Sabtu, 12 April 2014

Mbah Syafa' kali wungu

Sebelum dikenal sebagai Wali, Mbah Kiai
Musyafa’ dianggap orang Gila. Namun
kemudian banyak orang yang menemukan
Karomahnya. Karena itu, setelah dia
meninggal, makamnya kerap didatangi
peziarah.
Kota Kaliwungu, tepatnya di wilayah
Kecamatan Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah,
tampak sangat anggun bila dilihat dari bukit
yang terletak di Desa Proto Mulyo, sebelah
timur Kampung Gadukan, Kutoarjo, Kaliwungu.
Masjid Al-Muttaqin yang berada di pusat kota
terlihat sangat dominan dan lebih besar
dibanding bangunan lain yang ada di
sekitarnya. Menara dan kubah masjid tampak
sangat kukuh, seperti menegaskan betapa
Allah SWT Mahabesar.
Dari ketinggian bukit itu, tampak kecantikan
kota Kaliwungu yang mempesona. Disana
terdapat makam alim ulama dan para penyiar
agama Islam tempo dulu. Masyarakat
menyebutnya sebagai makam Jabal (bukit),
sebuah kawasan perbukitan. Salah seorang
ulama besar yang dimakamkan disana adalah
Kiai Musyafa’ bin Haji Bahram.
Seperti halnya makam wali-wali yang lain,
makam Mbah Syafa’, demikian beliau biasa
disapa, inipun kerap dikunjungi para peziarah,
terlebih pada hari Kamis wage sore dan Jumat
Kliwon. Pada kedua hari tersebut, ratusan
bahkan ribuan peziarah datang kesana. Santri
dari beberapa pesantren juga kerap
menjadikannya sebagai tempat untuk
melaksanakan riadah.
Selama hidup (antara tahun 1920 – 1969),
Mbah Syafa’ dikenal sebagai sosok yang
zuhud. Ia sangat sederhana, baik dalam
berpakaian maupun dalam bertutur kata.
Kesederhanaannya dalam berpakaian,
membuat sebagian orang menganggap Mbah
Syafa’ sebagai Kiai yang sangat miskin. Tidak
jarang orang juga mengatakan bahwa Mbah
Syafa’ adalah orang gila, karena ia memang
kerap berperilaku Khawariqul Adah, yaitu
berperilaku diluar kebiasaan manusia pada
umumnya.
Anggur Mekkah
Sangkaan orang bahwa Mbah Syafa’ adalah
orang gila sudah terdengar sebelum
masyarakat mengetahui karomah dan
kewaliannya. Pada suatu hari tetangga
disekitar rumah Mbah Syafa’ di bikin geger.
Pasalnya setelah musim haji, ada seorang haji
yang datang ke sana, ia mengaku di titipi
anggur oleh seseorang di Mekah untuk
diserahkan kepada Mbah Syafa’, yang baru
saja menunaikan ibadah haji di Mekah.
Padahal tetangga Mbah Syafa’ menyaksikan
sendiri, selama musim haji itu Mbah Syafa’
berada di rumahnya.
Sejak itu pandangan orang pada dirinya
berubah, apalagi setelah karomah-karomahnya
disaksikan orang-orang disekitarnya. Suatu
saat Mbah Syafa’ menjamu tamu yang datang.
Masing-masing tamu menuang sendiri air
minum dari ceret yang sudah disediakan.
Anehnya air minum yang berasal dari satu
ceret itu di rasakan berbeda-beda oleh tamu
yang minum.
Dalam kisah yang lain, sekitar tahun 1060-an,
Mbah Syafa’ kedatangan seorang tentara.
Tentara itu bermaksud memohon restu, karena
sebagai pembela negara dia mendapat tugas
ikut dalam rombongan pasukan Trikora yang
akan membebaskan Irian Jaya dari
pendudukan Belanda. Saat dia sampai di
tempat tinggal Mbah Syafa’, dan
mengemukakan maksudnya, Mbah Syafa’ tidak
menjawab sepatah kata pun. Beliau hanya
mengambil sebuah wajan yang telah di bakar
hingga merah membara.
Oleh Mbah Syafa’ wajan itu di dekatkan ke
kepala orang tersebut sambil dipukul beberapa
kali. Sesaat kemudian beliau masuk kedalam
rumah dan keluar dengan membawa tiga buah
biji randu (Klentheng), lantas menyerahkannya
pada orang itu. Orang tersebut tidak mengerti
apa maksud Mbah Syafa’, namun ia tetap
menyimpan biji randu pemberian Mbah Syafa’.
Di belakang hari, isyarat tersebut bisa
diketahui setelah kapal yang ditumpangi
tentara Indonesia hancur di tengah laut. Namun
atas izin Allah orang tersebut selamat.
Dalam kisah yang lain diceritakan pada
1940an, suatu hari Mbah Syafa’ menggali
tanah hingga dalam. Orang-orang disekitarnya
merasa heran dengan apa yang dikerjakannya
itu. Sebagian mengira tempat itu akan
digunakan untuk memelihara ikan, sebagian
yang lain menyangka akan dibuat sumur.
Setelah beberapa saat, orang baru sadar
bahwa Mbah Syafa’ mengetahui peristiwa yang
bakal terjadi belakangan. Karena tidak lama
berselang, tentara Jepang menyerbu daerah
Kaliwungu, dan lubang itu dipergunakan
sebagai tempat persembunyian orang-orang
yang ada di sekitarnya.
Berbagai peristiwa aneh terjadi termasuk
setelah ia meninggal dunia pada 13 Maret 1969
(seperti yang tertulis pada nisannya). Suatu
ketika saat sedang membersihkan Balai Desa
Krajan Kulon, Mbah Rasyid, tukang sapu kantor
tersebut, ditemui Mbah Syafa’ tanpa
berbincang apapun. Mbah Syafa’ memberinya
uang seribu rupiah, padahal ia telah meninggal
dunia.
Anehnya, ketika sudah dibelanjakan, uang itu
tetap utuh dan tetap ada di saku Mbah Rasyid
begitu ia sampai di rumah. Hal itu berulang
hingga tiga kali, membuat gundah Mbah
Rasyid. Hatinya baru tenang setelah uang itu ia
kembalikan ke kuburan Mbah Syafa’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar