Kamis, 03 Oktober 2013

Penciptaan Manusia dan Nur Muhammad

Tak henti hentinya Allah, Yang Maha Perkasa dan
Maha Agung, memindahkan nya dari rangkaian
tulang sulbi yang mulia dan melewati rahim rahim
yang suci… Saat bulan Maulid tiba, umat islam di
berbagai belahan dunia menyambutnya dengan
penuh suka cita. Di sana sini, mereka merayakan
momentum datangnya bulan kelahiran Rasulullah
Saw ini dengan berbagai cara dan beragam
ekspresi. Ketika itu, mereka memperdengarkan
perjalanan hidup sang Manusia teladan, disamping
juga mengisahkan detik detik kelahirannya.
Kesemuanya itu diselenggarakan dengan harapan
agar umat dapat bercermin dari keteladanan hidup
Rasulullah saw dan semakin menambah kecintaan
kepadanaya. Selain itu, ada pula yang mengulas
seputar sejarah penciptaan cahaya Rasulullah
yang diyakini sebagai awal mula keberadaan
segala makhluk ciptaan Allah , atau yang populer
dengan istilah nur Muhammad. Membicarakan nur
Muhammad tak terlepas dari sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abdurrazzaq bin Umar bin
Muslim ad-Dimasyqi Ash-Shan’ani (126-211
H/744-826 M), yang menceritakan kala sahabat
Jabir bin Abdullah Al- Anshari RA bertanya kepada
Rasulullah, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah,
beritahukan lah kepadaku sesuatu yang pertama
kali dicilptakan Allah sebelum yang lainnya.” Maka
jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya
Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad,
dari nur-Nya, sebelum Dia menciptakan segala
sesuatu.” Sebagaimana yang dikemukakan Syaikh
Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitab Al-Anwar
al- Muhammadiyyah, konsep Nur Muhammad itu
memiliki dua sisi. Sisi pertama yaitu sebagai
konsep makhluk yang pertama diciptakan,
kemudian segala sesuatu tercipta darinya. Sisi
kedua dari sisi hakikat nur Muhammad yang Allah
letakkan pada diri Nabi Adam As, kemudian
berpindah kepada Siti Hawa, lalu kepada
putranya,
Syits AS, dan terus berpindah pindah kepada para
nabi dan orang orang suci yang tak lain adalah
para leluhur Nabi Muhammad Saw. Banyak
riwayat dan perjelasan dari para ulama yang
mengisahkan perjalanan cahaya nan agung itu.
Tulisan ini mencoba mengumpulkan nya, mulai
dari keterangan awal penciptaannya hingga
perpindahannya dari generasi ke generasi. Kalau
bukan karenanya… Mengutip dari kelanjutan hadits
diatas, desebutkan bahwasannya kemudian nur itu
beredar haitsu sya Allah, dengan ketentuan yang
dikehendaki Allah, saat itu, tidak ada sesuatu
apapun lainnya yang ada. Tidak lauhil mahfuzh, al-
qalam, surga dan neraka, para malaikat, tidak
pula langit ataupun bumi. Tiada pula matahari,
rembulan, bintang, jin, ataupun manusia. Belum
ada sesuatu pun yang diciptakan, kecuali nur ini.
Kemudian Allah dengan iradat-Nya, menghendaki
adanya ciptaan. Nur Muhammad itu sedemikian
agung. Hingga disebutkan, bila bukan karena Nabi
Muhammad saw, Allah tak akan menciptakan
segala sesuatu. Sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah hadits qudsi, “Kalau bukan karena
engkau (Wahai Muhammad), sungguh Aku tak akan
menciptakan alam semesta.” Imam Suyuthi, dalam
kitab Ad-Durarul Hisan fil Ba’tsi wa Na’imil Jinan
Hamisy Daqa’iqul Akhbar, menuturkan
bahwasanya nur Muhammad itu senantiasa
bertasbih kepada Allah dengan diikuti oleh para
malaikat dan arwah dialam malakut, puluhan ribu
tahun sebelum wujudnya Adam As. Hal senada
juga desebutkan oleh Ad- Diba’i dalam kitab
Maulid-nya dengan mengutip sebuah hadits yang
diriwayatkan Abdullah bin Abbas Ra. Nur
Muhammad dan sosok Muhammad Saw itu sendiri
merupakan kesinambungan yang tak terpisahkan.
Kedudukan nya sebagai seorang nabi telah
ditahbiskan jauh hari sebelum kelahirannya. Syaikh
Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan
“Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun
nabi pertama secara maknawi”. Ungkapan itu
sejalan dengan sebuah hadits yang dicantumkan
oleh As-Suyuthi dalam Jami’ ash- Shagir –nya dan
Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy dalam kitab
Maulid-nya Simthud Durar, “Aku adalah nabi yang
pertama dalam hal penciptaan, tapi yang terakhir
dalam hal kebangkitan.” Sementara itu pada kitab
Adh-Dhiyaullami’ , Habib Umar bin Hafidz
menampilkannya dalam sebuah dialog saat
Rasulullah ditanya, “Sejak kapankah
kenabianmu?” Rasulullah saw menjawab,
“Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan
tanah.” Dalam sebuah riwayat yang disebutkan
As-Suyuthi, “… sejak Adam masih diantara ruh
dan jasad.” Kemudian, Allah menciptakan Adam
As, manusia yang pertama kali ada dan menjadi
nenek moyang seluruh umat manusia. Karenanya,
ia dijuluki Abul Basyar (Bapak umat manusia).
Namun Allah selalu memanggilnya dengan
panggilan “Abu Muhammad”. Lebih terperinci,
Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mengisahkannya
dalam kitab As-Sirah An- Nabawiyah, “Bahwa
sesungguhnya, setelah menciptakan Adam, Allah
mengilhami Adam untuk bertanya kepada-Nya: Ya
Allah, kenapa Engkau memanggilku dengan ‘Abu
Muhammad?” Maka Allah berfirman: Wahai Adam,
angkatlah kepalamu. Adam pun mengangkat
kepalanya. Seketika itu Adam melihat nur
Muhammad meliputi sekitar ‘Arsy. Kemudian Adam
bertanya: Ya Allah, cahaya siapa ini” Allah
berfirman: ini adalah cahaya seorang nabi dari
keturunanmu, di langit namanya Ahmad, di bumi
namanya Muhammad. Kalau bukan karenanya,
niscaya Aku tak akan menciptakanmu, langit, dan
bumi,” Bersanding dengan Asma-Nya Selanjutnya,
Allah menciptakan Siti Hawwa, dengan rupa yang
sempurna dan paras sangat jelita dari tulang rusuk
sebelah kiri Adam As. Dia mempersilahkan Adam
As menikahi Siti Hawwa dengan mahar
bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw
sebanyak tiga kali. Imam Abdurrahman Ash-
Shafuri Asy-Syafi’i dalam kitabnya Nuzhatul
Majalis, menukil perkataan Imam Al-Kisa’i,
menyebutkan, “Setelah menciptakan Nabi Adam
As di surga, Allah menciptakan Hawa dari tulang
rusuk Adam As yang sebelah kiri. Ia
menganugerahinya kecantikan luar biasa yang
melebihi kecantikan 70 bidadari. Sehingga, bila
dibanding kecantikan para bidadari surga ini,
Hawwa laksana bulan purnama dikelilingi bintang
bintang yang gemerlapan. Saat Adam As
terbangun dari tidurnya dan melihat Hawwa, ia
hendak menyentuhnya. Namun terdengar seruan
kepadanya. “Wahai Adam, engkau tidak diizinkan
menyentuhnya sebelum engkau memberikan
maharnya.” Adam As bertanya: “Apakah
maharnya?” terdengar seruan jawaban,
‘(Maharnya adalah) engkau mengucapkan sholawat
kepada Muhammad sebanyak tiga kali.” Setelah
itu mereka pun diizinkan untuk bersenang senang
di surga, yang sangat indah dan penuh
kenikmatan. Disanalah Adam As dan Siti Hawwa
selalu melihat nama Muhammad Saw terukir indah
berdampingan dengan Asma Allah Swt. Dalam
kitabnya, Al-Hawi lil Fatawi, As-Suyuthi
mengisahkan, “Sesungguhnya Adam As telah
melihat disetiap tempat di surga, pada gedung
gedungnya, dikamar kamarnya, dileher leher
bidadari, di daun Thuba, di daun daun pepohonan
Sidratil Muntaha, di ujung ujung benteng, dan
disetiap dahi para malaikat, nama Muhammad saw
senantiasa berdampingan dengan Asma Allah,
yaitu pada kalimat “Laa ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah.” Suatu saat, Allah
meletakkan nur Muhammad itu pada punggung
(sulbi) Adam As. “Kemudian Allah
meletakkan nur Muhammad dalam punggungnya
(Adam As), sehingga para malaikat bersujud dan
berbaris rapi dibelakang Adam, serta
menghaturkan salam kepada nur Muhammad,”
demikian As-Suyuthi mengisahkan. Dengan
demikian, sebagaimana Ibn Marzuqi mengomentari
hal ini, secara lahiriyah Nabi Adam adalah
perantara adanya nur Muhammad pada diri
manusia. Sementara itu Imam Fakhruddin Al-Razi
menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa para
malaikat diperintahkan bersujud kepada Adam
karena didalam diri Adam terdapat nur
Muhammad, dan diperintah bersujud itu adalah
sebagai penghormatan kepada Nabi Muhammad,
sebagaimana juga hal itu dijelaskan oleh Al-Imam
Sahl bin Muhammad , yang dikutip oleh An-
Nabhani dalam Al-Anwar Al-Muhammadiyah.
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Madarijush
Shu’ud mengisahkan , para malaikat senantiasa
berbaris rapi dibelakang punggung Adam, ia heran
dengan prebuatan para malaikat itu dan bertanya
kepada Allah, “Ya Allah, kenapa para malaikat
senantiasa berbaris dibelakangku?” Allah
menjawab, “Wahai Adam, ketahuilah olehmu
bahwa para malaikat Ku senantiasa berdiri
dibelakangmu karena memandang kepada nur
kekasih Ku, Nabi Akhir Zaman, Muhammad Saw”
Adam As pun memohon kepada Allah kiranya nur
itu diletakkan didepan nya, agar ia dapat
berhadapan dengan para malaikat. Maka Allah
pun meletakkan nur itu di dahinya. Kala itu Allah
memerintahkan Iblis agar sujud kepada Nabi Adam
As, namun ia membangkang kerena
kesombonganya, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 34, “Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam’, maka
sujudlah mereka semua kecuali Iblis. Ia enggan
dan takabur, dan sesungguhnya ia termasuk
golongan yang kafir.” Turun ke dunia Karena
termakan bujuk rayu Iblis yang terkutuk, Adam dan
Siti Hawwa diturunkan kebumi oleh Allah. Dalam
jangka waktu yang lama, mereka mengalami
berbagai macam kesedihan dan penyesalan yang
luar biasa. Berulang kali Adam memohon
ampunan dan meratap kepada Allah , namun
jawaban tak kunjung datang. Hingga akhirnya ia
teringat kemuliaan dan keagungan derajat Nabi
Muhammad disisi Allah, sehingga timbul harapan
untuk memohon ampunan Nya dengan berwasilah
kepada Nabi Muhammad. Mengenai hal itu, Syaikh
Ahmad Zaini Dahlan menyampaikan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, “Diriwayatkan
dari Sayyidina Umar ibnul Khoththob RA bahwa
Rasulullah saw bersabda: Manakala Adam As
bermunajat kepada Allah, ‘YaAllah, demi haknya
Muhammad di sisi Mu, limpahkanlah ampunan Mu
kepada ku’, Allah bertanya, ‘Bagaimana kamu
mengetahui (kedudukan) Muhammad, sedang Aku
belum menciptakannya?’ Maka jawab Adam, ‘Ya
Tuhanku, Engkau telah menciptakanku dengan
tanpa perantara ayah dan ibu, Engkau tiupkan ruh
kepada diriku, lalu Engkau angkat kepalaku, maka
aku melihat tiang tiang Arasy bertuliskan kalimat
Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullah (Tiada
Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan
Allah). Aku yakin, tidaklah Engkau
mempersandingkan seseorang pada nama Mu
melainkan sosok yang paling Engkau cintai.’ Allah
pun berfirman, ‘Kau benar, wahai Adam.
Sesungguhnya dia (Muhammad) adalah makhluk
yang paling Kucintai. Jika engkau meminta
kepada- Ku dengan haknya, pasti Aku
mengampunimu. Dan jika bukan karena
Muhammad, niscaya Aku tak akan
menciptakanmu.” Maka, ia pun kembali
dipertemukan dengan Siti Hawwa, setelah lebih
dari seratus tahun lamanya keduanya terpisah,
berada di belahan bumi yang berbeda. Lalu ia juga
diangkat menjadi salah seorang nabi dan rasul,
dengan sepuluh shahifah (lembaran) wahyu yang
diturunkan kepadanya. Janji Suci Kemudian, An-
Nabhani melanjutkan kisahnya dalam kitab
Hujjatullah ‘alal Alamin yaitu ketika pada suatu
saat, “…Adam As mendengar suara dari dalam
dahinya seperti suara kicauan burung. Ia merasa
heran dan lantas berkata, ‘Subhaanallah, sungguh
sangat agung kekuasaan Mu, suara apakah ini ya
Allah?” Allah berfirman , ‘Wahai Adam, (suara itu
adalah) tasbih penutup para nabi dan penghulu
seluruh anak keturunanmu.’ Nur itu selalu terlihat
bersinar kemilauan pada wajah Adam as. Allah
kemudian mengambil sumpah (perjanjian) kepada
Adam agar ia menjaga
nur tersebut “Wahai Adam, berjanjilah (kepada Ku)
untuk senantiasa memelihara nur tersebut dengan
tiada meletakkannya kecuali kepada sulbi- sulbi
yang suci dan mulia.” Adam menerima dengan
senang hati amanah tersebut. Ia bahkan bangga
melaksanakan amanah itu, serta terus menjaganya
dan mewasiatkan amanah tersebut kepada para
anak- cucunya kelak. Selain kepada pribadi
pribadi suci yang beroleh anugerah atas
bersemayamnya nur Muhammad dalam diri diri
mereka, Allah juga mewasiatkan kepada segenap
nabi dan rasul agar selalu membesarkan
kemuliaan Nabi Muhammad saw disisi Allah
dengan senantiasa berdzikir mengucapkan kalimat
Laa ilaaha illallah Muhammadur Rosulullah, dan
bersiap menjadi pembela setianya manakala suatu
saat berjumpa dengan Nabi Muhammad. Mengutip
dari sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ali
Kw, wasiat Allah itu merupakan bentuk kesaksian
yang telah ada pada saat mereka (para nabi)
masih berada di alam ruh. Disebutkan, ruh para
nabi itu tenggelam dalam nur Muhammad dan
mereka berteriak, “Ya Allah, siapa yang
menyelimuti kami dengan cahaya?” Allah
menjawab, “Ini adalah cahaya Muhammad,
Kekasih-Ku…” Saat itu, ruh para nabi menyatakan
beriman kepada kenabiannya dan Allah berfirman,
“Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini.”
Sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran surat
Al Imran ayat 81, “Dan (ingatlah) ketika Allah
mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab
dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang
rasul yang membenarkan apa yang ada pada mu,
niscaya kamu akan sungguh sungguh beriman
kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman,
‘Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian
Ku terhadap yang demikian itu?’ Mereka
menjawab, ‘Kami mengakui’. Allah berfirman,
‘Kalau begitu saksikanlah (lihat para nabi), dan
Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.” Begitu
pula dalam surat Ash-Shaf ayat 6, “Dan (ingatlah)
ketika Isa ibn Maryam berkata, ‘Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu,
membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya)
seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad)” Diantara bait bait
indah pada qashidah Burdah, juga terdapat
sebuah baitnya yang menyiratkan pujian indah
kepada Nabi saw sekaligus makna yang serupa
dengan pembahasan diatas, “Ia laksanan
matahari, dan nabi nabi bagaikan gemintang.
Bintang mengerdipkan mata di malam buta (selagi
mentari belum menyinarkan cahaya). Diantara
Orang – orang Pilihan Adam sangat menjaga
kemuliaan nur nan agung itu. Sehingga, bila
hendak mendekati Siti Hawwa, ia bersuci terlebih
dahulu dan memakai wewangian, lalu
memerintahkan Siti Hawwa untuk melakukan hal
serupa, seraya mengatakan, “Wahai istriku,
bersucilah dan pakailah wewangian.
Sesungguhnya sudah dekat saatnya nur
Muhammad Saw yang berada dalam diriku akan
berpindah ke dalam dirimu.” Sampai suatu hari
nur tersebut telah berpindah dari
diri Adam kepada Siti Hawwa. Lantaran nur
tersebut, Siti Hawwa pun terlihat semakin
bertambah kecantikannya setiap hari. Wajahnya
semakin bersinar dan berseri seri. Sejak saat itu,
Adam As tidak berhubungan dengan Siti Hawwa,
demi memuliakan nur Muhammad yang berada
dalam diri Siti Hawwa. Para malaikat berduyun
duyun turun ke bumi semata mata hanya
untuk menghaturkan salam sejahtera dari Allah
kepada nur Muhammad. Setelah melahirkan
hingga 38 putra dari 19 kali kehamilannya, dimana
setiap kali melahirkan bayinya selalu kembar dua,
laki laki dan perempuan, akhirnya Siti Hawwa
melahirkan putra bungsunya yang diberi nama
Syits, sebagai putranya yang ke-39 dan tidak
memiliki saudara kembar. Dikatakan, makna Syits
dalam bahasa Arab adalah Hibatullah, atau
‘anugerah Allah’ Nabi Adam pun wafat, setelah
usianya mencapai lebih dari 1000 tahun,
sementara itu, Ibn Abbas Ra menerangkan ,
“Tidaklah Adam As wafat kecuali setelah ia
melihat putranya dan putra dari putranya hingga
40.000 orang. Ia wafat di India, di sebuah gunung
yang disebut Nuda. Ketika terjadi badai topan dan
air bah di zaman Nuh As, tabut makamnya bibawa
didalam kapal oleh Nabi Nuh As. Setelah mereda,
Nabi Nuh memakamkannya di Baitul Maqdis
(Palestina).” Sementara Siti Hawwa wafat setahun
setelah wafatnya Nabi Adam. Jasadnya
dimakamkan di kota Jeddah. Dalam kitab Ash-
Sharhul Mumarrad wa Al-Fakhrul Muabbad,
Sayyid Umar bin Alwi Al-Kaf. Seorang ulama
Hadhramaut yang juga seorang sejarawan dan ahli
nasab, menggambarkan Syits As sebagai putra
Nabi Adam yang paling mulia, paling elok , dan
paling utama diantara saudara-saudaranya, dan
juga yang paling mirip serta paling dicintai
ayahnya. Ia diangkat sebagai seorang Nabi dan
rasul dengan 50 shahifah wahyu Allah yang
diturunkan kepadanya. Dari ayah nya, nur
Muhammad berpindah kepadanya. As-Suyuthi
mengisahkan dalam Al-Hawi lil Fatawi, sebelum
wafat, nabi Adam memanggil sang putra dan
mewasiatinya, “Wahai anakku, sesungguhnya Allah
telah mengambil perjanjian kepada mu untuk
senantiasa menjaga keagungan nur ini yang telah
diletakkan dalam dirimu. Karenanya, janganlah kau
meletakkannya kecuali kepada thahirah (wanita
suci).” Nabi Adam juga mewasiatkan kepada nya
agar senantiasa membesarkan kemuliaan Nabi
Muhammad didalam jiwanya serta senantiasa
berdzikir dengan kalimat Laa ilaaha illallah
Muhammadur Rasulullah. Selama 912 tahun atau
dikatakan pula 1012 tahun kehidupannya, Nabi
Syits As memegang teguh amanah tersebut dan
kemudian menikah dengan seorang wanita suci
bernama Baidha’. Seluruh manusia zaman
sekarang ini bernasabkan kepadanya, yaitu setelah
seluruh keturunan saudara saudaranya yang lain
menjadi korban dalam peristiwa banjir besar di
zaman Nabi Nuh As. Dikisahkan, Syits As
dianugerahi oleh Allah beberapa putra. Putranya
yang beruntung mendapatkan limpahan nur
Muhammad adalah yang bernama Anusy. Syits As
lalu meneruskan wasiat ayahnya kepada putranya
tersebut agar tidak meletakkan nur nan agung itu
kecuali kepada wainita yang suci. Putra Nabi Syits
melakukan hal yang sama, yaitu mewasiatkan agar
menjaga kemuliaan nur agung ini secara turun
termurun, hingga nur itu berada pada generasi
kelima dari keturunannya , Idris As. Para
sejarawan menyebutkan, nama sebenarnya adalah
Uknun, adapula yang mengatakan Khunun. Ia
dinamakan ‘Idris’ lantaran banyak menelaah
(darasa, dalam bahasa Arab) shuhuf atau
lembaran lembaran wahyu Allah. Kepadanya Allah
menurunkan wahyu sebanyak tiga puluh shahifah.
Nabi Idris as hidup selama 350 tahun, atau ada
yang mengatakan 365 tahun. Setelah itu, Allah
mengangkatnya ke langit. Sebelum diangkat ke
langit, sebagaimana ia telah menerima wasiat dari
orang tuanya dulu, ia mewasiatkan hal yang sama
kepada putranya yang terpilih, Mutawasylikh, untuk
senantiasa memelihara nur Muhammad. Hingga
kemudian , sampailah nur itu kepada cicit Nabi
Idris As, yaitu Nuh As, orang pertama yang yang
mendapatkan kenabian setelah Idris as. Syari’at
yang dibawa oleh nabi Nuh As menggantikan
syari’at Nabi Adam as, moyangnya. Nama
sebenarnya adalah Abdul Ghaffar. Dalam kitab
Ash-Sharh al-Mumarrad, karya Sayyid Umar bin
Alwi Al-Kaf, ia digelari ‘Nuh’, likatsrati ma naha ala
nafsihi, lantaran banyaknya ia merintih. Adapun
sebab rintihannya tersebut adalah kerena ia
mendoakan kebinasaan kepada kaumnya,
sementara pada sisi lain ia selalu berharap kepada
Allah untuk menyadarkan putranya, Kan’an, yang
masih saja menolak dakwahnya. Diriwayatkan,
Nabi Nuh As hidup selama 1000 tahun atau lebih,
dan 950 tahun dari kehidupannya diisinya dengan
berdakwah, mengajak umat agar menyembah
Allah. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di
suatu tempat bernama Kark. Ia memiliki beberapa
putra, diantaranya Kan’an, yang akhirnya tetap
memilih bisikan hawa nafsunya dibandingkan
menerima ajaran tauhid yang dibawa ayahnya.
Sehingga, Kan’an akhirnya tenggelam oleh azab
air bah yang maha dahsyat. Putra Nabi Nuh As
lainnya yang bernama Sam mendapat
keberuntungan karena diantara dua saudara nya
yang lain, Ham dan Yafits, nur Muhammad
berpindah kepadanya. Sejumlah catatan sejarah
mengatakan, Sam bin Nuh As ini termasuk salah
seoran nabi. Demikian antara lain yang
diinformasikan dalam kitab Bahjul Mahafil, karya
Asy-Syaikh Al-‘Amiri. Silsilah mata rantai nur
agung itu terus berpindah pada beberapa sosok
pribadi yang suci hingga bersemayam dalam sulbi
nabi Hud As. Dalam Asy- Syajarah Al-‘Alawiyyah,
karya Al-Allamah As- Sayyid Abdurrahman Al-
Masyhur, dituliskan bahwa
nama sebenarnya adalah ‘Abir. Sementara itu
seorang sejarawan ternama, Al-‘Iraqi,
menyebutnya ‘Aybar. Nabi Hud As adalah seorang
nabi dan rasul yang diutus untuk kaum ‘Ad,
sebagaimana yang disebutkan dalam Al- Quran
surat Al-A’raf ayat 65, “Dan (Kami telah mengutus)
kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud.” Ketika
Allah membinasakan kaum ‘Ad karena kemunkaran
yang mereka lakukan, Nabi Hud As pindah ke
negeri Hadhramaut, dan menghabiskan sisa
hidupnya di sana hingga wafatnya dalam usia 472
tahun. Di atas makamnya didirikan sebuah qubah.
Sejak dahulu hingga sekarang ini , kalangan
Alawiyyin dan lainnya pada setiap bulan Sya’ban
berziarah secara beramai ramai ke makamnya.
Dari Nabi Hud as, nur itu berpindah kepada
puteranya yang bernama Falikh, yang tak lain
adalah kakek Nabi Khidhir As (asalnya bernama
Balya bin Mulkan) Misteri Ayah Ibrahim As Maka
setelah melewati beberapa generasi, sampailah
nur agung itu pada diri Nabi Ibrahim As. “Allah
Azza wa jalla menurunkan nya kebumi melalui
punggung (sulbi) Nabi Adam, lalu Allah membawa
nya kedalam kapal dalam tulang sulbi nabi Nuh,
kemudian menjadikannya berada dalam tulang
sulbi sang kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia
dilemparkan ke dalam api.” Demikian Ad-Diba’i
menggambarkan secara singkat penjelasan nur
Muhammad dari Nabi Adam As hingga nabi
Ibrahim As. Ibrahim adalah nama dalam bahasa
Suryani, dalam
bahasa Arab maknanya ‘seorang bapak yang
penuh kasih sayang’. Demikian Imam Nawawi
menyebutkan dalam kitab Tahdzib al-Asma’ wa al-
Lughat. Nabi Ibrahim As adalah salah seorang lima
nabi dan rasul yang Ulul ‘Azmi, artinya yang
memiliki kesabaran yang luar biasa dalam
dakwahnya. Ia memiliki gelar Khalilullah, Kekasih
Allah. Allah menurunkan 20 shahifah wahyu
kepadanya. Dalam qashidah Al-Allamah Al-
Muhaddits Muhammad Habibullah Asy-Syinqithi,
disebutkan bahwa nabi Ibrahim As adalah pangkal
seluruh nasab para nabi, kecuali delapan nabi
yang tidak dinasabkan kepadanya, yaitu Adam As,
Syits As , Idris, Nuh, Hud (mereka semua adalah
leluhur Nabi Ibrahim sendiri), Yunus As, Luth As
dan Shalih As. Oleh karenanya ia digelari “Bapak
para Nabi dan Rasul” Terkait dengan kehidupan
nabi Ibrahim, dan kisah perjalanan nur agung ini,
ada satu hal yang menarik dicermati.
Sebagaimana diketahui , seluruh mata rantai
silsilah Rasulullah Saw adalah pribadi pribadi
mulia, suci, dan terhormat. Tidak satupun diantara
leluhur Rasulullah saw (para pengemban amanah
nur Muhammad dalam diri mereka) memiliki
aqidah yang bergeser dari ajaran tauhid. Dari sini
lah kemudian timbul pertanyaan tentang posisi
Azar, yang dalam sejarah dikenal sebagai seorang
penyembah berhala, sementara dia adalah ayah
nabin Ibrahim As, yang notabene juga berarti
nenek moyang Rasulullah saw. Dalam kitab Ash-
Sharhul Mumarrad disebutkan, ayah Nabi ibrahim
As bernama Tarah, dalam bahasa Arab disebut
Azar. Sebagian lainnya mengatakan bahwa Tarah
adalah ayah Nabi ibrahim, sedangkan Azar adalah
paman Nabi Ibrahim As. Sebutan ayah Ibrahim
yang disematkan kepada Azar disebabkan oleh
kebiasaan masyarakat Arab yang sering menyebut
seorang ‘am (paman) dengan kata ab (ayah). Versi
pendapat ini lebih dekat dengan apa yang
disebutkan oleh para ulama bahwa seluruh nenek
moyang nabi Muhammad adalah mukmin.
Sementara itu ada pula yang mengatakan bahwa
Azar adalah ayah Nabi Ibrahim, dan Tarah adalah
kakeknya, sehingga bila dirangkai menjadi Ibrahim
bin Azar bin Tarah. Betapapun, pendapat yang
mengatakan Azar adalah ayah Nabi Ibrahim As
memang cukup dikenal luas, seperti halnya tertulis
dalam kitab Asy-Syajarah Al-Alawiyyah. demikian
pula keterangan yang disebutkan oleh Ibnu Ishaq
dan Adh-Dhahhak. Mengenai hal itu, Syaikh
Nawawi Al-Bantani menuliskan pendapat ulama
dalam kitab Tafsir Munir-nya,”Dan Allah
memandang engkau (Nabi Muhammad) berpindah
pindah dari sulbi-sulbi mukmin dan rahim rahim
mukminah dari sejak Nabi Adam As dan Siti
Hawwa sampai dengan kepada Sayyidina Abdullah
dan Siti Aminah. Maka semua leluhur Nabi
Muhammad saw, baik laki laki maupun
perempuan, adalah orang orang yang beriman.
Mereka tidak dimasuki kemusyrikan selama nur
Muhammad berada dalam diri mereka. Apabila nur
itu berpindah darinya kepada orang setelahnya,
mungkin orang tersebut menyembah selain Allah.
Dan Azar tidak menyembah berhala berhala
kecuali setelah nur itu berpindah kepada Nabi
Ibrahim As. Adapun sebelum berpindah nya nur
Muhammad kepada nabi Ibrahim as, Azar
menyembah Allah. Nabi Ibrahim wafat dalam usia
175 tahun, riwayat lainnya mengatakan 200 tahun,
dan kemudian dimakamkan di Hebron, Palestina.
Darinya, cahaya nan agung itu berlabuh kepada
sang putra, Nabi Isma’il As. Dikisahkan, ketika
Ibrahim As lama tak mempunyai anak, ia berdoa
kepada Allah dalam bahasa Suryani dengan
mengatakan, “Isma’ Iyl.” (dengarkanlah, wahai Iyl).
Dalam bahasa Arab, makna Iyl adalah Allah. Maka
ketika ia diberi anak dari istri keduanya, Siti Hajar,
diberinyalah nama “Isma’il”. Pendapat lain
mengatakan, dalam bahasa Arab Ismail bermakna
muthi’ullah, atau “pemberian Allah” Sekitar 14
tahun setelah kelahiran Isma’il As, lahirlah anak
Nabi Ibrahim As dari istri pertamanya, Siti Sarah,
yaitu Ishaq As, nenek moyang Bani Israil. Kelak
Datang Pemimpin Umat Demikianlah, nur agung ini
senantiasa berpindah dari ayah yang mulia dan ibu
nan suci, dengan ikatan pernikahan sesuai dengan
syari’at pernikahan yang telah digariskan Allah.
“Tak henti hentinya Allah, Yang Maha Perkasa dan
Maha Agung, memindahkan nya dari rangkaian
tulang sulbi yang mulia dan melewati rahim rahim
yang suci, hingga akhirnya Allah melahirkannya
melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak
pernah berbuat serong,” Ad-Diba’i melanjutkan
keterangannya. Perjalanan nur Muhammad
memang tidak selalu melewati seluruh nabi dan
rasul yang ada. Namun demikian, seluruh nabi dan
rasul mendapatkan manfaat dari cahaya agung
tersebut. Seorang ulama, Ibn Marzuqi,
sebagaimana dikutip An- Nabhani dalam Al-Anwar
al-Muhammadiyah, mengatakan bahwa pada diri
setiap nabi terdapat mukjizat dan setiap mukjizat
selalu harus berhubungan dengan nur Muhammad.
Al-Bushiri mengungkapkannya dalam Al-Burdah:
Segala mu’jizat dari rasul-rasul sebelumnya
Senantiasa terkait dengan pancaran cahaya
Rasulullah SAW pada mereka Hingga pada suatu
saat, nur itu pun akhirnya sampai kepada
keturunan Isma’il As yang bernama ‘Adnan, salah
seorang datuk Rasulullah Saw. ‘Adnan hidup pada
masa nabi Musa As dan hingga kepada
namanyalah kepastian susunan nama dalam nasab
Rasulullah saw dapat dipastikan. Dalam hal ini,
para sejarawan tidak berselisih pendapat.
Sementara, untuk nama nama dari ‘Adnan sampai
dengan Nabi Isma’il As maupun jumlah nama
diantara ‘Adnan dan Nabi Isma’il, terdapat khilaf
didalamnya. Adapun mengenai keyakinan yang
dianut, seluruh leluhur Rasulullah saw hingga
kepada Nabi Isma’il as mengikut kepada syari’at
Nabi Ibrahim as. Mengenai sosok ‘Adnan, ada
yang mengatakan, ia adalah orang yang pertama
kali menyelimuti kiswah pada ka’bah. Nama
‘Adnan diambil dari kata al-‘adn, semakna dengan
iqamah. Dalam kitab Ash-Sharh al-Mumarrad
disebutkan, ia dinamakan demikian, li annaLlaha
Subhanahu wa Ta’ala aqama malaikatan lihifzhihi,
karena Allah memerintahkan malaikat untuk
melindunginya. Hal itu dikarenakan mata para jin
dan manusia sangat memperhatikannya dan
bermaksud membunuhnya, hingga mereka yang
bermaksud jahat itu berkata, “Seandainya kita
membiarkan ia hidup, suatu hari nanti akan keluar
dari nya seseorang yang memimpin umat
manusia”.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar