Sabtu, 03 Oktober 2015

Sulthanul Aulia GrandSyaikh Abdullah Faiz Daghestani


Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
grandshaykh3.jpg
Engkau adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hati.
Kelopak mataku tidak pernah tertutup
Kecuali bahwa Engkau berada di antara mereka dan mataku.
Cinta-Mu adalah bagian dariku seperti pembicaraan internal jiwa.
Aku tidak dapat bernapas kecuali Engkau ada dalam napasku
Dan Aku menemukan-Mu berburu menembus setiap indraku.
Abul Hasan Sumnun

Ia dilahirkan di Daghestan pada tahun 1309 H./1891 M. dari sebuah keluarga dokter. Ayahnya adalah seorang dokter umum dan kakaknya adalah dokter bedah umum dalam Angkatan Bersenjata Rusia.  Ia dibesarkan dan dididik oleh pamannya, Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q), mursyid Tarekat Naqsybandi pada masa itu, yang merawatnya dengan istimewa sejak awal kehidupannya.  

Selama masa kehamilan saudarinya, Syekh Syarafuddin (q) mengatakan,
“Bayi lelaki yang kau kandung ini tidak mempunyai hijab di dalam kalbunya.  Ia akan mampu melihat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi atau yang akan terjadi.  Ia adalah salah satu di antara orang yang dapat membaca Ilmu Gaib dari Loh Mahfuz secara langsung.  Ia akan menjadi seorang ‘Sulthan al-Awliya’ di zamannya.  Di antara para awliya, ia akan dijuluki sebagai ‘Naqiib al-Ummah’,  ‘Pemimpin Umat Muhammad’.  Ia akan menyempurnakan kemampuan untuk bersama Tuhan dan pada saat yang sama bersama orang-orang.   Ia akan mewarisi rahasia dari Nabi (s), di mana beliau (s) pernah bersabda, ‘Aku mempunyai satu wajah menghadap pada Sang Pencipta, dan satu wajah memandang pada ciptaan-Nya.’  Dan ‘Aku mempunyai satu jam dengan Sang Pencipta dan satu jam bersama ciptaan-Nya.’”

 “Jika telah lahir, berilah ia nama `Abdullah, karena ia akan membawa rahasia penghambaan.  Ia akan menyebarkan tarekat kembali ke negeri-negeri Arab, dan melalui dirinya, penerusnya akan menyebarkan tarekat ini di negeri-negeri Barat dan Timur Jauh.  Jagalah ia baik-baik.  Ketika ia sudah berusia tujuh tahun, serahkanlah ia padaku untuk dibesarkan dalam pengawasanku.”

Pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari Kamis, ibunya yang bernama Amina melahirkan bayi yang kemudian diberi nama `Abdullah.  Pada saat persalinannya sekitar tengah malam tak seorang pun menemaninya.  Suaminya sedang sibuk dan saudaranya sedang pergi. Ia mengatakan bahwa ketika ia melahirkan bayinya, ia mendapat suatu penglihatan di mana ada dua wanita mendatanginya.  Yang pertama adalah Rabi’a al-Adawiyya (q) dan yang satunya lagi adalah Asiya (q) (istri Firaun yang beriman kepada Nabi Musa (a)).  Mereka membantu persalinannya.  Beberapa saat kemudian penglihatan itu berakhir, dan ia melihat bayinya mulai keluar.  Pada saat itu suaminya datang dan membantu persalinannya.

Orang tuanya tidak pernah mendengarnya menangis.  Di masa kanak-kanaknya, pada usia satu tahun, mereka sering melihatnya dengan kepala di lantai dalam posisi sujud. Ibunya, keluarga dan tetangganya heran melihat hal ini.  Ia berbicara pada usia 7 bulan dan mampu membuat orang lain memahami perkataannya dengan jelas.  Ia sungguh berbeda dengan anak-anak seusianya.  Sering dijumpai kepalanya bergerak dari kanan ke kiri ketika mengucapkan Asma Allah.  Pada usia tiga tahun, ia sering mengatakan tentang masa depan tamu-tamu yang datang.  Ia mampu mengetahui nama-nama mereka tanpa perlu mengenalnya atau diberitahu sebelumnya.  Ia membuat kagum orang-orang di negerinya.  Banyak orang berdatangan untuk melihat anak yang istimewa ini dan mendengarkan apa yang dikatakannya.

Pada usia 7 tahun, ia telah membaca al-Qur’an.  Ia biasa berkumpul dengan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya.  Jawaban-jawabannya selalu sangat jelas dalam hal Syariah, meskipun ia belum pernah mempelajari fikih Islam.  Ia akan membacakan bukti-bukti pendukung dari Qur’an dan hadits Nabi (s) tanpa pernah mempelajari ilmu hadits.  Hal ini membuat orang-orang semakin tertarik dengannya.

Rumah ayahnya selalu penuh dikunjungi orang yang ingin menanyakan masalah-masalah, kesulitan dan urusan sehari-hari mereka.  Ia akan menjawabnya dan memprediksikan hasilnya.  Pada usia 7 tahun ia menjadi sangat terkenal, sehingga bila ada orang di desanya yang ingin menikah, mereka akan menanyakan dulu kepadanya apakah pernikahan mereka ditakdirkan untuk berhasil.  Lebih dari itu, mereka bertanya apakah pernikahannya itu telah sesuai dengan Kehendak Allah sebagaimana yang dituliskan di dalam Loh Mahfuz.

Para ulama saat itu memverifikasi keputusan-keputusannya dan menerima yurisdiksinya.  Orang-orang yang alim di masanya sangat mengagumi ilmu yang dimilikinya, walaupun ia baru berusia 7 tahun, mereka akan datang dari jauh untuk mendengarkan ilmu spiritual yang mengalir darinya bagaikan sebuah mata air.  Pamannya bertanya bagaimana ia bisa berbicara terus-menerus dengan begitu mudahnya.  Ia menjawab, “Wahai pamanku, hal itu datang kepadaku seperti kata-kata yang tertulis di hadapanku dari Hadirat Ilahi.  Aku hanya tinggal melihat dan membaca apa yang tertulis.”  

Ia sering membahas masalah-masalah dari ilmu yang dalam yang sebelumnya belum pernah dibicarakan.  Pada usia 7 tahun ia bicara kepada orang-orang arif di masa itu, “Jika aku berbicara mengenai Ilmu Ilahi yang telah dimasukkan ke dalam kalbuku, bahkan para awliya pun akan memotong tenggorokanku.”

Ia sangat teliti dalam menjaga rambu-rambu Syariah.  Ia yang pertama kali datang ke masjid ketika waktu salat tiba, 5 kali sehari.  Ia yang pertama hadir untuk berzikir.  Ia yang pertama hadir dalam pertemuan dengan para ulama.  Ia yang pertama hadir dalam pertemuan-pertemuan spiritual.

Ia termasyhur dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan membacakan Surat al-Fatihah.  Banyak orang dibawa kepadanya dengan berbagai macam penyakit dan ia akan membacakan Surat al-Fatihah dan meniupkannya kepada mereka dan mereka akan sembuh.  Ia mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam menyembuhkan orang walaupun berada di tempat yang jauh.  Banyak orang yang datang kepadanya meminta bantuannya untuk orang tua, istri, atau siapapun yang sakit namun tidak dapat mendatanginya.  Ia akan membacakan Surat al-Fatihah sekali dan mengirimkannya untuk mereka, dan dalam waktu singkat mereka akan sembuh, di mana pun tempatnya.  Penyembuhan adalah salah satu keistimewaan yang dimilikinya di antara keistimewaan-keistimewaan lainnya yang sangat banyak.


Berbicara tentang Dirinya
“Aku adalah seorang keturunan Miqdad bin al-Aswad (r), seseorang yang ditunjuk oleh Nabi (s) sebagai wakil beliau setiap kali beliau meninggalkan Madinah dalam suatu perjalanan.  Seperti pamanku, aku mewarisi lima tanda dari Tangan Nabi (s) yang penuh berkah, di mana beliau pernah menempelkan tangannya di punggung kakekku yang diberkati, Miqdad bin al-Aswad (r).  Dari tanda lahir ini memancar seberkas cahaya yang istimewa.”

Pada saat itu sekitar tahun 1890-an, Daghestan berada di bawah kezaliman dan tirani tentara Rusia.  Pamannya yang merupakan mufti di desanya, dan ayahnya yang merupakan seorang dokter terkenal, memutuskan untuk pindah dari Daghestan ke Turki.  Setelah mencapai keputusan itu, mereka meminta Syekh `Abdullah (q) untuk melakukan istikharah mengenai hijrah mereka saat itu.  Syekh `Abdullah (q) mengisahkan peristiwa itu,

Malam itu aku melakukan Salat Isya, lalu aku perbarui wuduku dan aku salat dua rakaat.  Lalu aku duduk bertafakur, menghubungkan diriku melalui Syekhku—pamanku, kepada Nabi (s).  Aku melihat Nabi (s) mendatangiku bersama 124.000 Sahabatnya.  Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, aku lepaskan seluruh kekuatanku dan kekuatan 124.000 Sahabatku dari kalbuku.  Katakan kepada pamanmu dan para pemuka desa ini untuk segera pindah ke Turki.’

Kemudian aku melihat Nabi (s) memelukku dan aku melihat diriku lenyap di dalam dirinya.  Segera setelah aku lenyap di dalam dirinya, aku melihat diriku naik dari Baitul Maqdis, sebagaimana Nabi (s) melakukan perjalanan malamnya (Isra’ Mi’raj). Aku melihat diriku menaiki Buraq yang sama yang mengantarkan Nabi (s).  Aku juga melihat diriku dibawa dalam suatu penglihatan yang nyata ke Maqam Qaba Qawsayni Aw Adna, ‘Sejarak Dua Busur Panah atau yang lebih dekat lagi’ [53:9], di mana aku dapat melihat Nabi (s), tetapi bukan diriku.

Aku merasakan diriku menjadi bagian dari keseluruhan bagian Nabi (s).  Melalui mi’raj itu, aku menerima Hakikat yang Nabi (s) tuangkan ke dalam kalbuku dari apa yang beliau terima pada Malam Isra’ Mi’raj.  Segala macam ilmu yang berbeda ini masuk ke dalam kalbuku dalam kata-kata yang bercahaya, dimulai dari warna hijau kemudian ungu, dan pemahaman-pemahaman dituangkan ke dalam kalbuku dalam jumlah yang tidak terukur banyaknya.

Aku mendengar sebuah suara dari Hadirat Ilahi yang mengatakan, “Mendekatlah wahai hamba-Ku, ke Hadirat-Ku.” Ketika aku mendekat melalui Nabi (s), segalanya lenyap, bahkan hakikat spiritual dari Nabi (s) pun lenyap.  Tidak ada yang hadir, kecuali Allah `azza wa jalla.’

Lalu aku mendengar sebuah suara dari seluruh Cahaya dan Sifat-Sifat-Nya yang bercahaya di dalam Hadirat-Nya, ‘Wahai hamba-Ku, sekarang datanglah ke Maqam Kehadiran di dalam Cahaya ini.’  Aku merasakan diriku hadir melalui Nabi (s), setelah lenyap, lalu muncul dan hadir di dalam Hadirat Ilahi, dihiasi dengan ke-99 Sifat.  Lalu aku melihat diriku di dalam diri Nabi (s), dan di dalamnya muncul seluruh ciptaan yang tercipta dengan Kekuasaan Allah.  Itu membawa kami ke suatu maqam di mana kami mampu menyadari bahwa ada alam semesta lain selain dari alam semesta ini, dan di sana ada berbagai ciptaan Allah (swt) yang tak terhingga.  Lalu aku merasakan pamanku menepuk pundakku sambil mengatakan, ”Wahai anakku, sudah waktunya Salat Subuh.”

Aku salat Subuh di belakang beliau bersama 300 penduduk desa yang salat berjamaah bersama kami.  Selesai salat, pamanku berdiri dan mengatakan, “Kami telah meminta keponakan kami untuk melakukan istikharah.”  Setiap orang tidak sabar mendengar apa yang telah aku lihat.  Namun kemudian pamanku segera berkata, “Ia dibawa ke hadirat Nabi (s) dengan kekuatanku.  Nabi (s) telah memberi izin bagi setiap orang untuk hijrah ke Turki.  Lalu beliau (s) membawanya dalam mi’raj menuju berbagai maqam hingga mencapai maqam Qaba Qawsayni Aw Adna [53:9]’.   Nabi (s) juga membawanya menuju sebuah maqam di mana beliau membukakan baginya sebuah penglihatan mengenai ilmu yang belum pernah dibukakan kepada seorang wali mana pun, termasuk diriku.  Mi’rajnya adalah merupakan sebuah petunjuk bagi awliya di masa lalu maupun di masa sekarang, dan merupakan sebuah kunci untuk membuka Samudra Ilmu dan Hikmah yang sangat luas.”

Aku berkata pada diriku sendiri, “Pamanku bersamaku dalam penglihatan itu, dan dengan kekuatannyalah aku menerima penglihatan itu.”

Setiap penduduk di desa itu mulai bersiap untuk hijrah.  Kami bergerak dari Daghestan menuju Turki dalam sebuah perjalanan yang penuh kesulitan baik akibat tentara Rusia maupun adanya para perampok yang tak segan membunuh.  

Mendekati perbatasan Turki, kami memasuki kawasan hutan yang dikenal penuh dengan tentara Rusia.  Saat itu adalah waktu Salat Subuh.  Pamanku mengatakan, ”Kita akan melakukan Salat Subuh dan setelah itu kita akan menyebrangi hutan itu.” Kami lalu salat dan setelah itu kami mulai bergerak.  Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada semua orang, ”Berhenti!”  lalu beliau meminta secangkir air.  Seseorang membawakan air itu dan beliau membacakan ayat ke-9 dari Surat Yaa Siin, Wa ja`alnaa min bayni aydiihim saddan wa min khalfihim saddan fa aghsyaynaahum fahum laa yubshiruun.  ‘Dan kami jadikan di depan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, lalu Kami tutup matanya sehingga tidak melihat [36:9].  Kemudian beliau membaca ayat Fa’l-Laahu khayrunhaafizha, wa huwa arhamu ‘r-Raahimiin. Allah (swt) adalah sebaik-baik penjaga. Dia Maha Penyayang dari semua Penyayang [12:64].

Ketika beliau membacakan ayat-ayat ini, setiap orang merasakan sesuatu memasuki kalbu mereka, dan aku melihat mereka gemetar.  Tuhan memberiku suatu penglihatan pada saat itu di mana aku dapat melihat bahwa kami telah dikelilingi oleh tentara Rusia dari segala penjuru.  Aku melihat bahwa mereka menembaki apapun yang bergerak, bahkan seekor burung.  Lalu aku melihat bahwa kami dapat melewati hutan itu dan kami selamat.  Kami menyebrangi hutam itu dan mereka tidak mendengar jejak langkah kami dan juga hewan-hewan peliharaan kami sampai kami tiba di sisi sebrang perbatasan dengan selamat.

Penglihatan itu berakhir ketika Syekh Syarafuddin (q) selesai membaca.  Beliau cipratkan air itu ke kepala kami sambil mengatakan, “Bergerak sekarang!  Tetapi jangan menengok ke belakang.”  Begitu kami berjalan, kami dapat melihat tentara Rusia di segala penjuru, namun seolah-olah kami tidak terlihat oleh mereka.  Kami bergerak sekitar 20 mil menembus hutan itu.  Diperlukan waktu dari pagi hingga lewat waktu Isya.  Kami tidak berhenti kecuali untuk salat dan kami tidak terlihat oleh mereka.  Kami mendengar tentara itu menembaki orang, burung-burung, binatang-binatang dan segala yang bergerak, namun kami dapat melewati mereka tanpa terdeteksi.  Hanya rombongan kami yang selamat.  Kami keluar dari hutan dan menyebrang menuju Turki.

Awalnya kami menuju Bursa, di mana Syekh Syarafuddin (q) mendirikan rumahnya selama setahun.  Kemudian beliau pindah ke Rasyadiyya, di mana beliau mendirikan sebuah desa untuk para imigran dari Daghestan.  Desa itu terletak 30 mil dari Yelova di Pesisir Marmara, sekitar 50 mil dari Bursa, atau 60 mil dari Adapazar.  Di sana beliau membangun satu-satunya masjid di desa itu dan di sebelahnya beliau membangun rumahnya sendiri.  Setiap orang sibuk membangun rumah-rumah mereka.  Ayah ibuku membangun sebuah rumah bersebelahan dengan rumah Syekh Syarafuddin (q).

Ketika aku menginjak usia 13 tahun, Turki mendapat serangan dari pasukan Inggris, Perancis, dan Yunani.  Angkatan Bersenjata Turki mengenakan wajib militer bagi warganya, termasuk anak-anak.  Mereka menginginkan aku untuk bergabung dengan tentara, tetapi pamanku yang mempunyai hubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid, menolak untuk mengirimku.  Ayahku telah wafat dan ibuku sendirian, sehingga aku harus membantunya.  Ketika usiaku mencapai 15 tahun, Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadaku, “Anakku, sekarang kau sudah dewasa, menikahlah sekarang.”  Aku pun menikah pada usia yang masih belia, 15 tahun dan tinggal bersama ibu dan istriku.

Khalwat Pertama dan Latihan Spiritual
Syekh Syarafuddin (q) membesarkan dan melatih Syekh `Abdullah (q) dengan disiplin spiritual yang intensif dan dengan zikir yang panjang waktunya.  Enam bulan setelah pernikahannya ia diperintahkan untuk memasuki khalwat selama 5 tahun.  Ia mengatakan,

Aku masih pengantin baru, baru 6 bulan ketika Syekhku memerintahkan aku untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ibuku sangat kecewa, ia mengkomplain Syekhku, yang merupakan kakaknya sendiri.  Istriku juga kecewa, tetapi kalbuku tidak pernah mengeluh.  Bahkan sebaliknya, aku sangat senang memasuki khalwat yang sangat aku idam-idamkan itu.

Aku memasuki khalwat, meskipun ibuku menangis dan mengatakan, “Tidak ada lagi yang kumiliki selain dirimu.  Kakakmu masih di Rusia, dan ayahmu telah wafat.”  Aku merasa kasihan melihat ibuku, tetapi aku tahu bahwa itu adalah perintah dari Syekhku dan itu langsung dari Nabi (s).  Aku memasuki khalwat itu dengan perintah untuk mandi enam kali sehari dengan air dingin, serta menjaga semua kewajiban dan wirid harianku.  Sebagai tambahan, aku diperintahkan untuk membaca tujuh sampai lima belas juz al-Qur’an dan mengulang Nama Allah 148.000 kali dan shalawat Nabi (s) 24.000 kali setiap harinya.

Banyak lagi latihan-latihan lainnya yang harus dilakukan dengan bertafakur dan fokus.  Aku berada di sebuah gua, jauh di tengah hutan belantara, tinggi di atas gunung yang tertutup salju.  Satu orang ditunjuk untuk melayaniku dengan 7 buah zaitun dan 2 ons roti setiap harinya.  Aku memasuki khalwat itu saat berusia lima belas setengah tahun dengan badan yang agak gemuk.  Ketika aku keluar dari khalwat itu pada usia dua puluh dua tahun, berat badanku hanya 100 pound (sekitar 45 kg), sangat kurus.

Penglihatan-penglihatan dan pengalaman-pengalaman yang telah disingkapkan untukku tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata.  Ketika aku memasuki khalwat itu, aku mengatakan kepada egoku, “Wahai ego, ketahuilah, aku tidak akan meninggalkan khalwat ini, bahkan jika aku harus mati. Jangan coba-coba mengubah pikiranku atau menipuku.”

Ada sebuah celah di atas gua ke arah luar, namun ketika aku memasuki khalwat aku menutupnya dengan sehelai kain.

Aku hanya tidur sebentar dalam khalwat itu. Aku tidak merasa memerlukan tidur, karena aku mendapat dukungan surgawi yang sangat kuat.  Suatu ketika aku mendapat penglihatan ketika Nabi (s) sedang berkhalwat di gua Hira.  Selama 40 hari aku duduk di belakangnya dan beliau (s) tidak pernah tidur tetapi tetap terjaga dalam keadaan seperti itu.

Suatu hari ketika aku sedang berzikir di tengah malam, badai hebat mengamuk di pegunungan itu.  Aku dapat mendengar badai itu merobohkan pepohonan, menurunkan hujan dan akhirnya turun salju.  Saat itu sangat dingin dan tidak ada yang dapat menghangatkanku kecuali panasnya zikirku.  Angin yang kencang menerbangkan kain penutup celah di atap gua. Aku membeku, dan salju mulai berjatuhan di tubuhku. Begitu dinginnya, sehingga aku tidak dapat menggerakkan jari-jemariku untuk menghitung zikirku.  Jantungku hampir berhenti.  Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk menutup lubang itu kembali.  Segera setelah pikiran itu datang, aku melihat suatu penglihatan di mana Syekhku berteriak, “Wahai anakku!  Apakah engkau sibuk dengan dirimu sendiri atau dengan Dia yang menciptakanmu?!  Jika engkau mati kedinginan, itu lebih baik bagimu daripada membiarkan kalbumu sesaat dalam kelalaian.”  Penglihatan itu memberikan kehangatan di dalam kalbuku dan tekad untuk segera memulai kembali zikirku.  Ketika aku melanjutkan zikirku, angin bertiup lebih kencang dan membawa lebih banyak salju.  Aku berjuang melawan diriku, dan akhirnya aku mengatakan pada diriku, “Biarlah aku mati, tetapi aku akan tetap melanjutkan zikirku.”  Tiba-tiba, angin berhenti bertiup dan salju pun berhenti.  Lalu sebuah pohon tumbang dan menutupi lubang di atap gua.

Suatu hari setelah melakukan salat terakhir pada malam itu, ketika aku sibuk berzikir dan kalbuku terhubung dengan Asalnya, aku mendapat penglihatan di mana diriku sedang berzikir di Hadirat Ilahi.  Pada saat yang sama aku merasakan sesuatu membelitku, aku menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang bersifat surgawi, melainkan itu adalah susuatu yang bersifat fisik.  Aku teringat dengan sabda Nabi (s), “Tidak ada yang dapat menyebabkan rasa takut di dalam kalbuku kecuali takut kepada Allah.”  Meskipun aku merasa ada sesuatu yang membelit tubuhku, kalbuku tetap tidak terganggu di dalam Hadirat Ilahi.

Pada tingkatan itu aku mencapai Maqam Kesadaran akan Jumlah (Wuquf `Adadi) dari 777.777 kali pengulangan Asma Allah.  Ketika akan melanjutkannya ke angka 777.778 aku mendengar suara dari Hadirat Ilahi, “Wahai hamba-Ku, malam ini engkau telah mencapai rahasia dari Wuquf `Adadi dan telah mendapat kunci untuk maqam tersebut.  Masuklah ke dalam Hadirat Kami dalam Maqam Kalimullah (maqam seseorang yang mampu berbicara kepada Tuhannya), Maqamnya Nabi Musa (a) ketika beliau berbicara langsung dengan Allah.”  Aku melihat bahwa aku berbicara dengan Hadirat Ilahi dan aku menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah dicapai oleh para awliya sebelumnya.  Aku ambil kesempatan itu untuk bertanya kepada Allah (swt), “Ya Allah, apakah Nama-Mu Yang Teragung?”  Dan aku mendengar, “Wahai hamba-Ku, kau akan diberi jawabannya nanti.”  Lalu penglihatan itu lenyap bertepatan dengan waktunya untuk Salat Subuh.

Sebelum melakukan salat, aku diwajibkan untuk mandi dengan air dingin.  Tentu saja di sana tidak ada air yang mengalir, oleh sebab itu aku harus menggunakan salju yang dicairkan untuk mandi.  Ketika aku akan mandi untuk salat, aku melihat kepala seekor ular tepat menghadap ke wajahku, ternyata dialah yang telah membelit tubuhku.  Kepalanya sangat tenang, bila ada sedikit gerakan saja karena takut, ia akan menyerangku. Aku tidak mempedulikan ular itu. Aku tahu jika aku merasa takut, ia akan menyerangku.  Jadi di dalam pikiranku, aku membuatnya tidak ada. Aku tidak bisa mandi dengan ular yang membelitku, namun perintah Syekh harus kupatuhi.  Jadi aku mengguyur air di sekujur pakaianku dan ular itu.  Selama 40 hari, ular itu tetap membelitku. Ketika salat, ular itu menggerakkan kepalanya untuk memberi kesempatan aku bersujud. Selama 40 hari, ular itu terus menatapku, menungguku berbuat kesalahan atau ketakutan, untuk kemudian menyerangku. Itu adalah ujian dari Syekhku, untuk melihat apakah aku takut kepada sesuatu selain Allah (swt).  Akhirnya hal itu berakhir, ular itu mulai melepaskan belitannya dari tubuhku.  Ia berhenti sebentar di hadapanku dan kemudian menghilang.

Syekh `Abdullah (q) menghabiskan waktu 5 tahun dalam khalwat khusus itu, yang berakhir ketika usianya 22 tahun.  Ketika ia kembali, ia sudah memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer.  Kali ini ia pun bergabung dengan angkatan bersenjata.

Mi’rajnya
Syekh `Abdullah (q) bercerita mengenai sebuah insiden yang terjadi selama pengabdiannya dalam Angkatan Bersenjata Kekhalifahan Utsmani (Ottoman),

Aku berjumpa dengan ibuku hanya dalam waktu satu atau dua minggu.  Mereka lalu membawaku ke sebuah pertempuran yang dikenal dengan Safar Barlik di Dardanelles.  Suatu hari terjadi serangan dari musuh dan sekitar 100 orang dari kami ditinggalkan untuk mempertahankan wilayah perbatasan.  Aku adalah seorang penembak jitu yang mampu mengenai sehelai benang dari jarak jauh.  Kami mendapat serangan bertubi-tubi sehingga tidak mampu lagi mempertahankan posisi kami.  Aku merasakan sebuah peluru menembus jantungku, aku pun tersungkur ke tanah dengan keadaan terluka parah.

Ketika aku terbaring sekarat, aku melihat Nabi (s) menghampiriku.  Beliau (s) berkata, ”Wahai anakku, kau ditakdirkan untuk meninggal dunia di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun secara fisik.  Aku datang padamu untuk menunjukkan bagaimana seorang manusia mengalami kematian dan bagaimana malaikat `Izra’il mencabut nyawa.”  Beliau (s) memberiku suatu penglihatan di mana aku melihat rohku mulai meninggalkan tubuhku, sel demi sel, dimulai dari jari-jemari kakiku.  Ketika kehidupan itu ditarik, aku dapat melihat berapa banyak sel di dalam tubuhku dan mengetahui fungsi-fungsi dari setiap sel, dan penyembuh bagi setiap penyakit masing-masing sel.  Aku juga mendengar zikir dari setiap sel itu.

Begitu rohku mulai bergerak meninggalkan tubuhku, aku mengalami apa yang orang rasakan ketika meninggal dunia.  Aku dibawa untuk melihat berbagai keadaan saat kematian: kematian yang menyakitkan, kematian yang mudah, dan kematian yang sangat membahagiakan.  Nabi (s) mengatakan, “Engkau termasuk orang yang meninggal dengan keadaan bahagia.”  Aku sangat menikmati kematian itu karena aku akan kembali ke tempat Asalku, yang membuatku memahami ayat Qur’an, ‘Inna lillaahi wa inna ilayhi raji`uun, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah (swt), dan kepada-Nya kami kembali‘ [2:156].

Penglihatan itu berlanjut sampai aku mengalami keadaan di mana rohku sampai pada napas terakhir.  Aku melihat malaikat `Izra’il datang dan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.  Segala macam penglihatan mengenai orang yang sedang sekarat aku alami, namun demikian aku masih dalam keadaan hidup ketika mengalaminya dan hal ini membuatku dapat memahami rahasia dari maqam itu.

Kemudian dalam penglihatan itu aku melihat rohku memandang ke bawah pada tubuhku, dan Nabi (s) berkata padaku, “Datanglah padaku!”  Aku menemani Nabi (s) dan beliau (s) membawaku ke dalam sebuah penglihatan mengenai Tujuh Surga.  Aku melihat segala sesuatu yang Nabi (s) inginkan aku melihatnya di dalam Tujuh Surga itu, kemudian beliau mengangkatku ke Maqam Ash-Shiddiq di mana aku bertemu dengan seluruh nabi, para awliya, seluruh syuhada, dan orang-orang yang saleh.

Beliau (s) lalu mengatakan, “Wahai anakku, sekarang aku akan membawamu melihat siksaan di Neraka.”  Di sana aku melihat semua yang pernah disebutkan oleh Nabi (s) di dalam hadits-hadits dan sabda beliau (s) tentang siksa Neraka.  Aku pun berkata, “Wahai Nabi (s), engkaulah yang dikirim sebagai wasilah bagi umat manusia, adakah cara agar mereka dapat diselamatkan?”  Beliau (s) berkata, “Ya, wahai anakku, dengan syafaatku mereka dapat diselamatkan.  Aku akan menunjukkan padamu, takdir dari orang-orang itu bila aku tidak mempunyai kekuatan untuk memberi syafaat bagi mereka.”

Nabi (s) lalu berkata, “Anakku, kini aku akan mengembalikan dirimu ke dunia, ke dalam tubuhmu.”  Begitu Nabi (s) mengatakan hal itu, aku melihat ke bawah dan aku melihat tubuhku yang sudah membengkak.  Aku melihatnya dan berkata, “Wahai Nabi (s), lebih baik aku berada di sini bersamamu.  Aku tidak ingin kembali.  Aku bahagia bersamamu di Hadirat Ilahi.  Lihatlah dunia itu.  Aku sudah pernah berada di sana dan sekarang aku telah meninggalkannya. Mengapa aku harus kembali? Lihat, tubuhku sudah membengkak.”  

Nabi (s) menjawab, “Wahai anakku, kau harus kembali.  Itulah tugasmu.”  Atas perintah Nabi (s), aku kembali pada tubuhku, meskipun aku tidak menginginkannya. Ketika aku memasuki tubuhku, aku melihat peluru di jantungku telah terbungkus dalam daging, dan pendarahan telah berhenti.  Ketika aku memasuki tubuhku dengan lembut, penglihatan itu pun berakhir.  Aku melihat tim medis di medan peperangan sedang mencari orang-orang yang masih hidup di antara mereka yang telah gugur. Salah seorang berteriak, “Orang itu masih hidup!  Orang itu masih hidup!”  Aku terlalu lemah untuk bergerak ataupun berbicara, dan aku menyadari bahwa tubuhku telah tergeletak di sana selama 7 hari.

Mereka membawaku dan merawatku, sampai kesehatanku kembali pulih.  Mereka mengembalikan aku pada pamanku.  Begitu aku bertemu, beliau mengatakan, “Wahai anakku, apakah kau menikmati kunjunganmu?”  Aku tidak menjawab “Ya” ataupun “Tidak” karena aku tidak tahu mana yang dimaksud pamanku, kunjungan ke Angkatan Bersenjata atau kunjungan untuk bertemu Nabi (s).  Beliau kembali bertanya, “Wahai anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu bersama Nabi (s)?” Barulah aku menyadari bahwa beliau mengetahui segala hal yang telah terjadi padaku.  Aku pun langsung menghampirinya dan mencium tangannya sambil berkata, “Wahai Syekhku, aku pergi bersama Nabi (s) dan harus ku akui bahwa aku tidak ingin kembali.  Tetapi beliau (s) berkata bahwa itu adalah tugasku.”
Kepasrahan Mutlak Syekh `Abdullah QS
Syekh `Abdullah (q) melanjutkan hidupnya di bawah pengawasan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) dan ia mengalami kemajuan yang lebih tinggi lagi dalam ilmu spiritual.  Suatu hari Syekh Syarafuddin sedang duduk di dalam pertemuan dengan 300 ulama, termasuk para tokoh spiritual, dan mereka membahas masalah-masalah yang penting dalam kehidupan spiritual mereka.  Mereka berkumpul di sebuah bukit di dekat masjidnya.  

Syekh `Abdullah (q) pergi ke bukit menuju pertemuan itu.  Beberapa di antara ulama itu berkata kepada Syekh Syarafuddin (q), ”Kami heran mengapa engkau begitu mementingkan anak itu.”  Syekh Syarafuddin (q) menjawab,

“Lihatlah dia.  Ia datang untuk menemuiku.  Jika seorang anak berusia 7 tahun datang padanya dan mengatakan, ‘Syekhmu berpesan agar engkau pergi ke Mekah,’ bahkan jika aku tidak mengirimkan anak itu, `Abdullah akan segera menerimanya dan melakukan apa yang dikatakan oleh anak kecil itu.  Hal ini karena ia menghubungkan segala sesuatunya denganku, dan ia tahu bahwa apapun yang datang padanya adalah berasal dariku, terlepas bagaimanapun caranya.  Ia paham bahwa jika itu berasal dariku, maka perintahnya adalah dari Nabi (s), karena kalbuku tersambung dengan kalbunya (s), dan itu asalnya dari Allah (swt).  Sekarang, jika hal itu terjadi, ia akan segera pergi tanpa menemui istri atau ibunya untuk berpamitan dan tidak pula mempersiapkan segala sesuatu sebagai bekal.  Ia akan langsung melangkahkan kakinya menuju ke Mekah.  Itulah sebabnya mengapa aku menganggap dirinya penting, selain itu aku juga mengetahui pada maqam apa ia berada sekarang.

Maqamnya saat ini belum pernah mampu dimasuki atau bahkan dilihat oleh orang-orang sebelumnya, termasuk diriku.  Ia telah mencapai maqam yang lebih tinggi daripada maqamku dan lebih tinggi daripada maqam syekhku dalam tarekat ini.  Karena tarekat berlanjut dari satu Syekh kepada Syekh lainnya, ia bergerak semakin tinggi tingkatannya.  Karena rahasia diteruskan dari satu Syekh kepada Syekh berikutnya, maka derajatnya akan semakin tinggi, yaitu dari rahasia yang diwarisinya ditambah rahasia yang ia terima.  Pada saat yang sama, derajat Nabi (s) senantiasa meningkat dalam setiap saat, karena beliau (s) selalu dalam keadaan mi’raj, begitu pula para awliya umatnya.  Inilah arti dari ayat wa fawqa kulli dzi `ilmin `aliim, “di atas orang-orang yang berilmu ada Yang Maha Tahu. [12:76].

Sebuah Pertemuan dengan Gurdjieff
Grandsyekh `Abdullah (q) sering berkhidmah di khaniqah pamannya.  Setiap hari ratusan tamu datang mengunjungi Syekh, kebanyakan berasal dari Daghestan.  Di antara tamu itu ada seorang guru dari Rusia, George Gurdjieff.  Ia baru tiba di Turki setelah melewati sebuah perjalanan panjang dan sulit dalam pelariannya dari Rusia ketika terjadi revolusi komunis. Gurdjieff datang menemui Syekh Syarafuddin (q).  Gurdjieff mempunyai hubungan dengan banyak pengikuti Sufi dari berbagai tarekat dan telah sering mengembara ke seluruh pelosok Kaukasus. Ia senang dapat bertemu dengan para pewaris silsilah Tarekat Mulia Naqsybandi Daghestani.

Syekh Syarafuddin (q) meminta Syekh `Abdullah (q) untuk menerima tamunya.  Syekh `Abdullah (q) menceritakan peristiwa pertemuan itu dengan beberapa murid bertahun-tahun kemudian.  Ketika keduanya bertemu, Syekh `Abdullah (q) mengatakan, “Engkau tertarik dengan ilmu mengenai Sembilan Titik.  Kita dapat membicarakannya besok pagi setelah Salat Subuh.  Sekarang silakan makan dan istirahat.”  Pada waktu Subuh, Syekh `Abdullah (q) memanggil Gurdjieff untuk salat bersamanya.  Segera setelah selesai, Syekh mulai membaca Surat Yaa Siin.  Setelah Syekh selesai membaca, Gurdjieff mendekatinya dan bertanya apakah ia bisa berbicara mengenai apa yang baru saja dialaminya.

Gurdjieff berkata,

Begitu engkau selesai salat dan mulai membaca surat itu, aku melihat engkau mendatangiku dan meraih tanganku.  Kita dipindahkan ke sebuah kebun mawar yang indah.  Kau mengatakan bahwa kebun itu adalah milikmu dan mawar-mawar itu adalah murid-muridmu, masing-masing mempunyai warna dan wangi yang berbeda-beda.  Kau mengantarkan aku pada salah satu mawar merah dan berkata, ”Ini adalah milikmu.  Ciumlah.”  Saat aku menciumnya, aku melihat mawar itu mekar dan aku lenyap di dalamnya dan menjadi mawar itu.  Aku memasuki akarnya dan aku dibawa ke hadiratmu.  Aku melihat diriku memasuki kalbumu dan menjadi bagian dirimu.

Melalui kekuatan spiritualmu, aku bisa naik menuju ilmu mengenai Sembilan Titik. Lalu sebuah suara yang memanggilku dengan `Abdan Nur, berkata, “Cahaya dan ilmu ini telah dianugerahkan kepadamu dari Hadirat Ilahi untuk memberi kedamaian dalam hatimu.  Namun kau tidak boleh menggunakan kekuatan ilmu ini,”  Suara itu mengucapkan selamat tinggal dan penglihatan berakhir saat engkau selesai membaca Yaa Siin.

Syekh `Abdullah (q) menjawabnya,

Surat Yaa Siin dinamakan “Kalbu al-Qur’an” oleh Nabi Suci (s) dan ilmu mengenai Sembilan Titik ini dibukakan padamu melalui surat ini.  Penglihatan itu adalah berkah dari ayat Salaamun Qawlan min Rabbin Rahiim, “Salam!  Sebagai ucapan dari Yang Maha Penyayang [36:58].

Setiap titik dari Sembilan Titik itu diwakili oleh satu dari 9 wali yang mempunyai tingkatan tertinggi di Hadirat Ilahi.  Mereka adalah kunci-kunci menuju kekuatan yang tak terhingga di dalam manusia, tetapi belum ada izin untuk menggunakan kunci-kunci ini.  Ini adalah sebuah rahasia yang secara umum tidak akan dibuka sampai Hari Kiamat ketika Imam Mahdi (a) telah muncul dan Nabi Isa (a) telah kembali.

Pertemuan kita ini telah diberkati.  Jagalah itu sebagai rahasia di dalam hatimu dan jangan membicarakan hal itu dalam kehidupan ini.  `Abdan Nur, itulah namamu bersama kami, kau bebas untuk tinggal di sini atau pergi karena tanggung jawabmu memungkinkan.  Engkau selalu kami terima.  Engkau telah mencapai keselamatan dalam Hadirat Ilahi.  Semoga Allah memberkatimu dan memberimu kekuatan dalam pekerjaanmu.
 
Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) bersama murid-muridnya di Damaskus.          Syekh Nazim (q) di sebelah kanan dan Syekh Hussein (q) di sebelah kirinya.


Maqam-Maqam dan Perkataannya setelah Khalwat Kedua
Pada usia 30 tahun, Syekh `Abdullah (q) diperintahkan untuk memasuki khalwat kedua selama 5 tahun.  Selama khalwat itu, banyak penglihatan dan maqam-maqam yang dianugerahkan kepadanya, yang mustahil untuk dijabarkan di sini.  Setelah ia menyelesaikan khalwat kedua, kekuatanHaqiqatul Jadzbah, Daya Tarik Spiritualnya semakin meningkat.  Ia menjadi sangat terkenal bahkan semasa hidup Syekh Syarafuddin (q), orang-orang berdatangan untuk belajar darinya.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Aku tidak berbicara kepada kalian tentang suatu maqam atau tajali atau peringkat (rutbah) tertentu kecuali aku pernah memasuki maqam itu atau mengalami tajalinya.  Aku tidak seperti yang lain.  Aku tidak berbicara dengan memisahkan pandanganku dari kalbuku, menerangkan secara detail mengenai maqamat kepada kalian tanpa mengetahui hakikatnya.  Tidak!  Pertama-tama aku mengikuti jalurnya dan melihat apa itu.  Aku mempelajari hakikat-hakikat dan rahasia-rahasia yang dapat ditemukan sepanjang jalur itu dan aku bekerja dengan caraku sepanjang jalur itu sampai aku mencapai `Ilm al-yaqiin, `Ayn al-yaqiin, dan Haqq al-yaqiin  (tahapan penyaksian/musyahadah seseorang kepada Allah (swt)).  Barulah setelah itu aku berbicara kepada kalian, memberi kalian sedikit rasa dari apa yang telah kurasakan sampai aku mampu membuat kalian mencapai maqam itu tanpa membuat kalian lelah dan memberi kalian kesulitan.

Ada lima maqam dalam kalbu, yaitu: Qalb, Sirr, Sirr as-Sirr, Khafa dan AkhfaQalb adalah kalbu,sirr adalah rahasia, sirr as-sirr adalah rahasia dari rahasia,khafa adalah yang tersembunyi, danakhfa adalah yang paling tersembunyi.  Rahasia tarekat ini berdasarkan pada kelima lathaifkalbu ini.

Lathifah al-Qalb, Latifah Kalbu, berada di bawah wewenang Sayyidina Adam (a), karena ini mewakili aspek fisik dari kalbu.  

Lathifah as-Sirr, Latifah Rahasia, di bawah wewenang Sayyidina Nuh (a), karena ini melambangkan bahtera yang diselamatkan dari Samudra Kegelapan dan diselamatkan dari banjirnya kebodohan.  

Lathifah Sirr as-Sirr, Latifah Rahasia dari Rahasia, berada di bawah wewenang dua orang Nabi, yaitu: Ibrahim (a) dan Musa (a), yang melambangkan Hadirat Ilahiah Allah di bumi.  Tuhan menjadikan Ibrahim (a) sebagai simbol dari semua khalifah-Nya di bumi, sebagaimana disebutkan dalam ayat penciptaan manusia: Innii jaa`ilun fi ‘l-ardhi khaliifah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.  [2:30].  Musa (a) telah diberkati dengan pendengaran dan berbicara kepada Allah yang merupakan dua 2 atribut penting dari ilmu.

Lathifah al-Khafa, Latifah Yang Tersembunyi, di bawah wewenang Sayyidina Isa (a), karena hubungannya dengan ilmu yang tersembunyi, beliau melambangkan pemahaman spiritual.

Lathifah al-Akhfa, Latifah Yang Paling Tersembunyi, berada di bawah Hakikat Sayyidina Muhammad (s), karena beliau dianugerahi sebuah maqam yang tinggi di atas semua Nabi dan Rasul-Nya.  Beliau adalah yang diangkat pada malam Isra’ Mi’raj menuju Hadirat Ilahi.  Ini dilambangkan oleh Kalimat Tauhid, karena tidak ada Laa ilaha illAllah tanpaMuhammadun Rasulullaah (s).

Cahaya-cahaya dari maqam-maqam ini telah ditunjukkan kepadaku.  Cahaya dari kalbu adalah kuning, cahaya dari Sirr adalah merah, cahaya dari Sirr as-Sirr adalah putih, cahaya dari Khafa adalah hijau dan cahaya dari Akhfa adalah hitam.

Kelima Maqam itu merupakan pusat dari Sembilan Titik, yang melambangkan lokus bagi wahyu dan ilham dari Hadirat Ilahi di dalam kalbu manusia.  Sembilan Titik ini terletak di dada setiap orang dan mereka melambangkan sembilan maqam  tersembunyi yang berbeda-beda pada setiap orang.  Setiap maqam terhubung dengan seorang wali, yang mempunyai wewenang untuk mengontrol titik itu.

Jika seorang pencari dalam Tarekat Naqsybandi dapat menyingkap hijab dan membuat kontak spiritual dengan awliya yang berwewenang atas titik-titik ini, ia dapat diberikan ilmu dan kekuatan untuk menggunakan kesembilan titik ini.

Persyaratan terkait untuk membuka kesembilan titik ini hanya dapat disinggung secara tak langsung. Maqam pertama, berkenaan dengan kekuataan untuk memenjarakan ego.  Kunci dari maqam kedua adalah zikir dengan Laa ilaha ill-Allah.  Maqam ketiga berisi penyaksian (musyahadah) ukiran Nama Allah (swt) di dalam kalbu (naqsy).  Maqam keempat berhubungan dengan makna ukiran pada kalbu itu.  Maqam kelima adalah menanamkan ukiran itu dengan zikir kalian.  Pada maqam keenam kalbu atau jantung dibuat untuk berhenti berdetak atas perintahnya dan berdetak kembali atas perintahnya.  Maqam ketujuh adalah menjadi awas atau menyadari berapa kali seseorang menghentikan jantungnya berdetak dan berapa kali ia membuat jantungnya kembali berdetak.

Pada maqam kedelapan seseorang menyebutkan kalimatMuhammadun Rasulullah (s) setiap kali menghentikan detak jantungnya dan setiap kali memulihkannya lagi.  Maqam kesembilan adalah kembali ke dalam gua kalian, sebagaimana Allah berfirman di dalam Surat al-Kahfi,  “Dan jika kamu menjauhkan diri dari mereka dan apa yang mereka sembah selain dari Allah (swt), maka bersembunyilah kamu ke dalam gua, niscaya Tuhan kamu akan mencurahkan kepada kamu rahmat-Nya... [18:16].”

Gua itu adalah Hadirat Ilahi.  Di sini seseorang mengucapkan doa Nabi (s), “Ya Allah Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu yang kuinginkan (Ilahi Anta maqshuudi wa ridhaaka mathluubi).”  Kalbu atau jantung, ketika melakukan siklusnya  antara berhenti dan kembali memompa/berdetak, ia hadir pada tingkatan Inti dari Hadirat Ilahi.  Karena Inti Ilahiah itu adalah sumber bagi seluruh makhluk, kalbu itu akan menyatu dengan seluruh makhluk terkecil di alam semesta ini.  Kalbu yang telah mencapai rahasia-rahasia dari kesembilan titik ini akan mampu melihat segala sesuatu, mendengar segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, merasakan segala sesuatu dan menjadi peka terhadap segala sesuatu, “Sampai Dia (Allah) akan menjadi telinganya untuk mendengar, matanya untuk melihat, lidahnya untuk berbicara, tangannya untuk menggenggam, dan kakinya untuk berjalan.  Ia menjadi ‘seperti Tuhan’, ia hanya perlu mengatakan, ‘Kun! Jadilah!’ dan itu akan terjadi.”



Surat Wasiat Syekh Syarafuddin (q)

Pada hari-hari terakhir beliau, Syekh Syarafuddin (q) menulis surat wasiatnya dan memberikannya kepada Syekh `Abdullah (q).  Saat itu beliau meramalkan, “Sepeninggalku, sebuah kesempatan akan datang padamu untuk meninggalkan Turki. Ambillah kesempatan itu, karena tugasmu bukan di sini, tetapi di luar Turki.”

Syekh `Abdullah (q) mempunyai dua orang putri dari istrinya yang bernama Halima. Yang tertua bernama Rabia dan adiknya bernama Madiha.  Sembilan anak lainnya tidak bertahan hidup.  Begitu Syekh Syarafuddin (q) wafat, sebuah utusan Raja Faruq dari Mesir datang untuk menyampaikan belasungkawa dari Raja, karena Syekh Syarafuddin (q) mempunyai banyak pengikut dari Mesir.  Salah satu pangeran yang ikut dalam delegasi itu tertarik pada putri Syekh `Abdullah (q), Madiha, dan ingin melamarnya.

Syekh `Abdullah (q) menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk meninggalkan Turki sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Syekhnya.  Ia segera menerima lamaran itu, dan tanpa keberatan dari putrinya, pernikahan pun segera dilangsungkan.  Tak lama kemudian ia menerima undangan dari menantunya untuk datang ke Mesir.  Ia mengatakan,

Aku pergi ke Mesir dan tinggal bersama putriku.  Hubungan antara putriku dengan suaminya tidak begitu baik.  Tidak berapa lama pernikahan itu pun berakhir pada perceraian.  Aku melaksanakan nasihat Syekhku untuk mengambil kesempatan itu. Bersama istri dan putri-putriku, aku berangkat dari Alexandria menuju Latakia dengan kapal.  Dari Latakia, aku pergi ke Aleppo, di mana kami mendarat hanya dengan uang 10 piastres (10 sen) di dalam saku dan tidak ada perbekalan sama sekali.  Kami menuju masjid untuk Salat Maghrib.  Di sana ada seorang pria mendekati kami dan berkata, “Wahai Syekhku, jadilah tamuku.”  Ia membawa kami ke rumahnya.  Aku menganggap bahwa ini adalah salah satu keramat Syekhku, di mana Allah membukakan sebuah pintu bagi kami, dari Mesir ke Aleppo.


Untuk sementara Syekh `Abdullah (q) tinggal di Aleppo, orang-orang di sana merasa terhormat dengan keberadaannya.  Para ulama berdatangan, mereka berkumpul dan mendengarkan nasihatnya, mereka kagum dengan perkataan dan ilmunya.  Mereka menyebutnya sebagai Yang Membangkitkan Agama.

Dari sana ia kemudian pindah ke Homs dan sempat berziarah ke masjid dan makam sahabat Nabi (s), Khalid bin Walid (r).  Ia hanya tinggal sebentar di Homs, selanjutnya ia pindah ke Damaskus, di distrik Maidan, dekat dengan makam Sa`ad ad-Din Jibawi (q), seorang wali dari keluarga Nabi (s).  Di sana ia mendirikan zawiya pertamanya, sebagai cabang dari Tarekat Naqsybandi yang telah hilang dari Damaskus setelah dibawa oleh Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bersama khalifahnya Syekh Ismail (q) ke India, Baghdad, dan Daghestan.  Sekarang tarekat ini dikembalikan lagi ke Damaskus.  

Kedua putrinya kemudian menikah.  Rabi’a mempunyai empat anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Madiha menikah dengan Syekh Tawfiq al-Hibri, salah satu ulama besar di Lebanon.

Dalam waktu singkat banyak orang memenuhi zawiyahnya.  Mereka datang dari berbagai kota dan berbagai latar belakang: Sufi, orang-orang dari pemerintahan, pengusaha dan masyarakat umum.  Murid-murid berdatangan setiap hari untuk duduk di pintu khaniqahnya.  Setiap hari mereka menyajikan makanan untuk ratusan orang, dan banyak juga orang yang menginap di sana.

Kemudian ia menerima perintah spiritual untuk pindah ke Jabal Qasyun.  Ini adalah tempat tertinggi di Damaskus, seluruh pemandangan kota dapat terlihat dari sana. Dengan bantuan dari dua murid seniornya, yaitu Syekh Muhammad Nazim `Adil (q) dan Syekh Husein `Ali (q), ia membangun sebuah rumah.  Rumah dan masjid di sampingnya masih berdiri sampai sekarang, dan masjid itu juga merupakan tempatnya dimakamkan.  Dalam suatu penglihatan ketika ia membangun masjid itu, ia melihat Nabi (s) bersama Abu Bakar ash-Shiddiq (r), `Ali (r), Syah Naqsyband (q) dan Ahmad al-Faruqi (q) datang dan meletakkan beberapa tiang penanda bentuk dan lokasi dinding masjid.  Setelah penglihatan itu berakhir, tanda-tanda itu dapat terlihat dan orang-orang yang hadir pun bisa melihatnya.  Selama bertahun-tahun, ratusan ribu orang telah mendatangi masjid itu untuk penyembuhan, salat, praktik-praktik ibadah dan mempelajari berbagai ilmu eksternal/lahir dan internal/batin.

Sering kali ia diperintahkan oleh Nabi (s) untuk melaksanakan khalwat-khalwat lainnya.  Waktunya bervariasi antara 40 hari hingga setahun.  Ia telah melakukan lebih dari dua puluh khalwat sepanjang hidupnya.  Beberapa diantaranya dilaksanakan di Damaskus, Jordan, Baghdad di makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), dan banyak yang dilakukan di Madinah.  Dalam setiap khalwat, kekuatan spiritual dan derajatnya semakin tinggi.

Suatu hari ia mengirimkan pesan melalui Syekh Nazim (q) untuk Syarif `Abdullah, Raja Yordania pada waktu itu.  Ia adalah salah satu murid Syekh.  Pesannya berbunyi, “Jangan melakukan salat berjamaah khususnya pada hari Jumat, karena aku mendapat penglihatan, bahwa kau akan terbunuh.”  Namun Raja tidak mengindahkan peringatan itu, dan seminggu kemudian ia tewas ketika kembali dari Salat Jumat.

Bertahun-tahun kemudian, seorang sepupu kami mendapat kecelakaan karena terjadi penembakan di Beirut.  Ia dibawa ke ruang gawat darurat untuk dioperasi.  Kami menemui Grandsyekh, karena khawatir dengan keadaannya.  Baru saja kami sampai dan hendak memberitahunya, ia sudah berkata, “Kembalilah!  Sudah tertulis bahwa dia akan meninggal dunia, namun dengan doa-doaku dia akan hidup.  Operasi yang dilakukan akan berhasil.”  Ketika kami kembali, sepupu kami sudah dalam keadaan koma dan mereka membawanya untuk dioperasi.  Kami memberi tahu ibunya tentang apa yang dikatakan oleh Grandsyekh untuk memberinya harapan. Besoknya, sepupu kami telah siuman.  Ia mengatakan, “Aku melihat Grandsyekh datang dan mengoperasiku.  Itulah yang telah menyelamatkan aku.”

Syekh `Abdullah (q) sering berbicara tentang qadhaa’ atau hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah (swt) sebelumnya.  Ia mengatakan,

Telah diketahui bahwa ada dua macam qadhaa’, atau takdir Allah.  Yang pertama adalah qadhaa’an mu`allaq, yaitu takdir yang bergantung kepada sesuatu atau dapat berubah.  Hal ini sudah tertulis di Loh Mahfuz.  Hal ini akan bervariasi tergantung pada kemauan dan perilaku, sebab dan akibat.  Semua awliya dapat mengubah qadhaa’ semacam ini bagi murid-muridnya untuk melatih mereka dan mempengaruhi takdirnya dengan mengubah perilaku dan perbuatan mereka. Wewenang untuk mengubahqadhaa’an mu`allaq ini diberikan kepada Syekh untuk murid-muridnya karena mereka terhubung satu sama lain dengan Kehendak Ilahi.

Qadhaa yang kedua terkandung di dalam Ummul Kitab, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Allah (swt) menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan di Sisi-Nya Ummul Kitab [13:39], dan ini disebutqadhaa’an mubram, yang artinya takdir Allah yang pasti berlaku.  Para awliya tidak pernah mencampuri qadhaa’an mubram yang berada di Tangan Sang Pencipta.

Allah memberi wewenang untuk mengubah qadhaa’an mubram ini hanya kepada sembilan awliya yang mempunyai posisi tertinggi dalam Hadirat Ilahi, dengan izin dari Nabi (s) yang merupakan orang pertama yang mendapat kekuatan itu dari Allah.  Kesembilan awliya itu mengontrol Sembilan Titik kesadaran manusia yang berhubungan dengan maqam-maqam yang berbeda dalam kenaikan (mi’raj) seseorang dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi.  Allah (swt) memberi kesembilan awliya ini, yang jumlahnya tidak pernah berubah dari zaman Nabi (s) sampai sekarang, kekuatan untuk menggunakan Sulthan adz-Dzikir.

Setiap orang tahu bahwa zikir terutama adalah pengulangan dariLa ilaha ill-Allah dan itu adalah yang dipraktikkan oleh semua tarekat, termasuk Naqsybandi.  Namun Sulthan adz-Dzikir adalah zikir yang sama sekali berbeda.

Allah berfirman, “Innaa nahnu nazzalnaa ‘dz-dzikra wa innaa lahuu la haafizhuun”  “Sesungguhnya Kami yang menurunkan zikir dan sesungguhnya Kami memelihara zikir itu dalam dirimu” [15:9].  Zikir yang dimaksud di sini adalah kitab suci Al-Qur’an. Zikir kesembilan awliya ini di samping La ilaha ill-Allah, adalah Rahasia dari Al-Qur’an. Mereka membaca Al-Qur’an, tetapi bukan seperti kita membacanya dari awal sampai akhir, tetapi mereka membacanya dengan semua rahasianya dan hakikat di dalamnya karena Allah berfirman, “Wa laa rathbin wa laa yaabisin illaa fii kitaabin mubiin”,  “Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering melainkan sudah tertulis di dalam sebuah kitab yang nyata.” [6:59]. Tidak ada satu pun ciptaan Allah di seluruh alam semesta ciptaan-Nya, dengan segala rahasia mereka yang belum pernah disebutkan sebelumnya di dalam Kitab Yang Nyata, Al-Qur’an.

Awliya yang membaca Qur’an dalam Sulthan adz-dzikir dengan demikian membacanya dengan seluruh rahasia dari setiap makhluk, dari awal sampai akhir.  Allah memberikan setiap huruf Qur’an dua belas ribu ilmu, menurut Sembilan Wali Tertinggi dalam Tarekat Naqsybandi (inilah pertama kalinya Syekh membuka rahasia ini).  Qur’an berisi sekitar 600.000 huruf, jadi untuk setiap huruf, para awliya ini mampu mengambil 12.000 ilmu!

Setiap wali dari kesembilan wali ini juga berbeda levelnya satu sama lain.  Kita bisa melihat salah satu di antara mereka, misalnya ada yang mampu membaca Qur’an dengan kekuatan Sulthan adz-Dzikir, mampu menyerap 12.000 makna dalam setiap huruf, sekali dalam hidupnya.  Yang lainnya mampu melakukannya tiga kali seumur hidupnya.  Yang ketiga misalnya mampu melaksanakan sembilan kali seumur hidupnya.  Dan yang lain lagi mampu melakukannya 99 kali dalam hidupnya.

Rahasia ini berbeda dari satu wali dengan wali lainnya.  Syah Naqsyband (q) mampu melakukannya 999 kali sepanjang hidupnya.  Grandsyekh kita, Syekh Ahmad al-Faruqi (q) mampu membacanya 9.999 kali.  Dan Syekh Syarafuddin (q) mampu membacanya dalam 19.999 kali sepanjang hidupnya.

Di sini Syekh `Abdullah (q) berhenti.  Namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “Dalam setiap napas, Grandsyekh `Abdullah Daghestani (q) menghembuskan napas dengan Sulthan adz-Dzikir dan menghirup napas dengan Sulthan adz-Dzikir.  Ia biasa mengkhatamkan Qur’an dua kali dalam setiap napasnya.”
Sebuah Pertemuan dengan John Bennett
Di antara banyak pengunjung dan para pencari di pintu Grandsyekh ada seorang Inggris yang bernama John G. Bennett.  Dalam beberapa bukunya, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Grandsyekh `Abdullah (q).  Di bawah ini adalah bagian dari perkataannya yang dikumpulkan dari buku Concerning Subud dan Witness.

Di dalam buku Concerning Subud, Bennett menulis, ”Syekh `Abdullah (q) adalah seorang wali sejati di mana seseorang segera bisa merasa dapat mempercayainya sepenuhnya.”  Selanjutnya dalamWitness ia menjelaskan lebih rinci mengenai pertemuannya:

Syekh menungguku di atas atap rumahnya.  Rumah itu terletak di atas kota dengan panorama yang sangat-sangat indah… Sejak awal aku merasa nyaman, kemudian dalam waktu singkat aku mengalami perasaan yang sangat membahagiakan yang sepertinya memenuhi semua tempat itu.  Aku menyadari bahwa aku sedang berada dalam hadirat orang yang sungguh-sungguh baik.

Setelah mengucapkan salam seperti biasa dan pujian terhadap bahasa Turkiku, ia mengejutkan aku dengan pertanyaannya, “Mengapa engkau tidak membawa saudara perempuan yang bersamamu?  Aku mempunyai sebuah pesan untuknya juga, selain untukmu.”  Tamapaknya tidak ada seorang pun yang pernah mengatakan kepadanya  tentang saudariku, Elizabeth.  Kami langsung datang ke rumahnya, dan Dadji, pemanduku telah pergi meninggalkan aku di pintunya tanpa berbicara dengan siapapun.  Aku menjawabnya bahwa karena ia seorang Muslim, aku berpikir ia tidak berkenan untuk berbicara dengan seorang wanita.  Ia berkata dengan sederhana, “Mengapa tidak?  Peraturan dan adat istiadat adalah untuk perlindungan bagi orang yang bodoh; aku tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.  Lain kali, jika engkau melewati Damaskus, maukah engkau membawanya kepadaku?”  Aku berjanji untuk melakukannya bila ada kesempatan.

Kami lama duduk terdiam, melihat pemandangan kota kuno di bawahnya.  Ketika ia mulai berbicara, aku merasa sulit untuk bangkit dari lamunanku.  Ia mengatakan, “Aku sedang menanti kedatangan seseorang pada hari ini, tetapi aku tidak tahu kalau itu adalah dirimu.  Beberapa malam yang lalu, seorang malaikat datang ke kamarku, dan mengatakan bahwa engkau akan datang menemuiku dan aku akan memberikan tiga pesan kepadamu.  Engkau telah memohon petunjuk Tuhan mengenai istrimu. Ia berada dalam penjagaan Tuhan.  Engkau telah berusaha untuk menolongnya, tetapi ini adalah hal yang salah.  Engkau telah mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukan Tuhan terhadap rohnya.  Tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya, dan tidak ada gunanya bagimu untuk mencoba mengerti.  Pesan kedua adalah tentang rumahmu.  Engkau memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk, apakah harus mengikuti kata hatimu atau mengikuti orang lain.  Kau harus percaya pada diri sendiri.  Kau akan dianiaya oleh orang Armenia, tetapi jangan takut.  Kau harus menarik banyak orang untuk mengikutimu, jangan ragu-ragu walaupun hal itu membuat orang lain marah.”

Ia kembali terdiam.  Aku kagum dengan 2 hal yang disampaikan tadi; memang benar bahwa aku telah berdoa agar diberi petunjuk terhadap kedua pertanyaan itu.

Pesan terpenting adalah yang terakhir.  Kau harus tahu bahwa ada kejahatan besar di dunia ini.  Manusia telah menyerahkan diri mereka pada pemujaan materi, dan mereka telah kehilangan kemauan dan kekuatan untuk menyembah Tuhan.  Tuhan selalu mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk menunjukkan jalan keluar dari situasi semacam itu, dan Dia telah melakukannya lagi pada zaman sekarang.  Seorang utusan telah ada di bumi, dan identitasnya telah banyak diketahui orang.  Tidak lama lagi ia akan datang ke Barat.  Orang-orang telah dipilih untuk mempersiapkan jalan baginya... dan telah diperlihatkan kepadaku bahwa engkau adalah salah satu di antara orang-orang pilihan itu… Utusan itu akan datang ke negerimu dan bahkan ke rumahmu…”

“Jangan sampai kau berhenti menyembah Tuhan, hanya saja tidak perlu menunjukkannya.  Di luar bersikaplah seperti yang lain.  Tuhan telah menunjuk dua malaikat untuk menjagamu.  Yang pertama akan membimbing dan mengarahkanmu sehingga engkau tidak membuat kesalahan seperti dulu lagi.  Yang kedua akan melakukan kewajiban-kewajiban agama yang tidak dapat kau lakukan untuk dirimu.

Aku menyarankan agar engkau banyak mengucapkan La ilaha ill-Allah di dalam kalbumu, yang artinya tunduk hanya kepada Allah (swt) semata.  Ketika aku mengatakan bahwa ini adalah pernyataan keimanan bagi seorang Muslim, ia menjawab bahwa pada prinsipnya ajaran umat Kristen dan Islam adalah sama, karena fondasi dari semua agama adalah bahwa manusia tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri, melainkan pada Kehendak Tuhan...”


Ketika Ia Meninggalkan Kehidupan ini
Kami mengalami berbagai peristiwa yang luar biasa bersama Grandsyekh kami. Kehidupannya penuh dengan aktifitas yang bermanfaat.  Ia selalu tersenyum dan tak pernah marah.  Ia tidak mempunyai penghasilan, namun demikian makanan selalu berlimpah di rumahnya.  Bagaimana ia memperoleh tunjangan hidup, adalah pertanyaan di dalam pikiran semua orang.  Orang-orang akan berdatangan secara mendadak, kadang-kadang jumlahnya mencapai 200 orang, tetapi mereka akan selalu mendapati makanan yang tersedia dan siap disantap bagi mereka.  Kami sering bertanya-tanya, “Dari mana asal nasi, roti dan daging ini?”

Aku jarang melihatnya tidur di malam hari.  Di siang hari, ia selalu menerima tamu-tamu dan malamnya duduk di kamar pribadinya membaca Qur’an, Dalail al-Khayrat, mengamalkan zikir pribadinya atau membaca shalawat Nabi (s).  Ia sering melakukan salat setelah tengah malam hingga subuh.  Ia membantu orang-orang yang membutuhkan semampunya dan ia menampung banyak orang yang tidak mempunyai rumah dalam masjidnya.  Jiwa kemanusiaannya kuat.  Lidah ini rasanya tidak mampu menggambarkan akhlak dan perilaku baiknya.

Hingga pada suatu hari di tahun 1973 ia mengatakan, “Nabi (s) memanggilku.  Aku harus pergi dan menemuinya.  Beliau (s) mengatakan, ‘Kau tidak dapat menemuiku sampai kau menjalani operasi pada matamu,’” mengacu pada mata kirinya yang tidak begitu baik.  Ia memberi tanda pada kami bahwa ia akan meninggalkan kami, namun kami tidak mampu menangkapnya.  Ia hidup di dalam sanubari kami dan hidup di dalam semua orang yang pernah mengenalnya, bahkan kucing-kucing yang selalu berada di sekitarnya.

Setelah ia menjalani operasi mata, ia tidak mau makan.  Kami membujuknya agar ia mau makan, namun ia menolaknya dengan mengatakan, “Aku sedang berada dalam khalwat sepenuhnya, karena Nabi (s) memanggilku.”  Ia hanya berkenan menerima roti kering yang dilembutkan dalam air, sekali sehari.  Ia berkata, “Aku tak mau hidup lebih lama lagi.  Aku ingin bergabung bersama Nabiku (s) dan berkumpul bersamanya.  Beliau (s) memanggilku, Allah (swt) memanggilku.”  Ini seperti petir yang menyambar bagi kami, tetapi kami masih belum bisa mempercayainya.  Ia kemudian menulis sebuah wasiat yang menyatakan, “Hari Ahad depan aku akan wafat.” Berarti tanggal 30 September 1973 atau tanggal 4 Ramadan 1393 H.  Semua orang merasa terkejut dan merasa takut menghadapi apa yang akan terjadi pada hari itu.

Saat itu pukul sepuluh, pada hari Ahad, tepat di saat yang telah diprediksikannya, kami semua duduk di kamarnya.  Ia berkata kepada saya, ”Rasakan detak jantungku.” Saya merasakan detak jantungnya, dan itu lebih dari 150.  Lalu ia berkata, “Wahai anakku, ini adalah detik-detik terakhir dalam hidupku.  Aku tidak ingin ada orang yang berada di sini.  Semua orang harus pergi ke aula pertemuan.”  Di kamar itu hanya ada 10 orang.  Pada saat itu, dua orang dokter datang, yang pertama adalah kakak saya dan yang satunya lagi seorang teman kami.  Mereka berdua adalah ahli bedah.  Grandsyekh tidak memperbolehkan orang lain berada di kamarnya, kecuali keluarganya.

Kami mendengar putrinya menjerit, “Ayahku telah wafat, ayahku telah wafat.”  Kami semua berlari menuju kamarnya dan melihat Grandsyekh sudah tidak bergerak lagi. Segera kakak saya memeriksa denyut jantungnya dan tekanan darahnya, tetapi keduanya tidak terdeteksi.  Ia berlari dengan histeris menuju mobil untuk mengambil suntikan dengan obatnya, dan beberapa menit kemudian ia kembali lagi.  Ia kembali masuk ke kamar Grandsyekh dan ingin menyuntik di bagian jantungnya agar kembali berdenyut.  Dokter yang lain mengatakan, “Apa yang kau lakukan?  Syekh sudah wafat lebih dari 7 menit yang lalu.  Hentikan kebodohanmu.”  Namun kakak saya tidak mau berhenti dan bersikeras untuk menyuntiknya.

Kemudian Grandsyekh membuka matanya, mengangkat tangannya dan berkata dalam bahasa Turki, “Burak!” yang artinya, “Hentikan!”

Semua orang terkejut.  Mereka tidak pernah mendengar ada jenazah yang bisa berbicara sebelumnya.  Saya tidak akan melupakan hal ini sepanjang hidup saya.  Semua yang hadir, profesor dan dokter, mereka pun tidak akan melupakannya.  Kakak saya lalu meletakkan peralatannya kembali.  Kami berdiri di sana dalam keadaan takjub, tidak tahu apa yang harus dikatakan.  Apakah ia sudah wafat atau belum?  Apakah ia hanya menyembunyikan diri sementara lalu kemudian kembali lagi?  Itulah rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada kekasih-kekasih-Nya dan wali-Nya yang menempuh perjalanan di dalam Kerajaan-Nya, di dalam Cinta-Nya, di dalam Rahasia-Rahasia-Nya.  Itu adalah hari yang tak terlupakan.

Berita mengenai wafatnya Grandsyekh bagaikan tornado yang hebat, berputar ke seluruh Damaskus, Aleppo, Jordan, dan Beirut.  Orang-orang datang dari berbagai penjuru untuk melihatnya terakhir kalinya.  Kami memandikannya, dan dari jasad sucinya tercium wangi yang harum.  Kami mempersiapkannya untuk salat janazah dan pemakaman keesokan harinya.  Seluruh ulama Damaskus menghadiri pemakaman itu. 400 ribu orang turut dalam salat jenazah untuknya.  Orang-orang berbaris dari rumah mereka hingga ke Masjid Ibnu Arabi, di mana jenazahnya dibaringkan.

Ketika kami kembali ke rumahnya setelah salat jenazah, kami melihat peti jenazah meluncur di antara kepala-kepala para pelayat tanpa ada bantuan siapapun, bergerak dari masjidnya menuju tempat pemakaman.  Perlu waktu 3 jam untuk kembali dari Masjid Muhyiddin Ibnu Arabi (q) menuju Masjid Grandsyekh, padahal biasanya hanya ditempuh dalam waktu 20 menit karena padatnya kerumunan para pelayat di jalan.

Semua orang menangis, mereka tidak ingin Syekh dimakamkan.  Tidak ada yang dapat mempercayainya dan tidak ada yang mau menerimanya.  Hal itu membuat kami ingat dengan keadaan para Sahabat ketika ditinggalkan oleh Nabi (s).  Kami memahami mengapa Sayyidina `Umar (r), Sayyidina `Utsman (r), dan Sayyidina `Ali (r) tidak menerima bahwa Nabi (s) telah wafat.  Kami mengalami keadaan yang sama, bahkan kami membayangkan bagaimana bisa Sayyidina Abu Bakar (r) tidak merasakan hal yang sama.

Semua pejabat pemerintah dan para ulama datang ke masjid menunggu pemakamannya.  Tiba-tiba ada sebuah pesan yang disampaikan kepada imam yang mengatakan, “Jangan menguburkan Grandsyekh sampai Syekh Nazim tiba.”  Tak seorang pun dapat mempercayai pesan itu, karena tidak ada cara untuk mengontak Syekh Nazim (q) yang berada di Siprus.  Tidak ada telepon, mesin faks, bahkan telegram pun memerlukan waktu 2 hari.  Tidak ada yang percaya bahwa pesan itu adalah nyata. Namun karena cinta kami kepada Syekh, kami senang untuk menunda pemakamannya dan menunggu sampai Syekh Nazim (q) tiba.

Saat itu adalah Ramadan, semua orang berpuasa.  Para ulama dan masa menjadi gelisah.  Orang-orang berkata bahwa mereka ingin pergi.  Kami mengatakan bahwa mereka bebas untuk pergi kalau mau, tetapi kami tetap akan menunggu.  Setelah beberapa saat, sebagian besar orang lalu pergi, dan hanya pengikutnya yang paling setia yang masih berada di sana.  Sebelum matahari terbenam, Syekh Nazim (q) terlihat menaiki tangga. Bagaimana ia bisa sampai dengan cepat, tidak ada yang tahu dan hal itu masih menjadi misteri sampai sekarang.

Syekh Nazim (q) membawa jenazah Grandsyekh kembali ke dalam masjid dan melakukan salat jenazah untuknya.  Ia menguburkan jenazah Grandsyekh dengan tangannya sendiri.  Ketika ia mengangkat kain kafan dari wajahnya, kami mencium wangi cendana, amber, dan musk yang tidak pernah kami dapati sebelumnya.  Ia lalu memerintahkan kami semua untuk berbuka puasa.  Syekh Nazim (q) meminta kami untuk keluar.  Hanya saya dan saudara saya yang tetap berada di sana, menyaksikan dari dari jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam.

Ia berdiri di bagian kepala dari makam Grandsyekh, seperti sedang salat.  Lalu dalam sekejap ia menghilang.  Peristiwa ini menambah kejutan bagi kami setelah berbagai kejutan yang terjadi.  Tidak ada kata yang mampu melukiskan apa yang kami rasakan. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba kami melihat Syekh Nazim (q) muncul kembali di tempat yang sama.  Setelah Syekh Nazim (q) keluar, kami segera berlari ke pintu.  Ia berkata, “Apa!  Kalian masih di sini?  Belum berbuka puasa?  Baiklah, lebih baik bersamaku!”  Kami pun turun dan berbuka puasa bersamanya.  Syekh Nazim (q) kembali ke Beirut malam itu juga, kemudian naik pesawat menuju Siprus.


Ramalan Syekh `Abdullah (q) 
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q),naqiib al-ummah, semoga Allah memberkahi ruhnya, meramalkan berbagai peristiwa, sebagian telah terjadi dan sebagian lagi masih kita tunggu.

Pada tahun 1966, ia mengatakan, “Tahun depan akan terjadi perang antara Israel dan Arab.  Dan Arab akan mengalami kekalahan.”  Ia meramalkan pula bahwa akan terjadi lagi perang antara keduanya.  Sebelum wafat ia mengatakan, “Akan terjadi sebuah perang besar di bulan ini antara Arab dan Israel.”  Hal ini menjadi kenyataan.  Pada tanggal 3 Oktober, 3 hari setelah wafatnya, Arab dan Israel kembali berperang.

Suatu hari putri Grandsyekh, Madiha dan suaminya berpikir untuk membeli sebuah rumah di Beirut, tetapi Grandsyekh mengatakan, ”Jangan!”  Ia tetap bersikukuh untuk membelinya, tetapi Grandsyekh tetap berkata, “Jangan!”  Madiha tetap ingin membelinya, tetapi Grandsyekh tetap melarangnya sambil mengatakan, “Beirut akan dipenuhi dengan pertumpahan darah.  Setiap rumah akan terkena imbas dari pertumpahan darah itu dan tidak akan ada yang bisa melarikan diri.”  Ia mengatakan hal ini pada tahun 1972 dan peristiwa itu terjadi pada 1975.  Sebelum wafat, ia mengatakan kepada kami, ”Aku melihat kalian di Tripoli, di utara Lebanon.” Inilah caranya menyarankan kami agar pindah dari Beirut.

Ia berkata, “Aku melihat Inggris memasuki Islam.”  Ia meramalkan bahwa keluarga kerajaan di Eropa akan mendukung Islam, karena mereka masih mempunyai darah keturunan Arab.”  Hal ini akan menarik mereka menuju spiritualitas dan menimbulkan berbagai jenis aliran spiritual, dan menarik mereka menuju Hadirat Tuhan.”

Pada masalah terkait, ia mengatakan, “Ketika John Bennett bertemu denganku dan mengucapkan syahadat, ia bertanya apa yang dapat dilakukannya.  Aku mengatakan agar merahasiakan syahadatnya.  Dengan demikian ia dapat membawa banyak orang di negerinya, Inggris untuk mengucapkan syahadat dan membuat mereka tertarik dengan spiritualitas.
 
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada usia lebih dari 85 tahun.

Cina berada di bawah wewenang seorang wali besar yang akan menjadi salah satu awliya besar di zaman Imam Mahdi (a) dan Nabi Isa (a).  Namanya adalah `Abdur Ra’uf al-Yamani (q).  Melalui pengaruhnya, Cina akan menandatangani kesepakatan dengan Barat untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya.  Cina akan terpecah menjadi negara-negara kecil.  Akan terjadi berbagai masalah di Timur Jauh, di Semenanjung Korea, dan sebuah kekuatan besar akan mengintervensi untuk meredakannya.

Sebuah negara non Arab di Timur Tengah akan menyerang wilayah Teluk Persia.  Hal ini akan menyebabkan seluruh dunia ketakutan bahwa sumber minyak bumi akan terputus.

Ia mengatakan, “Kairo akan tenggelam di dalam air.”  Beberapa waktu kemudian Rusia membangun Bendungan Aswan, berisi air berjumlah besar dan baru-baru ini ditemukan bahwa tiang fondasinya longgar karena terkikis.  Ia mengatakan,
Siprus akan tenggelam di bawah laut, dan Gunung Olympus dekat Bursa akan meletus. Di bawahnya terdapat dua elemen, gas dan api yang sampai sekarang masih terpisah, dan para awliya selalu berdoa agar kedua elemen ini tidak tercampur.  Dari letusannya, ratusan ribu orang akan terluka dan kehilangan tempat tinggalnya.

Akan terjadi perang di Wilayah Teluk, di mana api yang besar akan muncul dan melibatkan seluruh dunia.

Jerman dan Inggris akan memimpin seluruh Eropa.  Di Jerman ada seorang wali, yang ditunjuk oleh Mahdi (a) dan Nabi Isa (a).  Tugasnya adalah menghidupkan dan melatih orang-orang di dalam spiritualitas.  Wali itu tersembunyi namun ia berada di antara mereka.

Akan terjadi suatu perubahan besar dalam pendekatan Arab di bidang politik, dan satu rezim yang kuat akan mengubah Arab menjadi pemerintahan yang lebih baik.

Sebelum ia wafat, di dalam sebuah pertemuan pribadi dengan beberapa murid terdekatnya, Syekh `Abdullah (q) mengatakan,

Akan terjadi perdamaian, dan Amerika akan menjadi pemimpin pembicaraan mengenai perdamaian, hal itu akan mengakhiri peperangan antara Arab dan Israel.  Hal ini akan terjadi.  Tandanya adalah runtuhnya Komunisme dan Rusia pecah menjadi banyak bagian.  Tidak ada kekuatan di dunia, kecuali Amerika.  Banyak negeri Arab yang akan berpihak ke Amerika.  Konflik akan menjadi reda sepenuhnya, Arab dan Israel akan hidup damai.  Lambat laun seluruh konflik di bumi akan berakhir dan perdamaian terjadi di mana-mana.  Amerika akan memimpin hal itu.  Semua orang menjadi bahagia dan tidak ada orang yang mengharapkan perang akan terjadi lagi.

Tiba-tiba, di tengah-tengah situasi damai itu, sebuah serangan terjadi di Turki oleh negara tetangganya dan perang akan dimulai lagi, disusul oleh sebuah invasi ke Turki oleh negara tetangganya itu.  Ini membuat ancaman bagi pangkalan Amerika di Turki dan mengakibatkan perang yang lebih besar terjadi.  Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan parah di muka bumi dan terjadi perang mengerikan.  Selama perang itu, Mahdi (a) akan muncul dan Nabi Isa (a) akan kembali.  Tujuannya adalah membawa spiritualitas, perdamaian dan keadilan untuk mengalahkan penindasan, ketakutan dan ancaman.  Cinta dan kebahagiaan serta perdamaian akan memenuhi bumi, dengan kekuatan Mahdi (a) dan Nabi Isa (a) atas Kehendak Allah (swt).

Rahasia dari Rantai Emas diteruskan kepada  Sang Matahari dari Matahari, Pemimpin bagi orang-orang yang didekatkan, Sang Penemu Rahasia-Rahasia, yaitu Syekh Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi ar-Rabbani an-Naqsybandi al-Haqqani (q).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar