Jadzab Gus Nasr】
.
.
Suara merdu matan-matan Alfiyah dan Imrithi selalu menggema di setiap pojok halaqoh pesantren Darussalam. Hampir setiap sore, tatkala matahari tengah merangkak ke peraduannya di ufuk barat, para santri selalu menemani perjalanannya dengan menyenandungkan bait-bait penuh makna karya Imam Ibnu Malik al-Andalusiy.
Sepertinya, bait indah itu hampir tak pernah tak mengiringi perjalan menuju peraduan sang mentari. Hingga kadang rona cahayanya menggambarkan senyum yang indah bak ucapan terima kasih atas iringan bait indah yang para santri lantunkan kala sore menyapa.
Namun, berbeda dengan putra bungsu Abah Kiai, yang aku biasa memanggilnya dengan sebutan Gus Nasr. Semua santri hampir tahu dan paham siapa dan bagaimana Gus Nasr itu. Bahkan sempat beredar kabar jika Abah Kiai sudah tak sanggup menangani putra bungsunya. Aktvitasnya aneh, bahkan sebagai anak seorang pemuka agama, ia tergolong anak yang tak lazim. Bayangkan saja, tatkala para santri mengaji, sambil menyenandungkan bait-bait merdu, ia justru asyik menyebulkan asap-asap rokok beraroma kemenyan arab di pojok kamarnya. Sementara ketika para santri tertidur pulas, ia begadang sampai pagi, ditemani bercangkir-cangkir kopi hitam yang amat pahit rasanya, dan sesekali berkelana entah kemana tujuannya.
Itu belum seberapa, kadang tatkala para santri bertanya tentang suatu hal belum diketahuinya, ia selalu menjawab dengan istilah-istilah asing dan para santri tak mampu menjangkaunya. Sungguh ia tak seperti anak kiai kebanyakan.
Aku berusaha untuk memaklumi, tapi tak tahu dengan orang di luar sana. Terlebih, dengan penampilan rambutnya yang gondrong dan kumal serta tubuhnya yang kurus dan hitam membuatnya “tak pantas” disebut sebagai anak seorang ulama. Subhanallah. Ini baru pengalamanku melihat langsung tingkah aneh bin ajaib seorang anak kiai masyhur dan sangat disegani di kotanya. Menurut cerita para santri senior, Gus Dayat—kakak dari Gus Nasr—pun sudah tak mau lagi mengurusinya. Termasuk Ibunya, Nyai Khodijah. Ia juga sudah tak mau lagi menyuruh anaknya shalat, mandi, makan, atau pun ngaji. Ia sepenuhnya memberikan kebebesan kepada putra bungsunya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Hanya Abah yang sangat peduli kepada Gus Nasr. Ia tak pernah sekali pun memarahi, membentak apalagi memukulnya. Menurutnya, sekarang Gus Nasr sedang mengalami jadzab. Sehingga Abah Kiai membiarkannya untuk berbuat semaunya, ia yakin suatu saat nanti anaknya akan kembali menjadi manusia normal seperti yang lainnya.
Hingga suatu ketika aku pun diajak Gus Nasr ke makam yang menurutnya adalah makam eyangnya, letaknya sekitar 5 km dari pesantren Darussalam. Aku tak bisa menolak dan hanya mengikuti keinginannya, meski itu artinya pengajian Gus Dayat sore ini tak bisa kuikuti. Untuk menuju tempat itu, kami pun harus berjalan kaki, karena kendaraan tak mampu menjangkaunya. Jalannya kecil dan licin, hanya dengan berjalan kaki kami bisa sampai ke sana.
Namun aneh, sepanjang perjalanan, tak kudengar suara dari mulut Gus Nasr, selain ajakan pada awal tadi. Sepanjang jalan, pun kami diam membisu, bak orang yang tak saling kenal. Malah sesekali Gus Nasr berhenti dan seperti ngobrol dengan orang lain. Tapi tak ada satu pun orang yang kulihat, bahkan hingga kutoleh ke seluruh penjuru mata angin, tak tampak seonggok daging yang diajaknya berbicara. Aku pun sempat menaruh curiga, jangan-jangan dugaan orang-orang yang mengatakan Gus Nasr itu tidak waras benar adanya.
“Ah. Aku tak boleh su’udzon pada Gus Nasr. Subhanallah,” ucapku dalam hati dan mencoba menepis semua dugaan buruk atasnya.
Sekitar 1 jam berlalu, kami pun sampai di makam tua yang diakuinya sebagai makam eyangnya. Ia pun duduk kemudian bertawasul dan mengajakku membaca tahlil untuk Ahlil Qubur yang ada di depan kami. Kulihat, ia sangat khusyu memanjatkan doa, sementara aku hanya mengikuti apa yang diperintahkannya bilaa kaifa.
“Apa sampeyan juga mengira aku gila seperti orang di luar sana?” tanya Gus Nasr setelah selesai berdoa.
“Nggak, Gus.”
“Jangan bohong!”
“Sempat, Gus.”
“Tidak apa-apa. Banyak orang yang mengira aku gila hanya karena melihat rambutku yang gondrong, gembel, dan bajuku yang compang-camping,” ucapnya tersenyum.
“Maafkan saya, Gus.”
“Lho, kenapa harus minta maaf? Justru aku berterima kasih karena kamu mau menemaniku ke sini. Dan baru kamu yang mau diajak oorang gila seperti aku ke tempat yang jauh ini.”
Pun aku semakin tak mengerti ucapannya dan apa maksudnya. Lalu ia pun meneruskan ceritanya, hingga matahari sudah tak tampak ada dan suara adzan membahana dari masjid desa terdekat.
“Ayo shalat dulu!” ucapnya sambil menepuk pundakku. Pun aku mengiyakan dan mengekor langkahnya menuju sebuah batu besar yang berada di bawah makam. Di sana, mengalir sebuah sumber air yang kata Gus Nasr biasa dipakai orang-orang suci dulu untuk berwudhu. Kami pun sholat, dan itu pengalaman pertama aku melihat secara langsung Gus Nasr shalat. Aku beruntung, mungkin santri lain akan tetap pada su’udzonnya yang menganggap Gus Nasr tidak pernah shalat dan sebagainya.
“Menurutmu, apa aku seperti orang gila?” tanyanya setelah shalat usai.
“Mohon maaf Gus, kalau secara penampilan memang....”
“Cukup!” jawabnya memotong pembicaraanku.
“Ternyata, banyak orang menilai orang lain hanya dari tampilan fisiknya. Pantas saja, ketika koruptor pakai dasi begitu dihormati. Karena orang menilai hanya dari fisiknya,” jelasnya.
Aku terdiam. Tak lama ia pun melanjutkan pembicaraannya.
“Dan juga, orang lain menilai yang lainnya sebagai orang yang taat, ketika ia melihatnya shalat di tempat terbuka dan semua orang bisa melihatnya. Aku takut jika aku malah jadi takabur atas shalatku. Biarkan orang lain mengira aku gila, tapi sebenarnya aku waras. Biarlah orang lain mengira aku tak melakukan shalat, karena aku shalat di tempat yang tidak biasa mereka melakukan shalat,” ucapannya membisukanku.
Pun aku tak bisa berucap apa-apa. Ucapannya begitu dalam untuk dimaknai. Kini aku baru sadar, karena selama ini hanya menilai orang lain dari luarnya saja. Tanpa disadari air mataku menetes diiringi kalimat istighfar. Mengakui dosa atas su’udzonku kepada Gus Nasr. Aku malu, aku bingung, dan ternyata orang yang kukira amat rendah, ternyata sebaliknya. Ialah orang yang tak mau menampakkan kebaikannya meski ia anak sang ulama.
“Lalu kata Abah Kiai kalau Panjenengan itu jadzabbagaimana, Gus?” tanyaku penasaran.
“Jadzab itu artinya orang yang tergila-gila kepada Allah. Dan mungkin aku bukan maqomku. Aku begini karena aku ingin menguji seberapa besar kekuatanku di tengah badai sangkaan orang-orang banyak. Sudahlah, jangan kau bahas masalah jadzablagi. Aku tak mau membahasnya,” jawabnya.
“Kenapa, Gus?”
“Aku tak mau membahasnya. Lebih baik kau banyak mengaji dan tak usah kau memikirkan apa-apa yang tak mampu kaupikirkan,” ucap Gus Nasr menutup pembicaraan kami.
Setelah banyak pelajaran yang diberikan Gus Nasr kepadaku di atas batu besar di bawah makam itu, tiba-tiba aku seperti terperanjat ke alam lain. Tubuhku kembali bersatu dengan jiwaku yang terlelap terbang bertualang bersama Gus Nasr. Aku pun terbangun dari mimpi, dan betapa kagetnya aku ternyata Gus Nasr yang baru saja mengajakku bersafari, kini tengah duduk di sampingku. Menemani tidurku sambil menyeruput kopi pahitnya dan lintingan tembakau beraroma kemenyan arab di kamarku.
“Sudah bangun, Kang?” ucapnya.
“Sampun, Gus.”
“Senengnya ngimpi jalan-jalan ke makam mbah,” ucapnya mengagetkanku. Aku pun menghela nafas sebentar.
Tak berselang lama, sebelum kuucapkan pertanyaan, Gus Nasr pun meninggalkanku sendirian di kamar dengan beribu pertanyaan yang terus mengusik di benakku tentang jadzab dan Gus Nasr. Mimpi itu seolah membuka mataku bahwa Gus Nasr adalah orang yang luar biasa, namun mencoba menutupinya. Tapi entahlah, yang jelas hingga aku tersadar dari mimpiku, Gus Nasr nyatanya benar-benar di sampingku dan mengerti arah safariku yang baru saja kulakoni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar