Selasa, 03 Desember 2013

TIRAKAT IMAM GHAZALI



Setelah melalui perenungan mendalam, pada 488 H/1095 M ia meninggalkan Baghdad, dengan segala kemewahan dan ketermasyhurannya, menuju Damaskus, Syria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup.

Imam Ghazali, atau lengkapnya
Syaikh Abu Hamid
Muhammad ibnu Muhammad
ibnu Ahmad Ath-Thusi Al- Ghazali, adalah ulama besar penyusun kitab tasawuf Ihya Ulumuddin, yang sangat terkenal.

Al-Ghazali, anak pemintal wol dari Desa Ghazalah, sejak kanak-kanak memang sudah rajin mempelajari ilmu agama. Sejak belia ia sudah mengembara mendulang ilmu kepada para ulama besar, seperti Syaikh Ahmad ibnu Muhammad Al Razhani Al-Thusi, Abu Nash Ismail Al-Jurjani, Syaikh Yusuf Al-Nassaj, Imam Al-Haramain (Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) Abu Ma’al Al-Juwaini, serta belajar tasawuf kepada Syaikh Abu Ali Al- Fadhl ibnu Muhammad ibnu Ali Farmadi.

Puncak pencapaian keilmuannya ialah ketika ia diangkat menjadi rektor Madrasah Tinggi Nizhamiyah, perguruan paling bergengsi kala itu.

Namun, kemapanan hidup dan ketenaran tersebut justru mulai menorehkan kegelisahan jiwanya.

Kesenangan hidup yang melimpah malah membuatnya sakit.

Selama hampir enam bulan ia terombang-ambing antara upaya mempertahankan keduniawian dan meraih kebahagiaan akhirat. Guncangan jiwa itu terjadi ketika hatinya bertanya-tanya, “Apakah sebenarnya pengetahuan hakiki itu? Dapatkah pengetahuan hakiki diraih melalui indra, ataukah dengan akal?” Guncangan guncangan ruhaniah itu sempat membuatnya linglung.

Tapi semua itu akhirnya terjawab dalam kitab Al-Munqidz Minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).

Dalam beberapa riwayat diceritakan, untuk mengendapkan gejolak hatinya, Ghazali menghentikan seluruh aktivitasnya, baik perenungan maupun ibadah, selama 40 hari, sampai akhirnya cahaya Ilahi menerangi jiwa, qalbu, dan raganya sehingga ia mampu keluar dari keraguan.

Tasawuf, itulah jalan baru yang dianggapnya tepat, yang kemudian ditempuhnya untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang mengusik qalbunya.

Setelah melalui perenungan mendalam, pada 488 H/1095 M ia meninggalkan Baghdad, dengan segala kemewahan dan ketermasyhurannya, menuju Damaskus, Syria, untuk menemukan ketenangan dan kesejatian hidup. Di bekas ibu kota Dinasti Umayyah ini, ia hidup bersama para sufi di Masjid Umawi.

Ia menjalani kehidupan zuhud, penuh riyadhah dan mujahadah, dengan disiplin keras. Pernah ia melakukan i’tikaf di menara masjid selama beberapa bulan dengan hanya makan sangat terbatas.

Tak lama kemudian ia hijrah ke Palestina. Rupanya ia sengaja hendak berkhalwat di Qubbatush Shakhrah di Baitul Maqdis, sebuah gua tempat Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman pernah berkhalwat. Di sana pula Rasulullah SAW berangkat mi’raj.

Di kubah berwarna kuning itu, setiap hari Ghazali bermunajat kepada Allah SWT.

Semua pintu kubah ia kunci sehingga tak ada yang mengganggunya. Kemudian ia berziarah ke makam Nab Ibrahim AS di Al-Khalil.

Setelah merasa cukup, ia menuju Hijaz untuk beribadah haji dan menziarahi makam Rasulullah SAW.

Lalu ia bertolak ke Iskandariah, Mesir. Baru beberapa hari tinggal di kota pelabuhan ini, ia diminta kembali memimpin perguruan Nizhamiyah. Maka kembalilah ia ke Baghdad.

Namun, saat itu ia telah menjadi sufi, yang tentu tak mungkin kerasan tinggal di ibu kota Dinasti Abbasiyah, yang gemerlapan.

Maka tak lama kemudian ia pindah ke Thus dan mendirikan Madrasah Khanaqah sebagai lembaga untuk memperdalam tasawuf.

Di kota inilah, pada 505 H/1111 M, ia menghadap Sang Pencipta, dalam usia 55 tahun. Perjumpaan Ruhani Mengenai riyadhah bathinnya, ia mengatakan, “Setelah semua kegelisahan itu, perhatianku kupusatkan di jalan sufi.

Ternyata jalan ini tidak akan dapat ditempuh kecuali dengan ilmu dan amal. Langkahnya harus ditempuh melalui tanjakan-tanjakan bathin dan penyucian diri untuk mengkondisikan kesiapan bathin, kemudian mengisinya dengan dzikir kepada Allah SWT.” Katanya lagi, “Bagiku, ilmu lebih mudah daripada amal.

Maka aku pun segera memulai perjalanan spiritualku dengan mempelajari ilmu para sufi terdahulu, membaca karya-karya mereka. Antara lain Qutb al-Qulub, karya Abu Thalib Al-Makki, dan karya-karya Haris Al-Muhasibi. Juga ujaran-ujaran Junaid Al-Bagdadi, Asy-Syibli, Abu Yazid Al- Busthami, dan lain-lain.”

Dari beberapa ungkapannya, terutama ketika ia mengatakan “Penjelasan lebih jauh kudengar sendiri dari lisan Al-Makki, Al Muhasibi, Al-Junaid, As-Syibli, dan lain-lain”, sepertinya ia mengalami perjumpaan dengan para pendahulunya itu secara ruhani.

Mengenai praktek tasawuf, ia menyatakan, ada hal-hal khusus yang hanya dapat dicapai dengan dzauq (perasaan) dan pengalaman bathin. “Sangat jauh jika engkau bermaksud memaknai sehat atau kenyang tanpa mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang. Mengalami mabuk lebih jelas daripada hanya mendengar keterangan tentang arti mabuk.

Maka, mengetahui arti dan syarat syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zuhud.”

Menurut Ghazali, kehidupan seorang muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna kecuali mengikuti jalan Allah secara bertahap. Tahapan-tahapan itu, antara lain, taubat, sabar, fakir, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, dan ridha.

Karena itu, seseorang yang mempelajari tasawuf wajib mendidik jiwa dan akhlaqnya.

Sementara itu, hati adalah cermin yang sanggup menangkap ma’rifat. Dan kesanggupan itu terletak dalam qalbu yang suci dan jernih.

Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar