Sabtu, 28 Juni 2014

Imsyakiyah bukanlah bid'ah(piss ktb)

Adakah Waktu Imsak Dalam Islam ?
Belakangan ada fatwa yang ganjil yang
mengatakan bahwa imsak adalah bid’ah
(sesat). Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang
salah satunya mengatakan sebagaimana
berikut:
: ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺪﻉ، ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺃﺻﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ، ﺑﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻋﻠﻰ ﺧﻼﻓﻪ
ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ : ﻭَﻛُﻠُﻮﺍْ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺨَﻴْﻂُ
ﺍﻷَﺑْﻴَﺾُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨَﻴْﻂِ ﺍﻷَﺳْﻮَﺩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗِﻤُّﻮﺍْ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟَّﻴْﻞِ ﻭَﻻَ
ﺗُﺒﺎﺷِﺮُﻭﻫُﻦَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻋَﺎﻛِﻔُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ ﺗِﻠْﻚَ ﺣُﺪُﻭﺩُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻼَ ﺗَﻘْﺮَﺑُﻮﻫَﺎ
ﻛَﺬﺍﻟِﻚَ ﻳُﺒَﻴِّﻦُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﺘَّﻘُﻮﻥَ .
“Hal ini (imsak) TERMASUK BID’AH, tiada
dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah
bertentangan dengannya, karena Allah
berfirman di dalam kitabnya yang mulia.”
Imsak yang dilakukan oleh sebagian orang itu
adalah suatu tambahan dari apa yang
diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
sehingga menjadi kebatilan, dia termasuk
PERBUATAN YANG DIADA-ADAKAN dalam
agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda: “Artinya : Celakalah
orang yang mengada-adakan! Celakalah orang
yang mengada-adakan ! Celakalah orang yang
mengada-adakan ! “
Begitulah alasan mereka golongan pembid’ah.
Sepertinya yang membid’akan imsak itu hanya
kelompok yang pekerjaannya mencari bid’ah,
bukan pencari sunnah.
Fatwa ini banyak mempengaruhi sebagian
muslim di Indonesia untuk ikut menyebarkan
faham dalam tulisan mereka dengan redaksi
“waktu imsak sebelum waktu shubuh sebagai
perbuatan bid’ah” dan juga “menyelisihi
sunnah dan membuat bid’ah dalam agama”.
Alasannya karena “tidak ada dalilnya” ,
“berlebih-lebihan dalam agama” dll.. Alasan-
alasan seperti itu sebenarnya tidak terlalu
mengherankan, karena dalam kurikulum yang
mereka ajarkan tidak jauh daripada seputar
bid’ah, sesat, kafir yang menyebabkan umat
keluar dari islam dalam persepsi mereka atau
setidak-tidaknya menimbulkan fitnah dan
keresahan.
Konklusi sederhana fatwa tersebut adalah:
Imsak -> tidak ada di zaman Rasul dan
Sahabat -> diada-adakan-> bid`ah -> sesat->
di neraka.
Maka dengan berpedoman kepada imsakiyah
berapa banyak orang yang dibid’ahkan dan
disesatkan? Silahkan hitung sendiri jumlah
muslim yang hidup hari ini dan yang sudah
meninggal tapi dulu memakai imsakiyah serta
muslim akan datang yang mungkin juga
memakai imsakiyah. Jikalau imsakiyah adalah
bid`ah, maka semua mereka adalah calon
penghuni neraka.
Apakah benar dengan berpedoman kepada
imsakiyah seseorang bisa masuk neraka!
Apakah memang seperti itu hakikat ajaran
agama kita atau pemahaman mereka saja yang
bermasalah?!
Mari kita kupas hukum ber-imsak tersebut?
Imsakiyah yang dimaksud adalah: selembaran
kertas yang berisi jadwal waktu shalat, imsak
(mulai menahan untuk berpuasa) dan syuruq
(waktu matahari terbit), yang biasa dicetak di
kalender, di buku, koran, dll. atau dicetak
secara terpisah.
Maksud imsakiyah secara lebih khusus adalah:
waktu mulai menahan sebelum terbitnya fajar
(masuknya waktu subuh), bagi orang yang
berpuasa.
Hal yang disepakati oleh ulama adalah:
Setiap muslim wajib mulai menahan dari segala
yang membatalkan puasa sejak terbit
fajarshadiq (saat masuknya waktu shalat
Subuh.
Seorang muslim yang masih makan/minum
saat fajar shadiq telah terbit, maka puasanya
tidak sah, tapi ia tetap wajib menahan pada
hari tersebut dan puasa di hari itu diganti
(qadhai)
Seorang muslim wajib menahan diri dari segala
yang membatalkan puasa dan menjauhkan
dirinya dari sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari. Dan ia boleh mengkonsumsi
makanan sampai sebelum terbit fajar, apabila:
Yakin bahwa fajar belum masuk, atau
Dipastikan dengan informasi dari orang yang
bisa dipercaya (tsiqah) bahwa masih ada
waktu untuk boleh makan/minum, atau
Berpedoman kepada ijtihad.
Jikalau ada yang makan dan minum tanpa
pertimbangan 3 hal diatas, kemudian terbukti
bahwa ia makan dan minum saat fajar TELAH
terbit, maka puasanya batal dan ia WAJIB
mengganti (qadha`) puasa hari itu. Sama
halnya dengan saat berbuka puasa. Apabila
sudah berbuka sedangkan mereka tidak
melalui 3 proses di atas, kemudian terbukti
bahwa mereka telah berbuka di saat matahari
BELUM terbenam, maka puasa mereka batal
dan mereka WAJIB mengganti (qadha`) di hari
lain.
4. Rasul saw. dan para sahabat sudah berhenti
mengkonsumsi sesuatu pada saat sahur sekitar
10-15 menit sebelum terbitnya fajar shadiq.
Akan ada pembahasan tentang ini lebih rinci di
bawah.
5. Seorang yang mulai menahan sejak sebelum
terbit fajar, tidak berdosa dan tidak merusak
kepada puasanya.
6. Filosofi dasar dalam beribadah lebih
didominasi oleh prinsip ihtiyath (kehati-hatian)
dalam melaksanakannya.
Realita yang tidak bisa dipungkiri adalah:
Tidak semua umat mengetahui fajar shadiq dan
fajar kadzib. Dan tidak semua umat yang bisa
membedakannya.
Tidak semua umat yang bisa melihat jam dan
atau mendengar azan/isyarat sudah mulai
menahan dengan mudah. Bisa jadi karena
mereka tinggal di pedalaman, karena jauh dari
masjid, karena tidak masuk listrik, dll..
Titik perdebatan
Imsakiyah ini tidak ada di zaman Rasul Saw.
dan di zaman sahabat (salaf sholeh).
Apa manfaat imsakiyah?
Imsakiyah memang tidak ada di zaman Rasul
Saw. dan sahabat, akan tetapi dari penjelasan
di atas dan realita yang kita temui serta
pengalaman yang sudah dialami oleh mayoritas
kaum muslimin, imsakiyah sangat membantu,
seperti:
Membantu seorang muslim untuk mengetahui
waktu shalat, waktu imsak (ketika berpuasa),
dan waktu syuruq (matahari terbit)
Membantu seorang muslim untuk mengukur
waktu yang mereka butuhkan untuk persiapan
pelaksanaan sahur dan berbuka.
Menghidari kesalahan dalam penetapan waktu
yang menyebabkan batalnya pelaksanaan
ibadah mereka; puasa dan shalat.
Lebih hati-hati untuk mengakhiri sahur dan
memulai berbuka puasa.
Dll.
Perspektif imsak menurut ilmu Falak
Waktu imsak adalah waktu tertentu sebelum
shubuh, saat kapan biasanya seseorang mulai
berpuasa. Mengenai waktu imsak ada yang
berpendapat 15 menit, 10 menit, dan ada yang
menggunakan 18 menit dan 20 menit sebelum
fajar shodiq yang merupakan awal waktu
shubuh dan juga awal berpuasa. Dalam hal ini
para ahli astronomi berbeda pendapat
mengenai irtifa’ (ketinggian matahari) fajar
shadiq yang pada waktu itu dibawah ufuq
(horizon) ada yang berpendapat -18,-19,dan
-20.
Fenomena ini dalam astronomi disebut dengan
Twilight, fenomena ini muncul dibawah horizon
sampai matahari terbit pada pagi hari atau
setelah matahari terbenam pada sore hari.
Pada waktu itu cahaya kemerahan di langit
sebelah timur sebelum matahari terbit, yaitu
saat matahari menuju terbit pada posisi jarak
zenith 108 derajad di bawah ufuq sebelah
timur[7]. Dalam Explanatory Supplemen to The
Astronomical Almanac dijelaskan” this is
caused by the scattering of sunlight from upper
layer of the earth atmosphere. It begins at
sunset (ends at sunrise) and is conventionally
taken to end (or begin) when the center of the
sun reaches an altitude of -18”.
Fajar sendiri dibagi menurut ahli astronomi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu fajar waktu
pagi dan fajar waktu senja hari, secara fiqhi
fajar dibagi menjadi dua juga yaitu fajar shodiq
dan fajar kadzib, dalam hal ini K. Maisur
mengatakan sebagaimana dijelaskan oleh
ulama bahasa arab dan ulama fiqh:
ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻨﺘﺸﺮ ﺿﻮﺅﻩ ﻣﻌﺘﺮﺿﺎ ﻳﻨﻮﺍﺣﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ. ﺑﺨﻼﻑ ﺍﻟﻜﺎﺫﺏ ﻓﺈﻧﻪ
ﻳﻄﻠﻊ ﻣﺴﺘﻄﻴﻼ ﺛﻢّ ﻳﺬﻫﺐ ﻭﻳﻌﺘﻘﺒﻪ ﻇﻠﻤﺔ. ﻭﺫﺍﻟﻚ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺼﺎﺩﻕ
Dalam ranah fiqih fajar dapat dibagi dua
macam yaitu fajar shadiq dan fajar kadzib.
Fajar kadzib adalah fenomena cahaya
kemerahan yang tampak dalam beberapa saat
kemudian menghilang sebelum fajar shadiq,
dalam dunia ilmu astronomi sering disebut
Twilight False atau Zodiacal light, Fajar kadzib
terjadi akibat hamburan cahaya matahari oleh
debu-debu antar planet di ekliptika.
Sedangkan fajar shadiq adalah fenomena
astronomical twilight yang muncul setelah fajar
kadzib. Para Ahli Fiqih memberi gambaran
bahwa fenomena fajar shadiq ketika mega
putih (biyadh) dari horizon telah tampak dari
arah timur, hal tersebut telah dijelaskan dalam
surat Al-Baqarah ayat 187 dimana waktu
melakukan puasa adalah ketika terbitnya fajar
(fajar shadiq) sampai tenggelamnya matahari.
Penyelesaian permasalahan yang menjadi
perdebatan
Imsakiyah ini memang tidak ada di zaman
Rasul Saw. dan di zaman sahabat (salaf
sholeh) juga tidak ada dalil tekstual secara
khusus ataupun secara umum. Akan tetapi
keberadaannya tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar syariat islam. Justru
keberadannya membawa maslahat yang besar
bagi umat islam. Keberadannya sangat
membantu seorang muslim/ah untuk bisa
menyempurnakan pelaksanaan ibadah puasa
mereka. Karena mereka tahu waktu dan sangat
berhati-hati dalam menentukan waktu menahan
diri dari segala hal yang membatalkan puasa
dengan memulai menahan sebelum waktunya.
Justru keberadaan imsakiyah ini dalam kondisi
tertentu bisa masuk ke dalam kaidah yang
disebutkan oleh ulama ushul:
ﻣﺎ ﻻ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺍﻻ ﺑﻪ ﻓﻬﻮ ﻭﺍﺟﺐ
“Apapun yang tidak sempurna pelaksanaan
sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka
ianya akan menjadi wajib juga”.
Aplikasi kaidah di atas pada permasalahan
adalah: Jikalau sempurnanya pelaksanaan
imsak tidak akan bisa tercapai kecuali dengan
adanya imsakiyah, maka imsakiyah juga akan
menjadi wajib.
Sesuatu yang tidak ada/tidak dilakukan di
zaman Rasul atau generasi salaf, bukan berarti
haram/tidak boleh dilakukan oleh orang-orang
setelah mereka. Apalagi hal-hal yang dilakukan
adalah sesuatu yang baik dan mendukung
maslahat dalam melaksanakan agama secara
sempurna yang dihasilkan dari proses ijtihad.
Dan Hal-hal yang haram/tidak boleh dilakukan
oleh generasi setelah Rasul Saw. adalah
apabila DILARANG oleh Rasul Saw., bukan hal-
hal yang ditinggalkan/tidak dilakukan. oleh
karena itu ulama ushul mengatakan :
ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻻ ﻳﻔﻴﺪ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“Rasul Saw. dan sahabat tidak melakukan
sesuatu bukan berarti yang tidak dilakukan itu
adalah haram dilakukan.”
Oleh karena itu imsakiyah bukanlah sebuah
perkara bid`ah hanya dengan alasan imsakiyah
tidak ada di zaman Rasul Saw. dan sahabat.
Dan imsakiyah juga tidak bisa dikatakan
bertentangan dengan sunnah Rasul Saw.
karena memang tidak ada larangan terhadap
imsakiyah baik secara umum maupun secara
khusus.
Jikalau mereka menyatakan imsakiyah ini
bid`ah karena tidak ada dalil khusus yang
memerintahkan atau membolehkan, maka kita
akan juga tagih kepada mereka mana dalil yang
melarangnya dengan dalil khusus?! Apakah ada
larangan di dalam Al Qur`an dan sunnah
terhadap imsakiyah secara khsusus?!
Jawabannya pasti tidak!
Perlu diketahui bahwa perbuatan kaum
muslimin akan terus berkembang dan akan
sangat bervariatif dari masa ke masa, akan
sangat beragam dari satu tempat dibandingkan
dengan tempat lainnya. Perbuatan yang sudah
umum terjadi di zaman Rasul Saw. belum tentu
terjadi di zaman-zaman selanjutnya.
Sebaliknya, perbuatan yang belum ada di
zaman Nabi Saw. boleh jadi baru ada pada
zaman-zaman selanjutnya. Untuk menyikapi
bervariatif dan terus berkembanganya
perbuatan seorang muslim/ah dari satu waktu
ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain,
syariat kita menjelaskan tuntutan syar`i secara
garis besar/ umum, agar bisa dijadikan patokan
oleh para ulama untuk menemukan hukum
permasalahan-permasalahan yang terjadi
kapanpun melalui piranti ijtihad. Oleh karena
itu tidak semua permasalahan yang dijelaskan
secara khusus oleh dalil al Qur`an dan sunnah.
Jikalau setiap permasalahan dituntut harus
dijelaskan dengan dalil-dalik khusus, apa
gunanya dalil-dalil umum yang ada di dalam al
Qur`an dan sunnah? Apakah mereka hanya
akan menerima dalil-dalil-dalil khusus saja,
sementara dalil-dalil umum ditolak?! Bukankah
perbuatan mereka ini sama dengan Bani Israil
seprti yang diceritakan oleh QS: Al Baqarah:
85:
ﺃَﻓَﺘُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺒَﻌْﺾِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺗَﻜْﻔُﺮُﻭﻥَ ﺑِﺒَﻌْﺾٍ ﻓَﻤَﺎ ﺟَﺰَﺍﺀُ ﻣَﻦْ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺫَﻟِﻚَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ
ﺇِﻟَّﺎ ﺧِﺰْﻱٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻳُﺮَﺩُّﻭﻥَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺷَﺪِّ ﺍﻟْﻌَﺬَﺍﺏِ ﻭَﻣَﺎ
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻐَﺎﻓِﻞٍ ﻋَﻤَّﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al
Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang
berbuat demikian dari padamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada
hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa
yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa
yang kamu perbuat.
Kenapa ada Imsakiyah dan perspektif syariat
dalam menghukumi imsakiyah?
Mari kita lihat dasar adanya imsakiyah dan
pendapat para ulama hadits tentang imsakiyah
ini:
Sebenarnya ketetapan waktu imsak sebagai
ihtiyath (kehati-hatian) itu punya dasarnya.
Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf
menyebut dalam “at-Taqriiraat as-Sadiidah fil
Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan kumpulan
dari ringkasan ajaran guru-guru beliau terutama
sekali al-’Allaamah al-Faqih al-Muhaqqiq al-
Habib Zain bin Ibrahim bin Zain Bin Smith,
pada halaman 444 menyatakan :
…”Dan memuai imsak (menahan diri) dari
makan dan minum (yakni bersahur) itu adalah
mandub (disunnatkan) sebelum fajar, kira-kira
sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk
membaca 50 ayat (sekitar seperempat jam)”.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, berbunyi:-
ﺭﻭﻯ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋَﻦْ ﺃَﻧَﺲٍ ﻋَﻦْ ﺯَﻳْﺪِ ﺑْﻦِ ﺛَﺎﺑِﺖٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﺗَﺴَﺤَّﺮْﻧَﺎ
ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﻗُﻠْﺖُ ﻛَﻢْ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻴْﻦَ
ﺍﻷَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻟﺴَّﺤُﻮﺭِ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺪْﺭُ ﺧَﻤْﺴِﻴﻦَ ﺁﻳَﺔً .
Dari Sayyidina Anas meriwayatkan bahwa
Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami
telah makan sahur bersama-sama Junjungan
Nabi Saw., kemudian baginda bangun
mengerjakan shalat. Sayyidina Anas bertanya
kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa lamanya
antara azan (Subuh) dengan waktu makan
sahur itu ?” Dia menjawab: “sepadan dengan
waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50
ayat.”
Hadis ini menunjukkan bahwa jarak atau
interval waktu antara bersahurnya Rasul Saw.
dan azan Subuh adalah kira-kira 50 ayat. Itu
artinya Rasul Saw. tidak lagi makan sahur
sampai berkumandangnya azan Subuh. Pada
redaksional hadits disebutkan secara jelas
bahwa Rasul Saw. bersahur dan berhenti kira-
kira waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50
ayat al Qur`an sebelum masuk waktu Subuh.
Inilah yang dipahami oleh para ulama kita,
sehingga menetapkan sunnah berimsak sekitar
waktu yang dibutuhkan untuk pembaca 50 ayat
Al Qur`an tersebut yang diperkirakan setara
dengan 10 – 15 menit.
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani di dalam kitab
“Fathul Baari” tatkala mensyarah maksud
hadits di atas antara lain menyatakan:-
“Dan Imam al-Qurthubi berkomentar:
“Padanya (yakni dalam kandungan hadits di
atas) terdapat dalil bahwasanya berhenti dari
sahur adalah sebelum terbitnya fajar….”
Jadi jelas dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi
bahwa berhenti sahur Rasulullah Saw. menurut
hadits di atas adalah sebelum terbitnya fajar
(qabla thulu`il fajri), yang mengisyaratkan
bahwa tidaklah Rasulullah Saw. masih
mengkonsumsi sahur sampai terbit fajar.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani juga
menyatakan bahwa:-
“Maka disamakan oleh Zaid bin Tsabit waktu
yang demikian itu dengan ukuran pembacaan
al-Quran sebagai isyarat bahwa waktu tersebut
(yakni waktu senggang antara selesai sahur
dan azan) adalah waktu untuk ibadah
membaca al-Quran.”
Jadi bukanlah waktu itu untuk mengunyah
makanan lagi, inilah yang dimaksudkan!
Al-’Allaamah Badruddin al-’Ayni di dalam kitab
“‘Umdatul Qari” yang juga merupkan syarah
Sahih Bukhari menyatakan:-
“Hadits Zaid bin Tsabit menunjukkan
bahwasanya selesai daripada sahur adalah
sebelum fajar dengan kadar pembacaan 50
ayat.”
Beliau juga menulis:-
“Bahwasanya padanya (yakni pada hadits Zaid
tersebut) mengakhirkan sahur sehingga tinggal
waktu antara azan dan makan sahur itu kadar
pembacaan 50 ayat… maka dari situ ianya
menunjukkan bahwasanya mereka (Nabi Saw.
dan sahabat) menyegerakan bersahur dan
berhenti sehingga tinggal (waktu) antara
mereka dan fajar sekitar selama waktu yang
dibutuhkan tersebut.”
Artinya Rasul Saw. dan sahabat berhenti
bersahur sebelum terbit fajar sekitar selama
waktu yang dibutuhkan untuk membacaan 50
ayat dan mereka tidaklah mengundurkan sahur
sehingga terbitnya fajar shadiq.
Imam an-Nawawi di dalam kitab “Syarah
Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang
diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Bakar bin
Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama
dengan hadits Imam al-Bukhari di atas dengan
perbedaannya bahwa dalam lafaz al-Bukhari
dinyatakan “berapa kadar waktu antara azan
dan sahur” dan dalam hadits Muslim juga
digunakan “berapa kadar waktu antara
keduanya”, menyatakan:-
“… padanya (yakni dalam hadits tersebut)
terkandung anjuran untuk mengakhirkan sahur
beberapa saat sebelum terbit fajar”, ( yakni
kita dianjurkan untuk mengakhirkan makan
sahur beberapa saat sebelum terbitnya fajar
shadiq.
Perhatikanlah, dengan berdasarkan
pemahaman terhadap hadits di atas yang
berasal dari perbuatan Rasul Saw. ulama
berpendapat bahwa adanya waktu imsak yang
menjadi sunnah untuk menyelesaikan makan
sahur (yakni bagi yang telah bersahur) sebelum
fajar shadiq terbit.
Ijtihad ulama mazhab Syafi`i seperti yang
disebutkan oleh Al-’Allaamah Sayyid ‘Abdullah
al-Jurdani di dalam kitab “Fathul ‘Allam bi
syarhi Mursyidil Anaam” volume 4 halaman 59
menyebutkan:-
“Telah berkata Imam ar-Ramli seperti (kata)
Imam Ibnu Hajar setelah kedua orang itu
menyebutkan hadits Zaid bin Tsabit tersebut: “
Dan padanya (yakni terkandung dalam hadits
tersebut) dalil bahwa sunnah untuk
mengakhirkan sahur. Yaitu yang afdhalnya
adalah diakhirkannya sahur tersebut sehingga
berhenti darinya (selesai dari bersahur) dan
malam masih tersisa (masih belum terbit fajar
shodiq) selama waktu yang dibutuhkan untuk
(pembacaan) 50 ayat.
Pendapat Habib Umar bin Hafidz,
Pertanyaan:
Banyak orang yg makan sampai waktu adzan
tiba, yaitu ia tidak berimsak kecuali tatkala
mendengar adzan. Apakah hal ini
diperbolehkan atau dia wajib berimsak
sebelumnya?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa ber-imsak itu lebih
afdhal. Selama belum terbitnya fajar
diperbolehkan baginya untuk makan apa yang
dikehendakinya. Akan tetapi berhati-hati
dengan imsak sebelum azan dengan (untuk
menjaga) satu jangka masa adalah baik.
Apabila seseorang sampai fajar telah terbit lalu
dia makan dan minum, kemudian ternyata
perbuatannya itu (yakni makan/minumnya tadi)
terjadi setelah terbit fajar, maka berdosalah dia
dan wajib atasnya untuk berpuasa sehari
sebagai ganti puasanya hari tersebut (yakni
apabila nyata bahwa dia telah makan dan
minum setelah fajar terbit, maka dia berdosa
dan wajib qadha).
Oleh karena itu, maka berhati-hati itu lebih
utama dan yang sedemikian itu telah diambil
oleh para ulama berdasarkan yang disebutkan
di dalam hadits yang mulia:
“Berapa masa antara sahur s.a.w. dan sholat ?
Dijawabnya : Sekadar 50 ayat. 50 ayat
dikadarkan dengan seperempat jam atau
sepertiga, atas sekurang-kurangnya. Oleh
karena itu, imsak sebelum fajar dengan
seperempat jam atau sepertiga jam adalah
awla dan ahwath (terlebih utama dan terlebih
berhati-hati).
Oleh karena Ihtiyath (berhati-hati) yang bisa
dilakukan oleh seorang muslim dalam masalah
imsak itu sangat luas dan ia bisa dipersempit
oleh seseorang itu atas dirinya menurut
kehendaknya, seperti dilaksanakannya puasa
untuk satu hari secara sempurna itu dengan
dimulai menahan pada hari itu sebelum habis
waktu boleh makan dan minum tersebut (yakni
sebelum tiba fajar hari tersebut) sekitar 10 atau
15 menit (sebagai ihtiyath bagi dirinya untuk
mendapatkan kesempurnaan puasa satu hari
tersebut). Karena menyeret dirinya dalam
keraguan untuk penentuan yang sedemikian
adalah satu keburukan dalam berhubungan
dengan Allah al-Jabbar Swt.. Bahkan
semestinya dia berihtiyath sebelum fajar, maka
berimsaklah dia sebelum fajar. Dan pada
Maghrib, sedemikian juga dia berihtiyath
(berhati-hati) untuk tidak berbuka sehingga
diyakini terbenamnya matahari. Wa billahit
tawfiq.
KESIMPULAN
1. Imsakiyah bukanlah sebuah perkara bid`ah
hanya dengan alasan imsakiyah tidak ada di
zaman Rasul Saw., karena sesuatu yang tidak
ada/tidak dilakukan di zaman Rasul atau
generasi salaf, bukan berarti haram/tidak boleh
dilakukan oleh orang-orang setelah mereka.
Apalagi hal-hal yang dilakukan adalah sesuatu
yang baik dan mendukung maslahat dalam
melaksanakan agama secara sempurna yang
dihasilkan dari proses ijtihad. Dan Hal-hal yang
haram/tidak boleh dilakukan oleh generasi
setelah Rasul Saw. adalah apabila DILARANG
oleh Rasul Saw., bukan hal-hal yang
ditinggalkan/tidak dilakukan.
2. Imsakiyah sangat membantu seorang yang
berpuasa untuk bisa berpuasa dengan
sempurna dari segi penentuan waktu dan
terhindari dari batal/rusaknya puasa yang
dilakukannya. Oleh karena itu ulama justru
menghukumi sunnah untuk berhenti
mengkonsumsi/melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa beberapa saat sebelum
terbit fajar (masuknya waktu subuh). Dan inilah
yang kita kenal saat ini dengan istilah imsak.
Demikianlah pemaparan singkat mengenai
imsakiyah Ramadhan (imsak sebelum terbit
fajar shadiq). Semoga bermanfaat dan kaum
muslimin tidak terpengaruh dengan fitnah yang
timbul. Amiin.
Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar