ke generasi selanjutnya, terdapat pribadi pribadi
yang di sulbinya tersipan nur Nabi Muhammad
saw. Istri Nabi Ibrahim As yang bernama Sarah tak
dapat menyembunyikan rasa cemburunya saat
melihat jariyah-nya, Hajar, yang telah menjadi istri
kedua Nabi Ibrahim, melahirkan anak lelaki,
bernama Isma’il. Nabi Ibrahim As amat memahami
perasaan sang istri. Karena itu, ia yang saat itu
bermukim di Syam, berniat hendak menjauhkan
putranya bersama Hajar dari Sarah. Ia pun
membawa keduanya pergi hingga tiba di sebuah
tempat yang dikehendaki Allah kelak menjadi
tempat tinggal anak cucu Isma’il As , yaitu lembah
gersang di tengah Makkah. Setiba di tempat itu,
Nabi Ibrahmim As meninggalkan Hajar bersama
putranya, Isma’il As, dengan menunggang untanya
berjalan pulang ke Syam. Sambil mengemban
sang putra, Hajar berjalan tergopoh gopoh
mengikuti suaminya dari belakang unta seraya
bertanya, “Kepada siapa engkau meninggalkanku
bersama anakku ini?” Ibrahim As menyahut
singkat, “Kepada Allah Azza wa Jalla” Jawaban itu
sama sekali bukan karena ia ingin berlepas diri
dari tanggung jawab seorang kepala keluarga,
namun tak lain karena ia sepenuhnya memahami
apa yang akan terjadi kelak, atas kehendak Allah.
Sejak saat itu Isma’il As tinggal di kota Makkah,
hingga menurunkan banyak keturunan. Diantara
keturunannya, terdapat kaum yang dikenal sebagai
‘Adnaniyyun, atau keturunan ‘Adnan. Karena
berbagai kelebihan yang mereka miliki, kaum ini
memiliki posisi istimewa di tengah tengah
penduduk Makkah kala itu. Di antara keistimewaan
yang ada pada mereka adalah, pada garis
keturunan ‘Adnan, dari satu generasi ke generasi
selanjutnya, terdapat pribadi pribadi yang didalam
sulbinya tersimpan nur Muhammad Saw. Siapa
Menanam Keburukan… Putra putra ‘Adnan
tentunya menjadi generasi pertama kaum
‘Adnaniyyun. Di antara mereka ada yang bernama
Ma’ad. Isyarat akan keberadaan nur agung pada
dirinya terlihat dari namaya, Ma’ad, yang berasal
dari a’addahu, maksudnya ia dijadikan sebagai
persiapan untuk suatu masa. Ma’ad dikenal
sebagai salah seorang yang memerangi Bani Israil.
Disebutkan, bila ia berperang, tidaklah ia pulang
kecuali dengan kemenangan. Dan itu disebabkan
keberkahan nur Muhammad yang ada di dahinya.
Saat mengutus Bukhtanashshar kepada bangsa
Arab, Allah perintahkan Nabi Armiya As untuk
membawa Ma’ad diatas kendaraannya, agar
Ma’ad tidak terkena kesengsaraan dan
kebinasaan. dikatakan kepadanya, “Sungguh akan
Ku-keluarkan dari sulbinya, seorang nabi mulia
yang Ku-jadikan penutup para nabi.” Armiya’ As
pun mengerjakan apa yang diperintahkan
kepadanya itu. Saat istri Ma’ad tengah bersalin,
Ma’ad melihat nur Muhammad berkilauan diantara
kedua mata si bayi. Betapa bergembiranya ia.
Kemudian ia menyalakan dupa dan memberikan
makanan. Ia mengatakan, ‘Sesungguhnya semua
ini adalah nuzr (sedikit) untuk hak dari kelahiran
ini’ Si bayi, yang nama sebenarnya adalah Khalid,
kemudian dipanggil dengan sebutan Nizar, yang
berasal dari kata an-nazr atau nuzr. Saat Nizar
beranjak dewasa dan mengetahui bahwa didalam
dirinya bersemayam nur Muhammad, ia pun
sangat bergahagia, hingga ia menyembelih hewan
qurban dalam jumlah yang sangat banyak pada
masa itu untuk dibagi bagikan. Seperti ayahnya
dan kakeknya, kehidupannya dan putra putra
Ma’ad lainnya ada pada zaman Nabi Musa As.
Sebagaimana diceritakan Rasulullah Saw dalam
sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh Ath-
Thabrani dari Abu Umamah al-Bahili. Saat itu,
Rasulullah Saw bercerita, tatkala ada perselisihan
antara putra Ma’ad bin ‘Adnan yang berjumlah
hingga 40 orang dengan Nabi Musa As saat
bersama pasukan nya, Nabi Musa As hendak
menyumpahi mereka. Maka kemudian turunlah
wahyu dari Allah, “Jangan kau sumpahi mereke,
karena dari mereka itu kelak akan terlahir seorang
nabi yang ummi dan pembawa kabar gembira,
dan diantara mereka akan keluar umat yang
dirahmati, yaitu umat Muhammad Saw…” saat
wafat ia dimakamkan di suatu daerah bernama
Dzat Al- Jaysy, dekat kota Madinah. Sebelum
wafat, ia mewasiatkan pejagaan kemuliaan nur
Muhammad kepada salah seorang putranya,
Mudhar. Nama sebenarnya Umar. Ia digelari
‘Mudhar’ karena ia menyukai minum al-madhir
atau susu asam (yoghurt). Versi lain mengatakan,
ia dinamai Mudhar karena yamdhurul qulub,
maknanya ‘banyak hati cenderung kepadanya’.
Kecenderungan itu karena kecakapan dan
ketampanannya, sebab, disebutkan, tidaklah
seseorang melihatnyakecuali hatinya terpikat
kepadanya. Keberadaan nur Muhammad berbekas
jelas dalam kepribadian Mudhar, hingga ia dikenal
sebagai seorang yang memiliki firasat dan ucapan
penuh hikmah. Diantara ucapanya, “Orang yang
menanam suatu keburukan akan menuai
penyesalan” Sejumlah hadits menyebutkan
namanya, seperti yang dikeluarkan oleh Ibn Sa’d
didalam Ath- Thabaqat, bahwasanya Rasulullah
mengatakan, “Jangan kalian mencela Mudhar,
karena ia telah berserah diri (di jalan Allah)”.
Sementara dalam sebuah hadits yang dikeluarkan
As-Suhaili, “Jangan lah kalian mencela Mudhar
dan Rabi’ah (saudara lelaki Mudhar), karena
keduanya adalah orang orang yang beriman.”
Jangan Kalian memusuhinya Menjelang usia senja,
Mudhar masih belum mendapatkan anak, sehingga
ia merasa putus asa. Namun, diakhir usianya,
Allah menganugerahinya seorang putra, hingga
digelarinyalah sang anak dengan sebutan Ilyas,
atau Al-Ya’s, yang semakna dengan kata al-
qunuth, ‘putus asa’. Adapun nama sebenarnya
adalah Husain atau Habib. Sebagaimana orang
orang tuanya, postur badannya juga tinggi besar.
Dikenal sebagai seorang ahli hikmah (memiliki
kebijaksanaan), ia dihormati layaknya kedudukan
Luqmanul Hakim ditengah tengah kaumnya. Ia juga
dijuluki Sayyidul ‘asyirah, atau ‘penghulu dari
keluarga besar masyarakat’, pada saat itu.
Disebutkan, gelar itu tidak diberikan kaumnya
pada saat itu kecuali kepadanya. Keberadaan nur
Muhammad dalam dirinya amat terang
sebagaimana dikabarkan pada hadits mutawatir
bahwa dari sulbinya terdengar suara dzikir dan
ucapan talbiyah Rasulullah saw sebagaimana
talbiyah orang yang sedang naik haji.
Diriwayatkan, dialah orang yang pertama kali wafat
kakrena penyakit TBC. Istrinya sangat bersedih
atas wafatnya, hingga sang istri bernadzar tidak
mau tinggal di kota tempat Ilyas wafat, tidak mau
tinggal di rumah atau berteduh di bawah atap. Ia
menangisinya sepanjang siang dan malam, sampai
air matanya mengalir di tanah, dan kemudian
wafat dalam kesedihan. Mudrikah adalah salah
seorang putra yang ditinggalkannya. Nama
sebenarnya ‘Amr. Ia digelari Mudrikah karena
adraka kulla fakhrin wa ‘izzin fi aba’ihi,
mendapatkan semua kemuliaan datuk datuknya.
Disebutkan pula bahwasanya nurul mushthofa Saw
zhahiran wa bayyinan fi jabinihi, nur Muhammad
saw tampak jelas didahinya. Kemuliaan sifat sifat
Mudrikah, berikut cahaya yang berada disulbinya,
menurun kepada putranya yang bernama
Khuzaimah. Salah satu pendapat mengatakan
bahwa sebab penamaan ‘Khuzaimah’, liannahu
khuzima, adalah karena nur datuk datuknya dan
nur Muhammad berkumpull dalam dirinya.
Seorang penyair mengatakan, ‘Adapun Khuzaimah
memiliki banyak kemuliaan akhlaq yang terdapat
padanya dan tidak ada pertentangan tentang hal
itu.” Mengenai seorang putra Khuzaimah,
disebutkan bahwasanya annahu fi kinni bayna
qawmihi aw li annahu kana yukinnu asrarahum, “ia
berada dalam penjagaan diantara kaumnya atau
karena ia menjaga rahasia kaumnya.” Karena nya,
ia dinamakan ‘Kinanah’. Kinanah dikenal sebagai
seorang pemimpin yang baik dengan kedudukan
yang agung. Orang orang Arab mendatanginya
karena ilmu dan keutamaannya. Kalau hendak
makan, ia selalu mencari kawan untuk makan
bersama, tidak mau makan sendiri. Isyarat akan
kedatangan Nabi Muhammad saw pernah
dilontarkannya, yaitu saat ia mengatakan,
‘Sungguh,akan datang seorang nabi yang mulia
dari kota Makkah yang dipanggil ‘Ahmad’. Ia
menyeru kepada Allah, kebaikan, dan akhlaq yang
mulia. Ikutilah, niscaya akan bertambah kemuliaan
kalian. Jangan kalian memusuhinya, karena
sesungguhnya dia membawa kebenaran”. Aku
dilahirkan dari…. Diantara istri Khuzaimah (ayah
Kinanah), ada yang bernama Barrah binti Udd bin
Thabikhah. Setelah Khuzaimah wafat,
sebagaimana kebiasaan pada masa jahiliyyah,
istrinya itu dinikahi oleh putra tertuanya, yaitu
Kinanah. Ada yang mengatakan bahwa An-Nadhr
terlahir dari pasangan Kinanah dan Barrah binti
Udd, janda ayah Kinanah sendiri. Pendapat
tersebut adalah pendapat keliru. Abu Utsman Al-
Jahizh mengatakan, “Kinanah menikahi istri
ayahnya itu, tapi kemudian istrinya itu wafat tanpa
meninggalkan seorang anak laki laki atau
perempuan baginya, maka ia menikahi keponakan
istrinya yang telah wafat itu, yang bernama Barrah
binti Murr bin Udd bin Thabikhah. Maka kemudian
lahirlah An-Nadhr. Maka kebanyakan orang rancu
dengan hal ini dikarenakan kesamaan nama kedua
istrinya itu dan nasab keduanya yang dekat
membuat susunan namanya pun hampir mirip.” Ia
menambahkan, “inilah kenyataan yang dipegang
oleh para ahli ilmu dan ahli nasab, dan kita
berlindung kepada Allah atas (pandangan yang
menganggap adanya) cacat dalam nasab
Rasulullah saw. Karena, Rasulullah saw
mengatakan, ‘Aku dilahirkan dari orang tuaku
senantiasa dari pernikahan seperti halnya
pernikahan islam’. Nama sebenarnya adalah Qays.
An-Nadhr adalah gelarnya, linadharatihi wa husni
wajhihi, karena keelokan dan ketampanan
wajahnya. Hingga kemudian sisilah suci itu
berlanjut kepada salah seorang putra An-Nadhr
yang bernama Malik. Nama itu diberikan karena
suatu saat kelak ia akan menjadi seorang
pemimpin. Memang keadaan sebenarnya
membuktikan itu. Setelah dewasa, ia menjadi
pemimpin bangsa Arab di zamannya. Sedikit yang
Ada ditanganmu.. Setelah An-Nadhr, tersebutlah
nama salah seorang putranya yang tersohor, yaitu
Fihr. Ia juga dinamakan Quraisy, li annahu
yaqrusy, maknanya “ia meneliti hajat orang yang
memiliki hajat, kemudian ia menutupi hajat orang
tersebut”. Sehingga menjadi kebiasaan bagi
keturunannya yang memiliki kebiasaan seperti itu,
hingga seorang Quraisy dikenali orang baik karena
nasabnya maupun karena sifat terpujinya itu.
Berdasarkan pendapat yang paling tepat, Fihr
adalah leluhur suku Quraisy. Karena suku itu
sendiri mengambil nama suku dari namanya. Yang
lainnya mengatakan bahwa leluhur Quraisy adalah
An-Nadhr bin Kinanah, atau Ilyas bin Mudhar, atau
Mudhar bin Nizar. Kelanjutan penjagaan nur
Muhammad dari sulbinya
diteruskan kepada sulbi sang putra yang bernama
Ghalib. Diantara ucapan Fihr kepada anaknya itu,
‘Sedikit yang ada ditanganmu itu lebih mencukupi
mu, daripada banyak tapi mencoreng wajahmu,
sekalipun itu menjadi milikmu’. Ia menamakan
putranya dengan ‘Ghalib’, bi an yashira ghaliban
‘ala a’da-ihi, karena ia akan menjadi orang yang
menang terhadap musuh musuhnya. Dari Ghalib,
nur nan suci itu berpindah kepada putranya yang
bernama Lu’ay. Kata lu’ay, yang merupakan
perubahan berntuk dari kata la’ay, semakna
dengan kata al-anah, “perlahan lahan”. Dinamakan
ia dengan itu, li annahu kana ‘indahu ta’annin fil
umur, karena ia perlahan lahan pada setian
urusannya. Segera datang pagi yang terang…
Lu’ay memiliki putra yang ia namakan Ka’ab.
Lantaran memandang ketinggian dan kemuliaan
nya ditengah tengah kaumnya, karena kullu syai’in
‘ala fahuwa ka’bun, setiap sesuatu yang tinggi itu
disebut ka’b. Sebagaimana juga Bait Al-Haram
disebut ‘Al-Ka’bah’ Dialah yang pertama kali
menyebutkan nama hari Jum’at , hari yang
dulunya disebut sebagai hari ‘Arubah, karena di
hari itu kaum Quraisy berkumpul. Saat itu ia
mengingatkan mereka akan kebangkitan Nabi Saw,
memberi tahu mereka bahwa nabi itu dari
keturunannya, dan menyerukan kepada mereka
agar mengikutinya. Berdasarkan penuturan
Abdurrahman bin Auf Ra, seperti dikemukaan Ibnul
Jauzi dalam Al-Qafa bi Ahwalil Mushthafa,
disebutkan bahwa Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan
kaumnya disuatu tempat. Diantara yang
dikatakannya adalah, “…Malam kelam perlahan
lahan mulai hilang dan akan segera datang pagi
yang terang dan terang benderang… hendaklah
kalian menghias rumah suci kalian (Ka’bah) dan
muliakanlah selalu. Kalian pun hendaknya tetap
berpegang pada kesucian Ka’bah. Kelak akan
datang berita besar bahwa dari tempat suci itu
akan keluar seorang nabi yang amat mulia…” Dia
mengatakan, ‘Demi Allah, bila aku ada pada saat
itu (saat keberadaan Nabi Muhammad) dalam
keadaan penuh kesadaran, aku akan putuskan
dengan mantap, dan kuikat seperti hal nya kuikat
sebuah unta.’ Ia menegaskan kembali hal itu
seakan ia telah mengetahui bahwa nanti, disaat
kemunculan Nabi Saw, kaum kerabatnya sendiri
banyak yang mengingkarinya. ‘Duhai seandainya
aku dapat menyaksikan dakwahnya (Muhammad
Saw) ketika
kaum kerabatnya sendiri yang pada awalnya
mengharap kan datangnya kebenaran tapi
kemudian menjadi hina (karena mereka
mengingkarinya)’ Imam Al-Mawardi mengatakan,
‘Inilah yang disebutkan sebagai fitrah fitrah dari
ilham, yang ditampakkan akal lalu terbukti akan
kebenarannya, dan digambarkan oleh jiwa lalu
terwujud.’ Itu terjadi sekalipun jarak wafatnya ia
dengan hijrahnya Nabi Saw adalah 232 tahun
didalam hitungan tahun Masehi. Disebutkan, ia
termasuk orang yang paling jelas keberadaan nur
Muhamad pada dirinya. Orang yang memuliakan
orang hina… Ka’ab meneruskan kepemimpinannya
pada seorang putranya yang ia namakan ‘Murrah’.
Ia
dinamakan itu, li annahu yashiru murran ‘alal
a’da’i, karena putranya ini akan berjalan melewati
atau melangkahi musuh musuhnya, maksudnya ia
selalu dapat mengalahkan dan menundukkan
musuhnya. Begitu pun putra Murrah yang dikenal
bernama Kilab. Sebabnya adalah limukalabatihil
a’da’a fil harbi, karena ia selalu mengalahkan
musuh dalam peperangan. Sedangkan nama
sebenarnya adalah Hakim atau ‘Urwah atau Al-
Muhadzdzab. Ia memiliki dua putra, Qushay dan
Zuhrah. Qushai melanjutkan trah silsilah pewarisan
bersemayamnya nur Muhammad, hingga kelak
sampai pada ayah Nabi Muhammad Saw,
Abdullah. Sedangkan, Zuhrah, menurunkan kabilah
yang cukup disegani dimasa itu. Bani Zuhrah
namanya. Diantara yang terlahir dari keluarga Bani
Zuhrah adalah ibunda Nabi Muhammad saw, Siti
Aminah. Karenanya, pada diri Kilab inilah
bertemunya nasab kedua orang tua Nabi
muhammad saw. Mengenai Qushay putra Kilab,
Abdul Muthalib, kakek Rasul Saw, pernah
memujinya dengan sebuah qashidah, “Datuk
kalian Qushay dipanggil Mujammi’ (orang yang
mengumpulkan), dengan nya Allah mengumpulkan
seluruh kabilah Quraisy setelah mereka mulai
terpecah belah menjadi 12 kabilah. Sebagaimana
datuknya dulu, Ka’ab bin Lu’ay, ia juga
mengumpulkan mereka untuk mengingatkan akan
dibangkitkannya seorang nabi yang mulia di tanah
haram. Sejarah mencatat, Qushay memainkan
peranan besar dalam sejarah Makkah saat ia
menciptakan berbagai ketentuan penting mengenai
peziarahan ke Ka’bah tiap tahun. Dalam syari’at
islam, ritus ziarah itu kemudian dikenal sebagai
ibadah haji, setelah diadakan berbagai perubahan
sesuai dengan prinsip prinsip ajaran islam.
Diantara yang pernah dikatakannya, ‘Orang yang
memuliakan orang yang hina, maka ia akan
berserikat dengan kehinaannya.’ Para sejarawan
mencatat nama Abdu Manaf sebagai putra Qushay
yang termulia, termasyhur, dan terkuat. Nama
sebenarnya adalah Al- Mughirah, biannahu yughiru
‘alal a’da’, karena ia membuat segan musuh
musuhnya. Ia dita’ati oleh suku Quraisy. Karena
keelokan nya, ia juga dijuluki Qamarul Bathha’,
‘bulan yang indah’. Diriwayatkan, nur Muhammad
memancar jelas dari wajahnya. Ia juga dikenal
sebagai pemegang panji bendera Nizar dan
tombak Ismail As. Ia digelari ‘Abdu Manaf’ pada
awal nya karena sewaktu kecilnya ibunya
menjadikan ia sebagai pelayan berhala bernama
Manat, hingga ia dikatakan ‘Abdu Manat’. Ayahnya
melihat tanda tanda kemuliaan memancar pada
dirinya, dan kemudian menggantinya dengan
‘Abdu Manaf’. Adapun apa yang diperbuat ibunya
terhadap dirinya tidak mengurangi kemuliaan
dirinya, karena disebutkan bahwa hal itu
dikarenakan ia menjaga berhala itu karena
mahalnya harga berhala tersebut, dan tidak terjadi
peribadatan atau i’tiqad ketuhanan terhadap
berhala itu. Dan saat itu adalah masa fatrah, mada
kekosongan: para rasul sebelumnya sudah wafat,
sedang rasul berikutnya belum ada. Mengenai
keyakinan yang ada pada dirinya, diantaranya
tergambarkan dari beberapa batu di zaman dahulu
yang menuliskan perkataannya ‘Aku Al-Mughirah
putra Qushay, kuwasiatkan kaum Quraisy untuk
bertaqwa kepada Allah dan menyambung
silaturahim.’ Dikatakan tentang dirinya,
‘Sesungguhnya kaum Quraisy itu memiliki
keturunan, maka meneteslah inti kemuliaannya
kepada Abdu Manaf.’ Ia wafat di kota Makkah, ada
pula yang mengatakan nya di kota Ghazzah.
Tidaklah aku menikah kecuali… Seorang putra
Abdu Manaf, Hasyim, telah menampakkan jiwa
kepemimpinannya sejak kecil. Bahkan dikatakan,
ia telah memimpin kaumnya sejak masih kecil. Ia
bernama Amr Al-‘Ula. Li’uluwwi martabatihi,
karena ketinggian martabatnya. Disebutkan, setiap
orang yang melihatnya akan mencium tangannya.
Masyarakat Arab saat itu menyodorkan anak anak
perempuan mereka kepadanya, agar ia berkenan
menikahinya. Ia seorang yang sangat mulia dan
diagungkan di tengah tengah kaumnya. Dinamakan
‘Hasyim’ karena ia yahsyimu ats-tsarid li adh-
dhaif, memotong motong (menghidangkan) roti
kering untuk tamu tamunya. Hingga dikatakan
perihal Hasyim itu, ‘Hidangannya selalu tersedia,
tidak terangkat, baik pada saat kesusahan maupun
saat kekenyangan.’ Sampai saat ini ada ungkapan
yang sering dikatakan orang, Al-Karam ‘inda Bani
Hasyim, ‘kemuliaan dimiliki oleh bani Hasyim’.
Ungkapan itu terutama saat menggambarkan
bagaimana keluarga Bani Hasyim
hingga saat ini memiliki kemurahan tangan dan
kebiasaan memuliakan tamu tamu mereka. Ketika
nur Muhammad sampai pada sulbi Hasyim,
tersebarlah berita diseluruh penjuru dunia bahwa
sudah dekat saat datangnya nabi akhir zaman,
yang diutus untuk seluruh umat manusia. Para
pendeta Yahudi dan Nasrani dizamannya
berlomba lomba mendapatkan silsilah mata rantai
nur tersebut. Untuk tujuan itu, mereka
menyodorkan putri putri mereka untuk dinikahinya,
namun ia mengatakan , ‘Demi Allah, Dzat yang
telah melimpahkan kemuliaan kepadaku melebihi
seluruh penghuni alam ini, tidaklah aku akan
menikah kecuali dengan wanita tersuci di seluruh
alam,’ Putra Hasyim yang bernama ‘Abdul
Muthalib dilahirkan di Yatsrib, atau Madinah.
Kulitnya sawo matang. Ia dibesarkan di Makkah,
disisi pamannya, Al-Muthalib bin Abdu Manaf. Al-
Muthalib, pamannya
ini adalah leluhur Imam Syafi’i Ra. Sebelum
ayahnya wafat, ia meminta kepada saudaranya, Al-
Muthalib, ‘Adrik ‘abdak bi yatsrib.’ Artinya
“ambillah hambamu (keponakanmu) di Yatsrib
(Madinah). Maka setelah Hasyim wafat, ia
mengambil keponakannya itu dari ibunya di kota
Madinah, untuk menyenangkannya. Maka
kemudian ia disebut ‘Abdul Muthalib’ Saat
dilahirkan, fi ra’sihi syaibah, ada uban
dikepalanya, kelahirannya seakan udhifa lil hamd,
dipersiapkan untuk dipuji. Itu karena banyaknya
orang yang memujinya. Karenanya, nama
sebenarnya adalah Syaibah Al-Hamd. Ia adalah
tempat mengeluh Bani Quraisy di kala mereka
susah. Ia seorang yang cerdas, lisannya fasih,
hatinya hadhir, dan sangat dicintai kaumnya.
Berkah nur Muhammad yang bersemayam dalam
dirinya, kaumnya mengenal Abdul Muthalib akan
doa doanya yang selalu dikabulkan Allah swt.
Sekalipun belum masuk pada masa kenabian
cucunya, ia tidak digolongkan sebagai orang kafir.
Ia termasuk dalam ahlul fatrah. Dalam perang
Hunain, Rasulullah mengatakan dengan penuh
kebanggaan, ‘Aku seorang nabi, tidak berdusta,
aku adalah putra Abdul Muthalib’ H.M.H. Al-
Hamid Al-Husaini (alm.), seorang ulama dan
sejarawan islam yang produktif menulis buku,
mengatakan , ‘Tidak mungkin beliau
membanggakan Abdul Muthalib jika ia seorang
kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.” Sebagai
sesepuh Quraisy, yang merupakan mayoritas
penduduk Makkah, ia berseru dan menganjurkan
penduduk agar segera meninggalka
Makkah, mengungsi ke daerah pegunungan yang
aman. Sementara ia sendiri tidak pergi
meninggalkan Mekkah dan hendak bertahan
dengan cara apapun yang mungkin dapat
ditempuh. Setiba bala tentara Abrahah di
perbatasan Makkah, Abdul Muthalib berserah diri
kepada Tuhan, penguasa Ka’bah. Seraya
berpegang pada daun pintu Baitullah itu, ia
menengadahkan tangan, ‘Ya Tuhan, hanya
Engkaulah Yang Maha Kuasa dan hanya Engkaulah
yang dapat mengalahkan Abrahah beserta bala
tentaranya. Engkau sajalah yang akan melindungi
Rumah suci ini dari kejahatan manusia durhaka
dan congkak.’ Kemudian terjadilah apa yang
dikehendaki Allah. Belum sempat pasukan
Abrahah menyerbu ke Makkah. Allah
menghancurkan bala tentara itu dengan
menurunkan burung burung Ababil, yang melontari
mereka dengan batu sijjil. Itulah kenyataan sejarah
yang disaksikan sendiri oleh penduduk Makkah
dari tempat tempat pengungsian, dan yang
langsung diderita oleh bala tentara Abrahah. Abdul
Muthalib wafat pada usia 82 tahun, versi sejarah
lainnya mengatakan 110 atau 120 tahun, kala
Muhammad berusia delapan tahun. Ummu Aiman,
pengasuh Nabi, menceritakan, “Ketika saya
melihat ia (Muhammad) duduk ditempat tidur
Abdul Muthalib sampai menangis.” Dan ia masih
terus menangis saat turut mengantar jenazah ke
pekuburan Hajun, Makkah. Abdul Muthalib
mempunyai banyak putra, diantaranya adalah
bernama Abdullah. Dan Abdullah inilah ayah
Muhammad Shollallahu ‘alayhi wasallam, sang
nabi akhir zaman yang sejak lama telah dinanti
kedatangannya itu…….

Tidak ada komentar:
Posting Komentar