-Dailamy menuturkan : “Aku pergi ke Anthakia karena mendengar keberadaan seorang kulit hitam yang berbicara tentag hal-hal rahasia. Aku tinggal di sana sampai ia turun dari Gunung Lukam. Ia membawa barang-barang halal yang dijualnya. Aku lapar karena sudah dua hari tidak makan. Maka aku lalu bertanya kepadanya; Berapa harganya ini?” Kubuat ia percaya bahwa aku akan membeli barang dagangannya. Ia berkata kepadaku, ‘Duduklah di situ, jika barang-barang ini sudah terjual aku akan memberimu uang yang dengannya engkau dapat membeli makanan!” Maka aku lalu meninggalkannya dan pergi ke pedagang yang lain untuk membuatnya mengira bahwa aku sedang menawar dagangannya. Kemudian aku kembali kepadanya dan berkata : “”Jika engkau bermaksud menjual barang ini, maka katakanlah kepadaku berapa harganya!.” Ia menjawab : “Engkau sudah dua hari kelaparan. Duduklah! Jika barang ini telh terjual, aku akan memberimu uang untuk membeli sesuatu.” Maka ku pun duduk, dan ketika barangnya telah terjual, ia memberiku uang dan pergi meninggalkanku. Aku mengikutinya, dan ia berpaling kepadaku serta berkata : “Jika engkau membutuhkan sesuatu, mintalah kepada Allah swt! Tetapi bila hawa nafsumu memperoleh sesuatu dari terpenuhinya kebutuhan itu, maka engkau terhijab dari Allah swt.”
Muhammad al-Kattany berkata : “Firasat adalah mukasyafah dalam tahap yakin, dan menyatakan kegaiban. Ia adalah salah satu tahapan keimanan.”
Dikatakan bahwa asy-Syafi’y dan Muhammad bin al-Hasan – semoga Allah swt. merahmati mereka – sedang berada di Masjidil Haram ketika seseorang masuk ke Masjid. Muhammad bin al-Hasan berkata : “Aku punya firasat bahwa ia adalah seorang tukang kayu.” Dan asy-Syafi’y berkata : “Aku punya firasat bahwa ia adalah seorang tukang besi.” Ketika mereka bertanya kepada orang itu, ia menjawab, “Dahulu, aku pernah menjadi tukang besi, namun sekarang aku adalah tukang gkayu.”
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Orang gyang mampu menyimpulkan (al-mustanbith) adalah orang yang selalu menaruh perhatian kepada yang gaib. Tiada sesuatu pun yang tersembunyi atau terjaga dari pandangannya. IA adalah orang yang ditunjuk dalam firman Allah swt.
“......tentulah orang-orang yang mampu menemukan kebenaran akan mengetahui persoalannya.” (Qs. An-Nisa’ :83).”
Orang yang membaca firasat, akan mengetahui intuisi dan juga mengetahui apa yang ada di lubuk hati yang dalam dengan cara menyimpulkan dan melalui alamat-alamat. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda (firasat).” (Qs. Al-Hijr :75), yakni bagi orang-orang ma’rifat terhadap tanda-tanda yang diungkapkan Allah mengenai dua kelompok manusia, yaitu wali-wali Allah dan musuh-musuh-Nya.
Seseorang yang memiliki firasat, melihat dengan cahaya Allah swt, yang mendaklah kamu menjadi orang-orang gyang mengenal Tuhan (rabbaniyyin)” (Qs. Ali Imran :9), yakni para ulama ahli hikmah yang berakhlak dengan Allah swt. Yang Haq, baik secara ideologis maupun moral. Mereka bebas dari apa yang telah dikatakan orang lain, atau memberi perhatian kepada mereka, atau dipedulikan oleh mereka.
Dalam suatu riwayat disebutkan, Abdul Qasim al-Munady sedang menderita sakit. Ia adalh syeikh besar di kalangan syeikh di Naisabur. Maka Abul Hasan al-Busyanjy dan al-Hasan al-Haddad pun pergi menjenguknya. Di tengah jalan mereka membeli sebutir apel setengah dirham dengan menghutang. Ketika mereka telah sampai ke rumahnya, Abul Qasim bertanya : “Kegelapan apa lagi ini?” Mereka lalu pergi ke luar dan saling bertanya, kesalahan apa yang telah mereka lakukan. Mereka berpikir dan kemudian menyimpulkan, barangkali kesalahan itu adalah bahwa mereka belum membayar harga apel itu. Maka mereka pun lalu pergi kepada si penjual buah, membayar apel itu dan kembali ke rumah Abul Qasim. Ketika Abul Qasim melihat mereka, ia berkata : “Aneh sakli. Orang dapat keluar dari kegelapan dengan begitu cepat. Ceritakan kepadaku apa yang telah kalian lakukan!” Ketika mereka telah menceritakan apa yang telah terjadi. Abul Qasim membenarkan, Ya” masing-masing dari kalian berdua mengharapkan yang lain membayar apel itu, tapi malu memintanya. Jadi pembelian apel itu tidak tuntas. Alasan pembelian apel itu adalah karena diriku, dan hanya aku saja yang melihat kegelapan itu pada diri kalian berdua.” Sementara Abul Qasim sendiri pun biasa pergi ke pasar setiap hari untuk berjualan. Apabila ia telah memperoleh keuntungan yang cukup baginya .. antara seperenam hingga setengah dirham --- maka ia akan pulang dan kembali pada kesibukan utamanya, yaitu waktu utama  dan mewaspadai hatinya.”
Al Husain bin Manshur berkata : “Apabila Allah berkehendak untuk melimpahkan rahasia maka, Dia akan mengamanatkan rahasia-rahasia kepada hati, yang kemudian dipahaminya dan dipermaklumkannya.”
Ketika salah seorang Sufi ditanya tentang firasat, ia menjawab, “Firaat berarti ada ruh-ruh yang bekeliling di dalam langit dan mengamati makna hakiki dari masalah-masalah gaib. Mereka berbicara tentang rahasia-rahasia penciptaan dengan bahasa nyata, bukan kata-kata yang bersifat speklulasi atau dugaan.”
Diceritakan bahwa Zakariya asy-Syikhtany terlibat perselingkuhan dengan seorang wanita sebelum ia bertobat. Suatu ketika setelah menjadi salah seorang murid terkemuka Abu Utsman al-Hiry, ia berdiri di depan gurunya sambil berpikir tentang si wanita itu. Abu Utsman menganggkat dan memandangnya sambil bertanya : “Apakah engkau tidak merasa malu.”
Pada awal hubungannya saya dengan Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq  -- Semoga Allah merahmatinya  -- sebuah majelis pengajian diadakan untuk diri saya di Masjid al-Mutarriz. Suatu ketika saya minta izin untuk pergi selama beberapa waktu ke Nasa, dan beliau mengizinkan. Suatu hari saya berjalan dengan beliau ke tempat pengajiannya, tiba tiba saya berpikir : “Seandainya beliau mau menggatikan saya mengajar di pengajian-pengajianku ketika saya pergi.” Beliau berpaling kepada saya dan berkata : “Aku akan menggantikanmu di pengajian salama engkau pergi.” Saya terus berjalan. Sejenak terlintas dalam pikiran bahwa beliau sakit, dan akan menyushkan jika beliau mengajar dua hari dalam seminggu. Saya ingin agar beliau mengurangi kelas dan dan mengajar menjadi sekali (sehari) seminggu> Beliau berpaling kapda saya dan berkata : “Kalau aku tidak dapat menggantikanmu mangajar dua kali seminggu, aku hanya akan melakukannya sekali seminggu.” Selagi saya berjalan terus, sejenak pikiran lain terlintas dalam hati, dan beliau pun berpaling kepada saya dan mengatakan masalahnya sebagaimana yang sedang saya pikirkan.
Syah al-Kirmany memiliki firasat sangat tajam dan tidak pernah keliru. Bilau mengatakan :Firasat akan selalu benar bagi orang yang merendahkan pandangannya dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dari keinginan hawa nafsu, membiasakan wujud batinnya dengan muraqabah yang terus menerus dan lahiriahnya selaras denga Sunnah, dan membiasakan diri makan makanan yang halal saja.”
Abul Husain an-Nury ditanya : “Darimana datangnya firasat ahli firasat? Ia menjawab, dengan menyebut firman Allah swt. ini, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku.” (Qs. Al-Hijr :29). Jadi, bagi orang yang jatah cahayanya lebih besar, maka musyahadahnya lebih kuat, dan penilaian firatsatnya pun lebih dapat dipercaya. Apakah engkau tidak melihat bagaimana ruh ditiupkan ke dalam tubuh Adam menjadi sebab sujudnya para malaikat kepadanya dalam firman-Nya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. Al-Hijr :29).”
Pendapat Abul Husain an-Nury ini mengundang kesamaran. Ia menyebutka peniupan ruh oleh Allah swt. ke dalam tubuh Adam bukan untuk mendukng pendapat mereka yang mempercayai qadimnya ruh, bukan pula seperti yang tampak bagi orang-orang berhati lemah. Apa pun yang dibenarkan adalah peniupan ruh, pertemuan dan perpisahan, maka ia juga dapat dikenai pengaruh dan perubahan yang pada gilirannya merupakan sifat-sifat makhluk. Allah swt. menganugerahi orang-orang beriman dengan kemampuan penglihatan batin dan firasat, yang sesungguhnya adalah ma’rifat. Inilah maksa sabda Nabi saw. : “Sebab ia (orang beriman) melihat dengan nur Allah swt.” yaitu dengan pengetahuan dan kearifan. Dia memberikan kepada Mukmin kedudukan yang unik dan berbeda dari semua makhluk lainnya. Penamaan ilmu pengetahuan dan kearifan hati ini bisa disebut dengan “Cahaya-cahaya.” Bukanlah suatu yang bid’ah. Juga, diskripsi cahaya tersebut sebagai “peniupan ruh.”, bukanlah hal yang mengada-ada, yang dimaksudkan adalah penciptaan.
Al-Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang mempunyai firasat dapat mengenai sasarannya dengan panah pertama yang dilepasakannya. Ia tidak penah berpaling pada penafsiran, spekulasi, ataupun dugaan.”
Dikatakan : “Firasat para murid adalah spekulasi yang  menghasilkan keyakinan, dan firasat ahli ma’rifat adalah pembenaran yang melahirkan hakikat.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky mengajarkan : “Jika engkau bermajelis dengan orang-orang jujur, maka berlaku jujurlah terhadap mereka, sebab mereka adalah mata-mata hati. Mereka masuk ke dalam hatimu dan meninggalkannya tanpa engkau sadari.”
Abu Ja’far al-Haddad berkata : “Firasat adalah kilasan pertama intuisi tanpa kontra hati. Jika suatu intuisi datang kemudian dan berlawanan, itu tidak lebih dari kata hawa nafsu.”
Diceritakan bahwa Abu Abdullah a-Razy an Naissabury mengabarkan : “Ibnu Anbary memberi pakaian wol untukku. Kulihat asy-Syibly memakai sebuah sorban yagn sangat serasi dengan wolku. Diam-diam aku menginginkan agar dapat memiliki jubah dan sorban itu sekaligus. Ketka asy-Syibly meninggalkan kumpulan pengajiannya, ia berpaling padaku, Aku pun mengikutinya, sebab sudah menjadi kebiasaannya untuk berpaling kepadaku jika menginginkan agar aku ikut dengannya. Ketika ia masuk ke dalam rumahnya, aku mengikutinya. “Lepaskan wol itu” katanya. Aku pun melepaskan wolku, yang kemudian dilipatnya. Setelah itu dilemparkan sorbannya ke atas wolku, disuruhnya orang menyalakan api, lalu dibakarnya wol dan sorban itu.”
Abu Hafs an-Naisabury menegaskan : “Adalah keliru bagi siapa pun untuk mengikuti orang yang memiliki firasat. Tetai maksudnya adalah berwaspada kepada orang yang memiliki firasat, sebab Rasulullah saw. telah bersabda. “Waspadalah terhadap firasat orang Mukmmin.” Beliau tidak bersabda : “Gunakanlah firasat kamu sekalian!.” Bagaimana mungkin dibenarkan pengakuan firasat, bagi orang yang berada pada tahap waspada terhadap firasat.?”
Abul Abbas bin Masruq menuturkan : “Ketika aku pergi menjenguk seorang tua yang merupakan salah seorang sahabat kami, kutemukan ia tinggal di lingkungan yang kumuh. Aku bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana orang tua ini menolong dirinya?” Si orang tua itu lalu berkata kepadaku : “Wahai Abul Abbas, campakkanlah bisikan kotor itu! Allah memiliki kebaikan-kebaikan lembut yang tersembunyi.”
Az. Zubaidy mengabarkan : “Aku sedang berada di dalam sebuah masjid di Baghdad bersama sekelompok fakir, sudah berhari-hari kami tidak menerima sesuatu pun. Aku datang kepada al-Khawwas untuk meminta sesuatu. Ketika pandangannya jatuh kepadaku, ia bertanya : “Kebutuhan yang membawamu ke sini, diketahui Allah atau tidak?” Aku menjawab : “Tentu saja Dia mengetahuinya.” Maka al-Khawwas pun memerintahkan : Kalau begitu, jagalah ketenanganmu dan jangan perlihatkan kebutuhanmu kepada sesama makhluk! Aku pun pergi, dan tidak alma kemudian kami diberi makanan yang melebihi kebutuhan kami.”
Dikatakan, “Suatu hari Sahl bin Abdullah sedang berada di dalam masjid jami.” Ketika seekor burung merpati jatuh dari angkasa karena panas dan lelah. Sahl berseru : “Syeikh al-Kirmany baru saja wafat atas kehendak Allah swt. Orang-orang yang berada di tempat itu menuliskan ucapannya, dan memang benarlah apa yang dikatakannya itu.”
Dikatakan : “Abu Abdullah at-Targhundy, salah seorang pembesar pada masanya, bepergian ke Thous. Sesampai di kHarwa, ia menyuruh temannya : “Belilah sedikit roti!.” Temannya itu pun membeli roti secukupnya untuk merek berdua, tetapi Abu Abdullah berkata kepadanya : “Belilah lebih banyak lagi!.” Temannya dengan segera membeli roti lagi sekiranya cukup untuk sepuluh orang, seolah-olah ia sengaja menganggap ucapan Abu Abdullah sebagai isapan jempol semata. Ketika mereka tiba di atas gunung, bertemulah dengan sekelompok orang yang telah diikat oleh kawanan penyamun. Karena sudah agak lama mereka tidak menelan sesuap makanan, orang-orang tersebut pun meminta makanan kepada mereka berdua. Abu Abdullah berkata : “Bentangkanlah tilam untuk mereka!.”
Aku berada bersama Syiekh Imam Abu Ali ketika orang-orang yang hadir mulai membicarakan tentang bagaimana Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy bangit dari tempat duduknya ketika acara penimakan, sebagaimana layaknya para fakir. Syeikh Abu Ali berkata, : “Mengenai erilaku Abu Abdurrahman, apakah diam tidak lebih baik baginya?” Barangkali beliau memerintahkan kepadaku : “Pergilah kepada as-Sulamy! Engkau akan menemukannya sedang duduk di perpustakaannya. Di atas buku-buku itu ada sebuah buku empat persegi yang kecil berwarna merah birisi puisi-puisi karya al-Husain ban Manshur. Ambillah buku itu, tanpa berkata apapun kepadanya dan bawalah kepadaku!” Waktu itu siang hari. Ketika aku pergi kepada as-Sulamy, ia sedang berada di perpustakaannya, dan buku yang disebutkan Abu Ali ada di tempat yag beliau sebutkan.
Ketika aku duduk, Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy mulai berkata, Suatu ketika ada seseorang yang mencela salah seorang ulama karena perilakunya dalam penyimakan. Orang yang sama ini pada suatu hari terlihat sedang berada sendirian di rumahnya, menari berputar-putar seperti halnya orang yang sedang mengalami keleburan ruhani. Ketika seseorang bertanya akepadanyamengapa ia berlaku demikian, ia menjawab : “Aku menemui sebuah masalah yang membingungkan. Tiba-tiba penyelesaiannya diungkapkan kepadaku. Aku begitu gembira sehingga tidak mampu menguasai diri dan mulai menari berputar-putar.
Mereka berkata tentang orang ini : “Seorang dengan kedudukan seperti itu bertindak seperti biasanya.”
Ketika kuperhatikan apa yag diperintahkan oleh Syeikh Abu Ali kepadaku dan semuanya dalam keadaan seperti yang beliau gambarkan, maka aku menyadari apa yang dikatakaApa yang harus kulakukan, dalam keadaan terjepit di antara mereka begini?” Aku berpikir-pikir dan memutuskan bahwa tidak ada pandangan lain selain kejujuran.”
Syeikh Abu Ali mengabarkan sebuah buku tertentu kepadaku dn menyuruhku mengambilnya tanpa meminta izin kepada Anda. Aku takut kepada Anda. Tapi juga tidak mau menurut Anda. Apa yang harus aku lakukan?”
As-Sulamy mengambil jilid keenam dri buku wacana al-Husain dimana terdapat juga sebuah bab karangannya sendiri yang diberi judul Ash-Shayhur fi Naqdid Duhur dan berkata : “Bahwalah ini kepadanya dan katakan : “Saya menelaah buku ini, dan saya menyalin beberapa baris darinya ke dalam tulisan saya.” Maka aku pun pergi dari hadapannya.”
AL-Hasan al-Haddad menuturkan : “Aku sedang berada bersama Abul Qasim al-Munady dan sekelompok fakir (Sufi) yang sedang menjadi tamunya ketika ia menyuruhku pergi ke luar dan mencarikan makanan untuk mereka. Aku merasa senang menerima tugas ini, sekalipun Abul Qasim tahu bahwa bila aku adalah seorang yang sangat miskin. Aku membawa sebuha keranjang besar dan pergi ke luar.
Di jalan menuju ke pasar Sayyar, aku berjumpa dengan seorang syeikh yang berpakaian sangat bagus. Aku mengucapkan salam kepadanya dan berkata : Ada sekelompok sufi yang sedang berkumpul di dekat sini. Mungkin anda punya sesuatu untuk diberikan kepada meraka?” Syeikh itu lalu menyuruh pelayannya membawa keluar persediaan makanannya berupa roti, daging dan angur. Ketika aku kembali ke rumah  Aul Qasim al-Munady, ia menghmabur dari dalam rumah sambil berseru kepadaku : “Kembalikan makanan itu ke asalnya di mana engkau memperolehnya tadi!”
Aku kembali dan meminta maaf kepada syeikh yang memberi makanan itu dan berkata : “Saya tidak menemukan Sufi-sufi itu. Mungkin mereka sudah pergi.” Kukembalikan makanan itu kepadanya dan kuteruskan langkahku pergi ke pasar. Aku berhasil memperoleh sedikit makanan, yang segera ku bawa ke rumah Abul Qasim. Ia menyuruhku masuk ke dalam. Ketika aku menceritakan kepadanya semua yang terjadi, ia berkata : “Ya itulah Ibnu Sayyar, seorang pecinta dunia yang dekat dengan penguasa, Kalau engkau mencari makanan untuk para Sufi, carilah seperti ini, bukan seperti tadi itu.”
Abul Husain al-Qarafi mengisahkan : “Aku mengunjungi Abul Khayr at-Tinaty, dan ketika aku berpamitan kepadanya, ia mengantarku sampai ke pintu masjid dan berkata : “Wahai Abul Husain, aku tahu engkau tidak membawa bekal, karenanya bawalah dua butir apel ini!” Kuterima apel itu, kumasukan ke dalam saku, lalu aku berangkat. Tiga hari lamanya aku tidak memperoleh makanan, karena itu kuambil satu apel dan kumakan. Kemudian aku berpikir-pikir mau memakan apel yang kedua, dan kudapati kedua apel itu masih ada dalam kantongku. Aku terus memakan apel-apel itu, dan kedua apel itu ada terus dalam kantongku sampai aku tiba di pintu gerbang kota Mosul.
Aku berkata dalam hati : “Kedua apel ini telah merusak kondsi tawakkalku kepada Allah, karena keduanya telah menjadi semacam bekal bagiku.” Maka aku terakhir kalinya kuambil kedua apel itu dan melihat sekelilingku. Tiba-tiba kulihat seorang fakir memakai jubah sedang meratap.” Aku sangat menginginkan apel itu.” Maka kuberikan kedua apel itu kepadanya. Ketika aku merenung masalah apel tersebut, terlintas dalam pikiranku bahwa Syeikh Abu Khayr mungkin telah mengirim kedua apel itu kepada orang ini, dan aku hanya menjadi perantara kebaikannya itu. Kucari orang kafir itu, tapi ia sudah lenyap.
Ada seorang pemuda yang belajar kepada Junayd. IA mampu membaca pikiran orang . Al-Junayd diberitahu akan hal ini, dan ia lalu bertanya kepada pemuda itu :Benarkah apa yang dikatakan orang tentang dirimu?” Pemuda itu lalu berkata kepada al-Junayd : “Yakinlah tentang sesuatu.” Al-Junayd menjawab : “Aku telah yakin.” Pemuda itu berkata : “Anda sedang meyakini ini dan itu.” AL-Junayd berkata, “Bukan.” Pemuda itu meminta al-Junayd mengulangi keyakinannya dua kali lagi, dan setiap kali Al-Junayd mengatakan bahwa tebakan si pemuda salah, dan saya yakin akan hati saya.” Al-Junayd mengakui : “Kamu memang benar ketika tiga kali kamu mengatakan apa yang sedang kuyakini, tetapi aku ingin menguji apakah hatimu akan berubah atau tidak.”
Ibrahim ar-Raqqy jatuh sakit. Dibawakanlah obat kepadanya dalam sebuah mangkok, yang lalu diminumnya. Kemudia ia berkata : “Sebuah insiden yang besar telah terjadi di kerajaan hari ini. Aku tidak akan makan atau minum sebelum aku tahu insiden apa itu.” Setelah beberapa hari datanglah kabar bahwa al-Qurthuby telah memasuki Mekkah al-Mukarramah pada saat itu, dan ia terbunuh pada perang besar-besaran tersebut.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia mengabarkan : “Aku datang kepada Utsman bin Affan r.a. Setelah eku melihat seorang waniat di jalan. Aku telah membayangkan wajahnya yang cantik. Utsman berkata : “Salah seorang di antara kamu telah datang kepadaku hari ini dengan bekas-bekas zina di matanya.” Aku bertanya kepadanya : Apakah mungkin ada wahyu setelah Rasulullah saw. wafat?” Beliau berkata : “Tidak, tapi adan kemampuan mata hati, bukti dan firasat yang benar.”
Ahmad al-Kharraz mengatakan : “Aku masuk ke Masjidil Haram di mana aku melihat seorang fakir yang memakai dua potong jubah, sedang meminta-minta kepada orang gbanyak. Aku berkata dalam hati : “Orang seperti ini merupakan beban bagi orang banyak.” Si fakir itu melihat kepadaku dan berkata : “Ketahuilah bahwa Allah mengetahui semua yang ada di dalam jiwamu, karena itu berhati-hatilah terhadap-Nya.” (Qs. Al-Baqarah : 235). Setelah aku minta maaf kepadanya di dalam hati, lantas ia berkata : “Dan Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” (Qs. Asy-Syuura :25).”
Ibrahim al-Khawwas berkata : “Suatu hari ketika aku sedag berada di masjid besar Baghdad, ada sekelompok fakir di sana. Tiba-tiba,seorang pemuda gagah perkasa dengan keharumannya yang menyebar di samping juga sanat ramah serta tampan rupawan datang kepada kami sambil tersenyum. Aku berkata kepada sahabt-sahabtku : “Pikirankau mengatakan bahwa anak muda ini seorang Yahudi.” Mereka semua tidak setuju dengan ucapanku itu. Aku keluar dan begi juga pemuda itu. Kemudian ia kembali kepada mereka dan bertanya : “Apa yang dikatakan syeikh itu tentang diriku?” Mereka semua merasa malu untuk mengatakan kepadanya, tetapi pemuda itu terus mendesak hingga akhirnya mereka mengungkapkan. : “Ia mengatakan bahwa engkau seorang Yahudi.” Setelah itu anak muda itu datang kepadaku, membungkuk di hdapanku, dan berikrar masuk Islam.”
Ketika seseorang bertanya tentang perbuatannya tadi, ia berkata, “Kami membaca dalam kitab suci kami bahwa firasat orang-orang yang jujur tidak pernah keliru.” Lalu aku berkata : “Sebenarnya, aku menguji orang-orang Islam. Aku mencari-cari di antara mereka dan memutuskan, jika da seorang kyang jujur di antara mereka, maka ia adalah seorang Sufi, sebab para Sufi berbicara dengan firman Alalh swt. Aku menyembunyikan identitasku dan mengelabui mereka. Ketika Syeikh ini mengetahui siapa diriku sebenarnya dengan firasatnya, maka tahulah aku bahwa ia adalah penegak kebenaran yang jujur.” Dan pemuda ini kemudian menjadi salah seorang Sufi besar.”
Ahmad al-Jurairy bertanya : “Adakah di antara kalian yang tahu apabila Alalh berkehendak membuat peristiwa besar di kerajaan memberitahunya, sebelum kejadian itu terjadi?” Kami menjawab : “Tidak”. Ia berkata : “Menangislah kamu sekalian karena adaya hati yang belum pernah menemukan sesuatu dari Allah swt!.”
Abu Musa ad-Dailamy mengatakan : “Ketika aku bertanya kepada Abdurrahman bin Yahya tentang tawakkal, ia menjelaskan, Tawakkal berarti bahwa jika engkau memasukan tanganmu sebatas pergelangan tangan ke dalam mulut ular, engkau tidak merasa takut kepada apa-pun selain Allah swt. Kemudian aku pergi kepaa Abu Yazid untuk bertanya kepadanya tentang tawakkal. Aku mengetk pintu rumahnya, dan dari balik pintu ia menjawab : “Apakah kata-kata Abdurrahman tidak cukup untukmu?” Aku meminta : “Bukakan pintu!.” Ia menjawab : “Engkau tidak datang untuk mengunjungiku, dan jawabannya sudah ada di balik pintu.” Pintu pun tidak dibukakan untuk-ku. Aku lalu pergi dan menunggu hingga satu tahun lamanya. Kemudian aku ingin pergi kepadanya lagi dan ia berkata. “Selamat datang. Sekarang engkau datang kepadaku sebagai tamu. “ Aku tinggal bersamanya selama sebulan, dan tidak ada bisikan hatiku yang tertuang, melainkan ia selalu mengatakannya kepadaku. Ketika mengucapkan selamat berpisah kepadaku, aku meminta kepadanya : “Berikanlah sepatah kata lagi yang bermanfaat!” Ia berkata : Ibuku mengatakan kepdaku bahwa ketika ia mengundang aku, setip kali ada makanan halal yang disuguhkan kepadanya, maka tangannya dapat mengambil makanan itu, tetapi jika ada sesduatu yang syubhat di dalamnya, tangannya tidak mau diulurkan.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan: “Aku pergi ke padang pasir, di mana kau mengalami banyak cobaan. Ketika tiba di Mekkah, aku menemukan keajaiban. Secara tidak terduga ada seorang tua berseru kepdaku : “Wahai Ibrahim, aku ada bersamamu ketika engkau di pdang pasir, tetapi aku tidak berbicara kepdamukarena takut kalau-kalau aku emnggangu keadaan batinmu. Sekarang, keluarlah waswas dari dirimu!.”
Diakbarkan bahwa meskipun a-Furghani al-Murghinany pergi setiap tahun menunaikan ibadat haji, melewati Naisabur tanpa singgah ke kediaman Abu Utsman al-Hiry. Ia menjelaskan : “Suatu ketika aku pergi menjenguknya dan memberi salam kepadanya, tetapi ia tidak membalas salamku. Aku bertanya kepadanya : “Seorang Muslim datang menemui seorang Muslim lainya dan mengucapkan salam, namun tidak memperoleh balasan? Abu Utsman menjawab, “Apaakah seperti itu, seseorang yang gmelakukan ibadat haji, meninggalkan ibunya dan tidak memperlakukannya dengan penuh horamt? Mendengar ucapannya itu, aku kembali ke Furghanah dan tinggal di sana menemani ibuku hingga akhir hayat beliau. Kemudian aku pergi menemui Abu Utsman, dan ketika masuk ke rumahnya, ia menerimaku dan menyuruhku duduk.” Setelah itu, al-Furghani tinggal bersamanya terus menerus. Ia meminta agar ditugaskan merawat piaraannya, yang menjadi pekerjaannya sampai Abu Utsman wafat.”
Khayr an-Nassaj berkata : “Suatu hari aku sedang duduk-duduk di rumahku ketika instinkku mengatakan bahwa al-Junayd sedang berada di depan pintu. Tapi aku mengingkari instinkku itu. Untuk kedua dan ketiga kalinya instinkku itu muncul lagi, hingga akhirnya aku berjalan ke arah pintu, dan benarlah ia ada di sana. Al-Junayd bertanya : “Mengapa engkau tidak datang pada instink yang pertama?”
Muhammad ibnul Husain al-Bisthamy mengabarkan : “Ketika aku pergi menjenguk Abu Utsman al-Maghriby, aku berkata dalam hati : “Barangkali ia menginginkan sesuatu dariku.” Abu Utsman berkata : “Manusia tidak cukup puas bahwa aku menerima pemberian mereka. Sehingga mereka menambah permintaanku pada diri mereka,”
Salah seorang fakir menuturkan : “Aku sedang berada di Baghdad. Terketuk olehku bahwa al-Murta’isy akan datang kepadaku dengan membawa uang limabelas dirham hingga aku dapat membeli kantong makanan, tali dan sandal yang dapat kupergunakan untuk pergi ke padang pasir. Tba-tiba kudengar pintu diketuk orang. Aku membukanya, dan kulihat al-Murtha’isy berdiri di sana, membawa sebuah pundi-pundi kain. Ia memerintahkan “Ambillah ini” Aku berkata : “Wahai syeikh, aku tidak menginginkannya.” Ia bertanya, Lantas mengapa engkau mengganggu aku? Berapa uang yang engkau inginkan? Aku menjawab : “Limabelas dirham.” Ia berkata : “Inilah uang itu, lima belas dirham.”
Salah seorang Sufi berpendapat mengenai firman Allah swt. “ Dan apakah orang-orang yang sudah mati kemudian ia Kami hidupkan?” (Qs. Al-An’am :122), dimaksudkan adalah mati hatinya. Kemudian Allah menghidupkannya melalui cahaya firasat, dalam hati itu pula ditampakkan cahaya musyahadah, yang tentu tidaklah sama dengan orang yang berjalan dalam keadaan alpa dengan kealpaannya.
Dikatakan : “Firasat seseorang benar, berarti ia telah naik ke tahapan musyahadah.”
Abul Abbas Ahmad bin Masruq berkata : “Seorang yang cukup tua datang kepada kami. IA berbicara tentang tasawuf secara menawan, dan instinknya sanat bagus. Ia menyuruh kami, dalam suatu ucapannya : “Katakanlah kepadaku apa yang ada dalam benak kalian!.” Pikiranku mengatakan bahwa ia adalah seorang Yahudi. Pikiran itu seakan-akan merupakan peringatan yang mendesak, maka aku pun mengungkapkannya kepada al-Jurairy. Ungkapanku itu membuat perasaannya tertekan, tetapi aku menegaskan : “Aku tidak punya pilihan lain, kecuali mengatakannya kepada orang ini.” Maka aku pun berkata kepadanya : “Engkau menyuru kami mengatakan kepadamu apa pun yang ada dalam pikiran kami. Pikiranku mengatakan baha engkau adalah seorang Yahudi.” Sesaat ia menundukkan kepala, lalu mengangkatnya, dan mengaku : “Engkau benar, dan aku sekarang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Ia menjelaskan : “Aku telah mencoba menempuh jalan semua agama, dan aku berkata dalam hati L “Jika berada dengan suatu kaum, diantaranya memiliki suatu kebenaran, maka kebenaran aan bersamamnya. Maka aku lalu bergaul dengan kalian untuk menguji kalian. Ternyata kalian berada dalam kebenaran. “ Ia kemudian menjadi Muslim yagn sangat baik.
Diriwayatkan oleh al-Junayd bahwa as-Sary suka mendorong al-Junayd agar berceramah kepada orang banyak. Al-Junayd berkata, : “Aku merasa takut berbicara di depan mereka? Pada suatu malam jum’at aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw. Beliau memerintahkan kepadaku “Berkhutbahlah kepada orang banyak!” Aku terbangun, lalu pergi ke rumah as-Sary sebelum subuh, dan mengetuk pint rumahnya. Ia bertanya : “Engkau tidak percaya kepadaku, hingga Nabi sendiri yang mengatakannya kepadamu?” Pagi itu al-Junayd duduk di depan orang banyak di masjid, dan tesebarlah kabar bahwa al-Junayd sedang berceramah. Seorang pemuda Nasrani yang menyamar datang kepada al-Junayd dan bertanya : “Katakanlah kepadaku, wahai syeikh, apa makna perkataan Rasulullah : “Waspadalah terhadap firasat orang Mukmin, karena ia melihat dengan cahaya Alalh swt?” LA- Junayd mendundukkan kepalanya, kemudian menganggkatnya dan berkata “Masuklah ke dalam Islam. Saat keislamanmu telah tiba.” Si Pemuda Nasrani itu pun masuk Islam.

33.
AKHLAK
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yag agung.” (qs. Al-qalam :4).
Diriwayatkan oleh Anas bahawa seseoarng bertanya kepada Nabi saw. “Wahai Rasulullah, siapakah di antara orang-orang beriman yang paling utama imannya?” Beliau menjawab :
“Yaitu mereka yang paling baik akhlaknya.” (Hr. Ibnu Majah).
Akhlak yang baik adalah keutamaan sejarah hidup hamba; sehingga mutiara-mutiara seseorang dapat tampak. Manusia itu terlapisi oleh fisiknya, namun terungkap oleh akhlaknya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq juga berkta : “Allah swt. menganugerahi Nabi-Nya saw. dengan keistimewaan sifat beliau, dengan pujian yang sama sekali tidak pernah dipujikan kepada makhluk lain. Karena itu Allah swt. berfirman : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Allah swt. memberi predikat beliau dengan akhlak yang agung, karena beliau merelakan diri dari dunia dan akhiratnya, dan merasa puas hanya dengan Allah swt. semata.” Al-Wasithy juga mengatakan : “Akhlak yng mulia berarti orang tidak bertengkar dengan orang lain, tidak memushi oleh mereka, karena hamba itu diluapi kedahsyatan ma’rifat kepada Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur menjelaskan : “Akhlak mulia adalah, bahwa engkau tidak terpengaruh kekasaran orang banyak, setelah engkau memperhatikan Al-Haq.”
Abu Sa’id al-Kharraz mengatakan : “Akhlak mulia berarti engkau tidak mempunyai cita-cita selain Allah swt.”
AL-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah dalam akhlak berarti bertambah pula dalam tasawuf.”
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. yang mengatakan : “ Jika engkau mendengar aku mengatakan kepada seorang budak.” Semoga Allah melaknatimu.” Maka saksikanlah bahwa aku telah memerdekakannya.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan : “Jika seseorang bertindak dengan akhlak mulia dalam segala hal, tapi ia memperlakukan ayamnya dengan buruk, maka tidak dapat dianggap berakhlak baik.”
Dikatakan : “Apabila Ibnu Umar melihat salah seorang budaknya melaksanakan shalat dengan baik, beliau akan memerdekakannya. Budak-budaknya semua tahu akan hal itu, dan mereka mengerjakan shlat dengan baik hanya semata agar dilihat olehnya. Sekalipun demikian, Ibnu Umar masih tetap memerdekakan mereka. Ketika seseorang hendak menipu kami demi Allah, maka kami akan membiarkan diri kami ditipu demi Dia.
Al-Harits al-Muhasiby mengatakan : “Kita akan merasa rugi jika kehilangan tiga hal : Wajah cerah disertai dengan kesantunan, kata-kata yang diucapkan dengan baik dan disertai kejujuran, serta persaudaraan yang kuat dipadu dengan kesetiaan.”
Abdullah bin Muhammad ar-Razy mengatakan : “Akhlak berarti memandang rendah apa pun yang datang darimu, dan mengagungkan yang datang dari Alalh swt.”
Al-Ahnaf bin Qays ditanya : “Siapa yang mengajarkan akhlak kepadamu?” Ia menjawab : “Qays bin Ashim al-Munaqqary.” Orang itu bertanya lagi :”Bagaimana akhlaknya?” Al-Ahnaf menuturkan, “Suatu ketika ia sedang duduk-duduk di rumahnya ketika seorang budak wanita masuk dengan membawa tusuk daging yang membara. Benda itu jatuh menimpa salah seorang anaknya, yang kemudian meninggal dunia. Budak itu sangat berduka. Qays mengatakan kepadanya : “Jangan khawatir, Engkau kumerdekakan, karena Allah.”
Syah al-Kirmany menuturkan : “Satu tanda akhlak yang baik adalah, bahwa engkau mencegah bahaya, dan secara rela menanggung kerugian yang mereka timpakan kepadamu.”
Rasulullah saw. bersabda :
“Engkau tidak akan dapat memberikan kebahagiaan orang lain dengan hartamu, karenanya berilah kebahagiaan dengan wajah yang manis dan akhlak yang baik.: (H.r. Al-Bazzar dan Hakim).
Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun al-Mishry : “Sipakah orang yang paling banyak cemas?” Ia menjawab : “Orang yang paling buruk akhlaknya.”
Wagab menegaskan : “Jika seorang hamba mempraktikkn akhlak mulia selama empatpuluh hari. Allah akan menjadikan akhlak mulia sebagai sifat bawaan baginya.”
Ketika menafsirkan firman Allah saw. :
“Dan pakaianmu, hendaklah engkau bersihkan.” (Qs. Al-Muddattsir :4).
Hasan al-Bashry menjelaskan bahwa ayat ini berarti : “Dan akhlakmu itu, perindahlah.”
Seorang Sufi memiliki seekor domba betina. Ketika ia menemukan salah satu kakinya terpotong, ia bertanya : “Siapakah yang melakukan ini?” Salah seorang budaknya menjawab : “Saya” Ketika ditanya mengapa ia melakukan hal itu, si budak menjawa : “Untuk membuat tuan bersedih karenanya.” Sufi itu menjawab : “Itu tidak terjadi, tapi aku merasa sakit karena tindakanmu itu. Pergilah, engkau kumerdekakan.”
Ibrahim Bin Adham ditanya : “Apakah Anda pernah senang di dunia ini?” Ia menjawab : “Ya, dua kali. Yang pertama, ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang mengencingiku. Yang kedua, ketika aku sedang duduk-duduk dan seorang laki-laki datang menempelengku.”
Dikatakan bahwa manakala anak-anak melihat Uways al-Qarany, mereka selalu melemparinya dengan batu. Karena itu ia mengatakan kepada mereka :” Jika memang kalian memang harus melempariku, gunakanlah batu yang ekcil agar kakiku tidak terluka, yang membuatku terhalang dhalat.”
Suatu ketika seorang laki-laki memaki Ahnaf bin Qays dan menghinanya. Orang itu mengikuti di belakangnya. Ketika al-Ahnaf sampai di dekat lingkungan kediamannya sendiri, ia berhenti dn menasihati orang itu, : “Wahai anak muda, jika engkau masih punya kata-kata untuk diucapkan, katakanlah sekarang, sebelum salah seorang tetangga dekat yang bodoh mendengar, dan menjawab kata-katamu.”
Hatim al-Asham ditanya : “Haruskah seseorang menanggung beban dari setiap orang?” Ia menjawab : “Ya, kecuai dari dirinya sendiri.”
Diceritakan bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. suatu ketika memanggil salah seorang budaknya, tapi si budak tidak menjawab. Beliau mengulangi panggilannya dua hingga tiga kali, tapi si budak masih tetap tidak menjawab. Ketika beliau datang melihat budak itu dan menemukannya sedang tidur-tiduran, Ali bertanya : “Apakah engkau tidak mendengar panggilanku?” Ia menjawab : “Ya, saya mendengar.” Beliau bertanya : “Lantas mengapa engkau tidak datang?” Si budak menjawab : “Saya merasa aman dari hukuman tuan, jadi saya malas.” Ali berkata kepadanya : “Pergilah, engkau merdeka karena Allah swt.”
Diceritakan bahwa ketika Ma’ruf al-Karkhy pergi berwudlu, ia meletakkan Al-Qur’an dan jubahnya. Seorang wanita datang dan membawanya. Ma’ruf mengikutinya dari belakang. “Wahai saudaraku, aku adalah Ma’ruf al-Karkhy, engkau tidak apa-apa atas perbuatanmu ini. Apakah engkau punya seorang laki-laki yang dapat membaca Al-Qur’an?” Wanita itu menjawab : “Tidak.” Ma’ruf bertanya : “Seorang suami?” “Tidak,” jawab wanita itu. Ma’ruf lalu berkata, “Kalau begitu, berikanlah Al-Qur’an itu kembali kepadaku dan ambillah jubah itu!.”
Para pencuri memasuki rumah Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy dan mencuri segala sesuatu yang berharga. Salah seorang sahabt kami mendengar Syeikh tersebut menuturkan : “Suatu hari aku melewati pasar dan kulihat jubahnya sedang dilelang, tapi aku berpaling menjauh tanpa menaruh perhatian sedikit-pun padanya.”
Al-Jurairy mengabarkan : “Aku baru saja pulang dari Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata : “Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap-hrap diriku.” Ia menjawab : “Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu.”
Ketika Abu Hafs ditanya tentang akhlak, ia mengatakan : “Akhlak adalah pilihan Allah swt. untuk Nabi-Nya saw. dalam firman-Nya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf.” (Qs. Al-A’raf :119).
Dikatakan : “Akhlak berarti engaku dekat orang banyak, tapi asing terhadap urusan mereka.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik adalah bagaimana menerima perlakuan kasar manusia dan ketentuan Al-Haq tanpa merasa sedih dan cemas.”
Dikatakan bahwa Abu Dzar memberi minum untanya di sebuah bak kolam air. Tiba-tiba ada sebagian orang yang menabraknya. Bak air itu pecah. AbuDzar duduk, kemudian berbaring. Seseorang bertanya kepadanya mengapa berbuat begitu. Ia menjawab “Rasulullah saw. memerintahkan kita, bahwa jika seseorang merasa marah, hendaklah ia duduk sampai marahnya reda. Jika tidak reda juga, hendaklah ia berbaring.”
Tertulia dalam kitab Injil : “Hambaku, ingatlah kepada-Ku ketika engkau sedang marah, maka Aku akan mengingatkanmu ketika Aku marah.”
Luqman berkata kepada nakanya : “Ada tiga macam orang yang tidak dikanli kecualai pada tiga perkara : “Seorang murah hati ketika marah, seorang pemberani di saat perang, dan seorang saudraa saat dibutuhkan.”
Musa as. Berkata : “Tuhanku, aku memohon kepada-Mu agar tidak dikatakan kepadaku, hal-hal yang bukan diriku, “Allah mewahyukan kepadanya : “Aku tidak pernah melakukan hal itu untuk Diri-Ku. Bagaimana Aku bisa melakukannya untukmu?”
Yahya bin Ziyad al-Haritsy ditanya, berkaitan dengan seorang budak yang buruk perilakunya. “Mengapa engkau masih tetap memeliharanya?” Ia menjawab, “Agar aku dapat belajar bermurah hati.”
Tentang firman Allah swt. “.....dan (Dia) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Qs. Ar-Ruum:20), mempunyai makna bahwa “lahir” berarti pembentukan fisik manusia, dan “batin” adalah penyucian akhlak
Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Aku lebih suka berteman seorang penjahat penuh dosa, tapi akhlaknya baik daripada seorang saleh yag akhlaknya buruk.”
Dikatakan : “Akhlak yang baik berarti menanggung penderitaan dengan penuh kegembiraan.”
Diceritakan, bahwa Ibrahim bin Adham pergi ke salah satu padang pasir yang luas. Tiba-tiba seorang tentara muncul di hadapannya dan bertanya : “Di mana kampung paling ramai?” Ibrahim menunjuk ke kuburan. Tentara itu lalu memukul kepala Ibrahim bin Adham. Ketika akhirnya ia melepaskan Ibrahim, seseorang mengatakan kepadanya, “Itu tadi Ibrahim bin Adham, Sufi dari Khurasan.” Tentara itu lalu meminta maaf kepada Ibrahim bin Adham. Ibrahim berkata : “Ketika engkau memukulku aku berdoa kepada Alalh swt. agar memasukanmu ke dalam surga.” Tentara itu bertanya, “Mengapa?” Ibrahim menjawab : “Sebab aku tahu bahwa aku akan memperoleh pahala karena pukulan-pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku menjadi baik dengan krugianmu, dan perhitungan amalmu menjadi buruk karena diriku.”
Diriwayatkan, ada seorang laki-laki mengundang Sa’id bin Ismail al-Hiry ke rumahnya. Ketika Sa’id muncul di muka pintu rumah orang itu, orang itu mengatakan kepadanya, “Wahai Syeikh, ini bukan waktu yang baik bagi tuan untuk masuk ke dalam rumahku. Anda benar-benar menyesal. Maaf silahkan pergi.” Ketika Sa’id datang lagi ke rumahnya, orang itu menyuruhnya pergi lagi seraya mengatakan, “Maaf tuan, Ia meminta maaf kepada Sa’id dan menyuruhnya supaya datang lagi pada suatu waktu tertentu. Sa’id pun pergi. Ketika datang lagi, orang itu mengatakan hal yang sama. (Persitiwa itu sampai berulang empat kali). Akhirnya orang itu menjelaskan : “Wahai Syeikh, aku hanya ingin menguji Anda.” Ia lalu memintaa maaf kepada Sa’id dan memuji-mujinya. Sa’id menjawab : “Jangan memujiku karena sifat yang juga dimiliki oleh seekor anjing; jika anjing dipanggil, ia datang, jika diusir, ia pergi.”
Dikdisahkan bahwa Sa’id al-Hiry sedang mewetati jalan menjelang tengah hari ketika seseorang di atas atap menumpahkan seember abu ke atas kepadalanya. Kawan-kawannya menjadi marah dan mulai meneriaki orang yang menumpahkan Abi itu. Sa’id berkata : “Jangan mengatakan apa-apa! Orang yang layak memeperoleh neraka, tapi hanya dikenai abu saja tidak berhak untuk marah.”
Dikatakan, Salah seorang dari fakir sedag gmenjadi tamu di rumah Ja’fat bin Handzalah, yang leyaninya sebaik mungkinn. Fakir itu berkata : “Anda bertul-betul orang yang baik. Sayang Anda seorang Yahudi.” Ja’far menjawab : “Agamaku tidak mempegaruhi caraku melayani kebutuhamu. Berdoalah agar jiwamu disembuhkan dan aku memperoleh hidayatnya!.”
Diceritakan bahwa Abdullah al-Khayyath mempunyai pelanggan jahitan baju seorang Majusi. Orang itu biasa mebayarnya dengan uang dirham palsu dan Abdullah menerima saja uang palsu itu. Suatu hari ketika Abdullah sedang sibuk di Suraunya, orang Majusi itu datang untuk mengambil pakaian pesanannya dan mencoba membayarnya dengan dirham-dirham palsu, yang diberikan kepada muridnya, namun oleh murid itu ditolaknya. Akhirnya si orang Majusi itu mebayar dengan uang dirham asli. Ketika Abdullah kembali, ia bertanya kepada mudirnya : “Dimana pakaian pesanan orang Majusi itu?” Si pembantu menceritakan apa yang telah terjadi. Abdullah memarahinya. Katnya : “Engkau telah melakukan kesalahan. Selama beberapa waktu, kami telah melakukan bisnis dengan caranya itu, dan aku bersabar saja. Dirham-dirham palsu itu biasanya kulemparkan ke dalam sumur agar ia tidak menipu orang lain, selain diriku.”
Dikatakan : “Akhlak yang buruk menyempitkan hati pelakunya. Sebab ia tidak memberikan ruang bagi apa pun selain hawa nafsunya sendiri, dan hati menjadi seperti sebua ruangan sempit yang hanya cukup bagi pemiliknya.”
Dikatakan pula : “Akhlak yang baik berarti bahwa engkau tidak peduli siapa pun yang berdiri di sebelahmu dalam shaf ketika shalat.”
Dikatakn juga : “Suatu tanda keburukan akhlak Anda, manakala Anda hanya tertuju pada keburukan akhlak orang lain.”
Rasulullah saw. ditanya : “Apakah yang disebut celaka itu? Beliau menjawab : “Akhlak yang buruk.”
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. baha seseorang memohon kepada Rasulullah saw. :
“Wahai Rasulullah! Mohonlah kepada Allah swt. agar membinasakan orang-orang musyrik itu!” Beliau menjawab : “Aku diutus sebagai rahmat, bukan sebagai penyiksa.” (H.r. Muslim).

34.
KEDERMAWANAN  HATI
Edit : Pujo Prayitno
Alah swt. berfirman :
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)>” (Qs. Al-Hasyr :9).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. Rasulullah saw. bersabda :
“Orang-orang  yang dermawan dekat dengan Allah swt, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari nerka. Sedangkan orang-orang bakhil jauh dari Allah swt. jauh adari manusia, jauh dari surga dan dekat pada neraka. Orang-orang bodoh yang pemurah lebih disukai Allah swt. ketimbang orang yang tekun ibadat tetapi bakhil.” (Hr. Tirmidzi, Baihaqi dan Thabrani.).
Tidak ada perbedaan dalam bahasa ilmu pengetahuan antara kata juud dan sakha’. Allah tidak digambarkan dengan sifat sakah’ hanya karena tidak adanya ketentuan pasti dari-Nya. Hakikat murah hati (juud), manakala seseorang tidak merasa keberatan ketika mencurahkan dirinya kepada orang lain.
Sementara sebagian kalangan Sufi, derma (sakha’) adalah tahap pertama, disusul oleh Juud, kemudian memprioritaskan orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakah’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih banyak miliknya, dan menyisakan sedikit untuk dirinya, ia adalah orang yang memiliki juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar.
Saya mendengar dari Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq, bahwa asma’ binti Kharijah al-Fazzary mengatakan : “Aku tidak mau menolak seseorang yang datang meminta kepadaku. Jika ia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga kehormatannya. Jika ia seorang rendahan, ia membuatku mempu menjaga kehormatanku sendiri.”
Dikatakan bahwa Muwarriq al-‘ijly dahulu pintar sekali dalam cara-caranya menunjukkan kebaikan budi kepada sahabat-sahabat dekatnya. Ia biasa meninggalkan uang seribu dirham kepada mereka dan berkata : “Tolong jaga uang ini sampai aku kembali!” Kemudian, ia menulis surat kepada mereka : “Uang itu boleh kalian ambil.”
Dikatakan, seseorang dari Manbij bertemu dengan seseorang dari Madinah, Orang manbij bertanya tentang orang tersebut. “Ia dari mana?” Dikatakan kepadanya bahwa orang itu dari Madinah. “Seseorang dari kota Anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang gkepada kami dan membuat kami kaya.” Orang Madinah itu bertanya : “Bagaimana mungkin?” Ia tidak datang kepada Anda, kecuali sekedar selembar jubah bulu domba!” Orang Manbij itu menjawab : “Ia tidak menjadikan kami kaya harta. Namun ia mengajarkan kepadakami kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami menjadi kaya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika Ghulam al-Khalil membawa para Sufi di hadapan Khalifah. Sang Khalifah lalu menyuruh agar mereka dipenggal lehernya. Sementara al-Junyad terlindung oleh kedudukannya yang terhormat di lapangan fiqih. IA dapat memberikan fatwa sesuai dengan mazhab Abu Tsur.
Mengenai asy-Syahham, ar-Raqqam, an-Nury dan lain-lainnya, merek itu ditangkap, dan tikar dibentangkan untuk pemenggalan kepala mereka. An-Nury melangkah ke depan dan si Algojo bertanya kepadanya : “Apakah engkau sadar apa yang akan menimpa dirimu?” Ia menjawab : “Ya” Si Algojo bertanya lagi : “Lantas apa yang membuatmu begitu bersemangat tampil ke depan?” Ia menjawab : “Aku ingin agar kawan-kawanku dapat menikmati hidup beberapa saat lagi.”
Si Algojo merasa bingung bercampur heran atas jawaban An-Nury, dan melaporkan hal itu kepada Khaliafah, yang kemudian diteruskan oleh para Sufi itu kepada seorang hakim untuk diperiksa perkaranya. Sang Hakim mengajukan beberapa pertanyaan seputar Fiqih kepada Abul Husain an-Nury, dan dijawabnya semua, lantas ia mengatakan : “Di samping itu, sesungguhnya Allah mempunyai hamba-hamba yang jika mereka berdiri, berdiri bersama Allah, dan apabila bicara, mereka bicara bersama Allah.” Ia terus berbicara dan kata-katanya membuat sang Hakim menangis. Hakim itu lalu mengirim pesan kepada Khalifah : “Jika orang-orang ini dianggap zindiq, maka tidak ada lagi seorang Muslim pun di muka bumi ini.”
Dikisahkan, Ali ibnul Fudhail membeli barang-barang dari penjaja-penjaja terdekat. Seseorang berkata : “Anda akan menghemat uang jika  mau pergi ke pasar.” Ia menjawab : “Penjaja-penjaja ini telah datang ke dekat rumah kita denegan harapan dapat menyediaka jasa kepada kita.”
Dikatakan : “Seorang laki-laki mengirimkan seorang budak wanita kepada Jabalah, ketika ia sedang berada bersama murid-muridnya. Ia berkata : “Betapa buruknya bila aku menerima budak ini sementara Anda semua ada di sini. Aku tidak ingin mengisitimewakan  salah seorang dari Anda dengan memberikan budak ini, sedangkan Anda semuanya mempunyai hak atas budak itu dan juga atas penghormatanku. Budak ini tidak dapat dibagi-bagi di antara Anda sekalian.” Jumlah mereka sebanyak delapanpuluh orang. Akhirnya Jabalah memerintahkan agar didtangkan seorang budak wanita atau laki-laki untuk masing-masing muridndya itu.”
Dikatakn : “Suatu hari, Ubaydullah bin Abu Bakrah kehausan di tengah perjalanan. Lalu ia meminta air di rumah seorang wanita. Wanita itu mengisi sebuah cangkir untuknya dan berdiri di belakang pintu, seraya berkata : “Menjauhlah dari pintu dan suruhlah salah seorang budakmu untuk mengambil cangkir ini dariku, karena aku adalah seorang wanita Arab, dan budakku telah meninggal dua hari yang lalu!”
Ubaydullah meminum air itu lalu mengatakan kepada budaknya, “Ambilkan uang sepuluh ribu dirham untuknya!.” Wanita itu berseru : “Subhanallah, Anda menghinaku?” Mendengar tanggapan wanita itu, Ubaydullah menyuruh budaknya untuk menyerahkan duapuluh ribu dirham. Lalu wanita itu berkata : “Aku mohon kepada Allah swt. agar Anda dimaafkan.” Ubaydullah berkata lagi, “ Ambilkan tigapuluh ribu untuknya!.” Saat itulah si wanita membanting daun pintu rumahnya dan berteriak : “Anda benar-benar memalukan!>” Tatepai Ubaydullah berhasil memberikan kepadanya uang tigapuluh ribu dirham itu, yang juga diterimanya. Sorenya, jumlah pelamarnya telah menjadi berlipat ganda.
Dikatakan : “Kedermawanan hati berarti bertindak pada saat munculnya instik yang pertama.”
Saya mendengar salah seorang murid Abul hasan al-Busyanjy – semoga Allah merahmatinya – menuturkan : “Abul Hasan al-Busyanjy sedang berada di dalam toilet. Ia memanggil salah seorang muridndya dan memerintahkan : “Ambillah baju ini dariku dan berikan kepaa si Fulan!” Seseorang bertanya kepadanya : “Tidak dapatkah Anda menunggu sampai Anda keluar dari toilet?” Ia menjawab : “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah pikiran dan batal memberikan baju ini.”
Qays bin Sa’d bin Ubadah pernah ditanya : “Pernahkah Anda melihat orang yang lebih pemurah dari diri Anda sendiri?” Ia menjawab tegas : “Ya.” Pernah kami berhenti di apdang pasir di rumah seorang wanita. Suaminya pulang, dan ia berkata kepadanya : “Engkau punya banyak tamu.” Maka suaminya itu lalu mengambil seekor unta, menyembelihnya, dan memberitahukan, “Ini untuk Anda semua.”. Keesokan hari ia mengambil seekor unta lagi dan mengatakan : “Ini untuk Anda.” Kami berkeberatan : “Tapi unta yang Anda sembelih kemarin itu baru kami makan sedikit saja. “Ia menjawab : “Saya tidak pernah meninggalkan daging basi kepada tamu-tamu saya.”
Kami tinggal di rumah orang itu selam dua atau tiga hari lagi sementara hujan terus menerus turun, dan ia pun terus melakukan hal yang sama. Ketika hendak berangkat meneruskan pejalanan, kami tinggalkan uang seratus dinar di rumahnya dan berkata kepada isterinya : “Mintakan maaf untuk kami kepada suami Anda!>” Lalu kami berangkat meneruskan perjalanan. Pada tengah hari tiba-tiba ada teriakan seseorang di belakang kami: “Berhenti wahai gerombolan orang jahat! Kalian semua mau membayar keramah-tamahanku? Lalu ia memaksa kami kembali dan mengatakan : “Anda mengambilnya kembali, atau saya tusuk Anda dengan tommbak saya ini!.” Uang itu kami ambil kembali dan kami pun terus melanjutkan perjalanan. Kemudian orang itu bersyair :
Jika kau ambil kembali pahala
Karena apa yang telah kuberikan,
Maka biarlah kehinaan
Bagi peraihnya.
Ahmad bin Atha’ ar-Rudzbary berkunjung ke rumah salah seorang sahabtnya. Tidak seorang pun yang ada di rumah itu dan pintu rumah dikunci. Ia berkata : “Orang ini seorang Sufi, tapi mengunci rumahnya? Hancurkan saja kuncinya?” Maka meraka pun membongkar kunci rumah itu. Diperintahkannya agar mereka membawa barang-barang yang ditemukan di rumah itu untuk dijual ke pasar. Kemudian mereka mendiami rumah itu.
Ketika si empunya rumah datang, ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian istrinya masuk rumah itu, dan ia masih mempunyai pakaian. Dilemparkannya pakaian itu sambil berucap : “Wahai para sahabt, ini juga bagian dari milik duniawi kami, maka juallah pula!” Suaminya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau lebih suka menderita seperti ini?” Si istri menjawab : “Diamah!” Bagi seorang syeikh seperti itu, yang menghormati kita dengan memperlakukan kita penuh keakraban dan yang melaksanakan urusan-urusan kita, juga menyisakan untuk kita sesuatu yang dapat kita hinakan.”
Bisyr ibnul Harits mengatakan : “Menaruh perhatian kepada seorang yang bakhil membuat hati jadi keras.”
Dikatakan, ketika Qays bin Sa’id bin Ubadah jatuh sakit, sahabt-sahabatnya tidak datang menjenguknya, karena itu ia bertanya tentang mereka. Dikatakan kepadanya : “Mereka malu karena hutang-hutangnya kepada Anda. “Ia berteriak : “Semoga Allah melaknat uang yang mencegah seorang saudara mengunjungi saudaranya.!” Qays bin Sa’d lalu mengirim seorang utusan untuk mempermaklumkan bahwa barangsiapa mempunyai hutang kepadanya, hutang itu dihalalkan. Sore itu pintu rumahnya rusak karena desakan orang-orang yang datang mengunjunginya.
Dikatakan kepada Abdullah bin Ja’far, “Anda memberi cukup banyak jika diminta, tetapi Anda menggerutu jika ditentang meskipun sedikit.” Ia menjawab, “Aku memberikan hartaku, tapi aku menggerutu dengan nalarku.”
Diceritakan bahwa Abdullah bin Ja’far pergi menengok salah satu perkebunanya di pedesaan. Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah kebun kurma suatu kaum dimana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke dalam kebun itu dan mendatanginya. Budak itu lalu meemparkan sepotong roti, dan anjing itu memakannya. Ia melemparkan sepotong lagi, dan sepotong lagi roti pada anjing itu, yang terus lahap memakannya.
Abdullah bin Ja’far, yang melihat hal itu, bertanya kepada si budak : “Wahai budak, berapa banyak makanan yang engkau terima tiap hari?” Ia menjawab : “Seperti yang anda saksikan adi.” Abdullah bertanya, “Lantas mengapa engkau berikan makananmu pada anjing itu, bukannya engkau makan sendiri.?” Si budak menjelaskan : “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu telh datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.” Abdullah bertanya lagi : “Bagaimana engkau makan hari ini?” Si budak menjawab : “Saya akan berlapar saja hari ini.” Abdullah berkata : “Aku telah dicela orang karena terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.” Maka ia lalu membeli kebun kurma itu, sekaligus dengan budak itu dan alat-alat kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu dan memberikan kebun itu kepadanya.”
Diceritakan bahwa seorang laki-laki mengunjungi seorang sahabatnya, lalu mengetuk pintu rumah sahabtnya itu. Si sahabat bertanya kepadanya : “Ada apa?” Laki-laki itu menjawab : “Aku punya hutang sebanyak empat ratus dirham yang memberatkan hatiku.” Maka laki-laki itu lalu mengambil uang empatratus dirham dan memberikannya kepada sahabatnya. Setelah itu ia masuk ke dalam sambil menangis. Istrinya bertanya kepadanya : “Mengapa engkau tidak mengjukan alasan kepadanya, bahwa Anda dalam keadaan susah?” Suaminya menjawab : “Aku menangis karena kau tidak melihat kondisi yang menimpanya sehingga terpaksa mengungkapkannya kepadaku.”
Mutharrif asy-Syakhir mengajarkan : “Apabila salah seorang di antaramu membutuhkan sesuatu dariku, hendaklah menyampaikannya melalui pesan tertulis, sebab aku tidak suka melihat hinanya wajah seseoarng yang sangat membutuhkan.”
Diceritakan bahwa seseorang ingin membuat gara-gara terhadap Abdullah bin Abbas. IA membawa orang-orang tekemuka di kota dan mengatakan kepada mereka bahwa Abdullah telah mengundang mereka ke rumahnya untuk makan siang hari itu juga. Mereka pun pergi ke rumah Abdullah, dan pekarangan rumahnya pun penuh dengan kehadiran mereka. Abdullah bertanya : “Ada apa ini?” Seseorang memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Dengan segera Abdullah menyuruh orang untuk membeli buah-buahan dan roti serta memasak makanan. Semunaya itu dikerjakan tepat pada waktunya. Ketika semua makanan telah habis dimakan, ia bertanya kepada para wakilnya, : “Apakah mungkin bagiku untuk menyediakan makanan begini banyaknya setiap hari?” Mereka menjawab : “Ya”. Maka Abdullah pun mengatakan : “Jika demikian, biarlah semua orang ini menjadi tamuku setiap hari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy menuturkan : “Ketika Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky sedang berwudhu di pekarangannya, seorang laki-laki datang meminta sedekah. Abu Sahl tidak membawa sesuatu pun, karenanya ia lalu berkata : “Tunggu sampai aku selesai!” Orang itu pun menunggu. Begitu Abu Sahl selesai, ia berkata kepada orang itu : “Ambillah botol minyak wangi ini dan pergilah!” Orang itu mengambil botol itu lalu pergi. Abu Sahl menunggu sampai ia merasa yakin bahwa orang itu sudah pergi jauh; kemudian ia berteriak : “Ada orang mencuri botol minyak wangi!” Orang-orang pun mengejar “si pencuri” tetapi tidak berhasil menyusulnya. Abu Sahl berbuat demikian hanya karena  keluarganya sering mengecamnya atas tindakannya yang sering menyerahkan hartanya untuk orang lain.
Syeikh Abu Sahl memberikan jubahnya kepada seorang laki-laki di saat musim dingin. Karena hanya itu satu-satunya jubah milik beliau, maka beliau memakai jubah wanita jika hendak pergi mengajar. Suatu delegasi ulama-ulama terkenal yang terdiri dari wakil-wakil dari setiap bidang  ilmu datang dari Persia. Delegasi tersebut mencakup pra fuqaha tekemuka, ahli kalam, ahli nahawu. Sedangkan panglima tentara, yakni Abul Hasan, memerintahkan Abu Sahl untuk menyambut kedatangan mereka. Beliau mengenakan pakaian perang di balik jubah wanita yang dipakainya, lalu menaiki kendaraannya. Sang Panglima berkata : “Ia mengejekku di hdapan seluruh penduduk kota, dengan berkendaraan memakai jubah wanita!” Tetapi Abu Sahl kemudian berdebat dengan seluruh anggota delegasi terssebut, dan berhasil memenangkannya.
Saya juga mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy – semoga Allah merahmatinya – mengabarkan bahwa Syeikh Abu Sahl tidak pernah memberikan sedekah kepada siapa pun dengan tangannya sendiri. Bahkan hartanya ia lempar ke tanah agar diambil orang yang membutuhkannya, dan berkata : “Dunia ini bagiku kecil nilainya dibanding kau melihat ke arahnya, sementara tanganku di atas tangan seseorang.” Ia menyitir sabda Rasulullah saw. “ Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Hr. Muslim dan Tirmidzi).
Abu Marrtsad – rahimahullah --- salah seorang yang murah hati, dan karenanya salah seorang penyair telah memujinya. Beliau mengatakan : “Aku tidak punya sesuatu pun untuk kuberikan kepadamu. Laporkan kepada Hakim, dengan tuduhan bahwa aku berhutang kepadamu sepuluh ribu dirham, untuk ku akui, sehingga hakim itu menahanku. Sebab keluargaku pasti tidak membiarkan diriku ditahan.” Si penyair itu pun menuruti perintahnya dan ia tidak dapat berbuat banyak, kecuali Abu Martsad harus menyerahkan sepuluh ribu dirham agar ia keluar dari tahanan. An Abu Martsad pun keluar setelah ditunaikan hutangnya.
Sorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Hasan bin Ali bin Abu Thalib r.a. Maka beliau lalu memberi orang itu sebanyak lima puluh ribu dirham dan limaraus dinar. Beliau menyuruh orang  itu mencari kuli untuk mengangkut uang itu. Orang itu pun lalu mencari kuli. Kemudain al-Hasan memberikan kepadanya selendangnya, sambil berkata :”Upah kuli itu, kutanggung juga.” Ketika seorng wanita meminta makok madu kepada Lsyts bin Sa’id, ia menyuruh orang membawa sekantong kulit penuh madu kepada wanita tersebut. Seseorang mengkritik atas tindakannya itu, dan dijawab oleh Layts, “Ia meminta sesuai dengan kebutuhannya, dan aku memberi sesuai dengan kesenanganku.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku Shalat Subuh di masjid al-Asy’ats di Kufah, karena aku sedang mencari salah seorang yang berhutang kepada kepadaku. Seusai menunaikan shalat, seseorang meletakkan satu stel pakaian dan sepasang ssandal di hadapan setiap orang yang ada di masjid itu, termasuk juga diriku. Aku bertanya :Apa ini?” Orang-orang menjawa :Al-Asy’ats telah kembali dari Mekkah, dan beliau menyruh hal ini dilakukan kepada seluruh jamaah masjid.”. Aku berkata : “Akan tetapi aku orang luar. Aku datang ke kota ini hanya untuk mencari salah seorang yang berhutang kepadaku.” Mereka berkata : “Hadiah ini untuk semua yang hadir.”
Diceritakan, bahwa menjelang wafat, asy-Syafi’y r,a, memerintahkan : “Perintahkan si Fulan agar memandikan aku!” Namun orang yang dimaksud tidak ada di sana. Ketika ia datang kepadanya dikatakan tentang pesan asy-Syafi’y tersebut. Maka ia minta untuk melihat pembukuan asy-Syafi’y, dan ia menemukan bahwa asy-Syafi’y punya hutang sebanyak tujuh puluh ribu dirham. Orang itu kemudian menyelesesaikan huang itu dan berkaa : “Inilah tugasku memandikan beliau.”
Diceritakan bahwa ketika asy-Syafi’y kembali ke Mekkah dari San’a beliau membawa uang sepuluh ribu dinar. Seseorang mengatakan kepada beliau : Anda harus membeli budak wanita dengan uang itu.” Mendengar itu, beliau lalu memasang sebuah tanda di luar kota Mekkah dan menumpahkan dinar-dinar tersebut. Kepada setiap orang yang datang ke kemah, beliau memberinya segenggam uang. Ketika waktu dhuhur tiba, beliau berdiri dan mengibas-ngibaskan jubah, dan ternyata tidak sekeping yang pun yang tertingggal.
Dikisahka, bahwa as-Sary pergi kelaut pada hari raya, dan bertemu dengan seorang penting. Tetapi as-Sary hanya melihat sekilas saja kepadanya. Seseorang berkaa : “Itu orang penting.” Ia menjawab : “Aku tahu siapa dia, tetapi telah dituturkan bahwa apabila dua orang Muslim berjumpa, maka seratus bagian rahmat Allah dibagikan kepada mereka berdua :sembilan puluh persen untuk orang yang lebih bergembira di antara mereka berdua. Aku ingin agar ia memperoleh bagian yang lebih banyak.
Diceritakan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. sedang menangis. Seseorang bertanya kepada beliau : “Apa yang membuat Anda menangis?” Beliau menjawab : “Tidak seorang pun tamu yang datang kepadaku selama seminggu. Aku takut bila Allah swt. telah menghinaku.”
Dikatakan bahwa Anas bin Malik r.a. mengatakan : “Zakat atas rumah adalah hendaknya sebuah kamar disediakan di dalamnya untuk tamu.”
Mengenai firman Allah swt. :
“Sudah sampaikah kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (Qs. Adz-Dzariyat :24).
Yang dimaksud bahwa tamu-tamu yang dimuliakan, karena Ibrahim as. Sendiri yang melayani mereka. Juga dikatakan demikian, karena si tamu seorang mulia dengan sendirinya juga seorang yang mulia.
Ibrahim ibnul Junayd menuturkan : “Ada empat perbuatan yang tidak boleh dihindari oleh seseorang, walaupun ia seorang prnguasa : “Berdiri dari tempat duduknya untuk ayahnya, melayani tamunya, melayani seorang ulama yang pernah menjadi gurunya, dan bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya.”
Ibnu Ababs r.a. bekomentar tentang firman Allah swt. :
“Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (Qs. An-Nuur :61).
Ayat ini bermakna : “Mereka akan merasa berdosa jika di antara mereka makan sendirian. Maka Allah lalu mengizinkan hal itu bagi mereka.”
Dikatakan bahwa Abdullah bin Amir bin Kurayz sekali waktu sedang menjamu seorang laki-laki dengan baik. Ketika orang itu hendak berangkat, budak-budak Abdullah menolak membantunya. Ketika ditanya tentang hal ini, Abdullah menjawab : “Mereka enggan membantu orang yang meninggalkan kami.”
Abdullah bin Bakuwayh melantunkan syair al-Muntanabby dalam konteks di atas :
Jika kau tinggalkan kaum
Padahal mereka mampu
Untuk tidak memisahkan ddirimu dengan mereka
Maka orang yang berangkat
Kan menjadi susah
Abdullah bin Mubarak berkata : “Kemurahan jiwa dengan tidak menengok milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari yang sangat dingin aku pergi ke Bisyr ibnul Harits. Ia telah melepskan sebagian dari pakaiannya, dan menggil kedinginan. Aku bertanya kepadanya : “Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa Anda berpakaian begitu tipis?” Ia menjawab : “Aku ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa pun untuk diberikan kepada mereka. Maka aku ingin sama-sama menderita seperti halnya mereka, kedinginan.”
Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Kedermawanan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kedermawanan hakiki adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”

35.
GHIRAH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang lahir ataupun yang batin.” (Qs. Al-A’raf :33).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.Di antara cemburu-Nya adalah Dia melarang perbuatan keji, baik kekejian yang lahir maupun keji yang batin.” (Hr. Bukhari – Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Diriwayat oleh Abu Huraiarah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Allah itu pencemburu dan orang Mukmin juga pencemburu. Cemburu Allah swt. adalah sifat yang muncul bilamana seorang hamba yang beriman melakukan apa yang telah dilarang-Nya.” (H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi).
Cemburu adalah rasa tidak suka jika orang lain memiliki sesuatu. Allah digamabarkan bersifat Ghirah (cemburu), berarti bahwa Allah tidak ridha manakala ada tuhan lain di sisi-Nya, yang sesungguhnya adalah Hak Allah ketika hamba –Nya taat kepadan-Nya.
Diriwayatkan dari as-Sary as-Saqathyketika dibacakan ayat :
“Dan apabila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat suatu hijab yang tidak dapat ditembus.” (Qs. Al-Isra’:45).
As-Sary berkata kepada murid-muridnya : “tahukah kamu apakah yang hijab itu? Itu adalah hijab cemburu. Tidak ada yang lebih pencemburu daripada Allah swt.”
Dengan kata-kata :”Itu adalah hijab cemburu”, maksud as-Sary bahwa Allah swt. tidak memberikan kemampuan kepada orang-orang kafir untuk mengetahui kebenaran agama.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Alah swt. telah mengingatkan beban kehinaan pada kaki orang-orang yang malas dalam beribaddat kepada-Nya. Dia menempatkan mereka pada jarak yang ajuh dari-Nya dan menajdika mereka terlambat lagi dari kedudukan yang dekat kepada-Nya.”
Dalam makna ini mereka, para Sufi bersyair :
Aku pencinta setia kepada yang kucintai, tetapi
Pertolongan mana yang bisa kuperoleh
Dengan buruknya pandangan para tuan?
Kaum Sufi juga amengatakan tentang masalah ini : “Sorang yang sakit tidak terjenguk, dan orang yang sangat mengingini tidaklah diingikan.”
Al-Abbas az-Zauzany mengatakan : “Aku dianugerahi kebaiakan dala permulaan perjalanan ruhaniku. Aku mengetahui apa yang masih tersissa antara aku dan tujuanku. Pada suatu malam aku bermipi tergelincir dari puncak gunung yang ingin kucapai. Aku sangat sedih (ketika bangun). Kemudian aku tertidur lagi, dan mendengar sebuah suara mengatakan : “Wahai Abbas, Allah tidak menghendaki engkau mencapai tujuan yang engku upayakan. Tetapi Dia telah membawakan hikmah kepada lidahmu.” Ketika aku bangun pagi aku benar-benar telah dianugerahi ilham ucapan-ucapan yang penuh hikmah.”
Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika ada seorang syeikh yang mengalami kondisi ruhani dan saat-saat bersama Allah swt. Setelah itu ia tidak tampak beberapa lama di antara orang-orang miskin. Ketika muncul kembali, tidak dalam keadaan sebagaimana sebelumnya, mereka bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab : “Duh, hijab telah terjadi.”
Selama dalam majelis, tiba-tiba terjadi sesuatu yang merasuki hati mereka yang hadir, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq biasa berkata : “Ini adalah kecemburuan Allah swt. Dia tidak menghendaki mereka mengalami nuansa lebih dari saat yang jernih ini.”
Dalam hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Juwita berhasrat datang kepada kami;
Sampai ketika ia memandang cermin
Keindahan wajahnya
Telah menawan dirinya.
Sebagian Sufi ditanya : “Apakah engkau ingin melihat-Nya?” ia amenjawab : “Tidak” Ia ditanya : “Mengapa?” Ia menjawab : “Aku ingin menyucikan Keindahan yang begitu agung dari segala pandangan seperti persepsiku.”
Para Sufi bersyair :
Aku iri kepada mataku yang memandangmu
Hingga kutundukkan ketika aku melihatmu.
Kulihat dirimu menampakkan keindahan-keindahan
Yang membuatku terpesona.
Aku cemburu
Darimu
Padamu.
Asy-Syibly pernah ditanya : “Kapankah engkau istirahat?” Ia menjawab : “Jika kudapati baha tiada lagi orang berdzikir kepada-Nya.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq telah mengomentari sabda Nabi saw. ketika beliau baru saja menyelesaikan akad jual beli seekor kuda dengan seorang Badui. Orang Badui itu menuntut agar penjualan dibaalkan, maka Nabi membatalkannya. Kemudian si Badui berkata : “Semoga Allah swt. memberimu umur panjang. Dari golong apa engkau?” Nabi menjawab : “Seorang laki-laki dari suku Quraisy.” Salah seorang sahabat yag hadir mencela si Badui : “Kekuarang ajaran mana yang lebih besar daripada tidak mengenali Nabimu?” Syeikh Abu Ali berkata : “Nabi saw. bersabda : “Sorang glaki-laki dari suku Quraisy.” Itu adalah karena cmeburu. Jika tidak, tentu beliau akan menjawab kepda siapapun yang bertanya kepada beliau, siapa diri belaiu yang sebenarnya. Kemudian Allah swt. menjadikan sahabt tersebut mengungkapkan identitas beliau kepada si Badui dengan bertanya : “Kekurang ajaran mana yang lebih besar dariapda tidak mengenali Nabimu?”
Sebagian Sufi berkata : “Cemburu adalah sifat orang-orang pemula. Orang yang sudah mencapai kemanunggalan tidaklah mengalami cemburu, tidak pula memiliki predikat ikhtiar, tidak pula peduli atas apa yang terjadi di kerajaan. Allah swt. sematalah yang lebih utama dari segalanya, dalam segala ketentuan yang dikehendaki-Nya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Cemburu adalah amal para murid. Sedangkan mereka yang telah mencapai hakikat kebenaran, tidak ada rasa cemburu.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Ada dua macam cemburu; Cemburu manusia satu sama lain dan cemburu Allah terhadap hati manusia.” Diteaskannya juga : “Cemburu Allah menyangkut nafas manusia, jika nafs itu dihembuskan untuk selain Alalh swt.”
Seharusnya dikatakan : Ada dua macam cemburu : Pertama cemburu Allah kepada manusia, artinya Dia tidak ingin ada sesuatu yang melimpahi makhluk. Dan kedua, cemburu hamba terhadap Allah swt. berarti penolakannya untuk mengabdikan keadaan-keadaan atau nafasnya kepada selain Allah.” Karenanya tidak dapat dikatakan :Aku cemburu kepada Allah swt.” Tapi hendaklah mengatakan : Aku cemburu demi Allah swt.” Cemburu kepada Allah swt, adalah kebodohan dan mungkin dapat meninggalkan agama. Tetapi cemburu demi Allah, melahirkan pengagungan hak-Nya dan penjernihan amal-amal kebajikan kepada-Nya.
Ketahuilah, bahwa Sunnatullah atas wali-wali-Nya adalah – jika mereka menemukan kepuasan pada selain Allah, mendengarkan kepada selain Allah, atau memperbolehkan yang selain Allah untuk bersemayam dalam hati mereka, maka hal itu akan menimbulkan kegelisahan dalam hati mereka – Allah bagitu cemburu akan hati mereka hingga Dia mengembalikan mereka kepada Diri-Nya, dalam keadaan kosong dari semua hal lain yang memberikan kepuasan kepada mereka, dari semua yang mereka pedulikan dan dari semua yang mereka perbolehkan bersemayam di hati mereka. Sebagaimana Nabi Adam as. Ketika hatinya tersirat keinginan hidup abadi di surga, justru sebaliknya beliau dikeluarkan dari surga. Ini juga terjadi kepada Ibrahim as. Di saat keberadaan Ismail membuat beliau bangga dan kagum, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya, sampai Ismail keluar dari dalam hati Ibrahim. “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim telah membaringkan anaknya atas pelipis (nya) (untuk dikorbankan)” (Qs. Ash-Shaffaat :103), dan Ibrahim telah menyucikan batinnya melalui perintah-Nya, lalu Allah menggantikan dengan domba.
Muhammad bin Hissan menuturkan : “Sekali waktu, ketika aku sedang mengelilingi pegunungan Libanon, seorang pemuda datang kepadaku. Tubuhnya telah terbakar oleh badai pasir dan anin, Ketika melihatku, ia berpaling dan lari. Aku mengikutinya dan berkata : Berilah aku sepatah kata nasihat!.” Ia menjawab : “Waspadalah, karena Dia  pecemburu. Dia tidak mau menemukan sesuatu selainDiri-Nya dalam hati hamba-Nya.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Alalh swt. adalah Pencemburu. Salah satu tanda cemburu-Nya adalah bahwa Dia tidak menjadikan jalan menuju Diri-Nya selain Dari-Nya sendiri.”
Diriwayatkan bahwa Alalh swt. menyampaikan wahyu kepada sala seorang Nabi-Nya : “Si Fulan membutuhkan Aku dan Aku pun membutuhkannya. Jika ia memenuhi kebutuhan-Ku, Aku pun akan memenuhi kebutuhannya.” Nabi tersebut – semoga Allah melimpahkan keselamatan kepadanya – bertanya dalam munajatnya : “Wahai Tuhanku, abagaimana mungkin Engkau membutuhkan sesuatu?” Allah menjawab : “Ia telah menemukan ketenangan selain Aku. Maka hendaknya ia mengosongkan hatinya. Aku akan memenuhi kebutuhannya.”
Diceritakan bahwa Abu Yazid al-Bisthamy bermimpi melihat sekelompok bidadari. IA memandang mereka, sehingga beberapa hari waktunya terbengkelai. Kemudian ia bermimpi melihat mereka lagi. Tetapi kali ini ia tidak menoleh kepada mereka, seraya berkata : Kalian semua mengalihkan perhatianku.”
Dikatakan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah jatuh sakit paa suatu hari, dan seseorang bertanya tentang sebab sakitnya. IA menjawab : “Karena aku memalingkan hatiku ke surga, maka Allah mendidikku dan bagi-Nya berhak menegcamku. Aku tidak akan melakukannya lagi.”
Diriwayatkan bahwa as-Sary as-Saqathy mengabarkan : “Satu ketika aku sedang mencari salah seorang sahabatku. Aku menjelajahi beberapa gunung dan bertemu dengan segerombolan orang yang semuanya berpenyakit, buta atau lumpuh. Ketika aku bertanya kepada mereka apa yang sedang mereka kerjakan di temepat itu, mereka menjawab : “Kami diberitahu bahwa di sini tinggal seorang laki-laki yang keluar (dari gua) sekali setahun. Jika ia berdoa untuk orang banyak, mereka akan sembuh.” Aku lalu menunggu sampai orang itu keluar. Ia berdoa untuk orang-orang itu dan mereka pun sembuh. Aku mengikutinya, datang ke dekatnya dan bertanya, : “Apakah obat untuk penyakit batinku? Ia menjawab : “Wahai Sary, pergilah dariku, agar Alalh swt. Yang Pencemburu, tidak melihatmu mencari ketenangan dari selain Dia. Itu akkan merendahkan derajatmu di sisi-Nya.”
Sisi lain kecemburuan adalah, bahwa sebagian orang cemburu ketika melihat orang lain berdzikir kepada-Nya dengan alpa; sehingga tidak mungkin rasanya memandang mereka, yang membuatnya menderita.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaqberkomentar tentang kejadian ketika seorang badui masuk ke dalam masjid Nabi dan kencing. Para sahabat berdatangan untuk mengeluarkan orang itu. Abu Ali mengatakan : “Orang Badui itu berperilaku buruk sekali, tetapi justru rasa malu justru menimpa para sahabat. Begitu juga halnya dengan seorang hamba. Apabila ia mengetahui kemahakuasaan dan kebesaran Allah swt. maka ia akan marah manakala mendengar seseorang berdzikir kepada Allah dengan ceroboh, atau manakala melihat seseorang melakukan ketaatan ibadat tanpa benar-benar disertai pernghormatan kepada-Nya.”
Diceritkan, bahwa salah seorang putra Abu Bakr asy-Syibly yang bernama Abul Hasan, meinggal dunia. Sebagai tanda berkabung, ibunya memotong seluruh rambutnya. Asy-Syibly pergi ke rumah pemandian dan mencukur jenggotnya hingga licin. Setiap orang yang datang untuk mengucapkan dukacita bertanya : “Apa yag telah engkau lakukan, wahai Abu Bakr?” Ia menjawab : “Aku mengikuti contoh yang diberikan istriku.” Salah seorang di antara mereka bertanya lagi, : “Katakanlah kepadaku, wahai Abu Bakr, mengapa Anda melakukan hal ini?” Ia menjawab : “Aku tahu bahwa orang-orang akan datang untuk menyatakan belassungkawa dengan menyebut nama Allah secara sembrono dengan mengatakan : “Semoga Allah memberikan ganti kepadamu.” Aku mengorbankan jenggotku untuk menebus kesembronoan mereka dalam meneyebut-nyebut nama Allah swt.”
Ketika an-Nury mendengar seseorang menyerukan adzan, ia berteriak : “Bohong dan racun!” Sebaliknya ketika mendengar seekor anjing menggonggong, ia berkata : “Iya, aku siap melayanimu!.”
Seseorang berkomentar : “Ini adalah bid’ah. Ia mengatakan kepada seorang beriman yang bersaksi atas tauhid, “Bohong dan racun.” Sementara ia mengatakan, “Ya siap melayanimu.” Pada anjing yang menggonggong” Ketika ditanya alasan ucapannya itu, an-Nury menjelaskan : “Orang itu menyebut-nyebut nama Allah swt. dengan penuh kealpaan, sedangkan anjing itu, Allah swt. telah berfirman : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.” (Qs. Al-Isra :44).
Suatu ketika asy-Syibly menyerukan adzan. Usai mengucapkan dua kalimah syahadat, ia berkata : “Seandainya Engkau tidak memerintahkan aku menyebut demikian, niscaya aku tidak akan menyebutkan yang lain bersama dengan-Mu.
Suatu ketika seseorang mendengar seorang lainnya berseru : “Maha Agung Allah.” Ia menjawab : “Aku lebih ska mengagungkan-Nya, dengan cara tidak seperti itu.”
Abul Hasan al-Khazafany berkata : “Laa ilaaha illallaah dari dalam kalbu, dan Muhammadarrasuulullaah dari telingaku, maka orang yang hanya melihat perkataan ini pada tekstualnya saja akan menyangka bahwa ia telah menghina syariat. Namun sesungguhnya tidaklah demikian. Sebab, bahaya bagi tipu daya, justru ketika disandarkan pada Kekuasaan Allah swt. sementara justru menghina dalam pelaksanaannya.”

36.
KEWALIAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Ynus : 62).
Diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Allah swt. berfirman : “Barangsiapa yang menyakiri seorang wali, berarti telah memaklumkan perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamaba bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Tak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keragguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, karena dia tidak menyukai kematian dan Aku tak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan!.” (H.r. Ahmad, Hakim dan Tirmidzi).
Kata wali mempunyai dua makna. Yang pertama berasal dari bentuk fa’iil (subyek) dalam pengertian maf’ul (obyek). Artinya orang yang diambil alih kekuasaannya oleh Allah swt. Sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya : :...... dan Dia mengambil alih urusan (yatawalla) orang-orang saleh.” (Qs. Al-A’raf :196). Sejenakpun si wali tidak mengurusi dirinya.
Arti yang kedua berasal dari bentuk fa’iil dalam pengertian penekanan (mubalaghah) dari faa’il. Yaitu orang yang secara aktif melaksanakan ibadat kepada Allah dan mematuhi-Nya secara terus menerus tanpa diselingi kemaksiatan. Kedua arti ini mesti ada pada seorang wali untuk bisa dianggap sebagai wali yang sebenarnya, dengan menegakkan hak-hak Allah swt. atas dirinya sepenuhnya, disamping perlindungan Allah swt. padanya, di saat senang maupun susah.
Salah satu persayaratan seorang wali adalah bahwa Allah melindunginya dari mengulangi dosa-dosa (mahfudz), seperti halnya salah satu persyaratan seorang Nabi adalah bahwa dia terjaga dari segala dosa (ma’shum). Sipa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang dari stariat Allah swt. berarti telah tertipu.
Suatu ketika Abu Yazid al-Bisthamy berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar. Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjsid. Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata : “Inilah orang yang tak bisa dipercaya untuk melaksanakan adab yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia bisa diandalkan untuk menjaga rahasia-rahasia Allah swt.?”
Terdapat ketidakpercayaan di kalangan kaum Sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyadari bahwa dirinya adalah seorang wali atau bukan. Sebagian mereka mengatakan : “Hal itu tidak didperbolehkan. Sang wali harus selalu instropeksi dirinya dengan pandangan penuh hina. Jika suatu karamah terjadi melalui dirinya, dia merasa takut jika keadaan akhirnya berlawanan dengan keadaan sekarang.” Para Sufi yang berpendapat seperti ini menjadikan syarat kewalian, harus selaras dengan keteguhannya hingga akhir hayat.
Akan tetapi, sebagian sufi mengatakan : “Boleh saja seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah persyaratan untuk mencapai derajat kewalian di saat ini.”
Jika kesetiaan seperti itu merupakan prasyarat untuk mencapai derajat kewalian, bahwa seorang wali akan dianugerahi suatu karamah tertentu yang dengannya Allah memberitahukan kepadaanya mengenai kepastian keadan akhirnya. Sebab, kepercayaan terhadap karamah seorang wali adalah wajib. Yakni, walaupun ia dipisahkan rasa takut akan keadaan akhirnya, namun sikapnya mengagungkan dan memahabessarkan bisa meningkatkan kondisi batin secara lebih efektif daripada banyaknya rasa takut itu sendiri.
Ketika Nabi saw. bersabda : “Sepuluh orang sahabtku akan berada di surga.” Maka sepuluh orang itu sangat percaya kepada sabda Rasulullah saw. dan mengetahui kepastian nasib mereka. Hal ini tidaklah membuat cacat keadaan mereka. Sebab di antara syarat sahnya memahami secara benar mengenai kenabian menuntut pemahaman mengenai definisi mukjizat, di samping itu juga pengetahuan tentang hakikat karamah. Karena itu tidaklah mungkin bagi seorang wali, manakala dia menyaksikan suatu karamah terjadi di depan matanya, tidak mungkin ia tidak membedakan antara karamah dan lainnya. Jika menyaksikan hal seperti itu, sang wali mengetahui bahwa dia berada di jalan yang benar.
Sang wali juga diperkenankan mengetahui realita yang akan datang dengan tetap konsisten pada kekinian perilakunya. Dianugerahi pengetahuan ini sendiri adalah suatu karamah. Ajaran tentang karamah wali adalah benar, sebagaimana dipersaksikan oleh banyak riwayat Sufi. Di antara syeikh yang menyapakati hal ini dan pernah saya jumpai adalah Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya kepada seseorang : “Apakah engkau ingin menjadi wali Allah>” Dia menjawab : “Ya” Ibrahim bin Adham lalu berkata : “Kalau begitu janganlah engkau menginginkan harta kekayaan duniawi ataupun ukhrowi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah swt. semata. Palingkanlah mukamu kepada-Nya agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”
Yahya bin Mu’adz menggambarkan para wali sebagai berikut : “Mereka adalah hamba-hamba yang berpakaian kesukacitaan jiwa setelah mengalami penderitaan, dan yang memeluk ruhani setelah mujahadah ketika mereka mencapai tahapan kewalian.”
Abu Yazid al-Bisthamy mengatakan : “Wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tak seorang pun yang boleh melihat para pengantin selain mereka yang termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh kesukacitaan jiwa (uns). Tak seorang pun yang melihat mereka, baik di dunia ini maupun di akhirat.”
Saya mendengar Abu Bakr ash-Shaidalany, salah seorang yang saleh menuturkan : “Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr at.Thamastany di pekuburan al-Hirah dan mengukir namanya pada nisan itu. Namun tiba-tiba digali dan dicuri orang meskipun makam-makam yang lain tidak. Karena bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepda Abu Ali ad-Daqqaq, yang kemudian menjelaskan kepadaku : “Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan memperbaiki kenangan kepadanya. Allah swt. tidak ingin kecuali tetap menyembunyikannya sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya.”
Sa’id bin Salam al-Maghriby mengatakan : “Kadang-kadang seorang wali termasyhur ke mana-mana, namun ia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka justru merasa hina dan tersembunyi.” Dia juga mengatakan : “Pangkal perjalanan para wali adalah langkah pertama para Nabi.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Wali adalah dia yang selalu melakukan perbuatannya selaras dengan Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Seorang wali berbuat sesuatu tidak demi riya’, tidak pula munafik. Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang berwatak seperti itu!.”
Abu Ali al-Juzajany berkata : “Seorang wali adalah yang fana’ keadaannya namun tetap dalam musyahadah akan Allah swt. Allah mengambil alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya kewalian melimpah. Dia tidak tahu apa tentang ddirinya sendiri, tak ada tempat berpijak selain Allah swt.”
Abu Yazid mengabarkan :”Jatah para wali yang sudah ditentukan berasal dari empat Asma Allah. Masing-masing kelompok wali berbuat sesuai dengan salah satu Asma tersebut : Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir), Adz-Dzahir (Yang lahir) dan Al-Bathin (Yang batin). Manakala seorang Wlai fana’ dari nama-nama tersebut setelah memakainya, maka dialah manusia kamil yang sempurna. Wali yang jatahnya beasal dari Asma Allah Adz-Dzahir akan menyaksikan kekuasaan-Nya; Wali yag mendapatkan bagian dari Al-Bathin, akan menyaksikan hal-hal yang mengalir dalam rahasia batin dari cahaya-Nya. Wali yang bagiannya dari al-Awwal disebutkan dengan masa lampau; Wali yang namanya berasal dari al-Akhir akan berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing-masing diberi keterbukaan menurut kemampuannya, kecuali wali yang telah dipilih oleh Alalh swt. dan dipelihara untuk diri-Nya.”
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara hamba-hamba Allah derajatnya lebih tinggi dari bagian-bagian ini, tidak hanya sibuk dengan masa depan, atau pun masa lalu dalam benaknya, juga bukan karena jalan-jalan ruhani yang telah dilewatinya. Demikian keadaan ruhani mereka yang telah mencapai hakikat; mereka terhapus dari sifat-sifat  makhluk. Seperti difirmankan Allah swt. :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur.” (Qs. Al-Kahfi :18).
Yahyan bin Mu’adz mengatakan : “Seorang wali adalah wewangian Allah di bumi, yang dicium banunya oleh pafa shiddiqin, hingga bau itu menyentuh kalbunya, smapai mereka terbelenggu rindu pada Tuhannya. Ibarat mereka senantiasa bertambah menurut derajat akhlaknya.
Muhammad al-Wasithy ditanya : “Bagaimana seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?” Dia menjawab : “Pada awalnya, dia dibesarkan dengan ibdadatnya. Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tabir melalui kelembutan-Nya. Kemudian Dia mengembalikan ke dalam sifat-sifatnya yang terddahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati rasa ketegauhannya dalam waktu-waktunya.”
Dikatakan : “Tanda kewalian ada tiga : Disibukkan dengan Allah swt, dia lari kepada Allah swt, dan dia hanya bercita-cita kepada Allah swt.”
Alh-Kharraz berkata : “Jika Allah swt. berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir kepada-Nya. Jia dia telah merasakan manisnya dzikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lantas dinaikan ke atas kesukacitaan ruhani. Kemudian dia ditempatkan-Nya di atas tahta tauhid. Kemudian dibukakan tabir dan dimasukan ke dalam rumah Ketunggalan. Disibakkan baginya Keagungan dan Kebesaran Ilahi. Manakala matanya memandang Kebesaran dan Keagungan, ia tetap tanpa dirinya. Pada saat seperti itu si hamba menjadi fana’. Setelah itu ia akan berada di dalam perlindungan Allah swt, bebas dari keccenderungan dirinya sendiri.”
Abu Turab an-Nakhsyaby mengatakan : “Manakala hati seorang menjadi terbiasa berpaling dari Allah swt. maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah swt.”
Dikatakan : “Salah sifat seorang wali adalah bahwa dia tak punya rasa takut, sebab takut adalah suatu keadaan yang dibenci yang menempati di masa datang. Atau menunggu kekasih yang hilang di masa lalu. Sedangkan wali adalah anak waktunya, tak ada gambaran di depan hingga ia harus takut, atau tak ada harapan, karena harapan itu sendiri adalah menunggu yang tercnta untuk datang, atau bahkan yang dibenci kelak terbuka kedoknya. Hal itu juga berada di luar lingkup masa kini. Sang wali juga tak pernah merasa sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam waktu. Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan cahaya ridha dan tentramnya selaras dengan-Nya akan tertimpa kesedihan? Allah swt. berfirman : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran pada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Yunus :62).

37.
DOA
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dalam kerahasiaan.” (Qs. A-A’raf :55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu.” (Qs. Al-Mu’min :60).
Rasulullah saw. telah bersabda :
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anans bin Malik).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah s”Mereka menggenggamkan tangannya.” (Qs. At-Taubah :67).
Ditafsirka bahwa ayat ini bermakna : “Mereka tidak mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk berdoa kepada kami.”
Sahl bin Abdullah menuturkan : “Percayakanlah rahasai-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka melihatlah kepada-Ku, kalau tidak, maka dengarkanlah Aku, Kalau tidak, maka menunggulah di pintu-Ku. Jika tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan, ketakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-mu.”
Sahl juga berkata : “Doa yang paling dekat untuk dikabulkan dalah doa seketika.” Yang maksudnya adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap apa yang didoakannya.
Abu Abdullah al-Makanisy berkata : “Aku sedang bersama al-Junayd ketika seorang wanita datang dan meminta kepadanya : “Berdoalah untukku agar Allah mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah hilang.” Al-Junayd mengatakan kepadanya : “Pergilah, dan bersabarlah.” Kemudian wanita itu berlalu, kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar beroda lagi. Al-Junayd menjawab : “Pergilah dan bersabarlah.” Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya wanita itu berkata : “Kesabaranku telah habis. Sudah tidak ada lagi sisa kesabaranku.” Al-Junayd menjawab : “Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab anakmu telah kembali.” Wanita itu pun pulang, dan menemukan anaknya. Dia kembali kepada al-Junayd : “Bagaimana engkau bisa tahu?” Dia menjawab : “Allah swt. telah berfirman “Atau siapakah yang memperkenan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.” (Qs. an-Naml : 62).”
Orang berbeda pendapat mengenai mana yag lebih baik : Berdoa atau berdiam diri dan bersikap ridha. Di antara mereka ada sebagian yang berekata  : “Doa adalah otak ibadat.” Adalah lebih baik melaksanakan apa pun yang merupakan amal ibadat daripada melewatkannya. Di samping itu, berdoa adalah hak Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat dengan doa-nya, namun sang hamba telah melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”
Abu hazim al-A’raj berkata : “Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi tidak dikabulkan.”
Ada orang lain yang menegaskan : “Diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan adalah lebih sempurna daripada berdoa. Bersikap ridha atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih utama. Sehubungan dengan alasan ini, al-Wasithy mengatakan : “Memilih apa yang telah ditetapkan bagimu dalam zaman azali adalah lebih baik bagimu daripada menentang kedaan yang ada sekarang.”
Nabi saw. berdsabda : “Allah swt. berfirman dalam hadits qudsi : “Aku memberi kepada orang yang terlalu sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih banyak daripada yang Ku-berikan kepada mereka yang berdoa”.
Ada kelompk kaum yang berkata : “Si hamba harus sberdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-beda. Dala situasi tertentu, doa adalah lebih baik daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang hamba. Sementara dalam keadaan alin, berdiam diri adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan etika pula. Ini hanya bisa diketahui dalam waktu, karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang mendapati hatinya condong untuk untuk berdoa, maka berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya condong kepada diam diri, maka berdiam diri lebih baik.
Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap Tuhannya Yang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya. Jika ia mengalami semacam kendala dan hatinya merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu. Jika dia tidak mengalamami yang manapun dari kedua hal ini, maka terus berdoa atau pun meninggalkannya adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri, maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya. Dalam soal=soal yang menyangkut nasib kaum Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri adalah lebih baik.
Dalam sebuah hadis disebutkan : “Apabila seorang hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah berfirman : “Wahai Jibril, tundalah memenuhi kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang mendengarkan suaranya.” Apabila seseorang yang tidak disukai Allah beroda, Dia berfirman : “Wahai Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku tak suka mendengar suaranya.”
Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Waththan bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata : “Wahai Tuhanku, betapa banyak kami telah beroda kepadamu, tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!.” Dia menjawab : “Wahai Yahya, itu karena Aku senang mendengarkan suaramu.”
Nabi saw. menjelaskan :
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya : “Hamba-Ku menolak untuk beroda kepada selain pada-Ku, maka Aku pun mengabulkan doanya.: (H.r. Ali ra. Dan dikeluarkan oleh al-Hakim).
Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. yang menuturkan : “Pada masa Nabi saw. ada seorang laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian, tanpa begabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian dari Syam ke Madinah, seorang penyamun mencegatnya dan berkata kepadanya : “Berhenti!” Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si penyamun : “Ambillah barang-barangku tapi jangan kau rintangi jalanku!” Si penyamun menjawab : “Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang kukehendaki.” Maka pedagang itu menjawab : “Apa yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu hartaku?” Ambillah abrang-barang itu dan enyahlah!>” Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya. Si pedagang berkata : “Tunggulah sampai aku berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.” Maka si pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke langit dan beroda :

“Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang, Wahai pemilik ‘Arasy yang Agung, wahai Yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya sesuatu kembali, Wahai Yang Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru ‘Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan yang dengannya Engkau memerintah makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah aku.!.   
Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika ia selesai berdoa, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berwarna abu-abu dan berpakaian hijau dengan memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si penyamun melihat si penegndara kuda itu, ditinggalkannya si pedagang dan disongsongnya si pengendara kuda itu. Ketika sudah dekat, si penunggang kuda itu menyerang si penyamun sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya. Kemudian penunggang kuda mendatangi si pedagang dan memerintahkan : “Bangkit dan bunuhlah dia!” Namun si pedagang itu balik berkata : “Siapa Anda?” Aku tak pernah membunuh seseorang, dan diriku tak layak membunuhnya.”
Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun langsung membunuhnya. Kemudian mendatangi si pedagang, sambil memberi tahu : “Aku adalah seorang malaikat dari langit ke tiga. Ketika engkau berdoa untuk pertama kalinya, kami mendengar bunyi gaduh di pintu gerbang langit. Kami berkata “Sebuah kejahatan telah terjadi.” Ketika engkau berdoa untuk kedua kalinya, pintu langit terbuka dan terlihat seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa untuk ketiga kalinya, Jibril As. Turun ke langit kami dan berteriak : “Siapakah yang mau menolong orang yang tertekan ini?” Aku memohon kepada Allah swt. agar diizinkan membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan pertolongan kepada siapa saja yang beroda dengan doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan, malapetaka dan keputus-asaan.”
Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya dengan aman sampai ke Madinah dan pergi menemui Nabi saw. serta menceritakan kisahnya kepada beliau, juga tentag doa yang diucapkannya. Nabi saw. bersabda kepadanya : “Allah telah mengilhamimu dengan Nama-Namanya yang paling Indah, yang jika disebutkan dalam Doa, niscaya Dia akan mengabulkannya. Jika Dia dimohon denga Nama-nama itu, Dia akan menganugerahkan-Nya.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran hati. Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yanglalai. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. telah bersabda :
“Sesungguhnya Alalh swt. tidak akan menjawab doa seorang hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi dan Ahmad).
Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba haruslah diperoleh secara halal. Nabi saw. menegaskan :
“Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan.” (H.r. Thabrani).
Dikatakan : “Doa adalah kunci bagi kebutuhan seorang pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-MU?” Bagaimana aku tidak akan berdoa kepada-Mu, sedang engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. Berjalan melewati seorang laki-laki yang sedangberdoa dengan renah hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya Allah, seandainya kebutuhannya ada dalam tangnaku, niscaya akan kupenuhi doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada Musa : “Aku lebih pengasih kepadanya daripadamu. Dia memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada domba-dombanya. Sedang aku tidak akan mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang hatinya terpaut pada selian Aku.” Ketika  Musa mengatakan kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt. kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya dengan pernuh perhatian kepada Allah swt. dan urusannya pun selesai.
Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq : “Apa sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah dikabulkan?” Beliau menjawab : “Itu karena engkau berdoa kepada tuhan yang engkau tak punya pengetahuan tentang –Nya”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Ya’qub bin Lyats ditimpa penyakit yang mebuat para dokter tidak berdaya. Mereka lalu berkata kepadanya : “Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh bernama Shal bin Abdullah. Jika ia berdoa untuk tuan, niscaya Allah swt. akan mengabulkan doanya.” Ya’kub pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, : “Berdoalah kepada Allah untukku.” Sahl berkata : “Bagaimana doaku untukmu akan dikabulkan, sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak di dalam penjaramu?” Maka Ya’kub lalu melepskan semua orang yang ada dalam penjaranya. Sahl lalu berdoa : “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kepadanya hinanya ketidakpatuhan kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.” Ya’kub bin Layts lalu sembuh. Dia mencoba memberi Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak. Seseorang berkata kepada Sahl : “Jika saja engkau menerimanya, engkau bisa memberikannya kepada orang miskin.” Beberapa waktu kemudian, sat Sahl sedang memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi batu permata. Dia bertanya kepada para sahabatnya : “Apakah perlunya bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini, menerima harta kekayaan dari Ya’kub bin Layts?”
Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering menegaskan : “Barangsiapa yang gigih mengetuk pintu, berarti sudha dekat saat terbukanya pintu itu baginya.” Rabi’ah Adwiyah bertanya kepadanya : “Sampai kapan engkau akan mengatakan begitu?” Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa memintanya agar dibuka?” Salih menjawan : “Seorang laki-laki yang sudah tua tak tahu akan kebenaran, dan seorang wanita mengetahuinya!”.
As-Syary berkata : “Suatu ketika aku menghadiri pengajian Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datag kepadanya dan meminta : “Wahai Abu Mahfudz, berdoalah kepda Allah untukku, agar Dia mengembalikan kantongku. Kantong itu dicuri orang; isinya uang seribu dinar.” Ma’ruf tetapdiam. Untuk ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya. Kemudian Ma’ruf menjawab : “Apa yang harus kukatakan?” Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan dari Nabi-Nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci?” Kemudain Ma’ruf mengembalikan kepda-Nya. Tapi orang itu tetap emndesak : “Berdoaah kepada Allahemudian aku bertemu dengan dia lagi, sedang matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya “Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?” Dia menjawab, bahwa dalam mimpinya ada suara bersuara : “Katankalah wahai Yang Maha Dekat, wahai yang Maha Mengabulkan, wahai yang mendengarkan Doaku, wahai yang Maha Baik dalam kehendak-Nya, kembalikanlah penglihatanku.” Kuulangi doa ini dan Allah swt, lalu mengembalikan penglihatanku.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku menderita sakit yang parah di mataku ketika untuk pertama kalinya aku kembali dari Marv ke Anisabur. Sudah agak lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap dan kudengar seseorang bertanya kepadaku : “Tidakkah Allah mencukupi bagi hamba-Nya?” (Qs. Az-Zumar :36). Aku terbangun dan kudapati penyakitku telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah berhenti. Sesudah itu aku tak pernah menderita sakit mata lagi.”
Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah berkata : “Aku sedang berada di Iskandiriyah ketika Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku betul-betul merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Klihat dia sedang melenggang. Aku bertanya : “Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?” Dia menjawab : “Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.” Aku bertanya : “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab : “Dia telah mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas kepalaku, dan memberikan sepasang sandal emas untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku : “Wahai Ahmad, semua ini karena engkau telah menjaga Al-Qur’an sebagai firman-Ku.” Kemudian Dia berfirman : “Wahai Ahmad, berdoalah kepda-Ku dengan kata-kata yang engkau terima dari Sufyan ats-Tdaury, yang dulu engkau ucapkan waktu engkau madih hidup.” Maka aku pun berdoa : “Wahai Tuhan semesta, dengan kekuasaan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan janganlah Engkau tanyai aku tentang sesuatu pun.” Kemudian Allah mempermaklumkan : “Wahai Ahmad, inilah surga. Masuklah! Lalu aku pun masuk.”
Suatu hari ada seorang pemuda yang memegang kain penutup Ka’bah dan berkata : “Tuhanku, Tuhanku, tak ada seorang pun yang mesti didekati selain Engkau, tidak ada pula seorang perantara yang bisa disuap. Jika aku mematuhi-Mu, itu adalah karena limpahan rahmat-Mu, dan segala Puji adalah bagi-Mu. Jika aku menetang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan kesombonganku. Engkau punya rgumentasi yang tak terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu terhadap diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-Mu, kecuali jika engkau mengampuniku.” Kemudian dia mendengar seuah suara batin yang berseru : “Anak muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan : “Manfaat doa adalah menampakkan kebutuhan di sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah swt, akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya.”
Dikatakan juga : “Doa awam dilakukan dengan ucapan, doa kaum zahid dilakukan dengan tindakan, dan doa kaum ‘Arifin dilakukan dengan ihwal hati.”
Juga dikatakan : “Doa terbaik adalah doa yang dikobarkan dengan kesedihan.”
Salah seorang Sufi mengtakan : “Jika engkau berdoa kepada Allah swt. agar dianugerahkan sesuatu dan doamu dikabulkan, maka bedoalah, siapa tahu saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”
Dikatakan : “Kidah kaum pemula terucap lewat doa, namun lidah mereka yang telah mencapai hakikat terbelenggu dalam kebisuan.”
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab : “Aku takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt, akan berfirman kepadaku : “Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu, berarti engkau meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak ditetapkan bagimu, berarti engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya. Namun jika engkau bersikap ridha terhadap keputusan-Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih dari harapanmu.”
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak berkata : “Sudah limapuluh tahun aku tidak beroda, dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa untukku.”
Dikatakan : “ Doa adalah tangga bagi orang-orang yang berdosa.”
Dikatakan juga : “Doa adalah saling bertukar pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian, semuanya akan baik.”
Dikatakan : “Orang-orang yang berdosa mengucapkan doa dengan air mata.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengataka : “Jika seorang berdoa menangis, berarti dia telah membuka hubungan dengan Allah swt.”
Tentag hal ini, para Sufi bersyair berikut :
Air mata pemuda mengungkapkan
Apa yang disembunyikan;
Nafasmu menjelaskan hati;
Yang menyembunyikan rahasia.erdoa berarti meninggalkan dosa-dosa.” Dikatakan : “Doa adalah cara seorang pecinta mengungkapkan kerinduannya.”  Dikatakan : “Diizinkan berdoa, lebih baik dari anugerah.”
AL-Kattany menyatakan : “Allah swt. tidak menganugerahkan kaum beriman, untuk mengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk membuka pintu kemaafan.”
Dikatakan juga : “Beroda menyebabkan engkau hadir di hadorat Allah swt. Sedang dikabulkannya doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan membawa balasan.”
Dikatakan : Doa berarti menghadapAllah swt. dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan : “Satu persyaratan doa adalah bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula : “Bagaimana engkau akan menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar didoakan : “Doakan aku.” Dijawab : “Engkau cukup dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”
Abdurrahman bin Ahmad berkata : “Aku mendengar ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Tqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya : “Orang-orang Binzantium telah menawan anakku. Aku tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu. Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa menebusnya, sebab saya sudah tidak tahu lagi mana siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun beristirahat.” Taqy berkata kepadanya : “Baiklah, pergilah sampai-sampai aku melihat masalah ini, Insya Allah.” Kemudian Syeikh itu menundukkan kepadalnya dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu bebereapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang lagi bersama anaknya dan bersseru kepada Syeikh tersebut : “Anakku telah kembali dengan selamat, dan dia punya cerita untuk tuan.”
Anakknya itu lalu mengisahkan : “Saya sedang berada dalam tawanan seorang gpangeran Bizantium bersama dengan sekelompok tawanan. Sang Pangeran menegaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya terputus dan jatuh dari kaki saya.”
Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa. Si pemuda melanjutkan ceritanya : “Pengawal memukul saya dan berteriak : “Engkau telah memutusakn rantai ini!.” Saya berkata : “Tidak, ia jatuh sendiri dari kaki saya!.” Orang itu kebingungan dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia memanggil teman-temannya, lalu memanggil pandai besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari kaki saya. Mereka tercengang dan kemudain memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya kepada saya : “Apakah engkau punya Ibu?” Saya katakan “Ya”. Mereka lalu berkata : “Doa ibumu telah dikabulkan. Alalh swt. telah membebaskanmu. Kami tak bisa lagi merantaimu.” Kemudian mereka memberi saya makanan dan bekal lalu menyruh seorang pengawal mengatarkan saya sampai ke daerah kaum Muslimin.”

38.
KEFAKIRAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“(Infaq itu) untuk orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah :273).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda :
“Orang-orang miskin akan memasuki surga limaratus tahun sebelum orang-orang kaya. (Limaratus tahun itu) sama dengan setengah hari (surga).” (H.r. Tirmidzi).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Orang miskin itu bukanlah dia yang berkeliling ke sana ke mari denegan hrapan diberi orang sesuap dua suap, sebutir atau dua butir kurma.” Seseoarang bertanya : “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu wahai Rasulullah?” Nabi saw, menjawab : “Dia adalah orang yang tidak menemukan kepuasan atas kekayaannya, dan malu minta manusia, tidak pula orang banyak mengetahui hal ihwal mereka hingga mereka bisa diberi sedekah.” (H.r. Ahmad).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar, tentang ucapan Nabi saw. : “dan malu meminta” artinya adalah bahwa mereka malu kepada Allah swt. untuk meminta-minta dari orang banyak, bukan malu kepada manusia.
Kefakiran adalah simbol para wali dan hiasan para Sufi, pilihan Alalh swt. pada orang takwa piluhan dan para Nabi. Sedangkan para Sufi fakir merupakan pilihan Allah swt. bagi hamba-hamba-Nya. Mereka adalah pengemban rahasia-rahasia-Nya di antara para hamba-Nya, yang dengan mereka Dia menjaga para makhluk dan yang dengan keberkatan mereka rezeki disebarkan di kalngan manusia.
Orang-orang fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Alalh swt. pada Hari Kebangkitan, seperti dikatakan dalam hadis riwayat Umar bin Khaththab r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda : “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin. Kaum fakir yang sabar akan menjadi sahabat-sahabat Allah swt. pada Hari Kebangkitan.” (hr. Ibnul Laal, dan Ibnu Umar).
Diceritakan bahwa seorang laki-laki membawakan uang sebganyak sepuluh ribu dirham kepada Ibrahim bin Adham, tetapi Ibrahim tidak menerimanya dan berkata : “Engkau mau mengahapus namaku dari daftar orang-orang miskin dengan uang sepuluh ribu dirham!. Aku tidak akan menerimanay.!”
Mu’adz an-Nasafi  menegaskan : “Allah tidak pernah membinasakan suatu kaum, apa pun kejahatan yang mereka lakukan, kecuali jika mereka merendahkan dan menghina kaum miskin.”
Dikatakan, manakala para fakir tidak memiliki kebajikan lain dalam pandangan Allah selain keinginan mereka agar rezeki dilimpahkan dan dimurahkan di kalangan kaum Muslimin, niscaya itu sudah cukup bagi mereka, sebab mereka perlu memberli barang-barang dan orang-orang kaya perlu menjualnya. Begitulah halnya dengan kaum miskin yang awam, maka bagaimana pula halnya dengan kaun yang terpilih di kalangan mereka.?”
Ketika Yahya bin Mu’adz ditanya tentang kefakiran, dia menjawab : “Hakikat kefakiran adalah bahwa seseorang tidak butuh lagi selain Allah, dan tanda kefakiran adalah tidak adanya harta benda.”
Ibrahim al-Qashshar mengatakan : “Kefakiran adalah pakaian yang mewariskan ridha, apabila fakir memakainya.”
Seorang fakir dari Zauzan datang kepada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq padatahun 394 atau 395 Hijriyah. Dia memakaia pakaian yang terbuat dari kain yang sangat kasar dan kopiah dari kain yang sama. Salah seorang sahabat Syeikh itu bertanya dengan nada bergurau : “Berapa harga pakaianmu ini?” Dia menjawab : “Aku membayarnya dengan dunia ini, dan akhirat ditawarkan kepadaku untuk ditukar dengannya. Tapi aku tidak akan menjualnya dengan harta tersebut.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika seorang misikin mendatangi sebuah pertemuan untuk meminta sedekah, seraya berkata : “Saya sudah tiga tidak makan.” Salah seorang syeikh yang hadir di situ berkata : “Engkau dusta!” Kemiskinan adalah rahasia Tuhan. Dia tidak mempercayakan rahasia-Nya kepda orang yang memamerkannya kepada siapa pun yang dikehendakinya!.”
Hamdun al-Qashshar menyatakan : “Manakala iblis dan tentaranya berkumpul, mereka tidak bergembira sebagaimana kegembiraan mereka yang disebabkan tiga hal : “Seorang Muslim membunuh sesama Muslim, seseorang yang mati dalam keadaan kafir, dan sebuah hati yang menyimpan ketakutan pada kemiskinan.”
Al-Junayd berkata : “Wahai orang-orang fakir, kamu semua dijadikan terkenal oleh Allah swt, dan dihormati karena-Nya. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaanmu manakala kamu berada sendirianbersama-ny.” Al Junayd ditanya : “Keadaan manakah yang lebih baik : miskin dan bergantung pada Tuhan, atau dijadikan kaya oleh-Nya?” Dia menjawab : “Jika kemiskinan seseorang adalah shahih, maka kekayaannya adalah shahih di sisi-Nya. Jika kekayaannya di sisi-Nya adalah shahih, maka kemiskinan dan ketergantungannya pada –Nya juga tersempurnakan. Jangan bertanya, : “Manakah yang lebih bai?” Sebab keduanya adalah keadaan yang salah satunya tidak akan lenyap tanpa yang lain.”
Ruwaym ditanya tentang tanda seorang miskin : “Miskin berarti menyerahkan jiwa kepada ketentuan-ketentuan Allah swt.” Dikatakan pula bahwa ada tiga tanda seorang miskin : Dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban agamnya, dia menyembunyikan kemiskinannya.
Seseorang bertanya kepada Abu Sa’id al-Kharraz : “Mengapa kemurahan hati orang kaya tidak sampai kepada orang miskin?” Dia menjawab : “Karena tiga alasan : “Kekayaan mereka didapatkan dengan jalan yang tidak halal, mereka tidak dimampukan untuk memberi sedekah, dan penderiaan orang miskin itu memang dikehendaki.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Musa as. : “Jika engkau berjumpa dengan orang-orang miskin, tanyakanlah tentang mereka seperti engkau tanyakan kepada orang-orang kaya. Jika hal itu tidak engkau lakukan, maka campakkanlah ke tanah semua yag telah Kuajarkan kepadamu.”
Diriwayatkan bahwa Abu Darda’ menegaskan : “Aku lebih suka jatuh dari tembok istana dan remuk daripada duduk bersama orang kaya, karena aku mendengar Rasulullah saw. bersambda :
“Waspadalah untuk duduk-duduk bersama orang mati!.”
Seseorang bertanya : “Siapakah orang mati itu?” Beliau menjawab “ Orang-orang kaya.” (Hr. Tirmidzi dan Hakim).
Seseorang berkata kepada ar-Rabi’ bin Khaitsam : “Harga-harga telah naik!.” Dia menjawab : “Kita tidak berharga untuk dibuat lapar oleh Allah. Dia hanya melakukan hal itu pada wali-wali-Nya.”
Ibrahim bin Adham mengatakan : “Kami meminta kemiskinan tapi diberi kekayaan; orang lain meminta kekayaan dapi kemiskinan datang kepada mereka.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Yahya bin Mu’adz : “Apakah kemiskinan itu?” Dia berkata : “Takut pada kemiskinan itu sendiri.” Orang itu lantas bertanya lagi : “Lantas, apa kekayaan itu?” Dia menjawab : Rasa aman di sisi Allah Swt.”
Ibnu Karainy berkata : “Orang miskin yang sejati, menjauhi kekayaan agar kekayaan tidak mendatanginya dan merusak kemiskinannya; sebagaimana halnya orang kaya menjauhi kemiskinan, agar kemiskinan tidak mendatanginya dan merusak kekayaannya.”
Abu Hafs ditanya : “Dengan cara pa orang miskin mendektai Allah?” Dia menjawab : “Orang miskin tidak memiliki apa-apa selain kemiskinannya yang dengan kemiskinan itu dia mendekati Allh swt.”
Allah swt. mewahyukan kepada Musa a.s. : “Maukah engkau memperoleh pahala amal kebajikan yang setara dengan pahala seluruh ummat manusia di Hari Kiamat nanti?” Musa menjawab : “Ya” Allah swt. berfirman : “Kunjungilah orang sakit dan pastikanlah bahwa orang-orang miskin punya pakaian.” Musa lalu menyisihkan tujuh hari setiap bulan untuk mengunjungi oang-orang miskin dan memeriksa pakaian mereka serta mengunjungi orang sakit.”
Sahl bin Abdullah menyatakan : “Ada lima mutiara jiwa : Seorang miskin yang berpura-pura kaya, orang lapar yang berpura-pura kenyang, seorang yang bersedih yang berpra-pura bahagia, seseorang yang punya musuh tapi memperlihatkan kecintaan terhadapnya, seseorang yang berpuaa di siang hari dan bangun di malam hari tanpa memperlihatkan kelelahan.”
Bisyr ibnul Harits berkata : “Maqam yang paling baik adalah maqam keyakinan yang kokoh dalam kesabaran melalui kemiskinan sampai masuk liang lahat.”
Dzun Nuun mengatakan : “Suatu tanda kemurkaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa so hamba merasa takut kepada kemiskinan.”
Asy-Syibly berkomentar : “Tanda kemiskinan yang paling kecil adalah jika seluruh kekayaan dunia ini diberikan kepada seseorang dan kemudian disedekahkannya sampai habis dalam waktu satu hari, tetapi kemudian terlintas dalam pikirannya untuk menyimpan hartanya bagi esok hari. Yang demikian itu tidak bisa dianggap benar dalam kemiskinannya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Orang bertanya mana yang lebih baik; kemiskinan atau kekayaan. Menurut pendapatku, yang paling baik adalah bahwa seseorang diberi rezeki yang cukup untuk menghidupinya dan dia lalu menjaga dirinya dalam batas tersebut.”
Ibnul Jalla’ ditanya tentang kemiskinan. Dia diam saja, kemudian mengundurkan diri dan pergi. Sesaat kemudian dia kembali dan berkata : “Aku punya empat keping mata uang itu, Aku amlu kepada Allah swt. untuk membicarakan kemiskinan.” Kata Ibnul Jalla’, Kemudian aku pergi dan mengeleuarkan uang itu. Barulah aku  berbicara tentang kemiskinan.”
Ibrahim ibnul Muwallad berkata : “Aku bertanya kepada Ibnul Jalla’ : “Kapankah orang-orang miskin patut disebut miskin?” Dia menjawab : “Jika tak ada lagi sesuatu pun darinya yang tersisa padanya.” Ibrahim bertanya : “Bagaimana bisa begitu?” Dia menjawab  : “Jika dia memilikinya, berarti dia tidak memiliki kemiskinan. Tapi jika dia tak lagi memilikinya, berarti dia memiliki sebutan kemiskinan itu.”
Dikatakan bahwa keadaan miskin yang benar adalah jika si miskin tidak merasa puas dengan aspek mana pun dari kemiskinannya selain dengan Dia yang dibutuhkannya.
Abdullah ibnul Mubarak menyatakan : “Membuat diri sendiri tampak kaya sedangkan ia dalam keadaan miskin, adalah lebih baik daripada kemiskinan.”
Banan al-Mishry menuturkan : “Suatu ketika aku sedang duduk-duduk di Mekkah, dan seorang pemuda berada di depanku. Seorang laki-laki datang kepadanya dengan membawa sebuah pundi-pundi berisi uang dan meletakkannya di hadapan pemuda itu. Pemuda itu berkata : “Aku tak membutuhkannya.” Orang itu berkata : “Kalau begitu, bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin.” Petang harinya kulihat pemuda itu ada di lembah sedang mengemis. Aku bertanya : “Alangkah baiknya jika engkau menyimpan sedikit dari uang tadi untuk dirimu sendiri.” Dia menjawab : “Siapa yang tahu kalau aku masih akan terus hidup sampai petang ini.?”
Abu Hafs berkata : “Cara paling baik bagi seorang hamba untuk menemui Tuhannya adalah dengan terus menerus fakir kepada-Nya dalam setiap keadaan, memathi Sunnah dalam semua amal perbuatan, dan mencari rezeki dengan jalan yang halal.”
Al-Murta’isy berkomentar : “Yang paling baik adalh bahwa cita-cita orang miskin itu tidak melampaui langkah-langkahnya.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary menuturkan : “Ada empat orang yang merupakan model manusia pada masa mereka. Yang pertama, yaitu Yusuf bin Asbat, tidak mau menerima pemberian apa pun dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Dia mewarisi uang sebanyak tuju puluh ribu dirham dari saudara laki-lakinya tapi dia tidak mau menerima satu sen pun darinya. Ia hidup dengan menjual daun kurma. Yang kedua, Abu Ishaq al-Fazzary, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya ataupun dari penguasa. Pemberian itu dihabiskannya untuk kebutuhan orang-orang miskin yang kemiskinannya tersembunyi dan yang tidak meminta-minta sedekah. Adapun pemberian dari menguasa, maka itu diberikannya kepada orang-orang yag patut menerimanya di kalangan warga Tarsus. Yang ketiga , Abdullah bin Mubarak, mau menerima pemberian dari saudara-saudaranya, lalu dibagi-bagikannya kepada orang lain secara adil, tetapi ia tidak mau menerima dari penguasa, Yang keempat, Makhlad bin-alHussain, mau menerima pemberian dari penguasa, tapi tidak dari saudara-saudaranya. Dia mengatakan : “Penguasa tidak menganggap ada orang yang wajib untuk diberi, sedangkan saudara-saudara menganggap ada.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq – semoga Allah swt. merahmati – berkata : “Ada sebuah hadis yang mengatakan. “Orang yang merendahkan diri di hadapan orang kaya dikarenakan kekayaannya, berarti ia teleh kehilangan dua pertiga agamanya.: Ini disebabakan bahwa seorang manusia terdiri dari hati, lidah dan nafsu. Jika dia merendahkan diri dengan nafsu dan lidahnya, maka dia kehilangan dua pertiga agamanya. Tetapi jika dia merendahkan diri di hadapan orang kaya itu dengan hatinya juga, maka dia kehilangan seluruh agamanya.”
Dikatakan : “Seorang miskin dalam menjalani kemiskinannya dituntut paling tidak agar dia memiliki empat hal; ilmu yang akan menjadi pertimabngannya, sikap zuhud yang akan mengendalikan dirinya, keyakinan yang akan menguatkan imannya, dan dzikir yang akan membawakan kegembiraan jiwanya.”
Dikatakan juga : “Orang yang menginginkan kemiskinan untuk kemuliaannya, ia mati dalam keadaan fakir. Barangsiapa ingin miskin agar tidak disibukkan dengan selain Allah, akan mati dalam keadaan kaya.”
Al-Muzayyin menyatakan : “Berbagai jalan kepada Alalh swt. lebih banyak daripada bintang di langit. Tapi sekarang tak satu pun diantaranya yang tersisa selain kemiskinan dan kemiskinan adalah jalan yang terbaik di antara jalan-jalan itu.”
Ketika ditanya tentang hakikat kemiskinan, Asy-Syibly menjawab : “Hakikat kemiskinan adalah bahwa si hamba tidak merasa puas selain Allah swt.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Abu Sahl al-Khasysyab al-Kabir mengatakan kepadaku : “Kemiskinan adalah kemiskinan dan kehinaan.” Aku menjawab : “Bukan, justru katakan, : “Kemiskinan dan lumpur.” Aku membalas : “Bukan, kemiskinan dan tahta Ilahi.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkomentar tentang hadis nabi saw. :
“Hampir-hampir kefakiran itu menjadi kekufuran.”
(H.r. Abu Nu’aim dan Thabrani).
Maka Syeikh mengatakan : “Bahaya yang bisa timbul dari sesuatu adalah berbandnig terbalik dengan manfaat dan kebajikan yang terkandung di dalamnya. Apa pun yang sangat bermanfaat dalam dirinya sendiri, mengandung bahaya yang paling besar pada sisi lainnya. Begitulah halnya dengan iman. Karena ia sifat yang paling baik, maka kebalikannya adalah kekafiran. Karena bahaya yang terkandung dalam kemiskinan adalah bahwa ia bisa menjadi kufur kepada Allah swt. menunjukkan bahwa  kemiskinan adalah sifat yang paling mulia.”
AL-Junayd mengaarkan : “Jika engkau bertemu dengan seorng miskin, hadapilah ia dengan budimu, bukan dengan ilmu mu. Kebaikan budi akan mendekatkannya, sedang ilmu akan menakutkannya.” Saya bertanya : “Wahai Abul Qasim, apakah ilmu benar-benar menjauhkan orang miskin?” Dia menjawab : “Ya, jika si orang miskin bersikap benar dalam kemiskinannya, dan engkau mencurahkan ilmumu kepadanya, maka ilmumu itu akan meleleh seperti melelehnya timah kena api.”
Mudzaffar al-Qurmisainy berkata : “Orang miskin adalah orang yang tak membutuhkan suatu kebutuhan dirinya kepada Allah swt.” Ucapan ini mempunyai makna yang samar-samar jika dipahami oleh orang yang tak memahami tujuan sang Sufi. Ucapan ini semata-mata menunjukkan dihentikannya mengajukan tuntutan, berakhirnya pilihan, dan ridha terhadap apa pun yang ditakdirkan Alalh swt.”
Abdullah bin Khafifi mengatakan : “Kemiskinan berati tidak memiliki harta benda dan meninggalkan aturan-aturan manusiawi.”
Abu Hafs berkata : “Kemiskinan tidaklah sempurna bagi siapa pun sampai dia lebih mengutamakan memberi daripada menerima. Kemurahan hati bukanlah orang yang berpunya memberi kepada yang tidak punya, melainkan orang yang tidak ebrpunya memberi kepada orang yang punya.”
Ibnul Jalla menegaskan : “Seandainya tidak karena adanya tujuan lebih agaug dalam tawadlu; niscaya akan menjadi cara orng miskin untuk berjalan dengan sikap penuh kebanggaan.”
Yusuf bin Asbat berkata : “Salam empatpuluh tahun aku hanya memiliki dua lembar baju.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku melihat seolah-olah Hari Kiamat sudah tiba. Sebuah suara mengatakan : “Bahwa Malik Bin Dinar dan Muhammad bin Wasi’ ke dalam surga.” Maka aku perhatikan siapa di antara keduanya yang lebih dahulu msuk, dan ternyata orang itu adalah Muhammad bi Wasi’. Ketika aku bertanya mengapa dia didahulukan, dijelaskan kepadaku : “Dia hanya memiliki selembar baju, sedangkan Malik dua.”
Muhammad al-Masuhy berkata : “Orang miskin adalah orang yang tidak membutuhkan terhadap sesuatu pun bagi dirinya dari harta benda duniawi.”
Sahl bin Abdullah ditanya : “Kapankah orang miskin bisa beristirahat?” Dia menjawab : “Jika dia tidak mengharapkan apa pun bagi dirinya sendiri selain saat kekiniannya.”
Di hadapan Yahya bin Mu’adz, orang-orang Sufi berdiskusi soal kefakiran dan kekayaan, dia berkata : “Bukanlah kemiskinan ata kekayaan yag memiliki bbot di Hari Perhitungan. Hanya kesabaran dan syukurlah yang akan ditimbang. Jadi kelak akan dikatakan; Orang ini bersyukur, atau orang ini bersabar.”
Dikaakan Allah sw. Mewahyukan kepada sebgain pra Nabi-Nya : “Jika kamu ingin mengetahui ridha-Ku padamu, maka lihatlah bagaimana ridhanya si fakir kepadamu.”
Abu Bakr bin Nashr az-Zaqqaq berkata : “Orang yang tidak punya rasa takut kepada Allah swt. bersama dengan kemiskinannya berarti seluruh makanan yang dikonsumsinya benar-benar makanan haram.”
Dikatakan bahwa orang-orang miskin di pengajian-pengajian Sufyan ats-Tsaury adalah laksana para pangeran. Abu Bakr bin Thahir menyatakan, : Di antara aturan-aturan orang miskin adalah bahwa dia tidak punya keinginan, kalaupun dia berkeinginan juga, jangan sampai keinginannya melebihi kebutuhannya.”
Ibnu Atha’ membacakan syair untuk para Sufi :
Meraka berkata, esok adalah hari raya. Apa yang akan kau pakai?
Kukatakan, Jubah kehormatan yang diberi-Nya.
Yang mecurahkan cinta dengan penuh kemurahan hati
Kemiskinan dan kesabaran, adalah pakaianku yang di bawanya
Ada satu hati bagi kekasihnya, yaitu
Hari Jum’at dan hari Raya
Pakaian yang paling layak untuk menemui Kekasih pada hari
Ziarah adalah pakaian yang dicintai-Nya.
Tahun-tahun penuh berkabung bagiku jika Kau tak ada,
Wahai Harapanku,
Hari Raya adalah hari ketika aku melihat dan mendengar suara-Mu.
Ketika ditanya tentang orang miskin sejati, Abu Bakr al-Msihry menjawab : “Dia adalah orang yang tidak memiliki sesuatu dan tidak pula berkeinginan memiliki sesuatu.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Aku lebih menyukai rasa fakir kepada Alalh swt. secara langgeng, dibanding memasuki dunia Sufi dengan penuh takjub.”
Abu Abdullah al-Hushry menuturkan : “Abu Ja’far al-Haddad bekerja selama duapuluh tahun, dengan penghasilan satu dinar setiap hari. Uang itu dibelanjakannya untuk orang-orang miskin sementara dia sendiri berpuasa, setelah itu dia akan berkeliling mencari sedekah setalah shalat maghrib untuk berbuka puasa.
An-Nury menyatakan : “Tanda seorang miskin adalah kerelaan manakala dia tidak punya apa-apa dan memberi dengan murah hati manakala dia punya banyak rezeki.”
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Ada seorang pemuda bersama kami di Mekkah yang memakai pakaian kumal dan bertambal-tambal> Dia tidak pernah ikut serta dalam percakapan kami ataupun duduk bersama kami. Dalam hati aku sangat merasa sayang kepadanya. Suatu ketika aku diberi uang duaratus dirham dari sumber yang halal. Uang itu kubawa kepadanya. “Uang ini telah datang kepadaku dari sumber yag halal. Belanjakanlah untuk keperluanmu.” Saraya memandang kepadaku dengan sikap merendahkan, dia mengungkapkan apa yang selama ini tidak kukeetahui.” Saya membeli kesempatan untuk bisa duduk bersama Alalh swt. dalam pengabdian yang leluasa ini dengan harga tujuh puluh ribu dinar dari harta benda dan kebun-kebun saya. Sekarang Anda hendak menyesatkan saya dari keadaan saya sekarang ini dengan uang itu ke tanah.” Ia lalu berdiri dan menolaknya. Aku duduk dan mengumpulkan uang itu dari tanah. Belum pernah aku menyaksikan kegagahan seperti kegagahan pemuda itu ketika ia berjalan pergi, ataupun kehinaan seperti kehinaanku ketika aku mengumpulkan uang itu.”
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Aku belum pernah diwajibkan membayar zakat fitrah pada akhir Bulan Ramadhan selama empat puluh tahun, sementara aku diterima dengan penuh penghormatan di kalangan kaum terpilih maupun kaum awam.”
Ketika ad-Duqqy ditanya tentang perilaku buruk di kalangan para fakir di hadapan Allah dalam urusan-urusan mereka, dia berkata, “Perilaku buruk itu adalah kejatuhan mereka dari upaya mencari hakikat menjadi upaya mencari Ilmu.”
Khayr an-Nassaj menuturkan : Alu memasuki sebuah masjid dan melihat ada seorang kafir di situ. Ketika dia melihatku, dipegangnya bajuku sambil memohon : “Wahai Syeikh, kasihanilah aku, karena penderitaanku sangat besar!” Aku bertanya : “Apa yang kau derita?” Dia menjawab : “Aku telah tidak lagi diberi cobaan, dan selalu dalam  keadaan sehat wal afiat!.” Aku memandangnya, tiba-tiba ia telah dibukakan sedikir harta dunia.”
Abu Bakr al-Warraq berkata : “Berbahagialah orang yang miskin di dunia dan di akhirat.” Ketika ditanya apa maksud perkataannya itu, dia menjawab : “Penguasa di dunia tidak menunut pajak darinya, dan Yang Maha Kuasa di akhirat tidak membuat hisab dengannya.”

39.
TASAWUF
Edit : Pujo Prayitno
Kesucian (Shafa”) adalah sifat terpuji dalam setiap ucapan, Lawannya, yakni kekotoran yang tercela.
Dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Abu Juhaifah yang menuturkan : “Pada suati hari rasulullah saw. keluar menemui kami dengan roman wajah yang berubah, lalu beliau bersabda : “
“Kesucian dunia telah lenyap, yang tinggal hanya kekotoran. Hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap Muslim.” (H.r. Daraquthi, namun riwayat dari Jabir)>
Kata Sufi telah menjadi sebutan umum bagi kelompok ini. Jadi seseorang dikatakan seoran Sufi dan kelompoknya disebut Sufiyah. Orang yang berusaha menjadi Sufi disebut mutashawwif, dan jumlahnya disebut mutashawwifah.
Tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan Sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa Sufi banyak serupa dengan laqab (gelar).
Ada orang-orang gyang mengatakan bahwa kata Sufi diambil dari kata souf (bulu). Jadi, Tashawwuf (tasawuf) digunakan dengan artian “memakai kain bulu” sebagamana kata taqammus digunakan dengan arti “memakai baju” (qamis). Itu hanya satu panangan saja. Tapi sesungguhnya kaum Sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari bulu.
Ada pendapat mengatakan bahwa kaum Sufi berhubungan dengan serambi (Shuffah) masjid Rasulullah saw. Tetapi kata Shuffah tidaklah dihubungkan dengan Sufi.
Kelompok lain mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari kata shafa’, yang berarti “kemurnia”. Pengertian kata Sufi dan shafa’ tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa. Sebagian orang mengatakan bahwa kata Sufi berasal dari shaff, yang berarti barisan, seakan-akan dikatakan hati mereka ada di barisan depan dalam muhadharah di hadapan Allah swt. Ini memang benar dalam arti. Namun kata Sufi tidak bisa menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Kesimpulannya, kelompok ini begitu terkenal sehinga tidaklah perlu mencari analogi atau penurunan akar kata untuk sebutan bagi mereka.
Setiap orang yang berbicara tentang arti tasawuf, selalu bertanya, apa arti tasawuf?” Dan siapa yang disebut Sufi?” Setiap ungkapan selalu dikaitkan denganpengamalamannya sendiri. Kami akan menyebutkan sebagia ucapan mereka secara sekilas ssaja. :
Ketika Muhammad al-Jurairiy ditanya tentang tasawuf, dia menjelaskan : “Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhllak yang tercela.”
Al-Junayd ditanya soal Tasawuf, ia menjawab : “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, ketika ditanya tentang Sufi menjawab : “Kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun yang menerimanya, dan juga tak menerima siapapun.”
Abu Hamzah al-Baghdady berkata : “Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, dan dia bersembunyi setelah terkenal. Tanda seorang Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tersembunyi.”
Amr bin Utsman al-Makky al-Qashshab mengatakan : “Tasawuf adalah ahlak mulia, dari orang yang mulia, di tengah-tengah kaum yang mulia.”
Ketika ditanaya tentag tasawuf, Sumnun berkata : “Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki oleh apa pun.”
Ruwaym ditanya tentang tasawuf : “Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan ap pun yang dikehendaki-Nya.”
Al-Junay ditanya tentagn Tasawuf : “Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah Swt. tanpa keterikatan apa pun.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tasawuf didasarkan pada tiga sifat : memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan cara mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri; dan meninggalkan sikap menentang dan memilih.”
Ma’ruf al-Kahkhy menjelaskan : “Tsawuf artinya memihak pada hakikat-hakikat, dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk.”
Hamdun al-Qashshar berkata : “Bersahabtlah dengan para Sufi, karena mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbutan yang tak baik, dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan sesuatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakannya.”
AL-Kharraz menjawab, ketika ditanya tentang hali tasawuf : “Mereka adalah kelompk manusia yang mengalamai pelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudain mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya : “Ingatlah!” Menangislah kalian karena Kami.”
Al-Junayd berkata : “Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.” Dia berkata pula : “Para sufi adalah anggota dari suatu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.” Selanjutnya dia juga menjelaskan lagi : “Tasawuf adalah dzikir bersama ekstase yang disertai penyimakan, dan tinndakan yang didasari Sunnah.”
Al-Junayd menyatakan : “Kaum Sufi adalah seperti bumi, selalu semua kotoran dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan kecuai segala tumbuhan yang baik. Dia juga mengatakan : “Seorang Sufi adalah bagaikan bumi, yang diinjak orang saleh maupun pendosa; Juga seperti mendung memayungi segala yang ada; “Seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.” Dia melanjutkan : “Jika engkau melihat seorang Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah wujud batinnya rusak.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
Ahmad an-Nury berkata : “Tanda seorang Sufi adalah dia merasa rela manakala tidak punya, dan peduli orang lain ketika ada.”
Muhammad bin Ali al-Kattany menegaskan : “Tasawuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam kahlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam tasawuf.”
Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary mengatakan : “Tasawuf adalh tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau di usir.” Dia juga mengatakan : “Tasawuf adalah sucinya taqarrub setelah kotornya kejauhan dari-Nya.”
Dikatakan : “Orang yang paling kotor adalah seorang Sufi yang amat kikir.”
Dikatakan : “Tasawuf adalah tangan yag kosong dan hati yang baik.”
Asy-Syibly mengatakan : “Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt. anpa hasrat.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang mengisyaratkan dari Allah swt, sedangkan manusia mengisyaratkan kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly mengatakan : Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt. sebagaimana difirmankan Allah swt. kepada Musa : “Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” (Qs. Thaha :41). Dan memisahknnya dari yang lain. Kemudian Allah swt. berfirman kepadanya : “Engkau tidak akan melihat-Ku.” Asy-Syibly juga mengatakan : “Para Sufi adalah anak-anak dipangkuan Tuhan Al-Haq.” Katanya : “Tasawuf adalah kilat yang menyala.” Dan “Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
Ruway berkata : “Para Sufi akan tetap penuh dengan kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tak ada lagi kebaikan pada mereka.”
Al-Jurairy mengatakan : “Tasaswuf berarti kesadaran atas keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
Al Muzayyin menegaskan : “Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
Askar an-Naksyaby menyatakan : “Seorang Sufi tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, tapi menyucikan segala sesuatu.”
Dikatakan : “Pencarian tidaklah meletihkan sang Sufi, dan hal-hal  duniawi tidaklah mengganggunya.”
Ketika Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang orang-oarng Sufi, dia menjawab : “Mereka adalah kaum yang mengutamakan Allah swt. di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah swt. di atas segala makhluk yang ada.”
Muhammad al-Wasithy mengatakan : “Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan, dan sekarang tak ada sessuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
An-Nury ditanya tentang Sufi, dan dia menjawab : “Sufi adalah manusia yang menyimak pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab yang diridhai.”
 Abu Nashr as-Sarraj ath-Thausy berkata : “Aku bertanya kepada Ali-al-Hushry.’ Sipakah, menurutmu sufi itu?” Dia menjawab : “Yang tidak dibawah bumi dan tidak dinaungi langit.” Dengan ucapannya, menurut saya, ini al-Hushry merujuk pkepada nuansa keleburan.”
Dikatakan : “Sufi adalah orang yang manakala ddisuguhi dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik diantaranya.”
As-Syibly ditanya : “Mengapa para Sufi itu disebut sufi?” Dia menjawab : “Hal itu karena adanya sessuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
Ahmad ibnul Jalla’ ditanya : “Apakah yang disebut Sufi?” Dia menjawab : “Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersamma Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swt. tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
Abu Ya’qub al-Mazabily menjelaskan : “Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
Abul Hasan as-Sirwany mengatakan : “Sufi adalah yang bersama ilham, bukan dengan wirid-wirid yang menyertainya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah : “Iilah jalan yang cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt. untuk menyapu kotoran binatang.”
Abu Ali pada suatu hari menyatakan : “Seandinya sang fakir tak punya apa-apa lagi yag tersisa selain ruhnya, dan ruhnya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang akan menaruh perhatian kepadanya.”
Syeikh Abu Sahl ash-Sha’luky berkata : “Tasawuf adalah berpaling dari sikap menetang ketetapan Allah swt.”
Al-Hushry berkomentar : “ Sang Sufi tiada setelah ketiadaannya, dan tidak pula tiada setelah keberadannya.” Ucapan ini tidak mudah dipahami. Kata-kata : “Dia tiada setelah ketiadaannya,” berarti bahwa setelah cacat-cacatnya hilang , cacat-cacat itu tidak akan kembali. Perkataan. : “Tidak pula dia tiada setelah keberadaanya,” berarti bahwa dia sibuk bersama Alalh swt. tidak akan gugur karena gugurnya makhluk. Sluruh peristiwa dunia tidaklah mempengaryhinya.
Dikatakan : “Sang Sufi terhapuskandalam kilasan yang diterimanya dan Alalh swt.”
Dikatakan pula : ‘Sang Sufi terkungkung dalam pelaksanaan Rububiyah dan tertutupi melalui pelaksanaan ubudiyah.”
Juga dikatakan : “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya dia berubah, dia tidak akan ternodai.”

40.
ADAB
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Penglihtannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :17).
Dikatakab bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah.”
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim :6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan : “Didiklah dan ajarilah mereka adab.”
Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah si Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak.”
Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula metetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”
Nabi saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya.” Beliau juga mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti.”
Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menenpatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.”
 Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”
Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia meenjawab : “Maksudku engkau harus mempraktikan adab kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian dia membacakan Syair :
Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya
Jika diam, duhai cantinya
Bdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian.”
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab : “Ma’rifat mengenai Ktuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa.
Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk dipelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang.”
Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?” Dia menjawab : “Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Para sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya.”
Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan : “Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab meninggalkan kita.”
Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk; 2). Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang menyakitkan.”
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini, tentag adab :
Orang asing tak terasing
Bila dihiasi tiga pekerti
Menjalan adab, diantaranya,
Dan kedua berbudi baik.
Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!>” Abu Hafs menjawab : “Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya tobatnya pemula.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya adabmu!.” Sang Sufi menjawab : “Aku tidak mempunyai adab buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang mengajarmu adab?” Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”
Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan : “Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2). Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3). Kaum terpilih (ahlul Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, menjaankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”
Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan : “Orang yang gmenundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus,”
Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai kecuali oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka --- dan penegak kebenaran (shiddiqin).”
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang mendidik hatinya.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman : “Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Ku-buka padanya jauh dari hakikatDzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau sukai; adab atau kebinasaan.”
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata : “Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab.” Statemen ini didukung oleh hadis yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda. “Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya.??” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair berikut :
Dalam diriku penuh santun nan ramah,
Maka, bila berhadapan dengan mereka
Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.
Aku berbicara apa adanya
Tanpa malu-malu
Al-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah menghujam sang pecinta, adab akan menjadi keniscayaannya.”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.”
Mengenai ayat :
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang.” (Qs. Al-Anbiya :83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub tidak mengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata karena beradab dalam berbicara pada Tuhan.”
Begitu juga Isa as. Mengatakan :
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).
“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “ Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya.”
Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata : “Wahai Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda mengatakan sesuatu yagn tak berkenan pada benaknya.” Dia menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab : “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengeathui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.” Katika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.” Aku menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahgia?” Dia berkata : “Wahai Abul Qasim, saya bertobat!.” Maka aku pun menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”

41.
TATA ATURAN BEPERGIAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dia-lah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan.” (Qs. Yunus :22).
Riwayat dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. apabila menaiki unta untuk bepergian, selalu bertakbir tiga kali, kemudian membaca :
“Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.” (Qs. Az-Zukruf : 13-4).
Kemudian dialnjutkan dengan doa :
“YA Allallh, sesungguhnya kami bermohon kepada-Mu, agar dalam bepergian kami senantiasa dipenuhi kebajikan dan takwa, melakukan perbuatan yang Engkau ridhai, dan mudahkanlah kami dalam perjalanan kami. Ya Allah, Engkau-lah yang menjadikan Pendamping dalam bepergian, sebagai Khalifah bagi keluarga dan harta. YA Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran perjalanan, dan dari kebinasaan yang cepat, dan dari keburukan pandang pada harta dan keluarga.” Apabila Nabi pulang, selalu mengucapkan pada istri-istrinya, dan ditambah dengan doa : “(kami) orang yang kembali, tergolong orang yang bertobat, dan kepada Tuhan kami, sama-sama memuji (H.r. Muslim).
Karena soal bepergian sering disebut oleh Kaum Sufi, maka kami secara khusus membuat bab dalam Risalah ini, mengingat masalah bepergian termasuk masalah besar bagi mereka. Tampaknya di antara kaum Sufi sendiri terjadi perbedaan. Ada di antara mereka yang memprioritaskan berdiam diri di rumah, daripada bepergian, kecuali dengan suatu tujuan, seperti naik haji. Namun pada umumnya mereka lebih banyak diam di rumah, seperti al-Junayd, Sahl bin Abdullah, Abi Yazid al-Birhamy, Abu Hafs dan yang lain. Tetapi juga ada yang lebih senang bepergian. Hal demikian dilakukan sampai akhir hayatnya, seperti Abu Abdullah al-Maghriby, Ibrahim bin Adham dan yang lainnya. Rata-rata mereka bepergian pada awal masa mudanya, ketika menjalani perilaku ruhani, kemudian akhirnya berdiam diri, tidak lagi pergi pada akhir perjalanan ruhaninya, seperti yang dilakukan Sa’id bin Ismail al-Hiry, Dulaf asy-Syibly dan yang lain. Masing-masing memiliki prinsip, dimana tharikatnya mereka bangun.
Perlu diketahui, bahwa bepergian itu ada dua macam : Pertama : pergi secara fisik, yaitu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan kedua, bepergian secara ruhani, yaitu mendaki dari satu tangga sifat ke sifat lain. Banyak orang yang memandang bepergian dengan fisik mereka, dan sedikit sekali pandangan tentang bepergian melalui hati mereka.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ada seorang Syeikh dan kalangan Sufi di sebuah desa di luar Naisabur. Ia memiliki beberapa karya tulis. Suatu ketika beberpa orang bertanya padanya : ‘Apakah engkau bepergian, wahai syeikh?” Syeikh itu menjawab : Bepergian di bumi atau bepergian ke langit?” Kalau bepergian di muka bumi, tidak. Tapi kalau bepergian ke langit, memang benar.”
Saya juga mendengar Syeikh Abu Ali berkisah : “Suatu hari, sebagian fakir datang padaku ketika aku di Marw. Si fakir itu berkata padaku : “Aku telah menempah perjalanan jauh yang meletihkan, hanya untuk menemuimu.’ Aku menjawab : Sebenarnya Anda cukup selangkah saja, kalau Anda mau pergi dari dirimu sendiri.”
Kisah-kisah bepergian mereka bermacam-macam, baik dalam ragam maupun tingkah laku mereka. Ahnaf al-Hamdani berkata, : “Aku berada di tengah padang pasir dalam keadaan sendirian dan sangat lelah, kemudian aku mengangkat tangan, sembari berdoa : “Ya Tuhan, sungguh suatu saat yang letih, padahal aku datang untuk menjadi tamu-Mu.” Tiba-tiba muncul intuisi dalam hatiku : “Siapa yang mengundang kamu.” Aku berkata : “Oh Tuhan, adalah kerajaan yang termasuk di sana Thufaily.” Muncul kembali bisikan dari belakangku. Aku menoleh, tiba-tiba ada seorang Badui di atas kendaraannya, sambil berucap : “Hai orang ajam, mau ke mana kamu!” Kukatakan : “Menuju ke Mekkah al Mukarramah, semoga Allah swt. menjaganya.” Si Badui itu berujar, : “Apakah Allah mengundangmu?” Aku menjawab : “Aku tidak tahu.” Selanjutnya orang itu berkata : “Bukanlah Allah swt. berfirman : ..... bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah?” (Qs. Ali Imran :97). Kukatakan padanya : “Kerajaan kan luas termasuk Thufaily.” Tiba-tiba ia menyahut : “Wahai Thufaily, ternyata adalah engkau. Apakah engkau berkenan untuk diantar unta?” Kujawab : “Ya!” Lelaki Badui itu turun dari kendaraannya dan memberikan unta itu padaku, dan berkata, : “Berjalanlah di atas unta.”
Sebagian para fakir berkata kepada Muhammad al-Kattany : “Berilah aku wasiat.” Jawab al-Kattany : Tekunlah kamu, agar setiap malam menjadi tamu masjid, dan kamu tidak mati kecuali di antara dua tempat itu.”
Ali-al-Hushry berkata : “Sekali duduk lebih baik dibanding seribu argumentasi. Yang dimaksud dengan sekali duduk, adalah upaya cita-cita terkumpul menurut sifat penyaksian. Sepanjang umurku, sungguh yang demikian lebih baik daripada seribu argumentasi menurut sifat kegaiban.”
Muhammad bin Ismail al-Farghany berkata : “Kami bepergian selama kira-kira duapuluh tahun, saya dan Abu Bakr az-Zaqqaq serta Muhammad al-Kattany. Selama itu kami tak pernah bergaul atau bercampur dengan sesama orang. Bila kami datang ke suatu negeri, --- kalau di sana ada seorang syeikh – kami membei salam dan mengikuti majelisnya hingga malam hari, kemudian kami kembali ke masjid. Semetara Muhammad al-Kattay selalu shalat dari awal hingga akhir malam, mengkhatamkan Al-Qur’an. Sedangkan Az-Zaqqaq duduk menghadap kiblat. Aku sendiri bertafakur, hingga dini hari. Kami bersama shalat fajar, dengan lebih dahulu wudhu pada sepertiga malam terakhir. Bila ada orang yang masih tidur, kami melihatnya.”
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai etika bepergian, katanya : “Hendaknya cita-citanya tidak melampaui langkahnya. Bila di mana saja hatinya ingin berhenti, di sanalah tempat tinggalnya.”
Diriwayatkan dari Malik bin Dinar yang berkata : “Allah swt. memberi wahyu kepada Musa as : “Ambillah dua sandal dari besi, dan tongkat dari besi. Kemudian hentakkan di muka bumi, dan raihlah kebajikan dan pelajaran, sampai kedua sandal menjadi robek dan tongkat terbelah.”
Dikatakan : “Muhammad bin Ismail al-Maghriby senantiasa melancong disertai para murid-muridnya. Ketika sedang ikhram, dan sudah tahalul dari ihramnya, ia ihram untuk berikutnya. Sementara bajunya tak pernah kotor, kukunya tak pernah panjang, begitu pula rambutnya. Sedangkan murid-muridnya berjalan di malam hari, dibelakangnya. Apabila salah seorang di antara mereka ada yang menyimpang dari jalan yang dilalui, ia selalu menegur : “Hai Fulan, sebelah kananmu, hai si Fulan! Sebelah kirimu. Ia pun tidak pernah menjulurkan tangannya pada hal-hal yang bisa diraih oleh manusia. Makanannya hanya kar tumbuh-tumbuhan yang diambil kemudian dipotong untuk dimakan. Bahkan dikisahkan, bila ada teman yang berkta padanya : “Berdirilah.” Ia selalu menjawab : “Kemana?” Maka ia tak punya teman.”
Seorang penyair berdendang :
Bila mereka minta bantuan
Tidaklah meminta orang yang memanggil mereka
Di mana pun suatu peperangan
Ataukah di temepat manapun juga.
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Ribathy, berkata : “Aku menemani Abdullah al-Maruzy, dan ia sedang memasuki padang pasir tanpa bekal maupun kendaraan, sebelum aku menemaninya. Ketika aku telah menemani, ia berkata kepadaku :
“Mana yang lebih Anda cintai, Anda pimpinannya atau aku.”
“Tidak, aku lebih senang Anda saja.” Kataku.
“Kalau begitu Anda harus patuh.”
“Ya” jawabku.
Kemudian ia mengambil keranjang untuk ditempati bekal, lalu keranjang itu ia panggul di atas punggungnya. Bila aku minta beban itu dengan kataku : “Mana, berikan keranjang itu, aku bawakan.” Pintaku. Ia lantas menjawab : “Akulah pemimpin, dan Anda harus patuh.”
Tiba-tiba suatu malam turun hujan hingga pagi. Hujan itu membasahi kepalaku, sementara kain penutup miliknya ia bentangkan untuk menghalangi air hujan padaku. Aku berkata dalam hatiku : “ah, celaka bila aku mati, padahal belum kukatakan padanya : “Engkaulah pemimpin!.” Lalu ia berkata padaku : “Bila Anda bersahabt dengan orang lain, maka temanilah ia seperti Anda melihat bagaimana aku menemanimu.”
Seorang pemuda datang pada Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary. Ketika ia hendak keluar, ia berkata : “Syeikh mengatakan sesuatu. “Hai anak muda, mereka tidak berkumpul karena janji, tidak pula berpisah melalui musyawarah.”
Abu Abdullah an-Bashibainy berkisah : “Aku mengembra selama tiga puluh tahun, tak pernah sekalipun aku menambal pakaianku yang sobek. Aku juga tak pernah mampir ke suatu tempat yang kuketahui, bahwa di tempat itu ada seorang teman. Aku tak pernah membiarkan seseorang yang membawa beban, bila ia bersamaku.”
Ketahuilah, para sufi saling menepati adab penghadiran jiwa melalui mujahadah. Kemudian mereka ingin menyandarkan sesuatu pada mujahadah itu. Lalu mereka menyandarkan aturan-aturan bepergian atau pengembaraan pada cara seperti itu, sebagai olah jiwa untuk keluar dari segala hal yang dimaklumi, dan membawanya untuk berpisah dengan segala pengetahuan, agar senantiasa hidup bersama Allah swt. tanpa ketergantungan dan perantara. Dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan wirid-wiridnya sekalipun dalam masa pengembaraannya. Mereka berkata : “Kemurahan diberikan  pada orang yang bepergian karena darurat. Sedangkan kita, tidak punya kesibukan sama sekali, dan tentunya tidak ada darurat dalam bepergian kita.”
An-Nashr Abadzy berkata : “Sekali waktu, aku pernah merasa tak tahan di padang pasir, sampai aku merasa putus asa. Tiba-tiba mataku melihat rembulan di siang hari itu. Di sana tertulis ayat :
“Maka, Allah akan memberi kecukupan kepada mereka.” (Qs. Al-Baqarah :137).
Sejak saat itu, aku menjadi bebas dan terbuka.”
Abu Ya’kub as-Susy berkata : “Sorang musafir butuh empat hal dalam bepergiannya : ilmu sebagai pertimbangannya; Wara’sebagai pagarnya; kerinduan yang membebaninya; dan akhlak yang menjaganya.”
Dikatakan : “Bepergian menggunakan kata sifr (tulisan), karena merupakan catatan dari akhlak para tokoh.”
Disebutkan : Ibrahim al-Khawwas tidak pernah membawa beban dalam bepergiannya. Hanya saja ia tidak pernah berpisah dengan jatum dan tempat air. Jarum untuk menjahit pakaiannya yan robek, agar auratnya tertutup, sdangkan tempat air digunakan untuk wudhu. Untuk itu pun ia tak pernah bergantung dan memberitahu oarng lain.”
Riwaya dari Abu Abdullah Razy yang berkta : “Aku keluar dari Tharsus memakai sandal, bersama seorang teman. Kami memasuki salah satu perkampungan Syam. Tiba-tiba seorang fakir datang kepadaku dengan membawa sepatu, dan aku menolak untuk menerimanya. Temanku bertanya : “Bukankah ini bisa dipakai, dan Anda kelihatan lelah, padahal toh, Anda telah membuka (mencopo) sandal itu karena aku.” Aku katakan padanya : “Kenapa Anda ini?”
Teman tadi bicara  : “Aku juga mencopot sandalku agar sama dengan Anda, dan menjaga hak persahabatan.”
Dikatakan : “Ibrahim al-Khawwas bepergian bersama tiga kelompok, dimana akhirnya mereka ssampai di sebuah massjid pada suatu lembah. Mereka pun menginap di sana. Masjid itu tak berpintu, sementara udara dingin mencekan mereka. Ketika dini hari bangun, mereka melihat Ibrahim berdiri di sebuah pintu. Mereka bertanya : “mengapa Ibrahim ada di sana? Beliau menjawab : “Aku khawatir jika kalian tercekam kedinginan (sehingga aku berdiri untuk menghalangi udara).” Sungguh, Ibrahim telah berdiri semalam suntuk di pintu itu.”
Dikishakan : “Muhammad al-Kattany minta izin ibunya untuk pergi haji. Ibunya pun memberi izi. Di tengah padang pasir bajunya terkena air kencing. Lalu ia mengatakan : “Sungguh, ini suatu cela bagi keadaan batinku.” Kemudian ia kembali pulang. Ketika mengetuk pintu rumahnya, ibunya menjawab. Setelah pintu dibuka, ia melihat ibunya duduk di belakang pintu. Ia bertanya mengapa sang ibu duduk di sana. Ibunya menjawab : “Sejak engkau keluar, aku bertekad untuk tidak beranjak dari tempat ini, sampai aku melihatmu lagi.”
Ibrahim al-Qashshar berkata : “Saya pergi selama tiga puluh tahun, dalam rangka mendekatkan agar manusia peduli dengan para fakir.”
Seorang laki-laki ziarah ke tempat Dawud ath-Tha’y. Orang itu berkata padanya : “Wahai Abu sulaiman, pada diriku ada rasa yang bertentangan untuk menemuimu sejak beberapa waktu terakhir ini.” Daud menjawab : “Tidak apa-apa. Bila tubuh tak bergerak, hati tentram, maka pertemuan lebih gampang.”
Saya mendengar Abu Nashr ash-Shufy r.a. berkata : “Aku keluar dari Selat Oman, ketika itu perutku terasa lapar. Aku berjalan di pasar, sesampai di kedai makanan, di sana ada beberapa makanan dan manisan. Lalu aku bermaksud minta tolong pada seseorang. Kukatakan padanya : “Bisakah Anda membelikan barang ini untukku?” Lelaki itu menjawab : “Mengapa?” Apakah aku punya tanggungan padamu?” Atau aku punya semacam uang?” Aku menjawab : “Anda harus membelinya untukku.” Tiba-tiba ada seseorang yang melihatku, sembari berkata : “Hai anak muda, tinggalkan dia. Orang yang wajib membelikan apa yang kau mau adalah aku, bukan dia. Silahkan ambil sekehendakmu.” Ia membelikan sesuai apa yang ku maui, dan orang itu pergi begitu saja setelah itu.
Abul Husain al-Mishry berkata : “Aku sepakat dengan asy-Syajary dalam suatu acara bepergian dari Tharablus. Kami berjalan selama beberpa hari, tidak makan sedikitpun. Sejenak aku melihat kambing jantan sudah dimasak. Aku mengambil dan memakannya. Tiba-tiba Syeikh asy-Syajary berpaling kepadaku, sama sekali tidak berucap apa-apa. Lalu kubuang saja makanan itu, karena aku melihat Syeikh tidak suka. Kemudian ia membuka uang lima dinar buat kami. Kami memasuki suatu desa. Aku berkata dalam hati : “Aku akan dibelikan sesuatu, tidak mustahil!.” Namun syeikh tetap berlalu dan tidak berbuat apa-apa, sembari berkata : “Mungkin Anda akan berrkat, ‘Kita ini berjalan dalam keadaan lapar, dan Anda tidak membelikan apa-apa buta kita, begitu?” Kemudian di tengah jalan kami menjumpai orang Yahudi. Dan di sana pula ada seseorang yang memiliki keluarga. Ketika kami masuk ke rumahnya, tampak sekali mereka repot atas kedatangan kami. Kemudian uang itu diberikan pada lelaki tadi, agar membelanjakan untuk kami dan keluarganya. Ketika kami sudah keluar, syeikh itu berkata kepadaku : “Kemana wahai Abul Husein?” Aku menjawab : “Aku berjalan bersamamu.” Beliau menjawab balik : “Tidak, Anda sebenarnya mengkhianatiku ketika melihat kambing jantan (yang masak), dan Anda masih menemaniku. Jangan begitu.” Lantas syeikh itu menolak untuk kutemani.”
Saya mendengar dari Muhammad Abdullah asy-Syirazy yang berkata, bahwa ia mendengar langsung dari Abu Ahmad ash-Shaghir, yang mendengar dari Abu Abdullah bin Khafif yang berkata : “Pada saat awal perjalanan ruhaniku, sebagian para fakir menghadap kepadaku. Ia melihat bekas kesedihan dan kelaparan pada mulutku. Kemudian aku dimasukkan ke dalam rumahnya, dihidangi daging yang dimasak dengan kisyik. Sementara daging itu mulai basi. Aku memakan roti remuk yang direndam, dan menjauhi daging karena basinya. Lantas kau mengambil sesuap, dan memakan dengan hati yang berat. Begitu juga ketika suapan kedua, terasa semakin berat hatiku. Si fakir itu melihat keresahanku, dan wajhnya tampak berubah. Romanku juga ikut berubah melihat perubahan roman si fakir itu. Aku lalu keluar meneruskan perjalanan. Aku mengirim seseorng kepada ibuku agar membawa lembaran (kertas). Ibuku tidak menolak, dan rela atas kepergianku. Aku pun berangkat ke Qadisiah bersama kelompok orang-orang fakir. Kami memakan apa adanya yang ada pada kami, dan kami terancam penderitaan. Akhirnya kami sampai ditengah kehidupan orang-orang Arab, toh, kami tak mendapatkan apa-apa. Kami pun merasa menderita, hingga kami ingin membeli anjing dari mereka dengan beberapa dinar dan memasaknya. Mereka memberi sedikit dagingnya. Namun ketika aku akan memakannya, aku berpikir sejenak tentang keadaanku. Tiba-tiba perasaanku mengatakan bahwa tindakanku membuatnya tersiksas yang memalukan pada si fakir itu. Aku bertobat dalam hatiku. Dan si fakir terdiam, lantas memberi petunjuk jalan padaku. Aku pun berlalu dari tempat itu, dan pergi berhaji. Ketika pulang, aku mohon maaf pada si fakir tadi.”

42.
PERSAHABATAN
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“.......sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata pada sahabatnya : “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (Qs. At-Taubah :40).
Abul Qasim al-Junayd r.a. berkata : “Ketika Allah swt. menetapkan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai sahabt, Allah menjelaskan, bahwa Nabi saw. menampakkan sifat kepedulian yang besar kepadanya. Dalam firman-Nya : “Di waktu dia berkata pada sahabatnya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah berserta kita.” Orang yang merdeka adalah senantiasa peduli atas orang yang menjadi sahabatnya.
Riwayat dari Anas bin Malik r.a. Rasulullah saw. bersabda : “Kapankah aku bertemu kekasih-kekasihku?” Para sahabt menjawab : “Demi ayah, engkau dan ibu kami, apakah kami-kami ini bukan kekasihmu?” Rasul saw. besabda : “Engkau adalah sahabt-sahabtku. Sedangkan kekasih-kekasihku adalah kaum yang belum pernah jumpa denganku, (tetapi) beriman kepadaku. Aku lebih banyak rindu kepada mereka.” (H.r. Abu Syeikh, dalam Bab ats-Tsawab).
Persahabatan itu ada tiga macam : 1) Bersahabt dengan orang yang lebih atas dari Anda. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai rasa bakti; 2). Bersahabat dengan orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan ini menuntut agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat. 3). Bersahabt dengan mereka yang memiliki kemampuan dan pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan yang menuntut sikap memprioriatskan sepenuhnya kepada sahabtnya itu.
Siapa yang bersahabat pada syeikh yang memiliki derajat lebih daripada dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap kontra, bersikap ramah dan respektif kepadanya, dan mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya melalui iman.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata ketika ditanya oleh sebagian murid-murid kami : “Berapa tahun Anda bersahabt kepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?” Beliau melirik dengan tajam kepada penanya, sembari berkata : “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku berkhidmat padanya beberapa saat.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang berada di bawah Anda, maka, suatu penghianatan dalam persahabatannya, adalah ketika Anda tidak memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr : “Dosa kebodohan para fakir ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabt dengan Anda memiliki status yang sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya. Bila tidak ada penafsiran positif, lebih baik Anda menyangka diri Anda telah berbohong dan berhak mendapat celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Ahmad bin Abul Hawary berkata : “Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany : “Ada seseorang yang tidak berkenan di hatiku!.” Lantas Abu Sulaiman menjawab : “Sama, ia juga tak berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi sebelum kita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu apakah kita tidak mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim : “Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab : “Aku tak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”
Dalam hal ini para Sufi bersyair :
Mata pandang ridha akan suram
Dari segala cela
Namun mata pandang dendam
Tampak buruk segalanya.
Abu Ahmad al-Qaalnasy berkata : “Aku berteman dengan beberapa kaum di Bashrah, dan mereka menghormati aku. Sekali waktu kukatakan pada mereka : “Manakah sarungku?” Tiba-tiba sarung itu jatuh dari mata mereka.”
Seseorang berkata pada Sahl bin Abdullah : “Aku ingin berteeman denganmu wahai Abu Muhammad.” Beliau menjawab : “Bila di antara kita ada yang mati, maka kepada siapa salah satu di antara kita bersahabat?” Orang itu berkata : “Allah swt.” Sahl  balik menjawab : “Maka, sejak saat ini, bersahabtlah dengan-Nya.”
Ibrahim bin Adham bekerja sebagai pengetam dan penjaga beberapa kebun, serta pekerjaan lainnya. Hasilnya diinfakkan pada para sahabatnya (santrinya). Dikatakan : “Ibrahim bersama suatu jamaah dari para sahabatnya (santrinya), sedangkan dirinya bekerja di siang hari untuk diberikan kepada mereka. Mereka berkumpul di malam hari di suatu tempat, dan pada siang hari mereka berpuasa. Suatu ketika Ibrahim pulang terlambat dari kerja. Dan pada suatu malam mereka berkata : “Kemarilah, kita berbuka apa adanya.” Ibrahim pulang lebih cepat setelah peristiwa itu. Mereka akhir berbuka dan tidur nyenyak. Ketika Ibrahim pulang, didapati para sahabtnya itu tertidur pulas. “Kasihan!” barangkali mereka tidak menemukan makanan.” Kata Ibrahim. Lalu, Ibrahim membuat jenang dari tepung yang ada, dan menyalakan api serta bara. Ketika mereka melihat Ibrahim sedang meniup-niup api sambil menempelkan sisi wajahnya pada tanah, para sahabtnya mengingatkan akan kejadian tersebut. Beliau menjawab : “Aku katakan, barangkali kali kalian semua tidak mendapatkan makanan untuk berbuka, sehingga kalian tertidur semua. Aku ingin membangunkan kalian nanti setelah bara menyala.” Maka masing-masing sahabatnya itu saling berkata : “Lihatlah, apa yang telah kita lakukan, dan lihatlah apa yang dilakukan untuk kita........????”
Dikatakan bahwa, jika seseorang ingin bersahabt dengan Ibrahim bin Adham, ia mensyratkan bahwa orang itu harus berbakti dan memberitahu padanya; tangannya haurs sama dengan tangan mereka dalam hal seluruh rezeki yang telah dibuka oleh Allah bagi mereka di dunia.
Suatu hari, salah seorang santrinya berkata pada Ibrahim bin Adham : “Aku tidak mampu melakukan ini.” Ibrahim menjawab sambil terkejut : “Sungguh aku kagum atas kejujuranmu.”
Yusuf ibnur Husain berkata : “Aku berkata pada Dzun Nuun al-Mishry : “Kepada siapa aku harus bersahabat?” Dzun Nuun menjawab : “Dengan orang yang sama sekali tidak kau sembunyikan tentang dirimu, dimana Allah swt. mengetahui dirimu.”
Sahl bin Abdullah berkata pada seseorang : “Bila Anda termasuk orang yang takut binatang buas, jangan berteman denganku.”
Bisyr al-Harits berkata : “Berteman dengan kejahatan akan melahirkan sangkaan buruk dengan bebas.”
Al-Junayd berkata : “Ketika Abu Hafs masuk ke Baghdad, ia disertai seorang yang botak bagian kepala depannya, sama sekali bungkam tak bicara. Kemudian aku bertanya pada para sahabat Abu Hafs mengenai keadaan orang tersebut. Mereka menjawab : “Lelaki itu telah menafkahkan seratus ribu dirham untuk diinfakkan kepada Abu Hafs. Abu Hafs tidak memperkenankannya bicara sekecap pun.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Janganlah bersahabat dengan Allah swt. kecuali senantiasa dalam keselarasan; jangan pula dengan makhluk kecuali dengan saling menasehati; jangan pula dengan nafsu kecuali dengan menentangnya; jangan bersahabat pula dengan setan kecuali dengan memusuhi.” Seseorang bertanya kepada Dzun Nuun : “Siapakah yang bisa kujadikan sahabat?” Beliau menjawab : “Seseorang yang bila engkau sakit, ia menjengukmu, bila engkau berbuat dosa, ia menganjurkan tobat padamu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Pohon bila tumbuh dengan sendirinya, namun tidak diolah oleh manusia, ia akan tumbuh dengan daunnya, tetapi tidak bisa bebuah. Begitu juga seorang murid bila berkembang tanpa guru ia akan muncul, namun tidak berbuah.”  Beliau juga berkata : “Aku mendapatkan tharikat ini dari an-Nashr Abadzy , dan Nashr Abadzy dari asy-Syibly, sedangkan asy-Syibly dari al-Junayd, dan al-Junayd dari as-Sary, as-Sary dari Ma’ruf al-Karkhy, Ma’ruf al-Kharkhy dari Dawud ath-Tha’y, dan dawud ath-Tha’y dari para Tai’in.” Saya mendengar pula bahwa beliau semoga rahmat Allah swt. padanya --- berkata : “Takpernah sekalipun aku mengikuti majelisnya Nashr Abadzy, kecuali aku selalu mandi sebelumnya.”
Saya sendiri, tak pernah masuk ke tempat guru saya Syeikh Abu Ali pada awal belajar saya di sana, kecuali saya selalu berpuasa dan sebelumnya saya mandi dahulu. Padahal saya memasuki pintu madrasahnya tidak sekali. Saya selalu kembali ke pintu itu, saya khawatir beliau marah jika memasuki pintu itu. Dan seketika saya melintas, lalu memasukinya. Bila sampai di tengah ruang madrasah, beliau mendekati diri saya, dan saya benar-benar terdiam senyap, Seandainya ada jarum yang menusuk pada mulut saya pun, tak akan saya rasakan. Jika saya duduk, dan ada suatu masalah yang mengganggu diri saya, saya tidak ingin bertanya pada beliau, melalui ucapan saya. Dan setiap kali saya berada di majelis, beliau selalui melalui menjelaskan persoalan saya. Tidak sekali hal-hal seperti itu saya saksikan dengan mata kepala. Seringkali saya berpikir, seandainya Alalh swt. mengutus seorang Rasul pada zaman saya, mungkinkah saya menambah rasa hormat padanya dalam hati saya, lebih dari rasa hormat saya pada guru saya --- semoga Allah swt. merahmatinya. Dan sama sekali tidak tergambarkan kemungkinan seperti itu. Saya tidak ingat lagi, sepanjang saya mengikuti majelisnya, kemudian kenyataan diri saya setelah mendapatkan kesinambungan jiwa, tak pernah sekalipun terbersit untuk kontra padanya, sampai beliau wafat.”
Dikatakan Muhammad an-Nashr al-Harits, “Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Musa as, “Jadilah kamu orang yang bangun dan kembali, serta menjadi sahabat bagi dirimu. Setiap sahabat yang tidak menggembirakan hatimu, maka jauhilah ia, dan janganlah bersahabat dengannya, karena ia akan mengeraskan hatimu. Bagimu ia menjadi musuh. Banyak-banyaklah mengingat-Ku karena akan mendatangkan rasa syukur kepada-Ku, dan mendapatkan tambahan dari anugerah-Ku.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Bersahabtlah kalian dengan Allah swt. Bila kalian tidak mampu, maka bersahabatlah dengan orang yang bersahabt dengan Allah swt. karena bersahabt dengannya bisa menghubungkan kalian kepada Allah swt. melalui berkat persahabatannya dengan Allah swt.”

43.
TAUHID
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. kberfirman :
“Dan Tuhan kamu sekalian adalah Tuhan Yang Esa.” (Qs. Al-Baqarah :163).
Rasulullah saw. bersabda :
“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang tersebut berwasiat pada keluarganya, “Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkanlah diriku, kemudian taburkan separo tubuhku di darat dan separohnya lagi di laut pada saat angin kencang.” Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah swt. berfirman pada angin, “Kemarikan apa yang kami ambil.” Tiba-tiba orang tersebut sudah berada di sisi-Nya. Kemudian Alalh swt. bertanya pada orang tersebut, “Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?” Dia menjawab : Karena malu kepada-Mu.” Kemudian Allah swt. mengampuni-nya (H.r. Bukhari).
Tauhid adalah suatu hubungan bahwa sesungguhnya Allah swt. Maha Esa, dan mengetahui bahwa sesuatu itu satu, bisa dikatakan tauhid pula. Dikatakan, Wahhadathu, apabila Anda menyifati-Nya dengan sifat Wahdaniyah. Seperti dikatakan : “Anda berani dengan si Fulan bila Anda dihubungkan dengan sifat keberanian (syaja’ah).”
Dari segi etimologi (lughat) disebutkan, wahhada, yahiddu, fahuwa waahid, wahd dan wahiid. Seperti diucapkan : Farrada fahuwa faarid, fard dan fariid. Akar kata Ahada, adalah wahada, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana huruf-huruf yang di-kasrah dan dhammah, diganti.
Makna eksistensi Allah swt. sebagai berifat Esa didasarkan ucapan ilmu. Dikatakan : “Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk disifati dengan penempatan dan penghilagnan.” Berbeda dengan ucapan Anda, manusia satu, berarti Anda mengatakan, ‘manusia tanpa tangan dan tanpa kaki.” Sehingga dibenarkan hilangnya sesuatu dari organ manusia. Sedangkan Allah swt. adalah ketunggalan Dzat.”
Sebagaian ahli hakikat berkata : “Arti bahwa Allah itu Esa, adalah penafian segala pembagian terhadap Dzat, penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi dan Cipta-Nya.”
Tauhid ada tiga kategori : Pertama, tauhdi Allah swt. bagi Allah swt. yakni ilmu-Nya bahwa sesungguhnya Dia adalah esa. Kedua, tauhidnya Allah swt. terhadap makhluk, yaitu ketentuan-Nya, bahwa hamba adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut tauhidnya hamba. Ketiga, tauhidnya makhluk terhadap Alalh swt. yaitu pengetahuan bahwa Allah swt. Yang Maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa. Ketentuan dan Khabar dari-Nya, menegaskan bahwa Dia adalah Esa. Semua wacana ini mengandung artian tauhid dalam ungkapan yang ringkas.
Dzun Nuun al-Mishry ditanya tentang tauhid, ia berkata, “Hendaknya engkau ketahui bahwa kekuasaan Allah terhadap makhluk ini tanpa ada campur tangan; cipta-Nya terhadap segala sesuatu tanpa unsur luar; tak ada sebab langsung segala yang ada adalah ciptaan-Nya; ciptaan-Nya pun tidak ada cacat. Setiap yang terproyeksi dalam gambaran jiwamu (tentang Alalh), ,maka Allah swt. pasti berbeda.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Tidak ada bagi ilmu tauhid kecuali sekedar ucapan tentang tauhid saja.”
Al-Junay ditanya seputar tauhid, jawabnya : Menunggalkan Yang Ditunggalkan melalui pembenaran sifat Kemanunggalan-Nya, dengan keparipurnaan Tunggal-Nya, bahwa Dia adalah Yanga Maha Esa, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dengan menafikan segala hal yang kontra, mengandung keraguan dan keserupaan; tanpa keserupaan, tanpa bagaimana, tanpa gambran dan tamsil. Tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Al-Junayd berkomentar : “Bila akal para pemikir sudah mencapai ujungnya dalam tauhid, akan berujung pada kebingungan.” Saat kembali ditanya soal tauhid, al-Junayd menjawab : “Suatu makna yang mengandung rumus-rumus, dan didalamnya terkandung sejumlah ilmu. Sedangkan Alalh sebagaimana Ada-Nya.”
Al-Hushry berkata : “Prinsip amaliah tauhid kita mendasarkan pada lima hal : Menghilangkan sifat baru (hadits); menunggalkan Yang Qadim; menghindari teman (yang mungkar); berpisah dari tempat tinggal; dan melupakan apa yang diketahui dan tidak.”
Manshur al-Maghriby berkata : “Tauhid adalah mengugurkan seluruh perantara ketika terliput oleh perilaku ruhani, dan kembali kepada perantara itu di sisi hukum, sebab kebajikan-kebajikan tidak akan merubah pembagian, apakah celaka atau bahagia.”
Al-Junayd ditanya soal tahidnya kalangan khusus. Ia berkata : “Hendaknya hamba menengadahkan di sisi Alalh swt.; dimana urusan-urusan Allah berlaku di sana dalam lintasan hukum-hukum kekuasaan-Nya dalam arungan samudera tauhid-Nya, melalui fana’ dari dirinya, fana’ dari ajakan makhluk dan menjawab ajakannya, melalui  hakikat Wujud-Nya, dan kemanunggalan-Nya dalam hakikat kedekatan pada-Nya, dengan cara menghilangkan rasa dan geraknya karena Tegaknya Alalh swt. sebagaimana kehendak-Nya : yaitu sang hamba dikembalikan pada awalnya. Sehingga ia sebagaimana adanya, sebelum dirinya ada.”
Al-Busyanjy ditanya tentag tauhid : “Tidak adanya keserupaan Dzat dan tidak adanya faktor penafian sifat.” Jawabnya.
Sahl bin Abdullah ditanya soal Dzat Allah swt. Dia menejawab : “Dzat Allah swt. disifati dengan sifat Ilmu, tetapi tidak bisa dditerka melalui jangkuan, tidak terlihat melalui mata di dunia. Allah swt. maujud melalui kebenaran iman, tanpa dibatasi, jangkauan dan penjelmaan. Mata akan memandang di akhirat nanti, yang Tampak di kerajaan dan kekuasaan-Nya. Makhluk telah tertirai dalam mengenal eksistensi Dzat-Nya. Namun Allah swt. menunjukkan melaui ayat-ayat-Nya. Hati mengenal-Nya, sedang akal tidak menemukan-Nya. Orang-orang yang beriman melihat-Nya dengan mata hati tanpa adanya jangkauan dan penemuan ujungnya.”
Al-Junayd berkata : “Kata-kata paling mulia dalam tauhid adalah apa yang telah diucapkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Maha Suci Dzat Yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, kecuali dengan cara merasa tak berdaya mengenal-Nya.”
Al-Junayd mengomentarinya : “Diaksudkan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. bahwa Allah swt. itu tidak bisa dikenal. Sebab menurut ahli hakikat, yang dimaksud dengan tidak berdaya,a dalah tak berdaya dari maujud, bukan tak berdaya dalam arti tiada sama sekali (ma’dum). Seperti tempat duduk, ia tak berdaya dari duduknya seseorang. Karena ia tidak bisa berupaya dan berbuat. Sedangkan duduk itu sendiri maujud di dalamnya. Begitu pula orang yang ‘arif (mengenal Allah swt.) tak berdaya dengan ma’rifatnya. Sedangkan ma’rifat itu maujud di dalam dirinya, karena sifatnya yag langsung. Menurut kalangan Sufi, Ma’rifat kepada Allah swt. pada ujung terakhirnya adalah bersifat langsung. Ma;rifat yang dilakukan melalui usaha hanya ada pada permulaan, walaupun ma;rifat itu merupakan hakikat.” Ash-Shiddiq r.a. sedikitpun tidak memperhitungkan ma’rifat yang disandarkan pada ma’rifat langsung, seperti lampu, ketika matahari terbit dan cahayanya membias pada lampu itu.”
Al-Junayd berkata : “Tauhid yang dianut secara khusus oleh para Sufi, adalah menunggalkan Yang Qadim jauh dari yang hadits, keluar meninggalkan tempat tinggal, memutus segala tindak dosa, meninggalkan yang diketahui ataupun tidak diketahui, dan Allah swt. berada dalam keseluruhan.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Siapa yang tercebur dalam samudera tauhid, tidak akan bertambah dalam waktu yang berlalu, kecuali rasa dahaga yang terus menerus.”
Ada seseorng berhenti, lantas bertanya kepada Husain bin Manshur : “Siapakah Tuhan Yang Maha Benar, sebagaimana yang ditunjukkan kaum Sufi?” Husain menjawab : “Dia-lah Sang Penyebab hidup manusia, dan Dia tidak disebabkan oleh apa-pun.”
Al-Junayd berkata : “Ilmu tauhid memisah dengan eksistensinya, dan eksistensinya berpisah dengan ilmunya.” Al-Junayd berkata pula : “Ilmu tauhid melipat hamparannya sejak duapuluh tahun. Sedangkan manusia sama-sama membincangkan dalam hatinya.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Siapa yag meliaht sebiji sawi ilmu tauhid, ia akan lunglai membawa sisa-sisa kulitnya, karena berat bebannya.”
Dulaf as-Syibly ditanya tentang tauhid yang hanya diucapkan melalui lisan kebenaran secara tersendiri. Beliau berkata : “Celaka Anda!” Siapa yang menjawab tauhid melalui ungkapan ibarat, dia telah menyimpang. Dan siapa yang menjelaskan lewat isyarat, berarti pengikut dualisme. Siapa yang menunjukkan lewat isyaratanya pada tauhid, berarti ia menyembah berhala. Siapa yang bicara dalam tauhid, berarti ia alpa. Namun siapa yang diam dari tauhid, berarti dia bodoh. Siapa yang menganggap dirinya telah sampai kepada-Nya, berarti dia tidak sukses. Barangsiapa merasa dirinya dekat dengan-Nya, sebenarnya ia jauh dari-Nya. Siapa yang merasa menemukan-Nya, berarti telah kehilangan. Semua yang Anda istimewakan melalui pandang khayal Anda, dan Anda temukan melalui akal dalam pengertian yang lebih sempurna, maka sebenarnya semua itu terlempar dan tertolak pada Anda. Semua merupakan sesuatu yang dicipta dan terbuat seperti eksistensi Anda sendiri.”
Yusuf ibnul Husain berkata : “Tauhidnya orang khusus, yaitu tauhid itu total dengan batin, ekstase dan kalbunya. Seakan-akan ia bediri di sisi Allah swt. mengikuti aliran yang berlaku dalam aturan-Nya dan hukum-hukum Qudrat-Nya, mengarungi lautan fana’ dari dirinya, hilangnya rasa karena tegak-Nya al-Haq Yang Maha Suci dan Luhur dalam kehendak-Nya, Maka, sebagaimana dikatakan, bahwa ia hendaknya berada dalam arus ketentuan Allah swt.”
Dikatakan : “Tauhid hanya bagi Allah swt. sedangkan makhluk hanyalah benalu.”
Dikatakan : “Tauhid berarti mengugurkan “kekuatan” karenanya jangan bicara : “Bagiku, denganku, dariku dan kepadaku.”
Abu Bakr ath-Thamastany ditanya : “Apakah tauhid itu?” Beliau menjawab : “Yaitu tauhid, muwahhad dan muwahhid, semuanya berjumlah tiga.”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Tauhid berarti melebur unsur-unsur kemanusiaan, dan manunggal dengan Ketuhanan.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata menjelang akhir hayatya, di saat sakitnya mulai parah : “Salah satu tanda keteguhan hati, adalah memelihara tauhid dalam waktu-waktu kenetuan huku,”. Kemudian beliau berketa seperti seorang mufassir yang mengisyaratkan apa yang terjadi dalam perilaku ruhaninya, “Yaitu Anda dipotong oleh gunting-gunting takdir, dalam pelaksanaan ketentuan-ketentuan, sepotong-potong, sedang Anda tetap bersyukur dan memuji.”
Asy-Syibly berkata : “Tak akan mencium bau tahid, orang gyang tergambar dalam dirinya sesuatu tentang tauhid.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Tahap mula bagi orang yang menemukan ilmu tauhid dan membenarkannya adalah fana’ dari ingatan atas segala hal dari hatinya, kecuali hanya kepada Alalh swt.”
Asy-Syibly berkata pada seseorang : “Apakah Anda mengerti, mengapa tauhid Anda tidak sah?” Maka dijawab sendiri oleh asy-Syibly : “Karena Anda mencarinya melalui diri Anda.”
Ibnu Atha’ berkata : “Tanda-tanda hakikat tauhid adalah melupakan tauhid, yaitu bahwa yang berdiri tegak dengan tauhid hanya Sat.”
Dikatakan : “Pada diri manusia ada golongan yang dalam tauhidnya terbuka melalui perbuatan, melihat segala ciptaan ini bersama Allah swt. Diantaranya ada yang terbuka melalui hakikat, sehingga perasaannya membuang segala hal selain Allah swt, maka dia menyaksikan kesatuan (al-Jam’u) secara batin. Dan lahiriahnya, melalui lewat diskripsi keragman.”
Al-Junayd ditanya tentang tauhid : “Aku mendengar orang bersayir :
Betapa kaya hatiku
Menjadi kaya seperti Dia
Kami sebagaimana mereka ada
Dan mereka sebagaimana kami ada.”
Ditanyakan kepada al-Junayd : “Keahlian Anda (di bidang) Al-Qur’an dan Hadist?” Al-Junayd menjawab : “Tidak. Tetapi orang yang menunggalkan-Nya meraih tauhid tertinggi dan ucapan terendah dan teringan.”


44.
KELUAR  DARI  DUNIA
Edit : Pujo Prayitno
Membaca satu kata anda tau.
Membaca satu kalimat anda bijak.
Membaca satu buku anda bersinar.
Karena ilmu adalah cahaya.
Allah berfirman :
“(Yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka) “Salaamun’alaikum” masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. An-Nahl :32).
Ayat tersebut memiliki maksud bahwa kebajikan jiwa mereka dengan mencurahkan ruh mereka, sehingga mereka kembali kepada Tuhannya, dengan jiwa kyang tidak berat.
Riwayat dari Anas r.a. yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya seorang hamba akan berurusan dengan kesusahan maut dan sakaratul maut, dan sesungguhnya sendi-sendinya akan mengucapkan salam (perpisahan) satu sama lainya dengan kata-kata, “Alaikassalaam” engkau berpisah denganku, dan aku berpisah denganmu, sampai (jumpa) di hari kiamat nanti.”
Juga diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Nabi saw. sedang menjenguk seorang pemuda yang mendekati ajalnya. Nabi saw. bertanya : “Bagaimana maut menemui Anda?” Pemuda itu menjawab : “Aku berharap kepada Allah swt. dan aku takut akan dosa-dosaku.”
Rasulullah saw. bersabda, “(Harapan bertemu Allah dan rasa takut akan dosa-dosa) tidak akan berkumpul di hati hamba, dalam tempat ini, kecuali Allah swt, memberikan padanya apa yang diharapkannya, dan memberikan rasa tentram dari apa yang ditakuti....”
Ketahuilah bahwa perilaku mereka saat menghadapi ajal (naza’) berbeda-beda. Diantaranya ada yang terlimpahi rasa takut namun disertai rasa hormat (haibah), adapula yang dilimpahi rasa harapan (raja’)  dan di antara mereka ada yang dibuka oleh Allah swt. sekertika itu akan hal-hal yang berkaitan dengan keharusan mereka untuk tentram dan tenang serta keteguhan yang baik.
Ahmad al-Jurairy berkata : “Aku sedang di sisi al-Junyad ketika naza’nya. Saat itu hari Jum’at dan kebetulan tahun baru. Junayd sedang membaca Al-Qur’anu; Karim, hingga mengkhatamkannya. Pada saat itu aku berkata : “Hai Abul Qasim!” lantas dia menjawab : “Siapa yang lebih layak (mengkhatamkan Al-Qur’an menjelang ajal) daripada aku, dan inilah, lembaranku dibentangkan.”
Abu Muhammad Abdullah al-Ibrahim al-Harawy berkata : “Aku menghampiri rumah asy-Syibly pada malam ketika ajalnya tiba. Sepanjang malam itu dia mendendangkan syair berikut :
Setiap rumah, Engkau penghuninya
Tak butuh lagi pada lentera
Wajah-Mu yang diharapkan
Adalah hujjah kami
Di hari ketika berduyun-dduyun manusia
Dengan hujjah-hujjahnya.
Bisyr al-Hafi ditanya ketika maut hendak menjemputnya : “Tampaknya Anda mencintai dunia, wahai Abu Nashr?” Maka al-Hafi menjawab : “Datang kepada Allah Azza wa Jalla sungguh dahsyat.”
Dikisahkan, bila Sufyan at-Tsaury menjenguk sebagian murid-muridnya, senantiasa berkata kepada mereka : “Bila kalian menemukan maut, belikan untukku.” Ketika wafatnya akan tiba, beliau berkata : “Kami sungguh mengharapkannya, tetapi, tiba-tiba maut itu sungguh dahsyat.”
Didkatakan : “Ketika al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib mendekati wafatnya, beliau menangis. Maka ditanya : “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab : “Aku bakal datang kepada Tuan Yang bernah kulihat.”
Ketika Bilal mendekati ajalnya, sang istri meratap : “Duhai betapa sedihnya ....” maka Bilal menimpali : “Oh, betapa girangnya, esok kami menemui para kekasih : Muhammad dan tentaranya.”
Dikatakan : “Abdullah ibnul ubarak membuka kedua bola matanya menjelang wafat, dan tiba-tiba tertawa, sembari mengumandangkan ayat suci : “Untuk kemenangan serpa ini hendaklah berusaha orang-orang yang beramal.” (Qs. Ash-Shaffat : 61).
Dikatakan bahwa Abdullah ibnul Mubarak sedang dirundung duka, kemudian, kemudian orang-orang menjenguknya saat menjelang kematiannya, sedangkan ia tampak tertawa. Kemudian ia ditanya soal tertawanya itu : “Mengapa aku tidak boleh tertawa?” Sedangkan perpisahan dengan yang paling kujauhi telah dekat, sementara tiba lebih cepat pada Dzat Yang benar-benar kuharapkan begitu mendekat?”
Ruwaym bin Ahmad berkata : “Aku hadir pada saat menjelang wafatnya Ahmad bin Isa al-Kharraz. Ketika itu, pada detik-detik terakhir nafasnya ia menguntaikan syair :
 Ratapan rindu kalbu ‘arifin ketika mengingta
Kenangan mereka di waktu munajat bagi rahasia
Ketika piala diputar di antara mereka para pengharap
Mereka terapung dari dunia, melayang
Bagai para pemabuk yang kepayang
Cita-citanya mengembara di kemah-kemah
Di sana para pecinta Allah bagai binntang-bintang cemerlang
Tubuh-tubuhnya mati di muka bumi karena cintanya
Sedangka arwahnya dalam tirai membubung tinggi
Tiada kemesraan pengantin mereka, kecuali Kedekatan Sang Kekasih
Sedang bencana dan keburukan
Tak pernah menyentuh.”
Dikatakan pada la-Junayd, bahwa Abu Sa’id al-Kharraz banyak ekstase di saat menjelang mautnya. Al-Junayd menjawab : “Bukan hal yang menakjubkan, jika ruhnya terbang menggapai kerinduan.”
Sebagian Sufi berkata, saat-saat dekat ajalnya : “Hai Ghulam! Cincanglah ketiakku, dan pendamlah pipiku dalam debu ...! Selanjutnya mengatakan : “Perjalanan telah dekat, dan susngguh bagiku tak terbebas dari dosa, tiada keringanan yang bisa dilakukan, tiada kekuatan yang bisa menolong, Engkau hanya untukku, Engkau hanya bagiku....? Kemudian si Sufi berteriak, lantas mati. Tiba-tiba orang-orang di sekelilingnya mendengar suara : “Seorang hamba hidup tena g di sisi Tuhannya, dan diterima oleh-Nya.”
Dikatakan kepada Dzun Nuun al-Moshry menjelang wafatnya : “Apa keinginan Anda?” Jawabnya : “Aku ingin mengenal-Nya sebelum kematianku, walaupun sejenak.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi menjelang ajalnya : “Ucapkan : “Allah” Ia menjawab : “Sampai kalian semua menyuruhku begitu, sedangkan aku sendiri terbakar dalam Allah swt.?”
Sebagian mereka berkata : “Suatu ketika aku sedang berada di tempat Mumsyad ad-Dinawary, tiba-tiba ada seorang fakir datag seraya berucap : “Assalamu’alaikum”. Mereka yang hadir menjawab salamnya. Si Fakir itu berkata : “Apakah di sini ada tempat yag bersih, yang memungkinkan bisa ditempati oleh manusia yang mati?” Mereka menunjukkan sebuah tempat dan sebuah mata air. Si fakir itu lantas mendatangi tempat tersebut, mengambil air mudhu, shalat dan ... masya Allah Azza wa Jalla  --- mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh mereka, kemudian menjulurkan kakinya, lalu mati.”
Suatu hari Abul Abbas Ahmad ad-Dinawary sedang berbicara dalam majelisnya. Tiba-tiba seorang wanita berteriak, karena ekstase. Ahmad berkata padanya : “Suatu kematian?” Lalu wanita itu berdiri, dan ketika sampai di pintu rumah, wanita itu menoleh pada Ahmad sembari berkata : “Aku telah mati, dan aku benar-benar menjadi mayit.”
Salah seorang Sufi mengisahkan : “Aku sedang berada di rumah Mumsyad ad-Dinawary menjelang wafatnya, lalu dikatakan kepadanya : “Bagimana dengan penyakit Anda?” Dia menjawab : “Lupakanlah dariku penyakit itu, bagaimana Anda menemukan diriku?” Lalu dikatakan padanya : “Ucpakanlah Laa Ilaaha Illallaah”. Kemudian ia palingkan wajahnya ke tembok, sambil mengucapkan : “Aku telah musnah kesseluruhanku pada-Mu, inilah balasan bagi orang yang mencintai-Mu.”
Dikakatakan kepada Muhammad ad-Dubaily ketika menjelang wafatnya : “Ucapkan, Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu dia menjawab : “Ucapan ini sudah kami kenal, bahkan dengan ucapan tersebut kami fana’”
Kemudian beliau membacakan syair :
Engkau memakai pakaian linglung,
Ketika engkau terpesona dengan-Nya
Dia menolak dan tak rela
Tak sudi dirimu adalah hamba-Nya.
Dikatakan kepada asy-Syibly menjelang wafatnya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lalu asy-Syibly mendendangkan syair :
Berkatalah penguasa cintanya
Aku tak menerima yang lain
Bertanyalah dengan yang lain
Mengapa kematian ia berurusan?
Ahmad bin Atha’ berkata : “Aku mendengar salah seorang fakir berkata : “Ketika Yahya al-Ashtakhry akan meninggal, kami duduk di sekitarnya, lantas alah seorang di antara kami berkata : “Ucapkalah Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas beliau duduk lurus, kemudian meraih tangan salah ssatu dari kami, dan berucap : Katakanlah, Asyhadu an-Laa Ilaaha Illaallaah.” Lalu meraih tangan yang lain sampai syahadt tersebut merata pada semua hadirin. Barulah kemudian beliau meninggal.”
Diriwayatkan dari Fatimah saudari Muhammad ar-Rudzbary : “Ketika saudaraku (Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary) mendekati ajal, kepalanya ada di pangkuanku, sedangkan kedua bola matanya terbuka, sembari berkata : “Inilah, pintu-pintu langit terbuka, dan surga itu benar-benar telah dihiasi, dan inilah orang yang berkata padaku : “Wahai Abu Ali, kami telah menghantarkanmu ke tahapan yang tinggi, walaupun engkau belum sampai ke sana.” Lalu Abu Ali membacakan syair :
Demi Hak-Mu, sungguh tak kupandang selain Diri-Mu.
Dengan mata cinta, sehingga aku melihat-Mu
Aku melihat-Mu, ketika hilang sejenak menjadi siksaan
Dan dengan pipi bertulip mawar merah petikan-Mu.
Salah satu Sufi berkata : “Aku melihat seorang fakir asing yang membiarkan dirinya, sementara lalat mengerumuni wajahnya. Lalu aku duduk mengibaskan lalt-lalat itu dari wajahnya, sampai kemudian matanya terbuka, dan berkata : “Siapakah engkau? Sejak sekian tahun aku mencari waktu yang menjernihkan diriku, dan selalu begitu, kecuali sekarang ini. Engkau datang, menceburkan dirimu di dalamnya. Pergilah, semoga Allah swt. mengampunimu.”
Saya mendengar Abu Hatim as-Sijistany berkata : “Aku mendengar Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Penyebab wafatnya Abul Husain Ahmad an Nury adalah dikarenakan mendengarkan sebuah syair ini :
Aku senantiasa menempati
Lembah dari cinta-Mu
Ketika sematam, lubuk jiwa menjadi lingling.”
Ahmad an-Nury mengalami ekstase dan linglung di tengah padang pasir. Lalu jatuh di rimba belukar yang sudah ditebang, namun akar-akarnya masih menonjol, tajam seperti pedang. Anehnya, an-Nury berjalan di atas akar-akar itu, kembali pulang sampai esok hari. Darah mengalir dari kedua kakinya, kemudian ia tersungkur seperti orang yang mabuk. Kedua telapan kakinya membengkak, dan akhirnya meninggal dunia. Pada riwayat lain diceritakan, ketika beliau menjelang wafat, dikatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah,” lalu beliau menjawab : Bukankah pada ucapan itu aku kembali.”
Saya juga mendengar Ab Manshur al-Maghriby berkata : “Yusuf ibnu Husain menjenguk Ibrahim al-Khawwas, setelah sekian lama Yusuf tak pernah mengunjunginya. Ketika melihat Ibrahim, Yusuf bertanya kepadanya : “Apakah engkau ingin sesuatu?” Ibrahim menjawab : “Benar, sepotong limpa panggang.”
Maksud ucapan Ibrahim tersebut, kemungkinan adalah : “Aku inginkan hati yang lembut terhadap si fakir, dan limpa panggang yang menghangatkan orang asing.”
Dikisahkan : “Sebab kematian Ahmad bin Atha’, yakni ketika ia memasuki rumah seorang menteri, lantas sang menteri bicara dengan ucapan kasar. Lalu Ibnu Atha’ berkata : “Tenanglah Anda ....!” Tiba-tiba sang menteri itu memukulnya dengan sepatu dan mengenai kepalanya, hingga wafat pun menjemputnya.”
Abu Bakr Muhammad ad-Duqqy berkata : “Kami sedang berada di tempat Abu Bakr az-Zaqqaq pada pagi hari, lalu az-Zaqqaq berkata, “Tuhanku, berapa lama lagi diriku Engkau tempatkan di sana?” Dan keesokan pagi, ia telah meninggal dunia.”
Diriwayatkan dari Abu Ali ar-Rudzbary, yang mengisahkan : “Aku melihat di padangpasir seorang pemuda. Ketika ia melihatku, ia berkata, “Adapun yang mencukupinya, pesonanya padaku dengan cintanya, hingga membuatku menderita.” Lalu aku melihatnya dalam keadan jiwa yang lembut, sembari kukatakan padanya : “Ucapkanlah Laa Ilaaha Illallaah.” Lanatas ia mendendangkan syair :
Wahai yang tiada bagiku jauh dari-Nya
Bila ia menyiksaku, memang itulah setimpalnya
Wahai yang meraih hatiku
Sepadan yang tiada batasnya.”
Dikatakan kepada al-Junayd : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah.” Lantas Junayd menjawab : “Aku tak pernah melupakannya, dan selalu mengingatnya.” Dia kemudian bersayir :
Yang selalu hadir dalam gairah di hatiku
Tak pernah kulupakan, maka selalu kuingat.
Dia-lah Tuanku dan Sandaranku
Bagianku dari-Nya lebih sempurna.
Ja’far bin Nashr bertanya pada Bakran ad-Dinawary – di mana dia sedang melayani asy-Syibly – “Apa yang Anda lihat dari Asy-Syibly?” Ia menjawab : “Asy-Syibly pernah berkata : “ “Aku punya dirham gelap, dan kau telah menyedekahkannya beberapa ribu. Dalam hatiku tak ada rasa mengganjal yang lebih besar dari dirham itu.” Lantas dia berkata : “Wudhukan aku untuk shalat.” Aku pun mewudhukannya. Ketika itu aku lupa menyela-nyela air pada jenggotnya, padahal aku menahankan air pada mulutnya, lantas beliau menahankan air itu pada tanganku dan kemudian menyelakan pada jenggotnya, lantas beliau wafat.” Mendengar kisha itu Ja’far menangis tersedu, dan berkata : “Apa yang kalian katakan itu, tentang seorang lelaki yang tak pernah melewatkan adab dari adab-adab syariat, hingga akhir hayatnya.”
Ali-al-Muzayyin berkata : “Saat sedang berada di Mekkah al-Mukarramah  --- semoga Alalh swt. menjaganya --- Tiba-tiba aku merasa gelisah. Lantas aku ingin berangkat ke Madinah al Munawarah. Ketika aku sampai ke Bi’ru Maimun, tiba-tiba seorang pemuda terlempar. Aku mencoba menggugahnya, namun ia kelihatan naza’. Kukatakan padanya : “Ucapkalah Laa Ilaaha Illallaah!.” Lantas kedua matanya terbuka, dan kemudian menguntaikan syair :
Aku, bila mati, cintaku telah memenuhi hatiku
Sedang awal asmara telah mematikan kemuliaan.
Selanjutnya pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan, lantas mati. Aku memandikan, mengafani dan menshalatinya. Ketika selesai memendamnya, aku tidak berhasrat untuk meneruskan perjalanan. Aku pun kembali ke Mekkah --- Semoga Allah swt. menjaganya.”
Dikatakan kepada salah seorang Sufi :”Apakah Anda mencintai maut?” Ia menjawab : “Datang kepada orang yang diharapkan kebaikannya itu llebih baik daripada menetap bersama orang yang tidak percaya keburukannya.”
Diriwayatkan dari al0Junayd, yang mengatakan : “Aku sedang berada di tempat guruku, Ibnu Karainy, ketika beliausudah merelakan ddirinya. Lalu kulihat langit, dan beliau berkata : “Jauh!” lalu kulihat bumi, beliau pun berkata : “Jauh!” Yakni, Dia itu lebih dekat dibandign Anda memandang ke langit maupun k bumi. Bahkan Dia ada sebelum langit dan bumi.”
Saya mendengar ssalah seorang sahabt kami berkata : “Abu Yazin berkata menjelang wafatnya : “Aku tak pernah ingat pada-Mu kecuali ketika lupa, dan Engkau tak pernah menggenggamku, kecuali saat jeda.”
Abu Ali Muhammad ar-Rudzbary berkata : “Aku memasuki negeri Mesir, dan kulihat orang-orang berkumul, seraya berkata : “Kita sedang berada dalam iringan jenazah seorang pemuda yang meninggal karena mendengar orang menguntaikan syair :
Betapa besar dosa hamba
Yang ambisi sekali melihat-Mu.
Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali teriakan, lantas mati.”
Dikisahkan : “Sekelompok orang menjenguk Mumsyad ad-Dinawary yang sedang sakit. Mereka berkata padanya : “Apa yang dilakukan Allah swt. pada Anda?” Ad-Dinawary menjawab : “Sejak tigapuluh tahun ini aku ditawari surga dan seisinya, namun aku tak pernah menolehkan pandanganku.” Mereka bertanya di saat dia sedang naza’ : “Bagaimana Anda menemukan hati Anda?” Dia menjawab : “Sejak tigapuluh tahun, aku kehilangan hatiku.”
Sebab kematian Abul Husain bin Bannan, adalah ganjalan dalam hatinya yang menyebabkan kebingungan arahnya. Orang-orang menjumpainya tersesat di daerah kalangan Bani Israil, dalam keadaan tertimpa pasir. Kemudian ia membuka matanya dan berkata : “Bermewah-wewahlah, sebab inilah kemewahan para kekasih.” Lalu nyawanya keluar dari tubuhnya.
Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury berkata : “Ketika aku sedang berada di Mekkah al Mukarramah – semoga Allah swt. menjaganya – tiba-tiba datang seorang fakir dengan membawa dinar. “Bila besok tiba, aku pun mati. Tolong butakan kuburanku dari separo dinar ini, separo lainnya untuk persiapanku.” Aku berkata dalam hati; anak muda ini tidak waras, dan dia sedang tertimpa kekuranagn. Ketika esok hari tiba, ia datang kembali, masuk ke masjid dan tawaf. Kemudian berlalu dan menjejak-jejakan kakinya pada tanah. “Itu dia, pura-pura mati.” Kaaku. Aku pun menghampirinya dan menggerakkannya. Ternyata ia benar-benar mati. Akhirnya sebagaimana pesannya, aku pun menguburkannya.”
Dikatakan : “Ketika keadaan Abu Utsman Sa’id al-Hiry mengalami perubahan, anaknya, Abu Bakr merobek gamis. Lalu Abi Utsman membuka matanya, berkata : “Hai anakku, menetang sunnah dalam bentuk lahiriah tergolong riya’dalam batin.”
Dikatakan : “Ketika Ahmad memasuki rumah al-Junayd, sedangkan Junayd telah rela untuk mati, Ahmad menucapkan salam. Namun jawabannya terlambat, walau akhirnya menjawab pula. Setelah itu al-Junayd berkata : “Maaf, aku sedang dalam wiridku.” Setelah itu al-Junayd meninggal.”
Diriwayatkan oleh Abu Ali ar-Rudzbary : “Ada seorang fakir datang pada kami, lalu mati. Aku pun menguburkannya, dan ketika wajahnya kubuka untuk kuletakkan di atas tanah, agar Alalh swt. mengasihi dalam pengasingannya, tiba-tiba kedua matanya terbuka, dan berucap : “Wahai Abu Ali, apakah engkau menghinakan diriku di sisi Dzat Yang memanjakanku?” Aku berkata : “Saudaraku, apakah ada kehidupan setelah mati?” Ia menjawab : “Bahkan aku ini hidup. Dan orang yang mencintai Allah swt. selalu hidup. Esok nanti tiada yang membahayakanmu, demi kebesaranku, wahai Rudzbary.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan Ali al-Ashbahany, yang berkata : “Apakah kalian semua melihat diriku mati seperti orang-orang yang mati itu, ada sakit dan ada pula orang-orang yang menjenguk. Ketika aku dipanggil “Wahai Ali” aku pun menjawabnya.” Pada suatu hari Ali sedang berjalan, sembari menjawab panggilan orang : “Labbaik.” Kemudian ia mati.
Abul Hassan Ali al-Muzayyin berkata : “Ketika Abu Ya’qub Ishaq an-Nahrajury sakit menjelang wafatnya, di sat naza’nya aku mengatakan padanya : “Ucapkan : “Laa Illaha Illallaah>”, lalu beliau tesenyum padaku sembari berucap : “Yang kau maksud itu aku? Demi Keagungan Dat Yang tak pernah merasakan kematian, tak ada antara diriku dengan-Nya, kecuali hijab keagungan.” Lalu saat jadi padam (wafat).” Selanjutnya Ali al-Muzayyn memegangi jenggotnya dan berkata : “Pembekam seperti diriku ini, menuntun syahadat para wali Allah swt?” Al-Muzayyin merasa malu, dan ia selalu menangis bila ingat kisah ini.
Abul Husain al-Maliky berkata : “Aku berguru pada an-Nassaj beberpa tahun. Delapan hari menjelang kewafatannya; beliau berbicara padaku : “Hari Kamis tepat waktu maghrib aku akan mati. Aku akan dimakamkan hari Jum’at, sebelum Shalat Jum’at. Kamu jangan lupa itu!” Ternyata wasiat itu kkulupakan, hingga hari Jum’at. Tiba-tiba ada orang yang memberi kabar atas kewafatannya. Aku bergegas keluar menghadiri jenazahnya. Kulihat serombongan manusia sedang pulang, sambil berkata : “Beliau dimakamkan setelah shalat.” Namun aku tidak bergeming dan aku pun haidr. Kutemani jenazah, ternyata telah dikeluarkan sebelum waktu shalat sebagaimana diucapkannya padaku dulu. Aku bertanya pada hadirin yang hadir saat wafatnya. Salah seorang di antara mereka berkata : “Beliau pingsan, lalu sadar kembali. Kemudian menoleh ke arah rumah dan berkata, : “Berhenti, semoga Allah memaafkanmu. Kamu adalah hamba yang diperintah, dan aku pun hanya diperintah. Yang diperintahkan padamu, tidak membuat kesenjangan bagimu, sedangkan yang diperintahkan padaku, membuat senjang  diriku. Lantas beliau meminta air, untuk memperbarui wudhu, kemudian shalat. Setelah shalat, tubuhnya kejang dan matanya terpejam (wafat).” Maka, setelah beliau wafat, Abul Husain bermimpi bertemu dengan an-Nassaj : “Bagaimana keadaannya?” Tanya Abul Husain. “Jangan kamu lupakan, tetapi, sebenarnya kau telah membersihkan duniamu yang kotor.”
Pengarang kitab Bahjatul Asrar, menuturkan, bahwa ketika Sahl bin Abdullah meninggal, manusia berduyun-duyun mendatangi jenazahnya. Di daerah itu ada sekelompok Yahudi, sekitar tujuh puluh orang. Salah seorang Yahudi itu mendengar kegaduhan, lalu keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika melihat jenazah, tiba-tiba ia berteriak : “Hai, apakah kalian semua melihat seperti apa yang kulihat?” Mereka menjawab : “Tidak!” Apa yang Anda lihat?” Yahudi itu berkata : “Aku melihat serombongan kaum yang turun dari langit, mereka saling menyentuh dan mengusap jenazah itu.” Setelah kejadian itu, Yahudi tersebut membaca syahadat, memeluk Islam, dan menjadi Muslim yang taat.
Abu Sa’id al-Kharraz berkata : “Aku sedang berada di Mekkah al-Mukarramah semoga Allah swt. menjaganya. Suatu hari aku melewati pintu Bani Syaibah. Kulihat seorang pemuda yang tampan dalam keadaan meninggal dunia. Kulihat wajahnya, dia tersenyum dalam wajahku, dan berkata padaku, : “hai Abu Sa’id, ketahuilah bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu hidup, walaupun mereka mati. Mereka hanya dipindahkan dari satu rumah ke rumah lain.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Ada berita sampai padaku bahwa Dzun Nuun al-Mishry, ketika sedang naza’ diminta untuk berwasiat. Beliau malah menjawab : “Jangan ganggu aku. Aku ini sedang terpesona oleh keindahan-keindahan kelembutan-Nya.”
Abu Utsman al- Hiry berkata : “Abu Hafs ditanya mengenai situasi wafatnya, ‘Apa yang bisa engkau nasihatkan pada kami, mengenai kematian?” Beliau menjawab : “Aku tak mampu untuk menjelaskan.” Kemudian tapak bahwa dirinya terasa kuat untuk menerangkan, dan aku pun bertanya padanya : “Katakanlah, sehingga aku bisa mengisahkan ini darimu.” Beliau menjawab : “Patah semangat telah meletihkan hati dari sikap ceroboh.”

45.
MA’RIFAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya.” (Qs. AL-An’am :91).
Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa ayat tersebut bermakna : “Mereka tidak mengenal Allah (ma’rifat sebagaimana seharusnya Dia dikenal.”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda : “Podasi sebuah rumah adalah dasarnya. Pondasi Agama adalah pengenalan kepada Allah swt. yakin, dan akal yang teguh.” Aisyah lalu bertanya : “Demi ayah dan ibuku, menjadi tebusanmu, apakah akal yang teguh itu?” Beliau menjawab : “Menjga dari maksiat terhadap Alalh dan bersemangat dalam menaati Allah swt.” (Dikeluarkan oleh ad-Dailany, dari Aisyah r.a.).
Ditinjau dari segi bahasa, para ulama mengartikan ma’rifat adalah ilmu. Semua ilmu adalah disebut ma’rifat, dan semua ma’rifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (‘alim) tentang Allah swt. berarti seorang yagn ‘arif, dan setiap yang ‘arif berarti ‘alim. Tetapi di kalangan Sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah swt, melalui Nama-nama serta Sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah swt, dengan muamalatnya, kemudian menyucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat, yang terpaku lama di pintu (ruhani), dan yang senantiasa i’tikaf dalam hatinya. Kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya. Memutus segala kotoran jiwanaya, dan dia mencondongkan hatinya kepada pikiran apa pun selain Alalh swt. sehingga ia menjadi orang asing di kalangan makhluk. Ia menjadi bebas dari bencana dirinya, bersih dan tenang, senantiasa abadi dalam sukacita bersama Allah swt. dalam munajatnya. Di setiap detik senantiasa kembali kepada-Nya, senantiasa berbicara dari sisi Al-Haq melalui pengenalan rahasia-rahasia-Nya. Dan ketika Allah swt. mengilhaminya dengan membuatnya menydari rahasia-rahasia-Nya akan takdirnya, maka pada saat itu ia disebut seorang ‘arif, dan keadaannya disebut ma’rifat. Jelasnya, frekuensi keterasingannya terhadap dirinya sendiri (dan seluruh makhluk yang ada) semata karena sukses ma’rifatnya kepada Allah swt.
Para syeikh, masing-masing berbicara tentang ma’rifat, sesuai dengan pengalamannnya sendiri dan menunjukkan isyarat apa yang datang kepadanya pada waktunya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Salahsatu tanda ma’rifat adalah munculnya haibah dari Allah swt. Barangsiapa bertambah ma’rifatnya, bertambah pula habah-nya.” Saya mendengar beliau juga menyatakan : “Ma’rifat membawa ketentraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawa kedamaian. Jadi, orang yang ma’rifatnya bertambah, maka bertambah pula ketentramannya.”
Asy-Syibly berkata : “Bagi sang ‘arif tidak ada keterikatan, bagi sang pecinta tidak ada keluhan, bagi sang hamba tidak ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Alalh tidak ada tempat yang aman, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah.” Ketika asy-Syibly ditanya tentang ma’rifat, dia menjawab : “Awalnya adalah ma’rifat hanya bagi Alalh swt. dan yang akhirnrya adala sesuatu yang tiada hingga.”
Abu Hafs berkata : “Sejak diriku mencapai ma’rifat, tiada lagi kebenaran ataupun kebatilan yang memasuki hatiku.” Ucapan Abu Hafs ini mengandung kemusykilan. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahwa dalam padangan Sufi, ma’rifat menjadikan sang hamba kosong dari dirinya sendiri, karena dia dilimpahi oleh dzikir kepada-Nya. Dengan demikian, tidak melihat apapu selain Alalh swt. tidak pula musyahadah kepada selain Allah swt. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan refleksi pemikirannya terhadap obyek pemikirannya, atau kondisi yang dihadapinya. Bagi sang ‘arif, semata kembali pada Tuhan-nya. Jika seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati?” Bedakanlah antara orang yang hidup dengan hatinya, dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentag ma’rifat, Abu Yazid al-Bisthamy menjawab dengan menyitir ayat : “Sesungguhnya raja-raja jika mereka memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina.” (Qs. An-Naml :34). Abu Yazid menyatakan : “Manusia mempunyai ihwal ruhani, bagi yang ‘arif tidak ada. Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan ke-dia-annya telah berubah menjadi ke-Dia-an lain. Pengaruhnya gaib karena faktor Lain di luar dirinya.”
Muhammad al-Wasithy berkata : Ma’rifat tidak dibenarkan jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan Allah swt. dan kebutuhan terhadap-Nya.”
Dengan ucapan ini al-Wasithy memaksudkan bahwa kebutuhan dan kepuasan adalah sebagai tanda-tanda kesadaran jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya sifat-sifatnya, karena keduanya merupakan sifat-sifatnya. Sang ‘arif terlebur dalam obyek ma’rifatnya. Bagaimana mungkin ma’rifatnya, shahih – bila kebutuhan dan kepuasan dengan-Nya masih meelkat – sementara dia lebur dalam Wujudn-Nya atau terserap dalam musyahadah pada-Nya, tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih dipisahkan oleh kesadaran akan sifat apa pun yang mungkin dimilikinya? Karena alasan inilah al-Wasithy juga mengatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Alalh swt. berarti terputus, bahkan bisa dan hampa.”
Nabi saw. menyabdakan :
“Aku tak bisa memuji-Mu sepenuhnya.” (Hr. Baihaqi).
Inilah sifat-sifat mereka yang perspektifnya jauh. Sementara mengenai mereka yang puas dengan batasan tersebut, mereka telah banyak berbicara dengan ma’rifat dengan panjang lebar.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky berkata : “Siapa yang lebih ma’rifat (terhadap) Allah swt. semakin dia takut pada-Nya.”
Salah seorang Sufi berkata : “Barangsiapa ma’rifat (terhadap Allah swt. akan dikokohkan oleh keabadian, dan dunia seisinya terasa sempit.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat kepada Allah swt. Dia akan menjernihkan hidupnya, dan memberikan kebajikan hidup padanya. Segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada sesuatu pun di antara makhluk, dan dia mengalami sukacita yang luas biasa dengan Allah swt.”
Dikatakan : “Barangsiapa ma’rifat (terhadap) Allah swt. hilangah keinginan akan segala yang ada, dan dia tidak terikat ataupun terpisah dari mereka.”
Dikatakan : Ma’rifat mendatangkan rasa malu dan sikap pengagungan, sebagaimana tauhid mendatangkan keridhaan dan kepasrahan kepada Allah swt.”
Ruwaym bin Ahmad berkomentar : “Ma’rifat adalah cermin sang ‘arif. Bila dia menatap cermin itu. Tampaklah Tuhannya.”
Dzun Nuun al-Mishry menuturkan : “Ruh pra Nabi berlomba di padang ma’rifat dan ruh Nabi kita Muhammad saw. memenangkan arwah para Nabi --- Semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka – ke  taman wishaal.” Dia juga mengatakan : “Pergaulan sang ‘arif (terhadap orang lain) adalah seperti perlakuan Allah swt, dia  bersabar terhasapmu karena dia meniru Akhlak Allah swt.”
Hasan bin Yazdaniyar ditanya : “Kapakah seorang ‘arif menyaksikan Allah swt.?” Dia menjawab : “Ketika Penyaksi Tampak, maka sarana penyaksian lenyap, indera pun musnah dan keikhlasan melebur.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata : “Apabila si hamba mencapai tahapan ma’rifat, Allah swt. membisikan melalui bisikan-bisikan dan menjaga batinnya, agar tidak dicampuri oleh bisikan yang tidak haq.” Al-Hallaj juga mengatakan : “Tada seorang ‘arif adalah bahwa dia kosong dari dunia dan akhirat.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Pangkal ma’rifat ada dua : “Kedahsyatan dan kebingungan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Orang yang paling ma’rifat (terhadap) Allah adalah yang paling besar kebingungannya.”
Seorang laki-laki berkta kepada al-Junyad : “Di antara ahli ma’rifat, ada sebagian yang mengatakan, ‘Meninggalkan setiap macam gerakan (lahiriah) adalah bagian dari kebajikan dan takwa.” Al-Junayd menjawab : “Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan, yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan besar. Pencuri dan pezina lebih baik perilakunya daripada mereka yag berucap demikian. Sebab sang ‘arif memperoleh amal-amal dari Allah swt. dan mereka kembali kepada Allah swt. melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal kebajikan sekecil biji sawi sekalipun.”
Ditanya kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Dengan apa engkau mencapai ma’rifat?” Dia menjawab : “Melalui erut yang lapar dan tubuh yang telanjang.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury menuturkan : “Aku bertanya kepada Abu Ya’kub as-Susy : “Apakah sang ‘arif bersedih karena sesuatu selain Allah swt?” Dia menjawab : “Dan apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang membuatnya bersedih?” Aku lalu bertanya : “Lantas dengan mata yang mana dia melihat segala alam ini?” Dia menjawab : “Dengan mata fana’ dan kehangusan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Sang ‘arif terbang dan sang zahid berjalan.” Dikatakan : “Mata sang ‘arif menangis, tetapi hatinya tertawa.”
AL Junayd menyatakan : “Sorang ‘arif tidak akan menjadi ‘arif sampai dia menjadi seperti bumi : diinjak oleh orang yang baik maupun jahat, dan sampai dia menjadi seperti hujan; menyirami segala sesuatu, baik yang mencintainya maupun membencinya.”
Yahya bin Muadz berkata : “Sang ‘arif keluar dari dunia ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal : menangisi diri sendiri dan pujiannya pada Tuhannya Yang Maha Agung dan Lihur.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Merekan mencapai ma’rifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan tinggal dengan apa yang jadi milik-Nya.”
Yusuf bin Ali menegaskan : “Seseorang tidak akan menjadi ‘arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman diberikan kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya sekejap mata pun dari Allah swt.”
Ahmad bin Atha’ menjelaskan : “Ma’rifat dibangun dengan tiga tiang : Rasa gentar (haibah), malu (haya’) dan kesukacitaan (Uns).”
Dzun Nuun al-Mishry ditanya : “Degan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Dia menjawab : “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Kalaulah tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan menganl Tuhanku.”
Dikatakan : “Ulama menjadi panutan, sedangkan seorang ‘arif adalah sumber petunjuk.”
Asy-Syibli mengatakan : “Sang ‘arif tidaklah berurusan selain dengan Dia. Dan tidak pula dia berbicara dengan pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah swt.”
Dikatakan : “Sang ‘arif memperoleh kesenangan dengan dzikir kepada Allah swt. dan ditakuti oleh makhluk-Nya. Dia membuatnya tidak butuh pada makhluk. Sang ‘arif selalu merasa hina di hadapan Allah swt. lantas Allah memuliakan di hadapan makhluk-Nya.”
Abu ath Thayyib as-Samary mengatakan : “Ma’rifat adalah munculnya Al-Haq di lembah batin melalui cahaya terus menerus memancar.”
Dikatakan : “Sang ‘arif itu di atas apa yang dikatakannya, dan sang ulama di bawah apa yang diucapkannya.”
Abu Sulaiman Abdurrahman ad-Darany berkata : “Allah swt. menyingkapkan kepada sang ‘arif di tempt tidurnya, yang tidak Dia ungkakan kepada orang lain, padahal orang lain itu sedang shalat.”
Al-Junayd mengatakan : “Sang ‘arif adalah yang berbicara haq dari batinnya, sedangkan ia sendiri dalam keadaan diam.”
Dzun Nuun menyatakan : “Bagi setiap orang ada hukuman tertentu, dan hukuman bagi seoang ‘arif adalah terputus dari dzikir kepada Allah swt.
Ruwaym berkata : “Riya’nya orang-orang ‘arif lebih utama daripada keikhlasan para murid (pencari).”
Abu Bakr Muhammad al-Warraq berkata : “Diamnya seorang ‘arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah paling simpatik dan paling menyenangkan.”
Dzun Nuun al-Mishry menegaskan : “Meskipun para zahid adalah raja-raja di akhirat, padahal mereka adalah paling fakirnya ‘arifin.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang san ‘arif, dia menjawab : “Warna air adalah warna wadahnya.” Artinya, sifat orang ‘arif selalu ditentukan oleh waktunya.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya tentang sang ‘arif. Dia mengatakan, : “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Allah swt. dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Allah swt. di saat bangunnya. Dia tidak sesuai dengan selain Allah swt, dan dia tidak memandang kepada selain Alalh swt.”
Abdullah bin Muhammad ad-Dimasyqy berkisah, bahwa salah seorang syeikh ditanya : “Dengan apa Anda mengenal Allah swt.?” Dia amenjawab : “Dengan kilatan cahaya yang memancar melalui lisan yang diambil dari pembedaan biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lisan seseorang yang binasa dan musnah.: Ia menunjuk kepada suatu ekstase yang muncul dan menuturkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkannya dari rahasia yang tertutup. Dirinya adalah apa yang diungkapkan-Nya; sedangkan yang lain-Nya adalah faktor yang menyulitkannya. Kemudian ia mendendangkan lagu-lagu :
Engkau bicara tanpa ucapan, adalah bicara yang sungguh
Hanya bagi-Mu, apakah tertulis atau lebih jelas
Dan sekedar bicara
Engkau Tampakkan, agar aku tersembunyi, padahal
Aku adalah orang yang bersembunyi
Engkau kilatkan cahaya padaku,
Aku pun bicara dengan kilatan.
Ketika ditanya sifat seorang ‘arif, Abu Turab Askar an-Nakhsyaby menjelaskan : “Tak sesuatu pun mengotorinya, justru segala sesuatu menjadi bersih karenanya.”
Abu Utsman Sa’id Maghriby berkata : “Cahaya pengetahuan bersinar bagi sang ‘arif, hingga dia melihat dengannya keajaiban-keajaiban yang gaib.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menyatakan : “Sang ‘arif hancur dalam lautan hakikat. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang Sufi, “Ma’rifat adalah ombak yang membumbung, naik dan turun.”
Yahya bin Mu’adz ditanya tentang sang ‘arif, dan menjawab : “Seseorang yang ada dan terpisah.” Ia katakan sekali lagi : “Mula-mula ada, kemudian terpisah.”
Dzun Nuun adl-Mishry mengatakan : “Tanda seorang ‘arif ada tiga : Cahaya ma’rifatnya tidak meniup cahaya wara’-nya; dia tidak percaya pada pengetahuan batin; apabila merusak hukum-hukum lahir; dan melimpahnya rahmat Allah swt. kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang menutupi kehormatan Alalh swt.
Dikatakan : “Orang yang ‘arif bukanlah orang yang berbicara tentang ma’rifat di hadapan generasi akhirat, dan lebih-lebih lagi bukan a’rif jika dia berbicara hal itu di hadapan orang-orang yang terikat pada dunia.”
Abu Sa’id al-Kharraz menyatakan : “Ma’rifat datang dari sebuah mata kedermaan dan curahan usaha serius.”
Ketika al-Junayd ditanya tentang perkataan Dzun Nuun al-Mishry mengenai sifat seorang ‘arif, (Dia ada di sana, kemudian menghilang pergi), maka al-Junayd menjawab : “Seorang ‘arif tidak dibatasi oleh kondisi ruhani satu ke kondisi lain, tidak pula ditirai oleh tahap yang berpindah dari satu ke lainnya. Jadi, dia berada bersama orang banyak dari setiap tempat seperti halnya mereka, dia mengalami apa pun yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka agar mereka bisa memberikan manfaat dengan pembicaraannya.”
Muhammad ibnul Dadhl berkata : “Ma’rifat adalah hidupnya hati bersama Allah swt.”
Abu Sa’id al-Kharraz ditanya : “Apakah sang ‘arif sampai pada kondisi, dimana air mata telah kering?” Dia menjawab : “Memang Menangis termasuk dalam masa ketika mereka melakukan perjalanan menuju Allah swt. Ketika mereka turun menuju lembah hakikat taqarub, dan mengalami rasa wushul dan anugerah-Nya, tangisan itu akan sirna.”

46.
MA’RIFAT
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamamnya, maka kelak Allah akan mendtangkan suatu kaum yang Allah menintai mereka dan mereka mintai-Nya.” (Qs. Al-Maidah :54).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. telah bersabda :
“Barangsiapa mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun mencintai pertemuan dengannya. Dan barangsiapa tidak mencintai pertemuan dengan Allah, maka Allah pun tidak mencintai pertemuan dengannya.” (H.r. Bukhari).
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik dari Nabi saw. dari Jibril as. Yang memberitahukan bahwa Tuhannya – Subhanahu wa Ta’ala, telah berfirman :
“Barangsiapa menyakiti salah seorang wali-Ku, berarti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, karena dia membenci kematian dan Aku tak suka menyakitinya, namun kematian harus terjadi. Tak ada cara taqarrub yang paling Ku-cintai bagi seorang hamba-Ku dibanding melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Kuperintahkan kepadanya. Dan senantiasa dia mendekati-Ku dengan melakukan ibadat-ibadat sunnah sampai Aku mencintainya. Dan siapa yang Kucintai, Aku menjadi telinga, mata, tangan, dan tiang penopang yang kokoh baginya.” (Hadist dikeluarkan oleh : Ibnu Abud Dunya, al-Hakim, Ibnu Madarwieh dan Abu Nu’aim serta Ibnu Asaakir, riwayat dari Anas r.a.).
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi telah bersabda : “Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba-Nya, maka Dia berfirman kepada Jibril : “Wahai Jibril, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia.” Jibril pun lalu mencintai Fulan itu, dan dia berseru kepada para penghuni langit lainnya : “Allah swt. mencintai Fulan, maka hendaklah kalian juga mencintainya.” Para penghuni langit pun lalu mencintai orang itu, dan dia pun diterima oleh manusia di muka bumi. Apabila Allah swt. marah pada seorang hamba....” Malik berkata, “Aku tak menduganya kecuali beliau (Nabi saw.) mengatakan yang sama seperti di atas mengenai kebencian Allah swt. kepada seorang hamba.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).
Cinta (mahabbah) adalah kondisi yang mulia yang telah disaksikan Allah swt. melalui cinta itu bagi hamba, dan Dia telah mempermaklumkan cinta-Nya kepada si hamba pula. Dan karenanya Allah swt. disifati sebagai Yang Mencintai hamba, dan si hamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Cinta menurut para ulama berarti kehendak.  Tetapi yang dimaksud kaum Sufi bukan kehendak. Karena kehendak hamba tidak tidak ada kaitannya dengan yang Qadim, kecuali jika menggunakan perkataan itu si hamba memaksudkan kehendak untuk membawa pada kehendak mendekat kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Kami akan membahas masalah ini dalam dua pangkal, Insya Allah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan pada hamba, suatu kehendak dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Cinta Allah swt. kepada hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan apda hamba, suatu kedekatan dan ihwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kehendak Allah swt. adalah satu sifat, dimana menurut kadar keterkaitannya, terjadi perbedaan dalam nama-namanya. Jika dikatkan dengan hukuman, maka ia disebut ghadab. Jika ia dikaitkan secara umum atas nikmat-nikmat-Nya, disebut rahmat. Jika ia dikaitkan dengan kekhususan nikmat disebut sebagai Mahabbah atau cinta.
Sebagian kaum Sufi mengatakan : “Cinta Allah swt. kepada hamba adalah pujian Allah swt. kepada hamba-Nya, dan Allah memujinya dengan sifat Indah-Nya.” Maka Cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini, yaitu kembali kepada Kalam-Nya, dan Kalam-Nya adalah Qadim.”
Sebagia Sufi berkata : “Cina-Nya kepada si hamba termasuk sifat-sifat tindakan-Nya, yaitu sebagai manisfestasi Ihsan-Nya, dimana Allah menemui Hamba-Nya. Sekaligus adalah ihwal ruhani khusus, dimana sang hamba menaiki tahapannya, sebagai diungkapkan kaum Sufi : “Rahmat-Nya kepada si hamba adalah nikmat-Nya menyertai-Nya.”
Sekelompok ulama salaf berkata : “Mahabbah-Nya merupakan sifat-sifat kebajikan. Mereka mengucapkan melaui teks dan menghindar dari penafsiran. Selain itu semua, termasuk hal yang rasional dalam sifat-sifat cinta makhluk, semisal kecondongan hati pada sesuatu atau menyenangi sesuatu, seperti juga situasi kemesraan antara pecinta dan yang dicintainya antar sesama manusia; Maka Allah swt. Yanga Maha Qadim jauh dari semua itu. Mengenai cinta si hamba terhadap Alah swt. itu adalah keadaan yang dialami dalam hatinya, yang terlalu lembut untuk dikatakan. Keadaan ini mendorong si hamba untuk ta’zim kepada-Nya, memperioritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduanyang mendesak kepada-Nya, tidak menemuka kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya, dan mengalamai keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir yang terus menerus kepada-Nya dalam hatinya.”
Cinta si hamba kepada Allah swt. tidaklah berupa kecenderungan manusiawi. Bagaimana bisa? Sedang hakikat kemandirian Allah swt. itu suci dari segala sentuhan, pemahaman dan pelampauan? Menggambarkan si pecinta sebagai yang musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih tepat daripada menggambarkannya sebagai memperoleh bentuk simpati pada-Nya. Cinta tidak bisa disifati dengan sesuatu diskripsi, tidak bisa dibatasi dan dijelaskan kecuali dengan cinta itu sendiri. Terlibat dalam pembicaraan yang mendalam di saat timbulnya kesulitan-kesulitan, maka, ketika kesamaran dan kerancuan menghilang, tidak ada lagi kebutuhan untuk meneggelamkan diri dalam penguraian kalam.
Ungkapan orang tentang cinta cukup banyak. Mereka berbicara menurut prinsip-prinsip bahasa. Di antara mereka mengatakan, Cinta (hubb) adalah nama bagi kemurnian cinta kasih, sebab orang Arab mengatakan tentang gigi yang paling putih dengan habab al-asnaan.”
Dikatakan : “Al-Hubab adalah gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan lebat. Jadi, cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bersegera bertemu dengan sang kekasih.
Dikatakan juga : “Hubb, berakar dari kata Hababul Maa’, adalah air bah besar. Cinta dinamakan mahabbah karena ia adalah kepedulian yang paling besar dari cinta hati.”
Dikatakan : “Cinta bersumber dari akar kata yang memiliki arti keteguhan dan kemantapan. Dikatakan ahabbal ba’iir  untuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi. Seakan-akan san pencinta (muhibb) tidak akan menggerakkan hatinya, jauh dari mengingat sang kekasih (mahbub).”
Dikatakan : “Cinta (hubb) berasal dari kata habb, yang berarti anting-anting. Penyair berkata :
Ular menjulur-julurkan lidahnya,
Mengabiskan malam di sisi anting-anting,
Mendengarkan rahasia-rahasia.
Dalam syair di atas, digunakan kata habb untuk anting-anting, dikarenakan posisinya yang tetap di telinga, atau karena goyangnya. Kedua makna tersebut relevan pada kata cinta.”
Dikatakan : “Cinta dari kata habb (biji-bijian) yang merupakan jama’ dari habbat. Dan habbabul qalb adalah sesuatu yang menjadi penopangnya. Dengan demikian cinta dinamakan hubb dikarenakan ia tersimpan dalam kalbu.”
Dikatakan : “Kata hubb berasal dari kata hibbah, yang berarti biji-bijian dari padang pasir. Cinta dinamai Hubb adalah lubuk kehidupan, seperti hubb sebagai benih tumbuh-rumbuhan.”
Dikatakan : “Hubb adalah keempat sisi tempat air. Cinta dinamakanhubb karena ia memikul beban dari yang dicintai, dari segala hal yang luhur maupun yang hina.”
Dikatakan juga : “Cinta berasal dari kata hibb, tempat yang di dalamnya ada air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat bagi lainnya. Demikian pula, manakala hati diluapi cinta, tak ada lagi tempat lagi selain sang kekasih.”
Sementara ungkapan-ungkapan para tokoh sufi, antara lain :
“Cinta berarti mengutamakan sang kekasih di atas semua yang yang dikasihi.”
“Cinta adalah senantiasa condong kepada sang kekasih dengan hati bimbang.”
“Cinta adalah bahwa kesesuaian diri dengan Sang Kekasih, di alam nyata maupun gaib.”
“Cinta adalah peleburan si pecinta aats sifat-sifatnya dan peneguhan Sang Kekasih dengan Dzat-Nya.”
“Cinta adalah relevansi hati dengan Kehendak Tuhan.”
“Cinta berarti ketakutan bila berlaku kurang hormat ketika menegakkan baktinya.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Cinta adalah membebaskan hal-hal sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan membesar-besarkan hal-hal kecil yang datang dari kekasihmu.”
Sahl mengatakan : “Cinta berarti memeluk ketaatan dan berpisah dari sikap kontra.”
Al-Junayd ditanya tentang cinta, dia menjawab : “Cinta berarti merasuknya sifat-sifat Sang Kekasih mengambil alih sifat-sifat pecinta.” Di sini al-Junayd menunjukkan betapa hati si pencinta direnggut oleh ingatan kepada Sang Kekasih, hingga tak satu pun yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat Sang Kekasih, hingga si pecinta lupa dan tidak sadar akan sifat-sifatnya sendiri.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary mengatakan : “Hakikat cinta berarti bahwa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang kau cintai, hingga tak satu pun yang tersisa.”
Dulaf asy-Syibly menjelaskan : “Cinta disebut “mahabbah” karena ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain Sang Kekasih.”
Ahmad bin Atha’ menegaskan : “Cinta berarti menegakkan cacian selamanya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan pula : “Cinta adalah kelezatan, tetapi kedudukan hakikatnya adalah kedahsyatan.” Saya mendengar beliau juga mengatakan : “Asyik masyuk cinta adalah melampaui semua batas cinta. Dan Allah swt. tidak bisa digambarkan sebagai melampaui batas, Jadi Dia tidak bisa disifati sebagai memiliki sifat asyik (‘isyq). Jika seluruh cinta manusia dikumpulkan pada satu pribadi orang, maka cinta itu akan masih sangat jauh dari kadar cinta yang seharusnya dipersembahkan kepada Allah swt. Tidak bisa dikatakan, Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah swt. Allah tidak bisa dikatakan memiliki sifat cinta yang asyik masyuk. Tidak pula si hamba bisa digambarkan sebagai memiliki Sifat-sifat-Nya, bahwa Allah swt. berkobar cinta-Nya. Cinta yang berkobar-kobar (‘isyq) tidak bisa digunakan dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Sebab tidak ada dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Allah swt. baik dari Dia kepada si hamba ataupun dari hamba kepada Allah swt.” (Al-Haq tidak asyik dalam masyuk hamba-Nya, begitu pula hamba, tidak dalam asyiknya al-Haq, ed).
Asy-Syibly berkata : “Cinta berarti engkau cemburu demi Sang Kekasih, bila seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.”
Ketika ditanya tentang cinta, Ahmad bin Atha’ menjawab : “Cinta adalah pohon yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah sesuai dengan kadar akal.”
Manshur bin Abdullah mengisahkan bahwa Nashr Abadzy berkomentar : “Satu macam cinta bisa mencegah pertumpahan darah, sedangkan macam yang lain menyebabkan pertumpahan darah.”
Sumnun bin Hamzah al-Khawwas menyatakan : “Para pecinta Allah swt. telah pergi membawa akemuliaan di dunia dan akhirat, sebab Nabi saw. bersabda : “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.” (H.r. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi). Dan mereka pun bersama Allah swt.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Hakikat cinta adalah bahwa ia tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kekeringan, tidak pula bertambah jika dia disuguhi kebaikan. “Katanya pula : “Orang yang mendakwakan diri mencintai Allah swt. adalah pendusta jika dia mengabaikan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.”
Al-Junayd menegaskan : “Jika cinta seseorang itu benar, maka anturan adab telah gugur.”
Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq bersyair dalam kaitan ucapan Junayd :
Jika telah murni kasih sayang manusia,
Dan cinta mereka lestari,
Memuji telah menjadi kasar.
Al-Junyad juga mengatakan : “Anda tidak akan menjumpai seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh penghormatan, sementara orang lain menggunkana sebutan yang penuh kesantunan untuk memanggil anaknya itu. Si ayah biasanya memanggil “Hai Fulan”.
Muhammad bin Ali al-Kattany berkata : “Cinta adalah mengutamakan segalanya bagi Sang Kekasih.”
Bundal ibnul Husian berkata : “Seseorang bermimpi melihat Majnun dan Banu Amir dan bertanya kepadanya : “Apa yang telah dilakukan Allah swt. terhadapmu?” Majnun menjawab : “Dia telah mengampuniku dan menjadikanku sebagi hujjah bagi para pecinta.”
Abu Ya’qubas-Susuy mengatakan : “Hakikat cinta adalah bahwa si hamba melupakan bagian dari Allah swt. dan juga lupa akan kebutuhannya terhadap Allah swt.”
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj mengatakan : “ Hakikat cinta adalah tegakmu bersama Kekasihmu dan mencopot sifat-sifatmu.”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy mengisahkan, bahwa seseorang mengatakan kepada an-Nashr Abadzy : “Engkau belum pernah mengalami cinta!” Dia menjawab : “(Orang yang berkata begitu), benar. Tetapi aku menanggung kesedihan mereka, dan di sana lah aku terbakar di dalamnya.” Dia juga mengatakan : “Cinta adalah menghindari kelalaian dalam semua keadaan.”
Kemudian dia bersyair :
Orang yang hasrat cintanya panjang
Akan merasakan kelupaan,
Sungguh, dari Layla, diriku bukan perasa.
Semakin banyak menemuinya
Harapanku tak tergapai
Berlalu secepat kilatan cahaya.
Muhammad ibnu Fadhl al-Farawy mengatakan : “Cinta berarti gugurnya semua cinta, kecuali cinta Sang Kekasih.”
Al-Junayd mengatakan : “Cinta adalah mengabaikan hasrat tanpa harap.”
Dikatakan : “Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh Sang Kekasih dalam hati.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah cobaan besar yang ditempatkan dalam hati dari yang dihasrati.”
Ahmad bin Atha’ membacakan syair :
Kutanam satu cabang cinta para pecinta “
Cinta menumbuhkan cabang-cabang, dan hasrat rindu yang mematang
Dan meninggalkan aku dari rasa pahit dari buah-buahan yang manis,
Hasrat dari semua perindu adalah cintanya,
Jika mereka menelusurinya, ternyata dari akar itu.
Dikatakan : “Awal mula cinta adalah penipuan, dan akhirnya pembunuhan.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan komentar tentang hadis Nabi saw. : “Cinta terhadap sesuatu, membutakan dan menulikan.” (H.r. Abu Dawud, dari Anas bin Malik), bahwa cinta membutakan seseorang terhadap orang lain karena cemburu, sedangkan terhadap sang kekasih karena rasa kharisma.
Kemudian beliau membacakan syair :
Jika kebesan-Nya yang tidak tampak padaku,
Aku akan terusir kembali dalam keadaan sama
Dengan orang belum pernah berhasrat.
Al-Harits al-Muhasiby menjelaskan : “Cinta adalah kecenderunganmu kepada sesuatu dengan sepenuhnya, kemudian engkau mengutamakan padanya dibanding dirimu, jiwamu dan harta bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengannya, baik secara lahir maupun batin, kemudian menginformasikan atas kekuranganmu dalam mencintai-Nya.”
As-Sary as-Saqathy mengatakan : “Tidak bisa dikatakan cinta yang sebenarnya jika dua pihak tidak bisa mengatakan kepda amasing-masing dengan ungkapan “Wahai diriku”.
Asy-Syibly berkata : “Sang pecinta akan binasa jika diam, tetapi sang ‘arif akan binasa jika tidak berdiam diri.”
Dikatakan : “Cinta adalah api dalam hati yang membakar segala sesuatu selain kehendak sang kekasih.”
Dikatakan juga : “Cinta adalah upaya besar sementara sang pecinta melaksanakan kehendak sang kekasih.”
Ahmad an-Nury mengatakan : “Cinta berarti merobek tabir dan menyingkap rahasia-rahasia.”
Abu Ya’qub as-Susy berkata : “Cinta tidak sah tanpa keluar dari melihat cinta menuju penglihatan Sang Kekasih, dengan kefana’an ilmu cinta.”
Al-Junayd menuturkan : “As-Sary memberikan sepotong kertas kepadaku dan tertulis : “Ini lebih baik bagimu daripada tujuhratus kisah atau hadis.’ Dan di sana ada bait-bait syair :
Ketika aku mengaku cinta
Ia berkata : “Engkau bohong padaku”
Lalu apa bagiku, ketika kulihat tubuhmu nan bulat nan elok?
Tiada cinta, melainkan sampai hati melekat pada urat di dalam
Sedang engkau layu sampai tak tersisa
Untuk menjawab sang penyeru
Dan engkau terpatah-patah sampai tak ada lagi hasrat cinta
Selain mata yang menangis dan ..
Penuh Munajat.....
Ibnu Masruq berkomentar : “Aku hadir ketika Samnun sedang berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjdi lalu pecah.” Dikatakan : “Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun berbicara tentang cinta di masjdi, tiba-tiba seekor burung kecil datang dan mendekat ke arahnya. Ia terus mendekat hingga akhirnya hinggap di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya, kemudian mati.”
Al-Junayd menjelaskan : “Semua cinta dengan satu tujuan. Jika tujuan itu hilang, maka cinta pun akan hilang pula.”
Diceritakan bahwa sekelompok orang datang mengunjungi Asy-Syibly ketika dia sedang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia bertanya, “Siapa kalian ini?” Mereka menjawab : “Kami adalah orang-orang yang mencintaimu, wahai Abu Bakr!.”  Syibly menghadap mereka lantas melempari mereka dengan batu, sembari berkata : “Jika kalian mengaku benar-benar mencintaiku, tentu kalian akan bersabar atas ujian yang menimpaku.” Lalu dia mendendangkan syair :
Wahai Tuhan Mulia, cinta kepadamu tersimpan daam hati.
Wahai Engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak mataku,
Engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Mu’adz menulis kepada Abu Yazid al-Bisthamy : “Aku mabuk karena terlalu banyak meminum dari cangkir cinta-Nya.” Abu Yazid membalas suratnya : “Orang lain meminum lautan langit dan bumi namun rasa hausnya belum terpuaskan, sembari berkata, Apa masih ada lagi?”
Para Sufi bersyair :’Aku kagum bagi yang berkata,
‘Aku mengingat-ingat kekasihku.’
Adakah aku bisa melupakan, lalu aku masih ingat yang kulupa?”
Aku mati, tapi apa aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.
Kalau-lah bukan karena husnudzanku pada-Mu
Aku tak kan hidup
Aku hidup dengan harapan, dan aku mati karena rindu.
Berapa kali aku hidup melalui harapan pada-Mu,
Dan berapa kali aku telah mati!
Aku meminum air cinta dan piala ke piala
Namun piala tetap penuh jua
Hausku tak henti-hentinya.
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Isa as. : “Jika Aku melihat kepada hati seorang hamba dan Aku tidak menemukan cinta terhadap dunia ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya dengan cinta-Ku.”
Saya melihat tulisan Syeikh Abu Ali ad- Daqqaq : “Salah satu kitab wahyu menegaskan : “Wahai hamba-Ku, Aku demi hakmu bagimu, sebagai Pecinta, maka demi hak-Ku jadilah engkau bagi-Ku sebagai pecinta.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barang siapa dianugerahi satu bagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang sama, berarti tertipu.”
Dikatakan : “Cinta menghapus semua bekas dirimu.”
Dikatakan pula : “Cinta adalah kemabukkan; kesadaran hanya datang dengan melihat Sang Kekasih. Keetika melihat Kekasih justru tak bisa dibayangkan.”
Para Sufi membacakan syair berikut :
Piala berputar, mereka pun mabuk,
Sedang mabukku datang dari si pemutar piala
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut :
Aku menikmati dua mabuk
Sedangkan teman-teman minumku hanya satu
Sesuatu yang istimewa bagiku di antara mereka
Yang mendapat anugerah itu
Ibnu Atha’ mengatakan : “Cinta berarti mengundang celaan yang terus menerus.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mempunyai seorang budak perempuan bernama Fairuz yang beliau cintai, karena telah berbakti begitu lama. Beliau mengatakan kepadaku : “Pada suatu hari Fairuz menghinaku, dengan mengucapkan kata-kata nyerocos. Abu Hasan al-Qari’ bertanya kepadanya : “Mengapa engkau menyakiti Syeikh?” Dia menjawab, “Karena saya mencintainya.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan : “Aku lebih suka memiliki cinta sebesar biji sawi daripada ibadat selama tujuhpuluh tahun tanpa cinta.”
Diceritakan bahwa seorang pemuda memandang kepada orang-orang yang berkumpul pada hari hari taya dan bersyair :
Siapa yang mati dalam keluhan cinta
Matilah seperti itu,
Tak baik dalam cinta tanpa kematian
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas rumah dan mati.
Diceritakan bahwa seorang laki-laki dari India menaruh cinta yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada suatu hari si budak meninggalkannya, dia keluar untuk mengucapkan selamat berpisah kepadanya. Airmata mengalir dari salah satu matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak mengeluarkan airmata. Selama delapanpuluh empat tahundia menutup matanya yang tak menangis itu sebagai hukuman karena tidak menangis ketika kekasihnya pergi. Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Sebelah mataku menangis di pagi hari ketika berpisah,
Namun mata yang lain kikir pada kami untuk menangis.
Maka kuhukum mata yang kikir airmata
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling bertemu.
Salah seorang Sufi berkata : “Pada suatu hari ketika kami sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nuun al-Mishry tentang cinta, dia meminta, dengan bersyair :
Takut lebih utama daripada terjerumus pelaku kejahatan
Ketika dia meratap, dan sedih
Sementara cinta cocok buat mereka yang saleh dan benar-benar suci.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Siapa yang menyebarkan cinta di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya, adalah pendusta dalam pernyataan-pernyataannya.”
Samnun lebih mengutamakan ma’rifat atas cinta. Menurut mereka yang telah mencapai hakikat, cinta berarti lebur ke dalam keadaan kemanisan, dan ma’rifat berarti menyaksikan dalam keadaan bingung dan terhapus dalam kegentaran.
Abu Bakr al-Kattany menuturkan : “Persoalan cinta sedang dibicarakan di antara para syeikh di Mekkah selama musim haji. Al-Junayd adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya suatu kali, dan bertanya kepadanya : “Hai orang Irak, kaakanlah kepada kami apa pendapatmu. Al-Junayd menundukkan kepalanya dan menangis, kemudian menjawab : “Cinta adalah seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan meletakkan dirinya pada dzikir kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan kesadaran yang terus menerus akan Dia dalam hatinya. Cahaya Dzatnya membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam gaib-Nyam hingga manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala ia bergerak, dia bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka diamnya adalah bersama Allah. Dia akan selalu dengan Allah, bagi Allah dan beserta Allah.” Mendengar kata-kata al-Junayd itu, semua syeikh itu pun menangis, dan berkata, “Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para ‘Arifin!.”.
Diriwayatkan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as : “Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya.”
Abul Abbas, pelayan Fudhail bin ‘Iyadh, menuturkan : “Suatu ketika Fudhail menderita sakit kencing. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas dan berdoa : “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu, lepaskanlah penyakit ini dariku.” Kami tidak meninggalkannya sampai akhirnya ia pun sembuh.”
Saya mendengar Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan bahwa cinta berarti lebih mengutamakan orang lain, seperti cinta permaisuri Raja Aziz ketika dia menyesali perbuatannya : “Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. Yusuf :51). Sebelumnya dia telah mengatakan : “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (Qs. Yusuf :25). Jadi, mula-mula dia menuduh Yusuf telah berbuat dosa, tetapi akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas penghianatannya itu.
Abu Sa’id Hamdun al-Kharraz mengatakan : “Aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw. dan aku berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, maafkanlah saya. Sebab cinta saya kepada Allah swt. telah memenuhi kalbu saya dan tidak menyisihkan cinta bagimu.” Beliau menjawab : “Wahai orang gyang diberekati, barangsiapa mencintai Allah swt. berarti ia emncintaiku.”
Diceritakan tentang munajat Rabi’ah Adawiyah : “Tuhanku, akankah Engkau membakar hati yang mencintai-Mu dengan api?” Tiba-tiba muncul bisikan : “Kami tidak akan melakukan hal seperti itu, Engkau jangan menyanggka buruk kepada Kami.”
Dikatakan : “Kata cinta (hubb) terdiri dari dua huruf “Ha” dan “ba”, yang mengisyaratkan bagi pecinta, hendaknya meninggalkan ruh, kalbu dan badannya.” Sebagai dinyatakan oleh pendapat Ijma’ di kalangan para Sufi, cinta adalah penyesuaian dengan hati, sedangkan cinta menafikan secara psti adanya pertentangan. Pecinta selalu bersama Sang Kekasih. Dalam hal ini didukung oleh sebuah hadis, riwayat Abu Musa al-Asy’ary yang mengatakan bahwa seseorang bertanya kepada Nabi saw. : “Dapatkah seseornag mencintai suatu kaum tapi tidak pernah bertemu dengan mereka?” Nabi menjawab : “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintai.”
Abu Hafs menegaskan : “Kerusakan kondisi ruhani, rata-rata karena tiga perkara : Kefasikan para arifin, penghgianatan para pecinta (muhibbin), dan dustanya para muridin (pemula).”
Abu Utsan berkata : “Dosa para ‘arifin adalah menggunakan ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk kepentingan duniawi dan memperoleh keuntungan darinya. Penghianatan para pencinta adalah mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri dibanding keridhaan Allah swt. dalam urusan-urusan yang mereka hadapi.
Dusta para pemuda adalah bahwa mereka lebih peduli terhadap kesadaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir dan memandang kepada Allah swt.”
Abu Ali Mumsyad bin Sa’id al-Ukbary menuturkan : Seekor burung pipit jantan mencoba mencumbu seekor burung pipit betina di bawah kubah Nabi Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si jantan bertanya kepadanya : “Bagaimana kamu bisa menolakku sedangkan jika aku mau, aku bisa membuat kubah ini runtuh menimpa Suaiman?” (Sementara Sulaiman mendengar pembicaraan kedua burung itu, karena memang beliau diberi kemampuan oleh Allah swt. untuk mengerti dialog burung), lalu beliau memanggilnya dan menanyakan kepadanya : “Apa yang membuatmu berkata begitu?” Si burung menjawab : “Wahai Nabi Allah, para perindu yang masyuk tidak bisa dituntut melalui kata-katanya.” Sulaiman menjawab : “Anda benar.!”

47.
R I N D U
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang, Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.: (Qs. Al-Ankabut : 5).
Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan kepadanya : “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat dan dia mempercepatnya. Aku berkata : “Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai Abul Yqzan.” Dia menjawab : “Hal itu tidak ada  salahnya, karena aku memanjatkan kepada Alalh sebuah doa yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.” Ketika hendak beranjak, salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu. Dia pun mengulanginya : “Ya Allah dengan ilmu-Mu yang gaib dan dengan kekuasaanmu atas semua makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa hidup itu membawa kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa mati itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata maupun yang gaib. Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar ketika aku senang maupun ketika aku marah. Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan dalam kekayaan amupun kemiskinan. Aku mohon kepda-Mu kesenangan yang tak abadi, dan kesejukan jiwa yang tak terputus. Aku mohon kepda-Mu keridhaan dengan apa yang telah ditentukan. Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk sesudah mati. Aku mohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang mengancam, ayau menjadi korban fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk maupun penerima petunjuk.”
 Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar volume cinta.
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara rindu dan hasrat yang bergolak, katanya : “Rindu ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak tidak sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini pra Sufi bersyair :
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya.
Sehingga kembali kepada-nya, penuh gelora.
An-Nashr Abadzi menyatakan : “Semua orang mempunyai tahap kerinduan. Namun tidak semuanya mengalamai tahap gelora, dan siapa yang memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehinggaia tidak dipandang lagi pengaruh atau kesan dan keteguhan.”
Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya : “Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus bersiap-siap untuk keluar dari dunia.” Abdullah ibnul Mubarak menjawab : “Engkau memberiku waktu yang lama, aku hidup sampai setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar dari Abu Ali ats-Tsaqafy :
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
Bersabarlah, siapa tahu esok
Engkau bertemu Sang Kekasih.”
Abu Utsman menuturkan : “Tanda rindu adalah mencintai kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mua’dz menyatakan : “Tanda rindu adalah membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Pada suatu hari Daud as. Pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah swt. menurunkan wahyu kepadanya : “Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagi orang yang sendirian!” Daud menjawab : “Tuhanku, aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku untuk bertemu dengan-Mu, lantas terhalang antara diriku untuk bergaul sesama manusia.” Maka Allah swt. lalu berfirman : “Kembalilah kepada mereka. Sebab, bila engkau mendatangi-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku tetapkan dirimu di Laih Mahfudz sebagai seorang arih yang bijak.”
Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun wanita itu justru menangis tersedu. Ia ditanya : “Apa yang engkau tangisi?” Wanita itu menjawab : “Aku teringat kedatangan pemuda itu, jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah swt.”
Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia menjawab, “Jiwa yang terbakar, kalu yang berkobar, dan jantung yang berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya : “Manakah yang lebih utama, rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab : “Cinta, karena rindu terlahir dari cinta.”
Salah seorang Sufi menyatakan : “Rindu adalah kobaran dari jiwa, dan apinya menjilat-jilat ketika berpisah. Bila pertemeuan tiba, api itu jadi padam. Bila yang dominan pada rahasia batinnya adalah penyaksian sang kekasih, kerinduan tak melintas lagi.”
Seorang Sufi ditanya : “Apakah Anda pernah mengalami kerinduan?” Dia menjawab : “Tidak. Rindu hanya bagi pecinta yang tak bersama kekasihnya. Sedangkan Kekasih sebenarnya, senantiasa hadir.”
Saya mendengar Syeikh Abi Ali ad-Daqqaq memberi komentar atas firman Allah swt. “ .... dan aku bergerak kepadamu, wahai Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” (Qs. Thaha :84). Arti ayat ini : “Aku bergerak kepada-Mu karena indu kepada-Mu.” Namun disamarkan melalui kata ridha.”
Ad-Daqqaq juga berkata : “Salah satu tanda rindu adalah harapan pada kematian dalam hamaparan ampunan yang sejahtera. Begitulah Nabi Yusuf as. Ketika dilemparkan ke dalam sumur, beliau tidak berkata : “Biarkanlah aku mati saja!” Ketika dimasukkan ke dalam penjara, beliau juga tidak mengatakan : “Biarkanlah aku mati saja!”. Tetapi keetika orangtuanya datang kepadanya dan semua saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata : “Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam (Qs. Yusuf :1010).” Mengenai hal ini para Sufi bersyair :
Kami dalam puncka kegembiraan,
Namun tak bisa sempurna,
Kecuali dengan kalian
Cacat yang ada pada kami,
Wahai orang-orang yang kucintai,
Engkau semua digaibkan
Sedang kami telah hadir.
Mereka juga bersyair :
Siapakah yang memeriahkan pesta raya,
Padahal aku sungguh berduka,
Kegembiraan telah penuh bagiku
Bila kekasih-kekasihku tiba.
Abu Abdullah bin Khafif mengatakan : “Rindu adalah hembusan kalbu yang muncul karena pesona, kecintaan untuk bertemu dan rasa ingin berdekatan.”
Abu Yazid al-Bisthamy berkata : “Allah swt. mempunyai hamba-hamba tertentu, jika Dia menutup tirai bagi mereka, maka mereka akan memohon agar dikeluarkan dari surga sebagaimana para penghuni neraka minta dikeluarkan dari neraka.”
Al- Husain al-Anshary berkata : “Aku bermimpi bahwa hari Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah ‘Arasy, Alalh swt. lalu bertanya : “Wahai para malaikat-Ku, siapakah orang ini?” Menereka menjawab : “Engkau lebih Maha Mengetahui.” Maka Allah swt. pun berfirman : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia mabuk karena mencintai-Ku; dan tak akan sadar kecuali berjumpa dengan-Ku.” Riwayat lain mengatakan : “Inilah Ma’ruf al-Karkhy. Dia meninggalkan dunia dalam keadaan rindu kepada Alalh. Maka Alalh lalu memperkenankannya menatap Wajah-Nya.”
Farais menegaskan : “Hati para perindu disinari dengan cahaya Alalh swt. Manakala Gairah kerinduan mereka membara, cahaya itu menerangi langit dan bumi, dan Allah swt. menunjukkan kepada malaikat-malaikat-Nya, seraya berfirman : “Mereka adalah perindu-perindu kepada-Ku, Aku bersaksi pada kalian bahwa Aku pun sesungguhnya lebih rindu kepada mereka.”
Syeikh Abu Ali ad- Daqqa pernah menjelaskan mengenai sabda Nabi saw. : “Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk berjumpa dengan-Mu.” Komentar Abu Ali : “Rindu itu terdiri dari seratus bagian. Nabi memiliki sembilan puluh sembilan bagian, dan yang satu bagian dibagi-bagi di kalangan umat manusia.” Abu Ali juga menginginkan yang satu bagian itu, karena beliau cemburu jika satu bagian rindu diberikan kepada orang lain.”
Dikatakan : “Kerinduan orang-orang yang muqarrabun lebih sempurna dibanding kerinduan mereka yang terhijab dari kehadiran-Nya.”
Demikianlah dikatakan penyair :
Sebutuk kerinduan suatu ketika
Bila tanda-tanda saling mendekat.
Dikatakan juga : “Para perindu saling merasakan manisnya kematian, ketika menjemputnya, semata karena jiwa pertemuan telah terbuka melebihi manisnya penyaksian.”
As-Sary menyatakan : “Rindu adalah maqam teragung bagi seorang ‘arif manakala telah terwujud di dalamnya. Manakala dia mencapai kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang menjauhkan dari yang dirindukannya.”
Abu Utsman bin Sa’id al-Hiry berkomentar mengenai firman Allah swt. “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang.” (Qs. Al-Ankabut :5). “Ayat ini sebagai penentram bagi para perindu. “Tafsirnya : “Aku tahu bahwa rindu kalian kepada-Ku begitu kuat. Aku telah menetapkan satu waktu bagi kalian untuk berjumpa dengan-Ku. Kalian semua akan segera datang kepada Yang kalian rindukan.”
Dikatakan bahwa Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Daud as. : “Katakanlah kepada para pemuda Bani Israil : “Mengapa kalian menaruh kepeduan selain kepada-Ku, sedangkan Aku merindukanmu? Dusta macam apa ini?”
Allah swt. juga menurunkan wahyu kepada Daaud as. : “Jika saja mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui bagaimana Aku telah menunggu mereka, melimpahkan kasih sayang kepada mereka, dan kerinduan-Ku agar mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-Ku, pasti mereka mati semua karena rindu mereka, dan sendi-sendi mereka remuk karena cinta kepada-Ku. Wahai Daud, inilah Kehendak-Ku terhadap mereka yang telah berpaling dari Ku, lalu bagaimana kemauan-Ku terhadap mereka yang menghadap kepada-Ku?”
Dikatakan bahwa dalam kitab Taurat tertulis : “Kami sangat merindukan kalian semua, namun kalian tidak saling membalas rindu; Kami tanamkan rasa takut dalam dirimu, tapi kalian sendiri tidak merasa takut. Dan kami memberi ratapan kepada kalian, sayangnya kalian semua tidak pernah meratap.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan : “Suatu ketika Syu’aib menangis hingga matanya buta. Allah swt. mengembalikan penglihatannya. Dia menangis lagi sampai buta kembali, dan Allah swt. mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian ia menangis sampai buta, lantas Allah swt. mewahyukan : “Jika engkau menangis karena neraka, maka Aku pun telah menjadidkanmu selamat darinya.” Syu’aib menjawab : “Bukan itu. Aku menangis karena rindu kepada-Mu.” Lalalu Allah berfirman padanya : “Karena itu Aku menunjuk Nabi-Ku dan Kalimat-Ku untuk melayanimu selama sepuluh tahun.”
Dikatakan : “Barangsiapa rindu kepada Alalh swt. maka segala sesuatu merindukannya.”
Dan dalam hadis disebutkan : “Surga merindukan tiga orang : Ali, Ammar dan Salman.”
Malik bin Dinar mengatakan : “Aku membaca dalam Taurat begini : “Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, tetapi kamu sekalian tidak rindu kepada Kami. Kami mainkan seruling untukmu, tetapi engkau tidak menari.”
Al-Junayd ditanya : “Apa yang membuat seorang pecinta menangis ketika bertemu dengan Kekasihnya?” Dia menjawab : “Itu hanya karena kegembiraannya pada ang Kekasih, dan kepesonaan karena kedahsyatan rindu kepada-Nya.”

48.
MENJAGA PERASAAN HATI SYEIKH
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman dalam kisah Nabi Musa as. Bersma al-Khidhr as. :
“Musa berkata kepada Khidhr : “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepada ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu.” (Qs. Al-Kahfi :66).
Al-Junayd berkata : “Ketika Musa ingin berguru kepada Khidr, beliau menjaga syarat-syarat etika. Pertama, mohon izin dalam berguru, lantas al-Khidhr memberi syarat kepadanya agar tidak menentangnya dalam segala hal, dan tidak mengajukan protes atas keputusannya. Namun ketika Musa as. Mulai kontra terhadapnya, dibiarkanlah sikapnya yang pertama dan kedua. Tetapi kontra untuk ketiga kalinya – dan yang ketiga merupakan batas minim dari jumlah banyak dan awal dari batas banyak – maka terjadilah perpisahan. Khidhr berkata :
“Inilah perpisahan antara aku dan antara kamu.” (Qs. Al-Kahfi:78).
Rasulullah saw. bersabda : “Orang muda yang tidak menghormati seorang guru (Syeikh) karena usianya, melainkan Allah akan menakdirkan baginya, kelak orang akan menghormati dirinya saat usianya sudah tua.” (H.r. Tirmidzi).
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Awal segala perpisahan adalah pertentangan. Yakni, orang yang kontra dengan syeikhnya, berarti ia tidak menetapi tharikatnya. Hubungan antara keduanya telah terputus, walaupun keduanya terkumpul dalam satu bidang tanah. Barangsiapa berguru kepada salah satu syeikh, kemudian dalam hatinya ada kinflik, maka janji pertalian guru dan murid telah rusak, dan ia wajib bertobat.”
Salah satu syeikh berkata : “Menyakiti para guru, tidak ada lagi tobatnya.”
Saya mendengar Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku pergi ke Marw apda saat syeikhku, Abu Sahl ash-Sah’luky masih hidup. Sebelum aku keluar dulu, pada hari-hari Jum;at pagi selalua da majelis Khtamul Qur’an. Tetapi ketika aku kembali, majelis tersebut telah tiada. Diganti dengan suatu forum diskusi yang dipimpin oleh Abul Ghaffany. Kenyataan itu membuatku gelisah, dan aku berkata padaku : “Hai Abu Abdurrahman, apa yang diperbincangkan banyak orang tentang diriku?” Aku berkata padanya : “Mereka mengatakan; majleis Al-Qur’anul Karim telah dihilangkan dan diganti majelis diskusi.” Lantas syeikh berkata : “Siapa saja yang berrkata kepada gurunya : “Mengapa? Maka dia tak akan bahagia selamanya.”
Uccapan yang populer dari al-Junayd antara lain : “Aku memasuki rumah Sary as-Saqathy pada suatu hari. Dia memerintahkan sessuatu padaku, dan au bergegas memenuhi kebutuhannya. Maka di saat aku kembali kepdanya, ia memberikan secarik kerts, sembari berkata : “Inilah kedudukan pemenuhamu atas kebutuhanku yang begitu cepat.” Lalu kubaca pada kertas itu, ternyata di sana tertulis :
Aku mendengar orang yang berjalan di apdang pasir menyanyi,
Aku menangis, dan tahukah nekgau, mengapa?
Aku menangis karena ketakutan
Bila engkau memisahkan diriku
Bila engkau memisahkan ikatan-ikatan hatiku
Bila engkau menghindar dariku.”
Diriwayatkan dari Abul Hasan al-Hamdzany al-Alawy yang berkata : “Suatu malam aku berada di tempat Ja’far al-Khuldy. Padahal waktu itu aku diperintah untuk menggantungkan burung di atas dapur. Hatiku sangat berkait dengan burung itu. Ja’far berkata padaku : “Bangunlah malam ini.” Aku merasa ada yang mengganjal dan aku pun pulang. Kukeluarkan burung dari dapur dan kuletakkan di sisiku. Tiba-tiba ada anjing masuk dari arah pintu. Anjing itu langsung meraih burung, di saat orang-orang yang hadir alpa. Ketika esok paginya aku datang ke Ja’far, sejenak pandang matanya tertuju padaku, dan berkata : “Siapa yang tidak menjaga perasaan hati para syeikh, ia akan dipaksa oleh anjing yang menyakitinya.”
Abdullah ar=Razy mendengar  Abu Utsman Sa’id al-Hiry sedang menjelaskan sifat Muhammad ibnul Fadhl al-Balkhy, dan memuji-memijinya. Tiba-tiba Abdullah sangat rindu pada al-Balkhy, kemudian pergi berziarah pdanya. Namun hatinya tidak berkenan pada Muhammad ibnul Fadhl. Lalu ia kembali ke Abu Utsman, dan Abu Utsman bertanya : “Bagaimana, Anda sudah menemuinya?” Abdullah menjawab : “Aku tak menemui apa-apa sebagaimana kuduga.” Lantas Abu Utsman berkata : “Karera Anda mengaanggapnya arendah. Dan tak seorag pun yang menganggap rendah seseorang melainkan ia terhalang dari sari faedah. Kembalilah padanya dengan penuh hormat.” Abdullah pun kembali kepadanya dan banyak mengambil manfaat dari ziarahnya itu.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkaa : “Ketika penduduk Balkh mengusir Muhammad ibnul Fadhl dari daerahnya, dia mendoakan meraka : “Ya Allah, cegahlah kejujuran dari mereka.” Maka seteah itu tak seorang jujur pun yang muncul dari daerah Balkh.
Saya mendengar Ahmad bin Yahya al-Abiwady – rahimahullah ta’ala – berkata : “Barangsiapa syeikhnya ridha, ia tidak akan menyimpang pada saat hidupnya, dengan maksud agar rasa ta’zimnya kepda syeikh tersebut tidak hilang. Apabila syeikh telah meninggal dunia Allah swt. akan menampakkan balasan ridhanya syeikh kepadanaya. Namun, barangsiapa membuat hatinya syeikh berubah, maka ia tak akan menyipang pada zaman syeikh tersebut hidup, karena ia tak ingin membelenggunya. Mereka senantiasa memiliki karakter untuk menghormati. Apabila syeikh tersebut meninggal dunia, maka pada saat itulah muncul suatu penyimpangan sepeninggalnya.”

49.
SIMA’
Edit : Pujo Prayitno
Allah swt. berfirman :
“Sebab itu sampaikanlah berita-berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya.” (Qs. Az-Zumar :17-8).
Huruf Alif dan Laam pada kata al-Qaul di atas mengandung pengertian umum dan menyeluruh (ta’mim wal istighraq). Sedangkan dalil di atas menekankan bahwa Alalh swt. memuji kepada mereka karena mengikuti kata-kata paling baik.
Allah swt. berfirman :
“Maka, mereka berada dalam taman surga, senantiasa bergembira.” (Qs. Ar-Ruum:15).
Dalam sebuah tafsir, ditegaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan dalilnya Sima’ (mendengarkan dan menyimak).
Ketahuilah, bahwa mendengar (sima’) syair dengan anda yang indah, apabila pendengar tidak meyakini, syair itu tidak menjurus pada hal-hal yang haram, dan tidak mendengarkan sebagai obyek yang tercela dalam syariat, tidak pula menarik pada emosi hawa nafsu, tidak pula memberi peluang pada nafsunya, maka penyimakan tersebut diperkenankan secara umum.
Tidak ada perbedaan pandangan, adanya beberapa syair yang didendangkan di hadapan Rasulullah saw. Rasul saw. menyimaknya, bahkan tidak mengingkari mereka dalam mendedangkan syair tersebut. Apabila menyimaknya tanpa nada yang indah diperkenankan, hukum pun tidak berubah, yakni didendangkan dengan nada yang indah. Inilah realitas situasionalnya. Lalu, bagi para penyimak terdorong mencintai kepatuhan dan mengingat apa yang telah dijanjikan Allah swt. bagi hamba-Nya yang bertakwa, dalam derajat-derajat yang lebih tinggi. Penyimak tersebut dimungkinkan sekali agar bisa menjaga dari kesalahan-kesalahan, menyampaikan kepada hatinya seketika, sebagai kejernihan intuitif, dicintai oleh Agama, dan dipilih oleh syariat. Sebab pernah ada sabda Rasulullah saw. yang mendekati bait-bait syair, walaupun Rasul saw, tidak bermaksud membaut syair.
Anas bin Malik r.a. berkata : “Ketika orang-orang Anshar menggli parit-parit, mereka mendendangkan syair :
Kamilah orang-orang baiat
Kepada Muhammad
Untuk berjuang sepanjang hayat.
Kemudian Rasulullah saw. menjawab :
Duhai Allah, tiada kehidupan sejati
Melainkan kehidupan akhirat.
Muliakanlah orang-orang Anshar
Dan Muhajirah.”
Wanacan yang keluar dari Rasul saw. tersebut bukanlah wacana syair, tetapi mendekati bahasa syair. Sejumlah ulama salaf dan para tokohnya terbiasa mendengarkan bait-bait syair yang didendangkan dengan lagu.Di antara yang memperbolehkan mendendangkan dengan lagu adalah Imam Malik bin Anas, dan Ulama Hijaz. Mereka semua memperkenankan nyanyian.
Sedangkan nyanyianyang digunakan oleh penggembala untuk gembalanya (hida’) mereka sepakat atas kebolehannya. Banyak haids dan atsar sahabat yang berkaitan dengan nyanyian tersebut. Sebuah riwayat dari Ibnu Jurayj, bahwa dia memperkenankan Sima’. Lalu dikatakan padanya : “Bila kelak hari kiamat engkau dendangkan, kemudian didatangkan kebajikan dan keburukanmu, maka pada dua sisi yag mana posisi sima’ Anda?” Beliau menjawab : “Bukan dalam kebajikan, juga bukan dalam keburukan.” Artinya, Jurayj menggolongkan sebagai perbuatan mubah.
Sementara Imam Asy-Syafi’y r.a. tidak mengharamkan penyimakan lagu-lagu syair. Hanya saja makruh bagi orang awam, walaupun lagunya tidak digubah, atau sepanjang penyimakannya diarahkan untuk permainan yang bsia menolak kesaksian, digunakan untuk hal-hal yang bsia menjatuhkan harga diri, dan tidak dipertautkan untuk hal-hal yang diharamkan, maka tetap makruh. Namun, yang dimaksud dengan Sima’ oleh kalangan Sufi bukannya demikian. Sebab mereka jauh dari penyimakan yang bersifat main-main untuk kesenangan, atau duduk untuk kegiatan penyimakan dengan hati yang alpa, ataupun dalam hatinya mengandung khayalan kehampaan, bahkan tidak melakukan penyimakandalam bentuk yang tidak proposional.
Ibnu Umar meriwayatkan beberapa haids seputar diperbolehkannya Sima’. Riwayat lain dari Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib, dan riwayat dari Umar – semoga Allah swt. meridhai mereka. Lagu-lagu untuk gembala dan yang lain juga diperbolehkan. Beberpa syair didendangkan di hadapan Nabi saw. dan Beliau tidak menolaknya. Bahkan dari riwayat Nabi saw. pernah mendendangkan beberapa syair.
Dalam riwayat masyhur yang jelas, Nabi saw. pernah memasuki tempat Aisyah r.a. dan didalam rumah itu ada dua jariyah yang sedang menyanyi. Nabi pun tidak melatangnya.
Sebuah riwayat dari Aisyah r.a. bahwa Abu Bakr r.a. memasuki rumah Aisyah, sementara di rumah itu ada dua penyanyi wanita yang menyanyikan lagu tentang kalangan Anshar yang bertikai dalam perang Bu’ats. Abu Bakr r.a. berkata : “Seruling-seruling setan! Seruling-seruling setan! Latas Nabi saw. bersabda : “Biarkan saja kedua penyanyi itu wahai Abu Bakr, karena setiap bangsa memiliki perayaan. Dan perayaan kita adalah hari ini.” (H.r. Bukhari).
Juga riwayat dari Aisyah r.a. bahwa suatu ketika kerabat dari sahabt Anshar menikah, kemudian Nabi saw. datang, dan bertanya : “Kau hadirkan gadis-gadis?” Aisyah menjawab : “Benar” Nabi saw. bertanya : “Engkau suruh orang yang menyanyi?” Aisyah menjawab : “”Tidak” Maka Nabi saw. bersabda : “(Betapa indahnya) seandainya engkau suruh orang yang mendendangkan : “Kami telah datang untuk kalian, kami telah datang untuk kalian; maka kehidupan kami adalah menyemarakkan kehidupan kalian.”
Rasulullah saw. bersanda :
“Baguskanlah Al-Qur’’an melalui suara-suara kamu sekalian. Sebab suara yang bagus akan menambah kebagusan Al-Qur’an.” (H.r. Ibnu ‘Azib, dan ditakhrij ad-Daramy).
Semua ini menunjukkan keutamaan suara yang indah. Rasulullah saw. juga bersabda : “Setiap sessuatu memiliki perhiasan, sedangkan perhiasan Al-Qur’an adalah suara yang indah.” (H.r. Anas dan dikeluarkan oleh adh-Dhiya’ Abdurrazaq dalam kumpulan hadisnya).
Sabdanya lagi : “Dua suara yang dilaknati : Suara umpatan “Celaka” ketika sedang mendapati musibah, dan suara seruling yang menghanyutkan.” (H.r. Al-Bazzar dan adh-Dhiya’ dari Anas bin Malik).
Pengertiannya, bahwa nada indah dierbolehkan kecuali dalam dua suara tersebut. Jika tidak demikian, pengecualiannya dibatalkan. Hadis-hadis soal ini cukup banyak. Bila menambah kadar dengan menyebutkan sejumlah riwayat-riwayat yang ada, akan mengesampingkan maksud ikhtisar ini.
Diriwayatkan ada seseorang yang mendendangkan syair di depan Rasulullah saw.
Kuterima kebahagiaan untuknya
Dua bentangan bagai manik hitam
Ia kembali, dan kukatakn apdanya
Sedang hati dalam nyala membara
Salahkah aku, berdosakah
Jika kurindukan dia?
Maka Rasulullah saw. menjawab : “Tidak”.
Inilah, bahwa keindahan suara termasuk nikmat Allah swt. pada pemiliknya. Allah swt. berfirman : “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir : 1). Dalam tafsir dijelaskan bahwa tambahan pada ciptaan-Nya itu adalah suara merdu.
Allah swt. mencela suara yang buruk. Firman-Nya : “Sesungguhnya, seburuk-buruk suara adalah suara himar.” (Qs. Luqman :19).
Hati selalu menikmati dan merindu pada suara yang merdu, rasa tenteram akan muncul karena suara merdu, sesuatu yang tak bisa diinkgari. Si bocah akan tenang bila mendengar nyanyian yang merdu. Begitu pula unta akan berjalan ringan walaupun membawa beban berat. Bila mendengarkan suara-suara yang menghiburnya. Allah swt. berfirman : “Apakah mereka tidak melihat bagaimana unta diciptakan?” (Qs. Al-Ghaasyiyah :17). Dan Rasulullah saw. juga bersabda :
“Allah swt. belum pernah mengizinkan terhadap sesuatu apap pun sebagaimana pemberian izi terhadap seorang Nabi, yang melaggikan bacaan Al-Qur’an.” (H.r. Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ahmad dalam Musnad-nya).
Dikisahkan, bahwa nabi Daud as. Ketika sedang membaca kitab Zabur, manusia dan jin, burung dan binatang buas selalu menyimaknya.
Rasulullah saw. bersabda tentang Abu Musa al-Asy’ary : “Dia telah diberi seruling dari seruling Daud.” Dan Mu’adz berkata kepada raslullah saw. : “Bila engkau tahu, engkau mendengar, niscaya aku akan memperindahkannya untukmu dengan perhiasan yang benar-benar indah.”
Abu Bakr Muhammad ad-Dinawary ad-Duqqy mengisahkan : “Aku sedang berada di apdang pasir, kebetulan aku berjumpa dengan kabilah Arab. Salah seorang di antara mereka menjamuku. Kulihat di sana ada seorang budak berkulit hitam sedang diikat, dan aku juga melihat beberapa unta yang mati di halaman rumah. Budak itu berkata padaku : “Anda malam ini sebagai tamu. Dan Anda di mana tuanku sungguh mulia. Karena itu tolonglah aku. Dia pasti tidak bisa menolak.” Maka kukatakan kepada pemilik rumah : “Aku tau menyantap makananmu, kecuali Anda mau melepaskan ikatan pada budak ini.” Maka tuan si budak itu menjawab : “Si budak ini telah memiskinkan dan menghancurkan hartaku.” Aku bertanya : “Apa yang dilakukan?” Dia menjawab : “Budakku ini memiliki suara yang merdu. Sedangkan aku hidup dari tenaga unta-unta ini. Lalu unta ini dibebani dengan beban yang amat berat, dan berjalan kencang hingga menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh tiga hari, hanya ssehari saja ditempuhnya. Ketika beban-beban itu diturunkan unta-unta itu pun mati semua. Tapi terserah apdamu!” Tali yang mengikat budak itu pun di lepas. Esok harinya aku ingin mendengarkan suaranya yang konon merdu itu. Si budak itu diperintah untuk menghalau unta dengan nyanyian merdunya, menuju sebuah sumur di ujung sana yang bisa untuk tempat minumnya. S budak itu pun menghalaunya. Dan unta itu pun menoleh ke arah wajahnya, sembari memberot tali yang mengikatnya hingga putus. Sungguh aku tak menduga, kalau aku telah mendengarkan suara  yang amat merdu, kemudian unta itu menderum ke arahku, sampai akhirnya si budak itu mengisyaratkan agar diam.”
La-Junayd ditanya : “Bagaimana suasana orang yang kondisinya tenang, lalu ketika mendengarkan sima’ tiba-tiba hatinya risau.” Maka, al-Junayd menjawab : “Sesungguhnya Allah swt. ketika berfirman kepada benih dalam perjanjian yang pertama, melalui firman-Nya, -- Bukankah aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Benar (Engkau Tuhan kami) --- sehingga arwah menjadi segar mendengarkan Kalam. Ketika mereka mendengarkannya, ingatan akan sima’ tersebut telah menggerakkan mereka.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Sima’ itu haram bagi orang awam, karena nafsunya masih ada. Sementara diperbolehkan bagi orang-orang zuhud, sebab dengan dima’ mereka meraih mujahadahnya. Seperti bagi kalangan kita, sangat dianjurkan, karena bisa membuat hati merasa hidup.”
Al-Harits bin Asad al-Muhashiby berkata : “Tiga perkara, bila kita menjumpai, kita merasa nikmat, dan apda ketiganya kita telah kehilangan : “Wajah yang bagus dengan disertai perlindungan; suara merdu disertai sikap religius; dan persaudaraan yang baik disertai tepat janji.”
Dzun Nuun al-Mishry ketika ditanya tentang suara merdu, beliau menjawab : “Perkataan-perkataan dan isyarat-isyarat yang dititipkan Alalh kepada setiap laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.” Ditanya pula tentang sima’, jawabnya : “Bisikan Haq yang membangkitkan kalbu kepada Yang Haq. Siapa yang menyimak penuh perhatian dengan sebenarnya akan nyata benar. Dan siapa yag menyimak dengan nafsu, akan menjadi Zindiq.”
Al-Junayd berkata : “Kasih sayang akan turun kepada orang-orang fakir dalam tiga tempat ketika sedang sima’. Sebab mereka tidak menyimak kecuali dari suara yang benar dan mereka tidak berbicara kecuali dari intuisi. Dan ketika mereka makan-makanan, mereka tidak makan kecuali ketika lapar; ketika mereka sedang meraih ilmu, mereka tidak mengingat-ingat kecuali ingat pada sifat para wali.”
Al Junayd berkata : Sima’ bisa menjadi fitnah bagi yang berambisi. Dan menjadi ringan bagi yang menjumpainya.” Dia juga berkata : “Sima’ butuh tiga hal : Zaman, tempat dan sejumlah teman.”
Dulaf as0Syibly ditanya mengenai Sima’, dia menjawab : “Secara llahiriah adalah fitnah, sedangkan batinnya adalah pelajaran. Siapa yang mengenal isyarat, ia boleh menyimak pelajaran. Jika tidak, berarti ia mengundang fitnah dan menawarkan terhadap bencana.”
Dikatakan : “Sima’ tidak layak, kecuali pada orang yang nafsunya telah mati dan hatinya telah hidup. Nafsunya disemebelih dengan pedang mujahadah, sedang hatinya dihidupkan oleh cahaya keserasian (Dengan Allah swt).”
Abu Ya’qub Ishhaq an-Nahrajury ditanya soal sima’, dia menjawab : “Suatu tingkah aku yang mendorong kembali kepada rahasia jiwa dari sisi peleburan.”
Dikatakan : “Sima’ merupakan nuansa lembut di sisi arwah bagi ahli ma’rifat.”
Saya mendengar syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. lberkata : “Sima’ adalah watak, kecualid ari arah syariat, dan asing kecuali dari yang benar, dan fitnah kecuali dari sisi pelajaran.”
Disebutkan, sima’ ada dua macam : “Sima’ dengan syarat adanya pengetahuan dan kesadaran. Di antara syarat pemiliknya adalah mengenal Asma’ dan Sifa-sifat. Bila tidak, sima’ akan emnceburkan dalam kekufuran murni. Dan berikutnya adalah sima’ dengan syarat adanya tingkah ruhani. Syarat penyimaknya haruslah fana’ dari segala tingkah laku kemanusiaan, dan bersih dari pengaruh-pengaruh duniawi, dengan menampilkan aturan-aturan hukum hakikat.”
Diriwayatkan dari Ahmad bin Abdul Hawary, yang mengatakan : “Aku bertanya kepada Abu Sulaiman tentang sima’, maka beliau menjawab : “Di antara dua yang paling kucintai dibanding satu.”
Abu Husain an Nury ditanya tentang Sufi, maka jawabnya : “Siapa yang mendengar sima’, dan memberi pengaruh kepada sebab-sebab yang ada.”
Abu Utsman Said al-Maghriby berkata : “Siapa yang mengaku telah melakukan penyimakan, sementara dia tidak mendengar suara burung dan gerat-gerit pintu, serta guncangan angin, maka dia itu adalah si fakir yang mengaku-aku.”
Ibnu Zair mempunyai seorang syeikh utama dari salah seorang murid al-Junayd. Ketika aedang menghadiri majelis sima’ maka bila berkenan ia membeberkan sarungngya dan duduk. Lantas berkata : “Sfi beserta hatinya, walaupun tidak menganggap kebaikannya.” Dia juga berkata : “Sima’ hanya bagi yang memiliki nurani hati.” Sambil berkata bagitu dia berjalan dan mengambil sandalnya.
Ruwaym bin Ahmad ditanya mengenai ekstase para Sufi ketika sedang sima’, dia berkata : “Mereka menyaksikan makna-makna yang lenyap dari yang lain, lalu Anda mengisyaratkan kepada mereka yang tertuju padaku. Lantas mereka mencegah agar tidak terlalu gembira. Kemudian datanglah tangis, sehingga kegembiraan itu berubah tangisan. Di antara mereka ada yang merobek bajunya, ada pula yang berteriak, ada yang menangis; masing-masing menurut kadar keterikatan hatinya (dengan Tuhannya).”
Al-Hushry berkata : “Apa yang harus kulakukan dengan simma’ yang terputus, apabila orang yang sedang menyimak memutuskannya?” Karrena itu selayaknya dalam penyimakan Anda selalu bersambung, tidak terputus.” Dia juga berkata : “Syogyanya ia merasa dahaga selamanya, minum (ruhani) selamanya. Bila minumnya bertambah, bertambah pula dahaganya.”
Mujahid dalam menafsirkan firman Alalh swt. : “Maka mereka dalam tamansurga, senantiasa bergembira.” (Qs. Ar-Ruum :15). Maksudnya adalah sima’ terhadap bidadari dengan suara-suaranya yang merdu sekali : “Kami adalah bidadari-bidadari yang abadi, tak akan pernah mati selamanya. Kami adalah kenikmatan-kenikmatan yang tak pernah putus selamanya.”
Dikatakan, sima’ adalah panggilan, sedangkan ekstase adalah tujuan.
Abu Utsman Sa’id ash-Sha’luky berkata : “Orang yang menyimak berada di antara tirai dan ketampakkan : Tirai mendorong rasa dahaga, sedangkan penampakkan mewariskan rasa riang. Tirai telah melhirkan gerakan para penempuh, yaitu wahana kelemahan dan ketakberdayaan. Sementara penampakkan, melahirkan ketenangan orang-orang yang sampai kepada-Nya, yaitu wahana istiqamah dan ketenangan. Itulah sifat menghadirkan di hadirat Ilahi. Di dalamnya tiada lagi kecuali layu di bawah bisikan-bisikan rasa takut bercampur hormat.” Allah swt. berfirman :
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata : “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)>” (Qs. Al-Ahqaf : 29).
Abu Utsman Sa’id al-Hiry berkata : “Sima’ ada tiga arah : satu arah bagi para murid dan para pemula, mereka sama-sama meminta kemuliaan dengan tingkah laku ruhaninya, dan kami khawatir mereka terkena fitnah dan riya’. Arah kedua bagi mereka yang menepati kebenaran, yang menuntut nilai tambah dalam ihwal kondisi ruhaninya, dan mereka menyimak dari semuanya agar serasi dengan waktu-waktu mereka. Arah ketiga bagi ahli istiqamah dari kalangan orang-orang yang ma’rifat. Mereka sama sekali tidak memilih atas apa yang datang dari Allah dalam hatinya berupa gerak ataupun diam.”
Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz berkata : “Barangsiapa mengaku dirinya terliputi ketika sedang memahami, yakni dalam sima’ dan gerakan-gerakan selali bersifat naluriah baginya, maka tanda-tandanya adalah dia memperbaiki tempat duduk yang di sana dia menemukan ekstase.”
Syeikh Abu Abdurrahman berkata : “Aku menyebut hikayat ini kepada Sa’id al-Maghriby. Lantas beliau berkata : “Inilah yang terindah. Tanda-tandanya yang benar, tak tersisa dalam suatu majelis kecuali rasa riang dengan majelis tersebut, dan tak ada yang membatalkan di dalamnya kecuali dia merasa tidak senang darinya.”
Bundar ibnul Husain berkata : “Sima’ terdiri tiga dimensi : Di antara mereka ada yang menyimak melalui wataknya; ada pula yang menyimak melalui kondisi ruhaninya; dan ada yang menyimak melalui Allah swr. Orang yang menyimak melalui watak, ada dari kalangan awam maupun khusus. Sebab salah sati watak manusiawi adalah merasa nikmat mendengarkan suara merdu. Sedangkan yang menyimak melalui kondisi ruhani, adalah dia yang merenungkan apa yang tiba padanya, berupacacian dan khitab, bertemu atau pisah, dekat ataupun jauh, rasa kecewa terhadap apa yang hilang atau haus terhadap keinginan di masa depan, menepati janji atau membenarkan/meyakini janji, merusak terhadap janji ataupun ingat kesusahan, merasa rindu atau takut berpisah, senang bertemu dan takut berpisah, atau yang sejenisnya. Sedangkan yang menyimak langsung melalui Allah swt. maka dia menimak bersama dan hanya bagi Alalh set. Sima’ yang terakhir ini tidak bisa diuraikan dengan kondisi-kondisi ruhani tersebut yang masih tercampur oleh kepentingan manusiawi, dan masih memunculkan berbagai sebab-sebab langsung. Maka, bagi kategori yang terakhir tersebut, saling menyimak dari dimensi kemurnian tauhid terhadap Allah swt. dan sama sekali tidak disertai kepentingan makhluk.”
Dikatakan : “Ahli sima’ itu ada tiga tahapan : Pertama, generasi hakikat yang kembali dalam sima’nya bagi dialog Allah swt. kepada mereka. Selanjutnya ada yang berbicara kepada Allah swt, melalui hatinya disertai makna-makna yang telah didengarnya. Mereka dituntut untuk bersikap benar dan jujur terhadap apa yang diisyaratkan menuju kepada Allah swt. Dan terakhir, adalah si fakir yang menyendiri, yang memutus hubungan dunia dan bencana. Mereka mendengarkan melalui kemerduan hatinya, dan mereka lebih dekat dengan keselamatan.”
Abu Ali Ahmad ar-Rudzbary ditanya tentang sima’ : “Mukasyafah terhadap rahasia batin, dan musyahadah terhadap Sang Kekasih.” Jawabnya.
Ibrahim al-Khawwa ditanya : “Bagaimana mengenai orang yang bergerak ketika sima’ terahdap selan Al-Qur’an, sementara gerakan gerakan itu memang tidak ditemui dalam penyimakan Al-Qur’an?” Ibrahaim menjawab : “Sebab sima Al-Qur’an merupakan hentakan, dimana seseorang tidak mungkin bergerak dalam sima’ disebabkan oleh dahsyatnya kekuatannya. Sedangkan sima’ terhadap ucapan membuatnya riang dan karenanya ia bergerak dalam sima’ tersebut.”
Al-Junayd berkata : “Bila Anda melihat si penempuh mencintai Sima’, ingatlah bahwa di dalamdirinya ada sisa-sisa kebatilan.”
Sahl bin Abdullah berkata : “Sima’ adalah ilmu yang dipilih oleh Allah swt. dan tiada yang mengetahui kecuali hanya Dia.”
Dikatakan : “Ketika Dzun Nuun al-Moshry memasuki Baghdad, para Sufi berkumpul padanya. Di antara mereka ada yang biasa berbicara. Mereka meminta izin agar diperkenankan membacakan syair sedikit di hadapannya. Dzun Nuun pun menyilahkan. Lantas orang tersebut membacakan syairnya :
Kecil asmaramu telah menyiksaku
Bagaimana dengan asmara yang perkasa?
Engkau telah mengumpulkan dari kalbuku
Cinta yang benar-benar berpadu
Sedang yang kuwarisi, bagi yang berduka
Bila tertawa sunyi
Jadilah pecah tangisnya.
Tiba-tiba Dzun Nuun berdiri dan membenamkan wajahnya. Sementara darah menetes dari keningnya, namun tidak mentes ke tanah.
Ibrahim al-Maristany ditanya mengenai gerak dalam sima’ : “Sampai kepaaku kisah Musa as. Yang bercerita tentang Bani Israil. Di antara mereka ada yang merobek bajunya. Lantas Allah swt. menurunkan wahyu kepada Musa as. : “Katakan padanya : “Robeklah hatimu buat Diri-ku, dan janganlah engkau robek bajumu.”
Abi Ali al-Maghazaly pernah mengutarakan kepada Dulaf asy-Syibly : “Terkadang pendengaranku terketuk oleh suatu ayat dari Kitab Allah swt. sehingga menggiringku untuk meninggalkan segala yang ada, berpaling dari dunia, kemudian aku kembali pada ihwal ruhaniku dan kepada orang pada umumnya.” Maka Dulaf mengomentari : “Apa yang membuatmu tertarik kepada-Nya adalah hubungan dari-Nya kepadamu dan merupakan kelembutan. Dan apa yang engkau kembalikan kepada dirimu, adalah kepedulian dari-Nya atas dirimu. Sebab tidak dibenarkan bagimu berbakti yang muncul dari daya dan kekuatan ketika menghadap kepada-Nya.
Ahmad bin Muqatil al-‘ikky berkata : “Aku bersama Dulaf asy-Syibly di sebuah masjid pada salah satu malam Ramadhan yang penuh berkat. Dia sedang shalat di belakang imam, sementara aku di sampingnya. Imam membaca sebauh ayat :
“Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami Wahyukan kepadamu.” (Qs. Al-Israa’ :87).
Tiba-tiba Asu-Syibly menjerit dengan satu jeritan. Bisa kukatakan, seakan-aan ruhnya terbang dalam keadaan menggigil.” Ahmad salalu menyampaikan kisah ini kepada teman-temannya, dan seringkali diulanginya.
Al-Junayd mengisahkan : “Suatu hari aku masuk ke tempat Sary as-Saqathy dan kulihat ada seorang lelaki yang pingsan di sisinya. Aku bertanya : “Mengapa dia?” Sary menjawab : “Gara-gara mendengarkan suatu ayat dari Kitab Allah swt.” Aku katakan : “Coba ulangi bacaan ayat tersebut untuk kedua kalinya.” Lantas Sary membacanya, dan lelaki itu pun sadar. Sary bertanya padaku : “Dari mana Anda mengetahui hal itu?” Aku katakan : “Sesungguhnya baju Yusuf as. Telah membutakan mata Ya’qub, kemudian mata itu sehat kembali karena baju itu. Aku mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut.”
Abdul wahid bin Alwan berkata :”Ada seorang pemuda yang berguru kepada al-Junayd. Bila mendengarkan suatu dzikir dia selalu menjerit. Suatu hari Junayd berkata padanya. “Bila kamu lakukan hal itu sekali lagi, kamu jangan berguru pada saya lagi.” Sejak saat itu pemuda itu bila mendengar sesuatu, selalu berubah dan tampak mengekang dirinya, sampai setiap ujung bulu di badannya meneteskan keringat. Pada suatu hari ia berteriak sekaut tenaga, hingga meninggal dunia.”
Abu Nashr as-Sarraj berkata : “Sebagian teman-temanku meriwayatkan kisah padaku, dari Abul Husain ad-Darraj, yang mengatakan : “Dari Baghdad aku bertujuan ke tempat Yusuf ibnul Husain ar-Razy. Ketika sampai di Ray, aku menanyakan tempat tinggalnya. Setiap orang yang kutanya selalu balik bertanya kepadaku, ‘ Apa yang akan Anda lakukan dengan manusia zindik itu? Sampai akhirnya hatiku gelisah, sehingga aku bermaksud untuk kembali saja. Lantas aku menginap di sebuah masjid malam itu. “Aku sudah datang ke negeri ini, tidak da jeleknya kalau aku mengunjunginya.” Kataku dalam hati. Selanjutnya aku terus bertanya tentang Yusuf, dan akhirnya sampai di masjidnya. Yusuf sedang dduduk di mahrab, dan di depannya ada seseorang. Tampak Yusuf sedang membaca mushaf Al-Qur’an. Ternyata dia adalah seorang Syeikh yang amat kharismatik, tampan dan bagus jenggotnya. Aku mendekatinya, dan mengucapkan salam padanya. Dia pun menjawab salamku. “Anda datang dari mana? Tanyanya padaku.” Dari Baghdad, bermaksud ziarah ke tampat syeikh.” Kataku.” “Jika ada orang yang berkata padamu di sebagian daerah. “Kamu menetap saja di tempatku, nanti kubelikan rumah atau budak-budak wanita.” Apakah tawaran itu akan mencegahmu untuk ziarah padaku?” tanya syeikh tersbut. “Wahai tuanku, Allah tidak mengujiku dengan sesuatu seperti itu. Namun seandainya aku menerima tawaran  mereka, aku tidak tahu bagaimana keadaanku.” Jawabku. “Baiklah, ucapkan saja sesuatu.” Kata syeikh itu. “Ya” kataku. Lantas kudendangkan syair :
Kulihat dirimu membangun penuh ketekunan
Di tanah pinjamanku
Bila aku punya tanah yang tinggi
Tentu robohlah apa yang engkau bangun.
Syeikh itu lalu menutup mushaf, terus menerus menangis, sampai baju dan jenggotnya basah. Aku sampai merasa kasihan padanya, karena terlalu banyak menangis.
Beliau lantas berkata padaku, “Anakku, jangan engkau cela penduduk Ray, mengenai ucapan mereka tentang diriku yang zindiq. Sejak waktu shalat tiba, inilah aku sedang membaca Al-Qur’an. Namun tidak setets pun air mata yang jatuh dari mataku. Kiamat benar-benar telah tiba dari rumah ini.!.”
Abul Husain ad-Darraj berkata : “Aku bersama Ibnula Fauthy sedang berjalan melewati Dajlah.” Antara Basrah dan Ubulan. Tiba-tiba kami melihat vila indah. Di sana ada laki-laki, dan dihadapannya ada jariyah yang sdang menyanyikan lagu.:
Bagi jalan Allah ada cinta
Yang datang dariku untukmmu, kelak diganti
Setiap hari kau ikuti
Hanya saja, denganmu lebih indah.
Ternyata ada seorang pemuda yang mendengarkan di bawah jendela tampak memandang, sambil membawa bejana kulit dan baju tambalan. Pemuda itu berkata.” Hai Jariyah, demi kehidupan tuanmu, ulangi kata-kata : Setiap hari kau ikuti. Hanya saja, denganmu lebih indah. Ucapkan lagi kata-kata itu!.” Jariyah tadi mengulangi kembali baitnya. Sedang si ffakir itu berkata : “Inilah, demi Allah, ucapan yang mengikatkan ddiriku bersama Al-Haq.” Lalu pemuda itu menjerit dengan sekali jeritan yang menyebabkan ruhnya lepas dari tubuhnya. Seketika pemilik vila itu berkata pada jariyah : “Kamu telah merdeka --- karena Allah swt.”
Para penduduk Bashrah keluar dan mengurus pemakaman pemuda itu, serta menshalatinya. Pemilik vila tersebut berkata : “Bukankah kalian semua mengenalku? Aku bersaksi di hadapan kalian semua, bahwa segala milikkku hanya untuk jalan Allah swt. Semua budak-budakku merdeka.” Kemudian mereka memakai sarung dan berkain. Vilanya pun disedekahkan. Selanjutnya ia pergi begitu saja. Sebab setelah peristiwa tersebut ia tidak menampakkan dirinya, dan tidak pernah terdengar namanya disebut-sebut.
Abu Sulaiman ad-Dimasyqi mendengarkan panggilan orang yang sedang thawaf : “Duhai, terimalah penghormatanku untuk-Mu!.” Lalu Abu Sulaiman jatuh pingsan. Saat sadar ia ditanya, lalu menjawab : “Aku kira ia berkata : “Terimalah, kau lihat penghormatanku padamu.”
Utbah al-Ghulam mendengar seseorang bermunajat : “Maha Suci Allah, Tuhannya langit, sungguh sang pecinta selalu dalam tawanan.” Utbah menyahut : “Kamu benar.” Lantas mendengarkan orang lain mengucapkan akta-kata yang sama. Utbah menyela : “Bohong kamu!” Masing-masing individu menyimak dari segi proporsinya.
Ruwayma bin Ahmad ditanya mengenai para syeikh yang mereka temui dalam sima’. Ruwaym menjawab : “Seperti sekawanan domba yang kepergok harimau.”
Riwayat dari Abu Sa’id Ahmad al-Kharraz yang berkata : “Aku melihat Ali ibnul Muwafiq dalam sima’, beliau berkata : “Beddirikan aku!.” Merekapun membangkitkan, dan ia pun berdiri, lalu mengalami ekstase dan berkata : “Akulah syeikh para penari.”
Dikatakan, Ibrahim ar-Raqqy bangkit semalam suntuk hingga subuh. Banun dan jatuh di rumah itu. Sedangkan orang-orang bangkit sembari menangis. Sedang bait-bait yang dibacakan adalah :
Demi Allah, tolaklah hati yang duka
Tiada lagi pengganti
Dari kekasihnya.
Al-Husain bin Muhammad bin Ahmad berkata : “Aku berbakti kepada Sahl bin Abdullah bertahun-tahun. Aku tidak pernah melihat perubahan pada dirinya, ketika menyimak sesuatu baik dari dzikir maupun bacaan Al-Qur’an, ataupun yang lain. Ketika akhir hayatnya, dibacakan suatu ayat :
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan.” (Qs. Al-Hadid :15).
Tiba-tiba kulihat ia berubah dan gemetar, hampir saja ia jatuh. Ketika sudah sadar, aku bertanya padanya, lalu ia berkata : “Duhai kekasih, betapa lemahnya kami....”
Saya mendengar Syeikh Abu Abdurrahman as-Sulamy berkata : “Aku masuk ke tampat Abu Utsman Sa’id al-Maghriby, dan ia sedang mengambil air minum dari sumur melalui kerekan timba, lantas dia berbicara : “Hai Abu Abdurrahman, tahukah engkau apa yang diucapkan oleh kerekan ini? Kukatakan : “Tidak!” Dia berkata : “Kerekan ini berbunyi : Allah—Allah.”
Ruwaym berkata : “Riwayat dari Ali Bin Abu Thalib r.a. bahwa beliau mendengarkan suara lonceng. Lalu beliau bertanya pada para sahabtnya : Apakah kalian mengerti apayang diucapkan oleh lonceng itu? Mereka menjawab : “Tidak! Ali berkata : “Sebenarnya lonceng itu mengucapkan : “Subhanallah, benar, benar, sungguh Tuhan Kekal Abadi.”
Ahmad inbul Karkhy berkata : “Suatu hari jamaah sufi  berkumpull di rumah al-Hasan al-Qazzaz. Di antara mereka ada beberapa penyair, yang mendedangkan syairnya sembari ekstase. Lalu Mumsyad ad-Dinawary datang mereka pun terdiam. Mumsyad berkata : “Kalian terus saja seperti semula! Seandainya seluruh alat permainan dunia dikumpulkan dalam telingaku, sama sekali tidak mempengaruhi hatiku, atau dijejalkan di mulut dan gerahamku tiak berpengaruh sama sekali.” Ibnul karkhy melanjutkan : “Aku mendengar pula ar-Rudzbary berkata : “Kami sampai pada masalah ini, bagaikan berada di atas mata pedang, sedikit kita terlena ke sana kemari, kita tercebut di neraka.”
Khayr an-Nassaj berkta : “Mua bin Imran – semoga shalawat dan salam Allah terlimpah padanya – mengisahkan pada kaumnya, suatu kisah. Salah satu di antara mereka ada yang menjerit. Kemudian Muasa as. Membentaknya. Lalu Allah menurunkan wahyu : “Hai Musa, dengan bau Ku, mereka rasakan semerbak, dengan cinta-Ku mereka membuka, dan dengan kerinduan-Ku mereka berteriak. Mengapa engkau ingkari semua itu terhadapTuhanku?”
Dikatakan : “Dulaf asy Syibly mendengar seseorang berkata, : “Plilihan kebaikan itu sepuluh dibanding seperenam dirham.” Lalu asy-Syibly berteriak sembari mengatakan : “Bla kebaikan itu sepuluh  dibanding seperenam dirham, bagaimana dengan kejahatan-kejahatan.”
Dikatakan : “Aun bin Abdullah punya seorang jariyah yang memiliki suara merdu, Aun menyuruh mendendangkan lagu. Jariyah itu mendendangkan lagu dengan sura yang memilukan, sampai seluruh orang yang hadir menangis.”
Abu Sulaiman ad- Darany ditanya tentang sima’. Dia menjawab : “Setiap kalbu yang menginginkan suara berlagu, berati hati yang lemah yang perlu diobati, sebagaimana anak kecil yang diobati dengan lagu-lagu agar segera tidur.” Abu Sulaiman berkata selanjutnya : “Suara merdu sama sekali tidak merasuk kalbu. Yang menggerakkan kalbu itu adalah apa yang ada di dalam kalbu.”
Ahmad al-Jurairy berkata : “Jadilah kalian ini para Rabbaniyyun : Yakni orang-orang yang menyimak dari Allah dan mengucapkan dengan Alah swt.”
Sebagian Sufi ditanya soal sima’, jawabnya : “Kilatan yang melintas, kemudian padam. Cahaya yang tampak kemudian suram. Betapa manusianya bila menetap bersama pemiliknya, walaupun sekejap mata.” Kemudian ia membaca syair :
Bisikan dalam jiwa, yang mengusik
Bagai gerak kilat yang berkelebat
Lalu hilang
Disa bagimu, jika menuju rahasia batinku
Dan tercela bagimu, jika kau lakukan itu.
Dikatakan : “Sima’ memiliki bagian setiap anggota tubuh. Bila tiba di mata, mata pun menangis. Bila sampai pada lisan, berteriaklah dia. Ila menyentuh tangan, ia merobek dan memukul. Dan Bila sampai di kaki, ia akan menari-nari.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Abu Amr bin Nujayd berkumpul bersama Nashr Abadzy serta para pengikutnya dalam suatu tempat An-Nashr Abadzy mengatakan : “Kukatakan, bila orang-orang Sufi berkumpul, satu angkat bicara, yang lain diam, itu lebih baik daripada menggunjing seseorang.” Lantas Abu Amr berkata : “Anda menggunjing selama tigapuluh tahun, lebih menyelamatkan diri Anda dibanding Anda menampakkan ruhani dalam sima’ yang sebenarnya bukan pada Nada.” Lalu Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Manusia dalam sima’ terbagi tiga katagori : Berupaya menyimak (mutasammi’), menyimak penuh perhatian (Mustami’) dan pendengar (saami’). Mutasammi’ menyimak dengan waktu, dan Mustami’ menyimak dengan kondisi ruhani, sedangkan Saami’ menyimak dengan Allah swt.”
Saya bertanya pada Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. tidak hanya sekali, menegnai adanya suatu yang menyerupai keringanan dalam sima’, dan beliau mengupayakan padaku dengan menekankan adanya pengendalian dalam sima’. Kemudian setelah beberapa waktu, beliau berkata : “Sebenarnya para syeikh Sufi berkata : “Sepanjang hatimu disatukan dengan Allah swt. maka tidak apa-apa.”
Dari Abbas r.a. yang berkata : “Allah swt. mewahyukan kepada Musa as. : “Aku jadikan dalam dirimu sepuluh ribu pendengaran, sehingga kamu mendengarkan Kalam-Ku. Dan yang lebih Kucintai apa yang aa padamu bagi-Ku dan lebih mendekatkan apda-Ku, apabila kamumemperbanyak shalawat kepaa Muhammad saw.”
Abul Harits al-Aulasy berkata : “Aku melihat iblis – semoga Allah swt. melaknatnya – dalam mimpi, berada di atas benteng Aulas. Aku pun di atas atap. Di tangan kana  iblis ada jamaah, begitu pula di tangan kirinya. Mereka memakai pakaian yang bersih-bersih. Iblis berkata kepada kelompok di antara mereka : “Bicaralah kalian!.” Mereka pun berbicara dan menyanyikan lagu. Sungguh menegjutkan kemerduan suara-suaranya, sampai aku ingin meleparkan diriku dari atap. Kemudian Iblis bicara : “Menarilah kalian semua!” Mereka pun menari dengan tarian yang paling indah. Lantas Iblis berkata padaku : “Hai Abul Harits, tak satu pun yang tepat, yang kumasukkan pada kalian, kecuali yang ini tadi.”
Abdullah bin Ali berkata : “Aku berkumpul semalam bersama Dulaf asy-Syibly r.a. Tiba-tiba ia berkata : “Para penyair itu adalah sesuatu.” Maka Syibly berteriak dengan ekstase sambil duduk. Maka kepadanya dikatakan: “Wahai Abu Bakr, ada apa Anda duduk di tengah-tengah jamaah ini?” Asy-Syibly langsung berdiri dan mengalami ekstase kembali. Lalu mendendangkan syair :
Bagiku dua kemabukkan, sedang
Teman-teman mabukku hanya punya satu
Sesuatu yang disitimewakan bagiku
Di antara mereka,
Adalah kesendirianku.
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Aku melewati suatu vila. Tiba-tiba kulihat pemuda yang tampan tergeletak di tengah-tengah orang yang berkumpul di sana. Aku bertanya pada mereka tentang anak muda itu. Mereka menjawab : “Pemuda ini melewati vila tersebut, dan di dalam vila itu ada seorang jariyah yang mendedangkan lagu :
Betapa besar cita-cita hamba
Yang berambisi memandang-Mu
Ataukah karena tiada pertimbangan bagi mata
Untuk melihat orang yang benar-benar melihat-Mu.
Lalu, tiba-tiba pemuda ini menjerit dan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar