Laman
- Beranda
- al ilmu
- al kisah
- Allah dan Jalan menuju Allah
- Cahaya
- Do'a Doa
- Futuhat Al Makiyyah
- Hadits Qudsy
- Kalam Kalam Hikmah
- Kata Hati
- Kebenaran Hakiki
- Kitab Tauhid
- Mahkota Aulia Illaita'ala
- Mutiara Kalam Habaib
- My notes
- Qitab Sirr Al Asrar
- Shalawat
- Syaikh Abdul Qadir Al Jailani
- Syar'i
- Syarh Al Hikam
- Taddabur Ayat Ayat
- Tokoh dan Biografi
Selasa, 03 Desember 2013
Orang Yang Mengenal Allah Tidak Akan Maksiat.
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang di wajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.
“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju Allah?” tanyaku padanya.
“Kalau anda mengenalNya pasti anda tahu jalan menuju padaNya.”
“Apakah seseorang bisa beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalNya itu maksiat padaNya?” jawabnya.
“Bukankah Adam as, itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan Kami tidak menemukan baginya tekad”, Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perbedaan Ulama itu rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena Kemaha tunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik bertanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan hatinya sirna.”
“Apakah dunia bisa merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bisa mengubah hatinya?” katanya lebih tajam.
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzubillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengenal orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang airf bisa putus asa terhadap perkara selain Allah?”
“Apakah ada orang arif yang masih memandang selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakan, Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat diriku bergetar oleh kharisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwea Dia melihatmu.”
Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tingkah laku jiwamu…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar